Tindakan semacam pembubaran perpustakaan keliling di Bandung oleh tentara beberapa waktu lalu punya sumbangan terhadap rendahnya kegandrungan membaca buku di Indonesia. Geger Riyanto percaya itu. Bagaimana dengan Anda?
Iklan
Sebelumnya, Anda mungkin sudah mendengar laporan ihwal rendahnya kebiasaan membaca buku di Indonesia. Bunyi laporannya kira-kira, rata-rata orang Indonesia hanya membaca seperlima buku setahun. Artinya, gabungkan lima orang Indonesia, Anda baru akan mendapati satu insan yang membaca satu buku setahun.
Dengan mata tertutup sekalipun, orang yang pernah bergelut di bidang buku bisa membenarkan temuan ini. Banyak penerbit yang untuk mencetak buku 3.000 eksemplar saja harus memutar kepala. Kendati terjual kurang dari separuhnya saja penerbit dapat menutup modal produksinya, pada kenyataannya banyak judul buku yang tak akan terjual lebih dari 1.000 eksemplar.
Lalu? Buku-buku akan tertumpuk di gudang. Penerbit harus menerima — tak mungkin dengan senang hati tentu — buku-bukunya kian hari kian menggunung. Di sana, buku-bukunya yang menunggu untuk terjual entah suatu hari kapan terancam ditumbuhi jamur, disantap rayap, disapu hujan atau banjir.
Mengapa minat baca begitu rendah?
Pusparagam hal, memang, punya andil terhadap rendahnya kegemaran membaca masyarakat Indonesia ini. Beberapa di antaranya, sebut saja, meliputi sulitnya menyalurkan buku ke daerah-daerah lantaran secara harfiah terhalau gunung dan laut, masih minimnya fasilitas perpustakaan dan taman bacaan, terbatasnya jaringan gerai yang bisa diandalkan untuk mendistribusikan buku.
Akan tetapi, dari waktu ke waktu pun negara dan aparat acap membantu memantapkan lingkaran muskil ini dengan cara-cara khasnya. Contoh gamblangnya, tentu saja, pelarangan buku di era Orde Baru. Stanley dari Institut Studi Arus Informasi pernah menyatakan, ada lebih dari 2.000 judul buku diberedel pada masa itu. Dan keliru apabila ada yang beranggapan hanya buku-buku berhaluan komunis yang dilucuti.
Anggapan yang berkembang pada saat itu adalah buku apa saja dapat dilarang. Sepanjang instansi yang mengantungi kewenangan melarang buku, Kejaksaan Agung, menganggap satu terbitan rawan mengganggu ketertiban umum, terbitan bersangkutan dapat mengalami nasib naas yang jelas tak diinginkan penerbitnya. Buku akademik, pendidikan, roman sejarah, novel yang tak menyerempet isu komunisme dan Marxisme pernah menjadi sasaran.
Apa saja misal? Buku Militer dan Politik karya Harold Crouch dan Kapitalisme Semu karya Yosihara Kunio untuk karya akademik, misal. Karya-karya sastra Pramoedya yang untuk menunjuk di mana letak Marxismenya interogatornya harus bertanya kepada penerbitnya. Kemudian, buku pendidikan seks oleh seorang tokoh pendidik, novel Nick Carter, serta buku kumpulan foto Ratna Sari Dewi, istri Sukarno.
Sekadar dari judul dan tema buku di atas saja, kita tahu, pemberedelan tak didasarkan pada apa pun selain ketakutan lembaga-lembaga negara. Pada tahun 1980-an, bahkan, kian membenarkan ini, buku-buku agama Islam banyak dibidik menjadi target pelarangan. Berbagai kelompok Islam saat itu tengah bereaksi keras terhadap penerapan asas tunggal Pancasila, dan negara tak mau ambil risiko. Terbitan yang dianggap memprovokasi pun tak dibiarkan bebas bertengger di toko buku.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Ketakutan terhadap buku
Persoalannya, kita masih bisa bersyukur apabila dampak pelarangan demi pelarangan ini berhenti pada membatasi tema buku yang bisa diterbitkan di Indonesia pada saat itu. Dampak utuhnya sejatinya jauh lebih kalut dari ini. Ia menorehkan ketakutan merugikan yang masih menggerayangi kita hingga hari ini. Ketakutan terhadap buku.
Ambil saja sebuah pernyataan dari Wardiman Djojonegoro, dicetuskan pada tahun 1995 dan dikutip oleh harian Kompas. "Buku-buku yang membahayakan masyarakat atau yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat," ujarnya, "lebih baik dihentikan."
Anda ingat siapa Bapak Wardiman? Pada masa itu, ia adalah menteri. Menteri yang bahkan seharusnya tercerahkan, paling jauh dari ketakutan semacam itu, atau setidaknya mawas dengan tindak-tanduknya sendiri yang bisa merongrong orang dari kegiatan membaca — menteri pendidikan dan kebudayaan.
Dan ketakutan yang digaungkan aparat dan pejabat publik tak mungkin menguap ke udara begitu saja. Ia setidaknya akan dilihat, didengar keluarga-keluarga. Banyak dari antara kita, toh, tak memperoleh kegemaran membaca dari keluarga—bahkan ketika keluarga kita lebih dari mampu untuk membeli buku bukan? Saya, pasalnya, termasuk dalam golongan ini dan saya tak pernah merasa sendirian.
Seorang kawan bahkan sewaktu mahasiswa pernah dinasihati ibunya agar tidak membaca terlalu banyak. Alasannya, kawan saya acap terlihat membawa buku-buku tak biasa yang sebenarnya adalah buku pemikiran arsitektur. Artinya? Artinya, penautan buku dengan radikalisme, bahaya, subversi punya pengaruh lebih dalam daripada yang kita sadari. Membaca nampaknya berhasil dilanggengkan menjadi lelaku yang mengkhawatirkan.
Toh, hal tersebut juga yang sepertinya dialami seorang kolumnis sebelum menulis artikel "Ini Kan Buku Komunis?" Judul artikel ini adalah ujaran spontan ayah sang penulis kala menemukan anaknya membaca kumpulan cerpen Pramoedya. Dan, saya tak tahu sudah berapa sering pikiran serupa tercetus di batin para orang tua yang menemukan anaknya membaca.
Sejauh apa reformasi telah mengubah kekeruhan ini? Mungkin, kalau tak tega mengatakan tak ada, tak banyak. Pemberedelan demi pemberedelan masih terus berjalan. Hanya saja kini modusnya kian beragam. Dan, yang jadi masalah, tak ada satu anasir negara pun yang pernah mengaku salah lantaran memberedel buku.
Maka, wajar saja, imajinasi yang telah dirampungkan selama 32 tahun ihwal kelekatan buku dan bahaya masih terus lestari hingga hari ini. Dan bila Anda masih ingat apologi pembubaran perpustakaan keliling tempo hari, ia sungguh tak lain mencerminkan imajinasi kelam tersebut. Buku-buku yang dibawa perpustakaan tersebut, kata Kepala Penerangan Kodam III Siliwangi, dapat dipertanyakan kredibilitasnya.
Bagaimana Anak Kecil Belajar Baca
Di Jerman biasanya anak-anak baru mulai belajar membaca di sekolah dasar. Bagaimana dengan negara lain? Bagaimana anak-anak belajar membaca dan menulis?
Foto: picture-alliance/Joker
Cina: Lebih Cepat Lebih Baik
Sejak dini latihan. Sejak usia tiga tahun anak-anak di Cina belajar menulis huruf-huruf pertama. Ketika berusia enam tahun, mereka mulai menulis kalimat. Hingga kelas lima mereka harus sudah menguasai 10.000 huruf. Itu butuh kerajinan, karena huruf tidak mengikuti urutan tertentu, jadi harus dihafal.
Foto: picture-alliance/dpa
Jepang: Belajar Menulis Hingga Akhir Sekolah
Bagi murid-murid Jepang belajar menulis tidak berhenti di kelas satu. Hingga kelas sembilan dalam kurikulum tertera berapa huruf yang harus dipelajari setiap tahun. Untuk bisa menulis kata-kata dasar, murid-murid harus menguasai cara penulisan 2.100 huruf. Harus berlatih secara teratur, jika tidak satu huruf bisa cepat terlupakan.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesir: Sebuah Bahasa "Baru"
Anak-anak yang baru belajar menulis tidak bisa menulis seperti ini, karena mereka ibaratnya belajar bahasa baru. Dialek yang digunakan sehari-hari sangat berbeda dari bahasa Arab tinggi, yang digunakan untuk menulis. Akibatnya kualitas pelajaran rendah. Banyak anak tidak benar-benar belajar membaca dan menulis.
Foto: Fotolia/Ivan Montero
Marokko: Bukan Hanya Bahasa Arab
Belum lama berselang, anak-anak Marokko hanya belajar bahasa Arab di sekolah. Sejak 2004 sudah berubah. Di kelas satu, bahasa Berber, Tamazight juga diajarkan. Dengan demikian jumlah warga yang buta huruf di daerah pedesaan, di mana bahasa Berber digunakan, bisa berkurang. Sejak 2011 Tamazight jadi bahasa resmi, yang juga tertanam dalam konstitusi.
