Membaca Kritis UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
18 Desember 2017
DPR-RI mengesahkan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Apakah akan membantu memperbaiki nasib para TKI /TKW kita? Opini Wahyu Susilo.
Iklan
Tahun 2017, DPR-RI secara resmi mengesahkan RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menjadi UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk menggantikan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia DI Luar Negeri.
Pengesahan ini menandakan akhir dari perjalanan panjang yang lamban dan terjal dari proses legislasi untuk perlindungan buruh migran Indonesia yang setiap saat menghadapi kerentanan, mulai dari soal pengupahan, pengusiran, penganiayaan, pelecehan seksual, perkosaan bahkan hukuman mati.
Ada beberapa catatan bisa dituliskan terkait dengan kelambanan proses legislasi ini. Dari sisi proses, pembahasan yang sangat lamban ini masih memperlihatkan bahwa persoalan buruh migran Indonesia belum dianggap prioritas sehingga tidak ada political will untuk menuntaskan proses legislasi ini. Proses yang lamban ini mengakibatkan adanya kemandekan inisiatif-inisiatif perlindungan buruh migran oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan dalih bahwa tidak boleh ada kreasi kebijakan yang tidak berdasar pada UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri.
Proses legislasi ini juga belum sepenuhnya bersifat inklusif dan transparan dengan pelibatan seluas mungkin pemangku kepentingan dalam soal perlindungan buruh migran Indonesia. Durasi waktu yang panjang dari pembahasan legislasi ini seharusnya bisa dimaksimalkan dengan menggali masukan dari berbagai pihak, terutama subyek utama buruh migran Indonesia yang tersebar merata di berbagai belahan dunia, terutama di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur dan Pacifik serta Timur Tengah. Namun ternyata, durasi waktu yang panjang tersebut sebagian besar hanya dihabiskan untuk debat kusir tak berujung yang tidak menghasilkan output yang substantif.
Baru setelah muncul desakan kuat dari masyarakat sipil yang ingin memantau dan memastikan proses legislasi RUU ini berada di jalur yang benar, jalannya sidang-sidang Komisi dan Panja RUU di Gedung DPR dapat dipantau oleh publik, meski demikian ada beberapa rapat Panja di luar gedung DPR bersifat tertutup.
Dari sisi substansi, sebagai produk politik, UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tentu lahir dari proses dan negoisasi politik sehingga produk finalnya tentu bukan produk ideal dan sempurna. Namun demikian, Migrant CARE, UU ini bisa dimaksimalkan sebagai instrumen perlindungan buruh migran Indonesia sebagai bentuk komitmen Indonesia menjadi negara peratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (yang telah diundangkan dalam UU No. 6 Tahun 2012).
Tujuh Negara Tujuan Favorit TKI
Sebanyak lebih dari 6 juta tenaga kerja Indonesia saat ini bekerja di 146 negara di seluruh dunia. Tujuh di antaranya adalah negara yang paling banyak mempekerjakan buruh asal Indonesia.
Foto: Getty Images
#1. Malaysia
Dari tahun ke tahun Malaysia menjadi tujuan utama tenaga kerja asal Indonesia. Menurut data BNP2TKI, sejak tahun 2012 sudah lebih dari setengah juta buruh migran melamar kerja di negeri jiran itu. Tidak heran jika remitansi asal Malaysia juga termasuk yang paling tinggi. Selama tahun 2015, TKI di Malaysia mengirimkan uang sebesar dua miliar Dollar AS kepada keluarga di Indonesia.
