1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membaca Manuver Muchdi PR: dari Militansi ke Pragmatisme

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
6 April 2019

Apakah Anda memperhatikan manuver perwira yang “menonjol” akhir-akhir ini di kancah politik? Simak analisis terkini Aris Santoso.

Foto: DW/Ayu Purwaningsih

Pada Pilpres (pemilihan presiden)  tahun ini, ada sejumlah nama purnawirawan jenderal yang melibatkan diri sebagai tim sukses bagi masing-masing kandidat. Salah satu purnawirawan yang sempat viral adalah  Mayjen TNI (Purn) Muchdi PR (Akmil 1970).  Pernyataan Muchdi untuk bergabung ke kubu Jojowi menarik untuk dicermati. Manuver politik Muchdi sempat menjadi berita besar sepanjang Februari lalu.

Sebagai mantan intel, dan kemudian terjun dalam politik praktis, pergerakan Muchdi ibarat mercusuar, sebagai sinyal kemana "arah angin” akan bergerak. Manuver Muchdi tidak muncul di ruang hampa, dia sudah berhitung siapa yang lebih berpeluang untuk meraih kemenangan.

Soal masa lalunya, yang  dianggap  sangat dekat secara  personal dengan Prabowo, seolah "hangus” begitu saja. Peta jalan Muchdi dalam berpolitik, merupakan representasi purnawirawan pada umumnya, yang tak kunjung lelah dalam ikhtiar menggapai kekuasaan.

Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Pengalaman pahit

Bagi purnawirawan seperti Muchdi atau koleganya yang lain, tentu sudah belajar dari pengalaman sebelumnya, bagaimana beratnya mencapai kekuasaan, setelah tidak lagi memakai seragam jenderal. Mengikuti pilpres atau pilkada hanyalah salah satu cara untuk memenuhi aspirasi kekuasaan, meski hasilnya tidak selalu sesuai harapan.

Berdasar catatan selama ini, purnawirawan lebih sering menuai kekalahan dalam pilkada. Bahkan purnawirawan sekelas Agum Gumelar (Akmil 1968) saja, bisa mengalami kekalahan, baik dalam pilpres (2004) maupun pilkada (Jabar, 2008). Kasus terbaru adalah pengalaman Mayor (Purn) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY, Akmil 2000), yang kalah dalam Pilkada Gubernur Jakarta (2017). Kegagalan AHY tersasa lebih pahit, karena dia berani korbankan prospek kariernya yang cerah di TNI.

Berdasar pengalaman (pahit) seperti itulah, sebagian besar purnawirawan lebih aman bila memilih sebagai tim sukses, ketimbang bertarung sendiri dalam pilkada atau pilpres. Menjadi tim sukses relatif lebih mudah, berdasarkan alasan, resiko yang ditanggung tidak terlalu besar, seandainya proyek politiknya ternyata kandas. 

Maju dalam langsung dalam kontestasi, diperlukan sumber daya yang lebih besar, terutama dana. Mengingat aktivitas politik di Indonesia membutuhkan biaya yang teramat besar. Hanya purnawirawan sekelas Prabowo, yang berlatar belakang keluarga kaya-raya (keluarga besar Sumitro Djojohadikusumo), yang sanggup maju secara rutin sejak Pilpres 2004. Sementara purnawirawan jenderal lain,  dengan sumber daya lebih terbatas, akan lebih memilih sebagai tim sukses.

Pertanyaan berikut yang bisa diajukan adalah, mana yang lebih bermakna bagi seorang purnawirawan, maju sebagai petarung (seperti PS), atau sekadar menjadi relawan? Kalau dihubungkan dengan latar belakang para purnawirawan tersebut, yang rata-rata berasal dari kecabangan infanteri, sebenarnya memang lebih teruji ketika mereka maju langsung, sesuai kebiasaan pasukan infanteri yang selalu berada di garis depan dalam medan tempur.

Namun semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Bisa jadi pola pikir memang sudah berubah setelah pensiun. Pada titik ini pilihan Prabowo menjadi penting, dia tetap maju ke palagan, meski tidak ada jaminan bakal menuju kejayaan.

Menjaga militansi

Dalam sebuah arus besar,  selalu ada pengecualian kecil, termasuk dalam hal loyalitas purnawirawan. Dalam kubu Prabowo Subianto (PS) misalnya,  terdapat nama yang memang sejak awal sudah mendukung Prabowo, termasuk ketika PS  gagal berkali-kali. Setidaknya ada dua purnawirawan yang kesetiaannya pada PS tidak diragukan,  yaitu Mayjen Purn Gleny Kairupan (Akmil 1973) dan Letjen Purn Y Suryo Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1976).

Gleny adalah teman dekat Prabowo saat taruna di Akmil, dan sudah bergabung dengan Gerindra sejak awal berdiri. Sementara Suryo Prabowo adalah kolega PS di Kopassus dan Kostrad, dan selalu bersama saat bertugas di Timor Timur. Pada kubu Prabowo, jumlah purnawirawan yang tergabung dalam tim sukses memang lebih sedikit, tapi yang jelas mereka lebih militan dan solis.