Foto: picture alliance/Ronald Wittek
Paraguay: Bahasa Penduduk Asli
Di Amerika Latin, bahasa penduduk asli digalakkan penggunaannya. Di Paraguay anak-anak belajar baik bahasa Spanyol maupun Guaraní. Tapi titik beratnya tetap hanya pada satu bahasa. Dulu menulis indah adalah mata pelajaran tersendiri, sekarang anak-anak hanya perlu bisa menulis dengan huruf cetak.
Foto: Getty Images
Polandia: Mulai dari Nol
Di Polandia, sekolah tidak mulai dengan kelas satu, melainkan kelas nol. Pendidikan sebelum sekolah ini wajib bagi anak-anak. Di tahap itu mereka belajar huruf-huruf pertama lewat permainan. Tetapi belajar serius baru mulai setahun setelahnya. Mereka terutama harus belajar kata-kata yang menggunakan huruf "ó" dan "u", juga "ch" dan "h". Huruf-huruf itu dilafalkan sama, tetapi tulisannya berbeda.
Foto: picture-alliance/PAP
Kanada: Penulisan Tidak Masalah
Bukan bahasa Inggris, melainkan bahasa Eskimo yang menjadi bahasa utama murid kelas satu di Kanada. Di bagian utara, Nunavut bahasa Eskimo adalah bahasa resmi. Menulis dengan benar bukan tantangan besar. Agar keanekaragaman dialek tetap bisa dipertahankan, tidak ada cara penulisan yang seragam. Orang menulis seperti orang melafalkan.
Foto: picture-alliance/Ton Koene
Yunani: Keanekaragaman Vokal
"i" yang mana? Itu sering ditanyakan murid kelas satu di Yunani. Dalam aksara Yunani, ada enam huruf untuk vokal ini. Juga pada "e" dan "o" mereka harus memutuskan di antara dua variasi. Peraturan resmi untuk itu tidak ada, itu hanya bisa dihafal. Jadi dikte kerap ada dalam kurikulum.
Foto: picture-alliance/dpa
Serbia: Satu Bahasa, Dua Tulisan
Bahasa Serbia menggunakan aksara Kiril dan Latin. Jadi anak-anak harus sekaligus berlatih melakukan keduanya. Di kelas satu pertama-tama hanya dipelajari aksara Kiril, di kelas dua aksara Latin. Beberapa tahun setelah itu, murid boleh menentukan sendiri, aksara mana yang akan mereka gunakan.
Foto: DW/D. Gruhonjic
Iran: Bahasa Persia dengan Tulisan Arab
Di Iran yang terdiri dari banyak kelompok etnis, digunakan banyak bahasa. Di sekolah anak-anak belajar bahasa Persia. Meski bahasa ibunya pun Persia, menulispun sulit, karena ditulis dengan tulisan Arab. Pertama-tama mereka berlatih membuat garis-garis, lengkungan dan tanda seperti gerigi, yang menyerupai huruf. Setelah sebulan baru huruf yang benar bisa ditulis.
Foto: FARS
Jerman: Menulis Berdasarkan Pendengaran
20 tahun lalu, metode ini mulai digunakan di sekolah-sekolah Jerman, dan sampai sekarang masih kontroversial. Satu-satunya bantuan adalah sebuah tabel, di mana huruf-huruf dicantumkan di sebelah gambar, misalnya "F" tercantum di sebelah "Fenster" (jendela), "U" untuk "Uhr" (jam). Huruf lainnya ditulis dengan tulisan fonetik, jadi berdasarkan bunyi.
Foto: Fotolia/Woodapple
11 foto1 | 11
Jadilah bangsa yang gemar membaca
Memang, keliru juga mengatakan buku melulu industri yang merugi karena satu hal ini. Sekali satu judul laris keras, toh, ia dapat terjual puluhan atau bahkan ratusan ribu eksemplar. Namun, kita pun mendapati buku yang laris adalah buku yang jauh dari citra "menakutkan". Buku manajemen, motivasi, guyon remaja, atau belakangan, karya komedian berdikari sebut saja.
Dan buku-buku tersebut pun dibaca bukan karena orang-orang gemar melakukan aktivitas yang mengkhawatirkan itu sendiri—membaca. Buku-buku ini dibaca, Anda tahu, karena orang-orang haus dengan tips, iming-iming kesuksesan, atau menjumpai tulisan selebritas idolanya.
Tetapi, pada akhirnya, apa masalahnya? Mungkin, itu toh yang memang perlu diperbanyak untuk menggeliatkan industri buku Indonesia. Buku-buku yang aman dan tidak membahayakan pembacanya. Buku-buku yang kredibel, kata aparat kita. Buku-buku yang tak berhantu.
Mungkin dengan demikian — dengan meninggalkan buku-buku yang berhantu — suatu hari kita dapat menjadi bangsa yang gemar membaca.
Penulis: Geger Riyanto
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.