Lebih dari 320.000 buruh Indonesia diterima kerja di Taiwan sejak tahun 2012. Lantaran Taiwan membatasi masa kerja buruh asing maksimal 3 tahun, kebanyakan TKI mendarat di sektor formal. Tahun lalu TKI Indonesia yang bekerja di Taiwan menghasilkan dana remitansi terbesar ketiga di dunia, yakni 821 juta Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Chang
#3. Arab Saudi
Sejak 2011 Indonesia berlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Namun larangan itu cuma berlaku buat sektor informal seperti pembantu rumah tangga. Sementara untuk sektor formal, Indonesia masih mengrimkan sekitar 150 ribu tenaga kerja ke Arab Saudi sejak tahun 2012. Dana yang mereka bawa pulang adalah yang tertinggi, yakni sekitar 2,5 miliar Dollar AS tahun 2015
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
#4. Hong Kong
Sedikitnya 137 ribu TKI asal Indonesia diterima bekerja di Hongkong sejak 2012. Uang kiriman mereka pun termasuk yang paling besar, yakni sekitar 673,6 juta Dollar AS. Kendati bekerja di negara makmur dan modern, tidak sedikit TKI yang mengeluhkan buruknya kondisi kerja. Tahun 2014 silam ribuan TKW berunjuk rasa di Hong Kong setelah seorang buruh bernama Erwiana dianiaya oleh majikannya.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#5. Singapura
Menurut BNP2TKI, sebagian besar buruh Indonesia di Singapura bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sejak 2012 sebanyak 130 ribu TKI telah ditempatkan di negeri pulau tersebut. Tahun 2015 saja tenaga kerja Indonesia di Singapura mengirimkan duit remitansi sebesar 275 juta Dollar AS ke tanah air.
Foto: Getty Images
#6. Uni Emirat Arab
Lebih dari 100 ribu tenaga kerja Indonesia ditempatkan di Uni Emirat Arab sejak tahun 2012. Dana remitansi yang mereka hasilkan pun tak sedikit, yakni 308 juta Dollar AS pada tahun 2015.
Foto: picture-alliance/dpa
#7. Qatar
Lantaran moratorium, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah banyak menurun. Qatar yang tahun 2012 masih menerima lebih dari 20 ribu TKI, tahun 2015 jumlahnya cuma berkisar 2400 tenaga kerja. Sejak 2012 sedikitnya 46 ribu buruh Indonesia bekerja di negeri kecil di tepi Arab Saudi itu. Hampir 100 juta Dollar AS dibawa pulang oleh TKI Indonesia tahun 2015 silam.
Foto: imago/imagebroker
7 foto1 | 7
Dari pembacaan kritis terhadap naskah akhir RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang disahkan menjadi UU, penulis melihat ada kemajuan berarti dibanding dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari adanya Bab dan Pasal-Pasal spesifik mengenai Pelindungan Buruh Migran, Hak-hak Buruh Migran, Jaminan Sosial, Tugas dan Tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pembiaran kriminalisasi buruh migran
Di dalam UU ini, pasal-pasal mengenai perlindungan hak-hak buruh migran serta jaminan sosial buruh migran berpedoman pada Konvensi ini meskipun belum secara keseluruhan. Beberapa substansi penting dalam Konvensi yang belum mendapatkan tempat di UU ini adalah perlindungan pada anggota keluarga buruh migran serta memastikan buruh migran yang tidak berdokumen dikriminalisasi. patut disayangkan masih ada pasal yang mengingkari tanggungjawab negara terkait dengan buruh migran Indonesia yang bekerja secara mandiri. Pasal ini membuka ruang adanya (pembiaran) kriminalisasi buruh migran.
Hal lain yang patut mendapat apresiasi adalah adanya perubahan-perubahan yang signifikan dalam UU ini terkait tata kelola migrasi tenaga kerja terutama dengan adanya penguatan peran negara, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga pengakuan yang signifikan atas peran pemerintah di tingkat daerah (mulai propinsi, kabupaten/kota hingga tingkat desa). Hal ini memperlihatkan adanya komitmen untuk menghadirkan negara (di semua tingkatan) dalam memberikan perlindungan pada buruh migran, mengakhiri proses sentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif serta mendorong tanggung jawab dan rasa kepemilikan (ownership) dari pemerintah daerah mengenai perlindungan buruh migran Indonesia. UU ini mengamanatkan bahwa tidak boleh ada pembebanan biaya penempatan terhadap buruh migran Indonesia. Amanat ini harus benar-benar terwujud dalam implementasi kebijakan dan tidak boleh disabotase pada peraturan-peraturan pelaksananya.
