1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanAsia

Memaknai Sumpah Pemuda di Zaman Digitalisasi

Rizki Akbar Putra
28 Oktober 2020

Memaknai 92 tahun Sumpah Pemuda, generasi muda saat ini perlu meningkatkan kreativitas dan inovasi seiring dengan perkembangan zaman yang penuh dengan persaingan. Hal ini diyakini mencerminkan cita-cita Generasi 28.

Foto ilustrasi Peringatan Hari Sumpah Pemuda
Foto: Reuters/T. Allard

"Apapun agamamu, apapun suku dan rasmu, dan apapun pandangan politikmu kita bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia," ujar Hadohoan Satyalen (28), warga Medan saat ditanyai DW Indonesia mengenai makna Sumpah Pemuda bagi dirinya.

Sementara Laras Puspitorini (25), warga Surabaya, mengaku memaknai Sumpah Pemuda dengan menghargai perbedaan. "Sesimpel saling menghargai, menghormati, dan saling menebarkan energi positif, dan juga jangan saling menghina."  

Tepat 92 tahun lalu, di tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda diikrarkan oleh pemuda di zaman itu seperti M. Yamin, Sugondo Djojopuspito, Amir Sjarifuddin, Johanes Leimena, dan WR Soepratman, dalam Kongres Pemuda II.

Sumpah ini dianggap sebagai semangat menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yakni ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu bahasa Indonesia. Sumpah ini juga memuat banyak nilai-nilai positif yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari antara lain patriotisme, gotong-royong, persatuan dan kesatuan, cinta damai, dan tanggung jawab.

Namun, di tengah perkembangan zaman dan teknologi yang dinamis dan penuh persaingan, semangat Sumpah Pemuda harus tetap dijaga terlebih di tengah krisis pandemi COVID-19. Presiden Joko Widodo dalam sambutannya memperingati Hari Sumpah Pemuda, mengatakan bahwa Sumpah Pemuda sejatinya dijadikan sebagai energi positif dalam mengarungi arus besar globalisasi.

"Sumpah Pemuda justru membawa energi positif yang menyatukan. Persaingan dan perbedaan tidak harus membuat kita melupakan adanya masalah-masalah bersama, kepentingan-kepentingan bersama, maupun tujuan-tujuan bersama. Yang semuanya bisa kita selesaikan dengan cara bersatu dan bekerja sama," jelas Jokowi, Rabu (28/10).

Jokowi pun menyerukan pentingnya persatuan demi terwujudnya Indonesia maju. "Kita harus bekerja sama merawat keindonesiaan. Keindonesiaan harus selalu dijaga dengan semangat solidaritas dan rasa persaudaraan. Kita harus saling membantu satu sama lain dalam semangat solidaritas. Tidak ada Jawa, tidak ada Sumatera, tidak ada Sulawesi, tidak ada Papua, yang ada adalah saudara sebangsa dan setanah air," tegasnya.

Tingkatkan kreativitas dan inovasi

Kepada DW indonesia, rohaniawan Benny Susetyo, atau yang akrab disapa Romo Benny, mengatakan bahwa di zaman digitalisasi seperti sekarang ini telah merubah pendekatan generasi muda dalam memaknai Sumpah Pemuda.

Menurutnya generasi muda saat ini fokus mengembangkan inovasi dan kreatifitas dalam konteks global demi memajukan Indonesia.

"Anak-anak muda itu lebih membangun network jaringan, sudah tidak lagi mempersoalkan tentang persoalan identitas seperti kedaerahan, kesukuan, keagamaan," ujar Romo Benny, Rabu (28/10) pagi.

Namun, berkaca dari fenomena beberapa waktu belakangan ini ia menilai masih banyak generasi muda yang seakan "kehilangan harapan" sehingga akhirnya mengekspresikan diri melalui cara-cara yang menyimpang seperti unjuk rasa yang berujung kericuhan. Menurutnya, hal ini terjadi karena kurangnya tempat berekspresi dan kurangnya memanfaatkan perkembangan zaman.

"Harusnya lebih dirangkul supaya bagaimana mereka ditingkatkan kreativitas dan inovasi. Maka sekolah-sekolah harusnya mampu mengaplikasi mengenai teknologi itu tepat guna sehingga mereka (anak muda) punya makna, punya arti," paparnya.

Hoaks jadi tantangan generasi muda  

Romo Benny pun mengatakan bahwa masalah hoaks menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda saat ini. Mereka yang termakan hoaks digambarkan Romo Benny sebagai "generasi yang tidak kritis" dan tidak memiliki kemampuan dalam menghadapi tantangan zaman.

"Tantangan ke depan bagaimana Sumpah Pemuda jadi memiliki makna adalah kita harus mulai sadar bahwa banyak generasi sebagian besar tidak punya skill, tidak punya keterampilan tekonologi, itu yang seharusnya diperhatikan lebih," ujar staf khusus BPIP ini.

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, juga menyerukan pentingnya terwujudnya terobosan dan inovasi dalam menjawab segala tantangan dan melompat melampaui keterbatasan.

"Mari nyalakan lagi semangat dari Kongres Pemuda 1928. Kita jawab keresahan dengan solusi, masa sulit ini harus menjadi pembelajaran, penguatan mental dan karakter, serta ruang kreativitas bagi kita semua," tutur Nadiem, dalam laman Instagramnya, Rabu (28/10).

"Ingat, 92 tahun yang lalu, secarik kertas lah yang menjadi penyulut semangat mengubah nasib. Hal yang sederhana tapi mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Dalam hal menciptakan terobosan melalui inovasi pun demikian. Inovasi bukan semata berbicara hasil, tapi sebuah rangkaian proses yang dapat dimulai dari gagasan sekecil apapun," lanjut Nadiem.

Romo Benny pun mengatakan dengan semakin banyaknya anak muda yang berinovasi menjadi cerminan cita-cita Generasi 28.

rap/gtp (dari berbagai sumber)