Bangsa kita masih gagap membaca sejarah. Juga sering luput menghargai tokoh yang membuat sejarah bagi negara kita. Padahal belajar dari sejarah bisa membentuk manusia jadi lebih beradab.
Iklan
“Jadi Suharto sekarang disebut sebagai apa?” tanya saya pada seorang siswa SMA. Dengan cepat ia menjawab “Presiden kedua!” saya tertegun, serasa ingin menjelaskan betapa si Presiden kedua ini adalah Bapak Pembangunan di kala saya masih SMA dulu. Sosok yang menentukan kemajuan bangsa, seseorang yang telah sungguh berjasa pada negara Republik Indonesia karena telah menciptakan kemakmuran……sehingga katanya Indonesia mampu menjadi negeri terkemuka di mata dunia.
Bertahun kemudian saat baru lulus SMA, rezim tangguh bernama Orde Baru itu runtuh. Lalu dimulailah sebuah babak baru, tak hanya dalam hal ekonomi yang jaipongan tak karuan, tapi juga pada cara pencatatan sejarah. Suharto bukan lagi seorang Bapak Pembangunan, ia adalah seorang tirani yang telah bersalah menghancurkan segala fondasi ekonomi kita. Ia adalah sang pendosa yang telah berbuat jahat pada negeri dengan cara menciptakan mekanisme korupsi berjamaah yang membuat tak satupun pelakunya bisa ditangkap.
Waktu terus berlalu sampai akhirnya saat percakapan saya dengan remaja tadi terjadi pada tahun 2014. Gelar Bapak Pembangunan memang bukan lagi hal yang beliau sandang, tapi kini beliau hanyalah Presiden Kedua republik dengan bentuk fisik dan penduduk besar ini. Statusnya praktis sama dengan Sukarno yang presiden pertama, lalu BJ Habibie, Megawati, Abdurrahman Wahid atau Susilo Bambang Yudhoyo yang merupakan para penerusnya.
“Sejarah dituliskan oleh para pemenang!” adalah sebuah kredo yang berlaku dimanapun. Betapa jahatnya Nazi Jerman dan bersalahnya Adolf Hitler digambarkan sedemikian rupa, sampai saya kadang berpikir “Apa yang ada di kepala masyarakat Jerman saat negerinya menginvasi banyak negeri lain?” Sejarah memang selalu berpihak, ia bahkan bisa diciptakan semaunya. Tak usah heran jika saat ini bahkan siapa Bung Tomo beserta keberadaannya saat perang 10 November—tak peduli pidatonya yang katanya keren itu—menjadi perdebatan tanpa henti.
Pada peristiwa itu, bahkan seketat apa pertempuran yang terjadi saya rasa juga layak didiskusikan lebih jauh. Mengingat seberapa besar kekuatan senjata kita dan bahwa bule-bule Sekutu itu baru saja memenangkan pertempuran kelas berat di Eropa. Kita boleh berkata bahwa bambu runcing adalah kunci kemenangan, tapi bahkan pada film Kungfu Master 2 saja, senjata api jauh berada kesaktian para pendekar kerabat Huang Fei Hung.
Belajar dari sejarah
“Loe musti ke Washington DC kalau emang lo suka ke museum!” jelas Boyke Putra, kawan baik saya sejak masa kanak-kanak dan remaja. Lalu pergilah saya ke ibukota Amerika Serikat itu. Disana, saya melihat “kebesaran” bangsa Amerika dibentuk sedemikian rupa. Bagaimana Civil War pada abad 19 membangkitkan mereka demi persatuan dan kesatuan yang lebih solid. Bagaimana negeri ini dibentuk dan dibangun oleh para pendatang yang membanjiri pelosok ‘Tanah Harapan' untuk kemudian melabelkan diri sebagai ‘Bangsa Amerika.
Mereka mencatat segala kejadian itu dengan nyaris sempurna. Saya terkesima pada kemampuan serta kekonsistenan mereka mereka sejarah mereka sendiri. Catatan tertulis, visual bahkan benda yang dianggap bersejarah seperti kemeja yang dikenakan oleh Thomas Alva Edison dipamerkan secara baik.
Saya gagal menghabiskan hanya satu Museum Sejarah Amerika saja pada hari itu, padahal saya sudah berada di tempat tersebut sejak pukul 11: 45 dan hanya melakukan jeda ngemil dan ngopi dikit di kafenya. Catatan mereka yang sangat rinci pada segala hal bahkan sampai ke budaya maritim mereka membuat saya mempertanyakan kembali “Apa iya nenek moyang bangsa Indonesia seorang pelaut?” karena yang saya tahu hanya bangsa Bugis dan Makassar saja yang dari dulu gemar melaut.
Pada hanya satu Museum itu saya terkesima tentang bagaimana mereka merayakan peradaban yang kini bisa mereka raih. Mereka mungkin merasa pemenang pada Perang Dunia II. Atau setidaknya merasa sebagai penentu arah kemenangan di saat itu, hingga kini mampu menuliskan sendiri sejarahnya. Namun yang pasti, mereka mampu memberi rekaman sempurna tentang seperti apa mereka pada suatu masa dan bagaimana hal-hal tersebut mampu membawa mereka hingga bisa seperti sekarang.
Saya jadi merasa kecil bahkan kerdil, lalu bertanya…..seperti apa peradaban bangsa saya sebenarnya?
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.