Namun demikian, UU ini juga masih menyimpan beberapa kelemahan. Kelemahan itu terlihat dari Bab dan pasal tentang pelaksana penempatan, kelembagaan serta pasal-pasal yang memiliki potensi sebagai pasal karet yang bisa dibajak sehingga berpotensi melahirkan peraturan pelaksana yang merugikan buruh migran Indonesia. Selain itu, UU masih menyimpan potensi konflik kelembagaan mengenai kewenangan Kementerian dan Institusi/Badan Non Kementerian dalam tata kelola perlindungan buruh migran. Ini disebabkan masih belum tuntasnya pembahasan mengenai pembagian kerja dan kewenangan kelembagaan. Pasal-pasal yang dihasilkan adalah hasil kompromi. Oleh karena itu perlu ada desakan yang kuat kepada Presiden RI untuk bisa menuntaskannya dalam penerbitan peraturan pelaksananya.
UU ini juga masih membuka celah dari sektor swasta untuk menjalankan bisnis penempatan buruh migran Indonesia bahkan diatur dalam Bab tersendiri. Masih ada belasan pasal yang mengatur rinci pengenai Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Sebagai UU yang fokusnya (domain hukumnya) pada Perlindungan Buruh Migran, adanya pengaturan rinci mengenai operasional pelaksana penempatan pekerja migran bukan pada tempatnya
.
Jutaan Anak-anak Tionghoa Tumbuh Tanpa Orangtua
Mereka terpaksa tinggal sendirian tanpa asuhan orangtua. Ayah dan ibu terpaksa meninggalkan mereka untuk pergi ke kota-kota besar, agar dapat memberi makan keluarga.
Foto: Getty Images/K. Frayer
Diasuh kakek
Keluarga Luo tinggal tidak jauh dari kota Anshun di barat daya Cina, yang merupakan bekas kawasan industri kumuh. Kakek Luo miskin dan sakit-sakitan. Meski demikian ia bertanggung jawab mengawasi empat cucu berusia 5-11 tahun. Orangtua bocah-bocah itu pergi merantau, sebab pekerjaan hanya tersedia di kota-kota.
Foto: Getty Images/K. Frayer
Hidup dalam kondisi sulit
Keluarga Luo hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah salah satu dari 55 juta penduduk di Cina yang menurut statistik resmi, berpenghasilan kurang dari 5,6 juta rupiah per tahun.
Foto: Getty Images/K. Frayer
Pendidikan gratis tapi tetap mahal
Di sekolah, siswa berkumpul setiap pagi untuk senam bersama. Walaupun semua anak-anak keluarga Luo bersekolah dengan gratis, biaya untuk perlengkapan sekolah, seperti seragam sekolah biru dan putih, tergolong tinggi.
Foto: Getty Images/K. Frayer
Mengerjakan PR bukan hal yang mudah
Si kecil ini berusaha keras belajar di kegelapan. Di musim dingin, seperti anak-anak lainnya, ia harus menggunakan senter saat melakukan pekerjaan rumah
Foto: Getty Images/K. Frayer
Harapan untuk masa depan
Pulang sekolah, anak-anak harus bekerja. Keranjang hijau berisi makanan ternak. Orangtua mereka berharap agar mereka bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan mungkin sampai ketingkat universitas. Tapi dengan beratnya ongkos hidup, kemungkinan itu menjadi tipis.
Foto: Getty Images/K. Frayer
Pekerja kelas dua
Karena dibutuhkan persyaratan lapor diri untuk didata atau sistem Hukou, maka pada umumnya anak-anak pekerja migran tidak bisa masuk di sekolah negeri di kota orangtua mereka bekerja. Satu dari tiga anak di Cina merupakan anak-anak dari 260 juta pekerja migran, yang kurang memiliki ketrampilan dan bekarja di sektor konstruksi atau jasa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Ng Han Guan
Sekolah "anak-anak migran"
Upaya yang diusung badan-badan bantuan dalam membangun sekolah-sekolah untuk "anak-anak migran" (foto), sering gagal menerima persetujuan pemerintah. Banyak fasilitas seperti ini yang dibuat dianggap ilegal dan digusur.
Foto: Getty Images
Kangen ayah bunda
Jadi anak-anak pekerja migran tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal tanpa orang tua di pedesaan.
Foto: Getty Images/K. Frayer
8 foto1 | 8
Pasal-pasal didalam UU ini mengenai pembinaan dan pengawasan juga berpotensi sebagai pasal karet katrena tidak mengelaborasi mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan apa yang seharusnya dilakukan untuk memastikan terselenggaranya tata kelola perlindungan buruh migran Indonesia. Ini juga berpotensi menimbulkan konflik kelembagaan terkait kewenangan dan tanggungjawab pembinaan dan pengawasan.
Terutama perempuan
Kelemahan lain yang terkandung dalam UU ini adalah belum adanya pasal khusus yang mengafirmasi kebutuhan khusus perlindungan buruh migran Indonesia (terutama perempuan) yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Kebutuhan ini penting mengingat mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor ini dan menghadapi situasi kerentanan yang berkepanjangan.
Tentu saja hadirnya UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tentu bukan jawaban satu-satunya atas tuntutan kehadiran negara dalam perlindungan buruh migran Indonesia tetapi harus disertai dengan langkah-langkah konkrit mencabut kebijakan-kebijakan lama yang sudah usang dan menyegerakan adanya transisi perubahan tata kelola migrasi tenaga kerja yang berbasis pada tanggungjawab negara atas perlindungan warganya dan penghormatan atas hak asasi manusia serta keadilan dan kesetaraan gender.
Pemerintah Indonesia harus didesak untuk memastikan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tidak dibajak oleh kepentingan-kepentingan anti buruh migran yang memanfaatkan potensi kelemahan-kelemahan yang masih terkandung didalam UU tersebut.
Untuk menutupi kelemahan UU Pelindungan yang belum memberi perhatian khusus pada pekerja rumah tangga migran maka DPR-RI dan Pemerintah Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi ILO 189 dan menuntaskan legislasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga untuk memastikan terselenggaranya perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga.
Penulis:
Wahyu Susilo, pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
@wahyususilo
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Para Imigran Yang Mengubah Wajah Dunia
Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman. Namun di tanah air baru mereka, para imigran ini mengubah wajah dunia - sebagai saintis, politisi, seniman, pengusaha atau olahragawan.
Foto: Imago/United Archives International
Albert Einstein
Tanpa dia dan teori relativitas, pandangan manusia kini tentang alam semesta akan berbeda. Saat Nazi berkuasa di Jerman, Albert Einstein yang berdarah Yahudi dan tengah berada di Amerika Serikat tak bisa kembali ke Jerman, karena nyawanya bisa terancam. Ia mengembalikan paspornya dan beremigrasi ke Amerika Serikat.
Foto: Imago/United Archives International
Marlene Dietrich
Penyanyi dan aktris Jerman Marlene Dietrich sudah terkenal di Amerika Serikat ketika ia meninggalkan Jerman pada tahun 1938. Dia tinggal di Amerika Serikat dan di Perancis. Dari kedua negara itu, ia membantu para pengungsi dan tentara sekutu. Setelah akhir Perang Dunia II di Jerman, ia dituduh telah berkhianat pada negaranya sendiri.
Foto: picture-alliance/dpa
Henry Kissinger
Dia adalah seorang profesor di Harvard University, pernah menjadi menteril luar negeri Amerika Serikat, dan pakar hubungan internasional. Pada tahun 1938, Henry Kissinger meninggalkan Bayern, Jerman, dan melarikan diri dari ancaman maut Nazi. Meskipun saat Perang Dunia II dia menjadi tentara Amerika yang memerangi bangsanya sendiri, dia mengatakan sebagian dari dirinya selalu tetap Jerman.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Schiefelbein
Madeleine Albright
Dari Cekoslovakia, dua kali Madeleine Albright dan keluarganya melarikan diri: pertama, setelah invasi Nazi pada tahun 1939, mereka mengungsi dari Praha ke London. Sempat kembali ke Praha, pada tahun 1948 mereka hijrah ke AS setelah rezim komunis di tanah air mereka mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1997, perempuan berdarah Yahudi ini menjadi menteri luar negeri Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/S. Loeb
M.I.A.
Namanya Mathangi "Maya" Arulpragasam, tapi para penggemar mengenalnya sebagai MIA. Di usia kanak-kanak, dari Sri Lanka, ia melarikan diri ke India menuju ke Inggris. Dalam sebuah wawancara, ia berkata: "Pada awalnya, saya memberitahu semua orang bahwa saya berasal dari Trinidad, jadi saya tidak perlu berbicara tentang Sri Lanka dan perang. Saya tidak mengatakan bahwa saya seorang pengungsi. "
Foto: Getty Images/C. Polk
Miriam Makeba
Miriam Makeba - yang dikenal sebagai Mama Afrika berasal dari Afrika Selatan. Ia berada di sebuah acara di AS ketika pejabat negara Afsel tak mengizinkannya pulang. Lagu mereka "Pata Pata" menjadi hit di seluruh dunia pada tahun 1967. Setelah tinggal di Guinea dan Belgia, atas permintaan Nelson Mandela, pada tahun 1990, pejuang hak-hak sipil ini kembali ke Afrika Selatan.
Foto: Getty Images
Freddie Mercury
Orang tua bintang rock dengan suara khas ini melarikan diri dari gejolak revolusioner di Zanzibar ke London - bersama dengan Freddie kecil. Sisanya adalah sejarah: Mercury naik dan band-nya menjadi ikon rock. Kematiannya akibat HIV/AIDS mendorong kampanye mengatasi isu HIV.
Foto: Getty Images/Hulton Archive
Thomas Mann
Dia dianggap sebagai salah satu penulis paling penting dari abad ke-20. Nazi menyebut peraih penghargaan Nobel ini sebagai "gelombang besar kebiadaban eksentrik". Ia manjadi eksil di Swiss pada tahun 1933 dan pada tahun 1939 ke Amerika Serikat. Pada tahun 1938 ia menciptakan slogan: "Di mana saya berada, itulah Jerman. Saya membawa budaya Jerman dalam diri saya."
Foto: picture-alliance/dpa
Isabel Allende
Setelah kudeta militer berdarah di Chili pada tahun 1973, keluarga Isabel Allende melarikan diri ke Venezuela. 13 tahun kemudian dia pindah ke Amerika Serikat. Pengalaman pribadinya mengalir dalam novel "The House of Spirits". Karena pernah punya pengalaman serupa, tahun 2015 dia menyerukan agar Eropa menyambut para pengungsi.
Foto: Koen van Weel/AFP/Getty Images
Sitting Bull
Kepala suku Sioux , Tatanka Iyotake - lebih dikenal sebagai Sitting Bull - habiskan waktu selama beberapa tahun di pengasingan. 1877 - setahun setelah pertempuran Little Bighorn - ia melarikan diri bersama dengan 2.000 pengikutmya ke Kanada. Tahun 1881 ia kembali ke Amerika dan menyerahkan diri kepada pihak berwenang. Dia ditangkap dan tinggal di reservat Indian. Ia kemudian tewas terbunuh.
Foto: Imago/StockTrek Images
Neven Subotic
Seperti rekannya Vedad Ibisevic (Hertha Berlin), saat masih kecil, Subotic melarikan diri dari kampung halamannya, di Bosnia-Herzegovina. Pada tahun 2012 ia mendirikan sebuah yayasan yang menyediakan akses air minum bagi ana-anak di negara berkembang. Subotic pernah bermain untuk Borussia Dortmund dan pindah ke FC Köln. Ed: Dagmar Breitenbach, Martin Muno (ap/as)