Hal ini berdasar pertimbangan, sebagaimana disinggung sekilas di atas, bahwa dalam hitungan di atas kertas, kemenangan bagi Prabowo, bisa disebut tipis. Ini pula yang menjadi alasan Muchdi PR untuk loncat ke kubu Jokowi.

Namun dalam kondisi sesulit apa pun, tetap ada teman setia yang terus mendampingi Prabowo, salah satu yang bisa disebut adalah Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen. Dengan segala kontroversi yang melekat pada dirinya, Kivlan tetap menunjukkan loyalitasnya pada Prabowo. Serangan Kivlan terhadap Wiranto baru-baru ini, adalah bagian dari wujud perang yang belum usai antara Wiranto dan Prabowo.

Lulusan  Akmil yang acapkali  digunakan sebagai rujukan,  soal bagaimana  keterlibatan   purnawirawan dalam   tim   sukses,  adalah purnawirawan  Akmil  1965. Keterlibatan mereka sudah  dimulai   pada Pilpres  2004,  saat  pemilihan langsung pertama  kali diadakan. Purnawirawan (asal) Akmil 1965 tersebar di berbagai kubu, dan biasanya memegang posisi kunci.

Dalam kubu Megawati misalnya, terdapat nama Mayjen   (Purn)  Theo Sjafei, figur kepercayaan Megawati sejak lama. Theo adalah  jenderal yang masuk  dalam  lingkaran  Benny  Moerdani, yang memang sudah memiliki agenda untuk   mengorbitkan Megawati  sejak Orde Baru, dan terbukti sukses melalui rekayasa Peristiwa 27 Juli (1996).             

Kemudian ada lagi Letjen (Purn) M. Maruf dan Mayjen   (Purn)  Syamsir Siregar   yang bergabung dalam  di tim sukses SBY-Jusuf Kalla. Ketika SBY keluar sebagai pemenang Pilpres 2004, M. Maruf  sempat masuk dalam kabinet sebagai Mendagri, dan   Syamsir  Siregar  sebagai  Kepala BIN, sebagai bagian dari politik "balas budi”.  

Kompensasi  yang  konkret  seperti  ini,  tentu menjadi daya tarik tersendiri, dan  menjadikan tren  purnawirawan sebagai tim  sukses tidak akan  pernah  berakhir. Seperti ditunjukkan Letjen (Purn)  Yunus Yosfiah, salah satu eksponen Akmil 1965, yang masih aktif dalam tim sukses kubu Prabowo.

Menjadi pragmatis

Dalam timses capres (khususnya Jokowi – Maruf Amin), terdapat dua generasi purnawirawan yang perannya terlihat menonjol (dibanding generasi lainnya), yaitu  Akmil 1970 dan Akmil 1981.   Akmil 1970 sudah mengambil peran sejak Pilpres  2014, karena pada saat itu, eksponen Akmil 1970 sudah dalam status purnawirawan.

Lulusan Akmil  1970  yang menjadi motor pada Pilpres 2014, adalah Luhut Panjaitan (lulusan terbaik) dan Fachrul Razi, dengan membentuk komunitas Bravo 5. Bisa dimengerti bila Muchdi PR kemudian "hijrah” ke kubu Jokowi, sebab bila tidak, dia akan "kesepian”, mengingat koleganya sesama Akmil 1970, sebagian besar sudah bergabung di kubu Jokowi.

Dari pengamatan lapangan, tampak telah terjadi transisi dalam generasi tim sukses. Peran kelompok Bravo 5 tidak lagi sebesar pada Pilpres 2014, mengingat faktor usia. Mereka sudah digantikan oleh generasi yang lebih baru, dengan nama sandi Cakra 19. Motor Cakra 19 adalah generasi Akmil 1980-an, seperti Lodewijk Paulus (Akmil 1981, Sekjen Partai Golkar), Andogo Wiradi (Akmil 1981, mantan Deputi V KSP), Eko Wiratmoko (Akmil 1982, Sekjen Cakra 19), dan seterusnya.

Saat masih bertugas di Kopassus dulu, Lodewijk dan Andogo dikenal sangat dekat dengan Prabowo. Namun begitulah, tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Pragmatisme seperti itu sudah didahului senior mereka, seperti Muchdi PR atau Suaidi Marassbesy (Akmil 1971). Karir politik Suaidi boleh dikata lengkap, sebagai pendukung Wiranto (Pilpres 2004), SBY (Pilpres 2009), dan kini tiba-tiba namanya tertera dalam deretan pendukung Jokowi.

Di tengah lautan nama-nama purnawirawan, yang mungkin masih terdengar asing bagi generasi milenial, terselip nama Brigjen (Purn) Herwin Suparjo (Akmil 1984, infanteri), yang saat ini dalam posisi sebagai Wakil Direktur Kampanye TKN Pasangan 01. Perwira ini sedikit "misterius”. Saat aktif dulu nyaris tidak pernah terdengar beritanya, karena senantiasa bertugas di bidang intelijen.

Herwin adalah fenomena menarik. Bahwa organisasi tentara ternyata memiliki figur-figur spesialis yang bergerak "di bawah tanah”. Ini mengingatkan pada gerakan mahasiswa dekade 1980-an dan 1990-an, yang selalu bergerak secara klandestin, dalam melawan rezim Orde baru. Rupanya metode "bawah tanah” selalu ada dalam setiap zaman.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.