1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memandang Masa Depan Yang Suram

23 Januari 2012

Pemerintah Myanmar sepakati gencatan senjata dengan etnis Karen. Dengan demikian, mungkin salah satu konflik yang berlangsung paling lama di dunia berakhir.

Clad in traditional dress, ethnic Karen traditional dancing troupe enjoy themselves during the cerebration of Karen's New Year at a monastery on Sunday, Dec. 25, 2011, in Yangon, Myanmar. (AP Photo/Khin Maung Win)
Anggota etnis minoritas Karen yang mengenakan pakaian tradisional mereka dalam perayaan tahun baru Karen (25/01/2011)Foto: AP

"Saya berlari secepatnya, sambil menggendong anak perempuan saya. Semua berlari. Di belakang rumah kami mendengar tembakan. Kami tidak bisa berpikir tentang yang lain lagi, cuma ingin selamat. Saya sangat takut.“ Begitu tutur seorang perempuan Karen.

Sementara seorang pria dari etnis Karen mengeluh, "Saya merindukan keluarga saya, kampung halaman saya. Kadang saya bermimpi tentang desa tua saya. Di situ ada rumah tua saya, taman, tapi semua itu sudah tidak ada lagi. Kami semua rindu, dan ingin kembali. Tapi saat ini itu belum mungkin.“

Perang Saudara Puluhan Tahun

Menteri Perkeretaapian Myanmar dan juru runding pemerintah Aung Min (kiri), Jenderal Mutu Saipo yang mewakili Karen National Union, KNU (kedua dari kiri) dan dua menteri Myanmar lainnya mengangkat gelas untuk merayakan tercapainya kesepakatan (11/01/2012).Foto: dapd

Moon Lay dan Pah Dah adalah dua pengungsi dari kelompok etnis Karen, yang lari dari Myanmar ke Thailand. Keduanya tidak mau menyebutkan nama asli karena takut. Pria yang kehilangan kampung halamannya itu berjalan tiga hari lewat hutan belantara ketika melarikan diri. Di sebuah sungai ia hampir tenggelam. Sementara si perempuan yang bernasib sama terjebak di antara dua fron, dan menyelamatkan diri ke daerah perbatasan.

Sejak lebih dari 60 tahun, perang saudara menyelubungi provinsi Kayin di bagian timur Myanmar. Militer berperang dengan pemberontak etnis Karen, yang memperjuangkan kemerdekaan.

Pelanggaran HAM di Daerah Perang

Organisasi bantuan "Free Burma Rangers" mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di daerah-daerah perang. Pemerkosaan, kerja paksa, penyalahgunaan. Semua itu sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Penduduk desa bahkan kerap diperintahkan untuk membersihkan ranjau.

Tentara anak-anak dari etnis Karen (2001). Menurut kelompok HAM AS, tentara Myanmar merekrut anak-anak mulai usia 10 tahun untuk menjadi tentara.Foto: AP

Jurubicara organisasi itu bercerita tentang kasus seorang ibu yang mengadakan perjalanan antara dua desa dengan seorang anak perempuannya dan bayi yang digendong di punggung. Beberapa tentara Myanmar melepaskan tembakan. Anak perempuan kecil tewas seketika, begitu pula si bayi. Ibu mereka terkena tembakan tetapi selamat. Tentara melepaskan tembakan, hanya karena mereka bisa melakukannya.

Upaya Perdamaian

Sekarang perdamaian katanya tiba di Myanmar, yang terpecah-belah. Pemberontak dan militer pemerintah akan meletakkan senjata. Itu disepakati kedua belah pihak pertengahan Januari. Perincian kesepakatan itu belum jelas, tetapi masyarakat internasional memuji upaya perdamaian itu.

Penyeberangan ilegal perbatasan antara Myanmar dan Thailand (16/11/2011)Foto: Monika Griebeler

Pah Dah dan Moon Lay keduanya nama samaran, hidup di dekat kota perbatasan Mae Sot di Thailand. Sekitar 80% warga daerah itu berasal dari Myanmar. Diperkirakan lebih dari sejuta pengungsi Myanmar tinggal di Thailand. Sebagian di kamp pengungsi, sebagian ilegal.

Perdamaian Bukan Jaminan Keamanan

"Pemerintah Thailand ingin, agar pengungsi kembali ke negara mereka. Pengungsi juga menginginkannya.“ Itu dikatakan Duncan McArthur dari Konsorsium Perbatasan Thailand-Myanmar. Ia menambahkan, "Kita tidak bisa melaksanakannya dengan terburu-buru, karena mereka akhirnya akan kembali ke Thailand secara ilegal. Kita belum siap mengadakan pengembalian pengungsi secara massal ke Myanmar. Itu butuh waktu.“

Karena perjanjian perdamaian juga bukan jaminan keamanan. Di provinsi Kachin, di bagian utara Myanmar, baru tahun lalu sebuah kesepakatan perdamaian yang berlangsung bertahun-tahun dilanggar. Jurubicara organisasi "Free Burma Rangers" menjelaskan, "Jumlah serangan di daerah kelompok etnis itu bahkan meningkat setelah pemilu tahun 2010."

Sejumlah pengungsi Karen, yang sebagian besar beragama Kristen, melarikan diri dari desa mereka di distrik Toungoo yang diserang tentara pemerintah (17/05/2006)Foto: picture alliance/dpa

Ia memaparkan, "Sejumlah kesepakatakan gencatan senjata dilanggar. Militer terus bersepak-terjang. Mereka tidak terorganisir dari pusat. Para perwira di daerah-daerah pertempuran memang mendapat perintah dari atas, tetapi mereka dapat melaksanakan perintah sesuai keinginan.“

Keraguan Akan Perdamaian

Dan setelah beberapa dasawarsa yang penuh dengan perang dan penyiksaan, banyak warga Karen merasa ragu. Pengungsi pria yang menggunakan nama samaran Pah Dah berpendapat, perdamaian yang sesungguhnya belum tampak. Masih banyak tentara ditempatkan di daerah asal mereka, dan banyak orang belum bisa kembali ke kampung halaman. Jadi keadaan belum berubah.

Pat Dah terakhir melihat keluarganya tiga tahun lalu. Jalan menuju kampungnya sekarang tidak dapat digunakan lagi. Terlalu banyak ranjau. Moon Lay dapat melihat desanya di kaki langit. Gunung-gunung Kayin tampak indah menjulang. Di situlah kampung halamannya. Terbakar dan tidak berpenghuni. Ia ingin kembali tetapi tidak berani. Terlalu tidak aman, dan di sana tidak ada apa-apa lagi.

Monika Griebeler/Marjory Linardy

Editor: Renata Permadi

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait