Membangkitkan “Civil Islam”, Menolak “Uncivil Islam”
18 Oktober 2019
Dalam tulisan kali ini Sumanto al Qurtuby ingin membahas tentang konsep dan gagasan “civil Islam” dan “uncivil Islam” dengan harapan bisa disikapi dengan bijak oleh umat Islam di Indonesia khususnya.
Iklan
Kata "Islam” di sini hanya sebagai contoh saja karena sebetulnya fenomena ini ada di berbagai agama: Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan seterusnya.
Yang dimaksud dengan "civil Islam” di sini adalah sebuah istilah yang mengacu pada pengertian jenis atau varian keislaman yang memiliki karakteristik toleran, pluralis, sekuler, liberal, demokratis, inklusif, humanis, pro-perubahan sosial, berprinsip pada kesetaraan gender, serta menjunjung tinggi nilai-nilai "keadaban” (civility).
Istilah "civil Islam” ini dipopulerkan oleh guru saya di Boston University, Robert W. Hefner (atau biasa disapa Bob Hefner), melalui karyanya Civil Islam: Muslims and Democratizations in Indonesia. Buku ini berisi tentang gerakan pembaruan Islam dan kebangkitan intelektual yang disponsori oleh kelas menengah kota dan kaum "Muslim demokrat” sejak 1980-an di Indonesia yang dengan gemilang berhasil menumbangkan kekuatan rezim otoriter Orde Baru dan memaksa Presiden Suharto turun dari kursi kepresidenan pada Mei, 1998, setelah sekitar 32 tahun berkuasa (lihat juga studi R. William Liddle).
Melalui buku "Civil Islam” ini, Bob Hefner yang juga Direktur Institute on Culture, Religion and World Affairs menggantikan Peter L. Berger ini ingin mengatakan bahwa proses demokratisasi dan ide-ide tentang demokrasi, civil society, civic pluralism,civil liberties, dlsb yang selama ini menjadi "maskot Barat” juga bisa ditemukan di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Ia menjadikan Indonesia sebagai "proyek percontohan” studi kebudayaan dan kepolitikan dunia Islam yang "pro-demokrasi dan kebebasan sipil” ini. Bagi Bob Hefner, kasus Indonesia ini menarik karena, pertama, posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang memiliki watak, karakteristik, dan pengalaman politik-keagamaan yang "unik” dan relatif berbeda dengan kawasan Islam lain. Kedua, peristiwa bersejarah "Reformasi 1998”—yang disebut-sebut sebagai "revolusi terbesar kedua” dalam sejarah Islam modern setelah Revolusi Islam Iran 1979—itu diarsiteki dan digerakkan oleh kelompok "Muslim liberal-demokrat” yang menghendaki adanya perubahan mendasar dalam sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan di Indonesia.
Saat itu, sekitar awal 2000an, gagasan Bob Hefner tentang "civil Islam” ini berhasil menyengat banyak orang terutama lingkaran kampus dan publik intelektual yang memang tidak familiar dengan gagasan Islam yang "civil” (baca, "Islam yang berkeadaban”).
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Berbeda dengan para "pemikir esensialis” seperti Bernard Lewis, Ernest Gellner, John Hall, atau Serif Mardin yang tidak percaya akan munculnya proses demokratisasi di dunia Islam, Bob Hefner berargumen bahwa dunia Islam telah mengalami kemajuan signifikan dan perubahan sosial yang sangat penting berkaitan dengan ide-ide demokrasi, pluralisme, citizenship, feminisme, dlsb, atau singkatnya, "civil Islam”.
Oleh karena itu, bagi Bob Hefner, menggunakan ide-ide klasik Weberian yang sangat "pesimistik” terhadap Islam dan dunia politik Muslim untuk mengkaji perkembangan wacana keagamaan, kepolitikan, kebudayaan Islam kontemporer akan tidak akurat dan misleading.
Toleransi Beragama di Jerman
Toleransi beragama semakin digalakkan di Jerman. Itu diwujudkan antara lain dengan perayaan religi bersama, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, juga aktivitas kebudayaan lain.
Foto: picture-alliance/ZB
Merasa Anggota Masyarakat
Seorang perempuan muslim di Jerman mengenakan sebagai hijab sehelai bendera Jerman, yang berwarna hitam, merah, emas untuk menunjukkan keanggotaannya dalam masyarakat Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Poetry Slam Antar Agama
Perlombaan ini digelar 17 Agustus 2013 di Berlin. Pesertanya : penulis puisi dari kelompok agama Islam, Yahudi dan Kristen. Mereka membacakan sendiri karyanya. Pelaksananya yayasan Jerman, Friedrich Ebert Stiftung.
Foto: Arne List
Jurusan Teologi Yahudi
Jurusan ini diresmikan 19 November 2013 di Universitas Potsdam. Pada semester pertama, jurusan yang berakhir dengan gelar Bachelor ini memiliki mahasiswa 47 orang dari 11 negara. Jurusan ini juga terbuka bagi orang non-Yahudi, yang berniat mempelajari teologi Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Hari "Open Door" Mesjid 2013
"Tag der offenen Moschee" diadakan setiap tahun di Jerman, pada tanggal penyatuan Jerman, 3 Oktober. Pelaksanaannya dikoordinir berbagai perhimpunan Islam di Jerman. Lebih dari 1.000 mesjid di Jerman menawarkan ceramah, pameran, brosur informasi dan acara pertemuan serta tur di dalam mesjid. Setiap tahun lebih dari 100.000 warga menggunakan kesempatan untuk lebih mengenal Islam itu.
Foto: DW/R. Najmi
Mencari Informasi dan Berkenalan
Pengunjung pada hari "open door" di Mesjid Sehitlik, Berlin. Sebanyak 18 mesjid di Berlin, setiap tanggal 3 Oktober membuka pintunya bagi semua orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Saling Menerima
Suster dari tiga ordo Katolik mengunjungi mesjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim, pada "Hari Katolik" ke-98, tanggal 17 Mei 2012. Bertepatan dengan Hari Katolik tersebut, mesjid Yavuz Sultan Selim mengadakan hari pembukaan pintu.
Foto: picture-alliance/dpa
Pelajaran Agama Islam di Sekolah Jerman
Guru Merdan Günes berdiri bersama murid-murid di sekolah dasar kota Ludwigshafen-Pfingstweide, pada pelajaran agama Islam. Foto dibuat 09.12.2010. Pelajaran agama Islam mulai dilaksanakan di sebuah sekolah di negara bagian Rheinland Pfalz sejak tahun ajaran 2003/2004, dan sejak itu semakin diperluas.
Foto: picture-alliance/dpa
Belajar Toleransi
Guru Bülent Senkaragoz dalam pelajaran agama Islam di sekolah Geistschule di kota Münster. Foto dibuat 25/11/2011. Senkaragoz mengatakan, "Tugas saya bukan mengajarkan kepada murid, bagaimana cara sembahyang yang benar bagi seorang Muslim." Murid-murid di sini belajar tentang pentingnya toleransi. Pelajaran agama Islam dimulai di negara bagian Nordrhein Westfalen sejak 1999.
Foto: picture-alliance/dpa
"Mein Islambuch"
"Mein Islambuch“ (buku pelajaran Islam saya). Ini adalah buku pelajaran agama Islam baru untuk sekolah dasar. Ditulis oleh Serap Erkan, Evelin Lubig-Fohsel, Gül Solgun-Kaps dan Bülent Ucar. Di sebagian besar negara bagian yang dulu termasuk Jerman Barat, pelajaran agama Islam sudah termasuk kurikulum sekolah.
Berjalan Bersama
Buku pelajaran lain berjudul "Miteinander auf dem Weg" (bersama dalam perjalanan). Tokoh utama dalam buku itu hidup di dalam masyarakat, di mana pemeluk agama Kristen, Yahudi dan Islam hidup bersama dengan hak-hak sama. Seperti tampak pada salah satu ilustrasinya.
Foto: Ernst Klett Verlag GmbH, Stuttgart/Liliane Oser
Guru Agama Islam Orang Jerman
Annett Abdel-Rahman adalah guru pelajaran agama Islam di sekolah tiga agama di Osnabrück. Guru perempuan ini mengenakan jilbab, sementara rekannya yang Yahudi memakai kippah. "Bagi saya penting untuk memaparkan persamaan agama-agama Samawi kepada para murid," kata Annett Abdel-Rahman.
Foto: DW
Buka Puasa Bersama
Sebelum buka puasa bersama, para tamu membeli makanan dan manisan khas Turki, di Lapangan Kennedy di kota Essen. Dalam kesempatan ini umat berbagai agam bisa menikmati makanan bersama. Selama bulan puasa, hingga 500 orang, terdiri dari warga muslim dan non muslim datang ke tenda besar di lapangan tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Sama-Sama Warga Kota
Di bawah moto ”Wir sind Duisburg” (kitalah Duisburg), penduduk sekitar rumah tempat tinggal warga Roma di kota Duisburg dan sejumlah ikatan masyarakat serta persatuan warga Roma mengundang imigran untuk bersama-sama menyantap sarapan.
Foto: DW/C. Stefanescu
Pekan Antar Budaya
Seorang perempuan Senegal berdiri di lapangan pusat kota Halle an der Saale, di sebelah gambar gedung pemerintahan Rusia, Kremlin. Dalam "Interkulturellen Woche Sachsen-Anhalt" diadakan berbagai pesta, pameran, ceramah di negara bagian itu. Tujuannya mengembangkan toleransi bagi warga asing dan pengungsi. Pekan budaya ini adalah inisiatif gereja Jerman, dan diadakan akhir September setiap tahun.
Foto: picture-alliance/ZB
14 foto1 | 14
Apa itu Uncivil Islam?
Gagasan Bob Hefner tentang "civil Islam” ini sangat akurat karena memang di berbagai negara Muslim termasuk Indonesia, telah tumbuh dan berkembang kelompok aktivis-intelektual yang menjadi "vanguard” atau penjaga moral-spiritual gerakan sosial-kepolitikan yang egaliter dan demokratis serta gerakan keagamaan yang toleran-pluralis dan humanis-liberal.
Akan tetapi di pihak lain, penting juga untuk dikaji dan diamati tentang fenomena keagamaan dan gerakan keislaman yang saya sebut dengan "uncivil Islam” sebagai semacam "antitesis” atas "civil Islam”-nya Bob Hefner tadi.
Penyesalan Para WNI Simpatisan ISIS
Mereka terbuai kemakmuran yang dijanjikan Islamic State dan memutuskan pergi ke Suriah. Janji surga tak sesuai kenyataan, mereka pun menyesal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Tergiur janji manis
Banyak keluarga tergiur dengan janji kekalifatan Islamic State alias ISIS di Suriah dan Irak yang ditawarkan lewat internet. Harapan mendapat pendidikan dan layanan kesehatan gratis, upah tinggi dan jalani keislaman kekhalifahan mendorong gadis Indonesia memboyong keluarganya ke Suriah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Sampai menjual properti
Keluarga Nurshardrina Khairadhania, bahkan sampai menjual rumah, kendaraan dan perhiasan untuk membiayai perjalanan mereka ke Raqqa, Suriah. Sesampainya di sana, kenyataan tak sesuai harapan. Tiap perempuan muda dipaksa menikahi gerilayawan ISIS. Semntara yang pria wajib memanggul senjata dan berperang. Nur dan bibinya masuk dalam daftar calon pengantin yang disiapkan buat para gerilyawan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Beberapa bulan penuh derita
Beberapa bulan setelah menderita di Raqqa, Nur dan keluarganya melarikan diri dengan membayar penyelundup buat keluar dari wilayah ISIS. Neneknya meninggal dunia, pamannya tewas dalam sebuah serangan udara dan beberapa anggota keluarga lainnya dideportasi sejak baru tiba di Turki. Bersama ibu, adik dan sanak saudara yang lainnya Nur berhasil masuk kamp pengungsi Ain Issa, milik militer Kurdi.
Foto: Getty Images/AFP/D. Souleiman
Jalani interogasi
Para WNI pria yang lari dari ISIS pertama-tama diamankan militer Kurdi dan diinterogasi. Setelah perundingan panjang, kini mereka dipulangkan ke Indonesia dan jalani program deradikalisasi yang disiapkan pemerintah. Menyesal! Tinggal kata tersebut yang bisa dilontarkan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Surga atau neraka?
Banyak relawan dari Indonesia yang ingin menjadi jihadis atau pengantin jihadis, untuk mengejar 'surga' yang dijanjikan Islamic State di Suriah atau Irak. Namun menurut mereka yang ditemui adalah 'neraka'
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Nur: IS tidak sesuai kaidah Islam
Dalam wawancara dengan Associated Press, Nur menceritakan perilaku jihadis ISIS tidak sesuai kaidah Islam yang ia pahami. "ISIS melakukan represi, tak ada keadilan dan tak ada perdamaian. Warga sipil harus membayar semua hal, listrik, layanan keseahatan dan lainnya. Sementara jihadis ISIS mendapatkannya secara gratis."
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Proses pemulangan
Banyak kalangan yang tergolong naif atau garis keras atau gabungan keduanya bergabung dengan ISIS, pada akhirnya menyerahkan diri atau ditangkap aparat keamanan. Pejabat Kurdi di Raqqa menyebutkan proses itu interogasi diperkirakan berlangsung hingga enam bulan, sebelum diambil keputusan bagi yang bersangkutan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Malla
Termasuk dari Jerman
Banyak warga negera-negara lain yang juga terbuai janji ISIS. Termasuk dari Jerman. Majalah mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan bulan Juli 2017, sejumlah perempuan Jerman yang bergabung dengan ISIS dalam beberapa tahun terakhir, termasuk gadis berusia 16 tahun dari kota kecil Pulsnitz dekat Dresden, menyesal bergabung dengan ISIS. Ed (ap/as/berbagai sumber)
Foto: Youtube
8 foto1 | 8
Yang saya maksud dengan "uncivil Islam” adalah jenis atau varian keislaman yang ekstrem, intoleran, konservatif, radikal, militan, puritan, misoginis, anti demokrasi, kontra-kemajemukan atau pluralitas, eksklusif, inward looking, anti-perubahan (individual maupun sosial), serta menggunakan cara-cara kekerasan, terorisme, premanisme, vandalisme, dan perbuatan "uncivil” lain dalam mengekspresikan gagasan, pandangan, wawasan, dan keyakinan keagamaannya. Singkatnya, "uncivil Islam” adalah "Islam yang tidak berkeadaban”.
Lagi saya tegaskan, fenomena ini juga bukan eksklusif terjadi di kalangan umat Islam saja. Umat agama lain juga mengalami gejala dan fenomena yang sama. Di sejumlah negara-negara Barat (di kawasan Amerika Utara, Eropa, maupun Australia), banyak sekali individu dan kelompok agama (Kristen, Yahudi, dlsb) yang "uncivil” (tidak berkeadaban), sangat rasis, etnosentris, mengidap penyakit Islamopobhia, serta menggunakan berbagai cara kekerasan (verbal maupun fisik) untuk mengekspresikan ide-idenya. Kekekerasan yang meledak di Charlottsville, Virginia (Amerika Serikat) belum lama ini adalah contoh kecil "kaum bigot berkulit putih” yang masih gentayagan dimana-mana. Amerika memang negara yang memiliki sejarah gelap rasisme dan etnosentrisme yang hingga kini belum sirna meskipun sudah berabad-abad merdeka.
Kasus-kasus yang Melilit Rizieq
Bukan hanya kasus dugaan penyebaran konten pornografi #BaladaCintaRizieq yang tengah melilit pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shibab. Laporan atas kasus-kasus lainnya, di antaranya bisa disimak di sini.
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
Dugaan kasus salam Sampurasun
Angkatan Muda Siliwangi dan Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat melaporkan Rizieq Shihab ke Polda Jawa Barat awal Januari 2017 atas dugaan pemimpin Front Pembela Islam itu memplesetkan salam khas Sunda, ‘Sampurasun‘ menjadi "campur racun". Ucapan ditengarai disampaikan Shihab saat berceramah di Purwakarta, 13 November 2015.
Foto: twitter.com/rmoljabar
Dugaan pelecehan Pancasila dan pencemaran nama baik Soekarno
Sukmawati Soekarnoputri melaporkan Rizieq Shihab ke kepolisian pada bulan Oktober 2016. Laporan dilatarbelakangi pernyataan Rizieq yang dianggap menodai Pancasila dan menghina proklamator RI, Soekarno, dalam sebuah ceramah yang terekam di video. Sukmawati kemudian melaporkan Rizieq dengan tuduhan melakukan tindak pidana penodaan terhadap lambang dan dasar negara
Foto: public domain
Dugaan penodaan agama
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) melaporkan Rizieq terkait dengan ceramah pemimpin FPI itu yang diduga menodai agama. Rizieq diduga mengatakan: 'Kalau tuhan itu beranak, terus bidannya siapa?' dalam ceramah di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tanggal 25 Desember 2016. Video rekamannya itu beredar di media sosial.
Foto: picture-alliance/Zuma Press/D. Pohan
Dugaan penyebaran kebencian
Pada bulan yang sama, Desember 2016, ia dilaporkan ke kepolisian oleh Rumah Pelita (forum mahasiswa-pemuda lintas agama) dan Student Peace Institute. Ketua Rumah Pelita Slamet Abidin, yang menyebut isi ceramah Rizieq dinilai bisa memecah belah NKRI dan kerukunan antar-umat beragama. Sementara Direktur Eksekutif SPI, Doddy Abdallah menandaskan: "Kami dari pihak Muslim sendiri tersinggung."
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
Dugaan kasus palu arit di lembar uang
Awal 2017, Jaringan Intelektual Muda Anti Fitnah (JIMAF) dan Solidaritas Merah Putih (Solmet) melaporkan Rizieq Shihab terkait ceramahnya yang menyatakan bahwa uang kertas terbitan Bank Indonesia berlogo palu arit. Isu tersebut viral di media sosial dan dianggap menghasut masyarakat. Bank Indonesia menjelaskan gambar itu merupakan logo BI yang dijadikan sebagai salah satu fitur pengaman uang.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Dugaan penyebaran konten berbau pornografi
Aliansi Mahasiswa Anti Pornografi ke polisi, melaporkan penyebaran konten berbau pornografi yang diduga merupakan percakapan via whatsapp antara Rizieq Shihab dengan seorang perempuan bernama Firza Hussein. (Ed:ap/tempo/kompas)
Foto: picture-alliance/dpa/W. Kastl
6 foto1 | 6
Saat "uncivil Islam” semakin merajalela
Dalam konteks Indonesia, kelompok "uncivil Islam” semakin berkembang biak dan merajalela bak cendawan di musim hujan sejak lengsernya Pak Harto, tumbangnya rezim Orde Baru, dan munculnya "era reformasi” yang bertumpu pada ide-ide demokrasi dan kebebasan sipil. Sering kali, jika bukan selalu, kelompok "uncivil Islam” ini sering bertindak kebablasan dalam mengusung wacana keislaman, memaksakan kehendak dirinya dan kelompoknya, memakai cara-cara kotor dan kekerasan dalam menjalankan misi dan agenda ormasnya, serta tidak memperdulikan nasib kelompok agama lain.
Sudah tak terhitung lagi jumlah korban (baik individu, suku-suku pedalaman, sek-sekte lokal, maupun kelompok sosial-keagamaan) yang berjatuhan akibat ulah kelompok ini. Para korban bukan hanya kelompok non-Muslim saja (umat Kristen misalnya yang sering menjadi target kekerasan dan propaganda) tetapi juga agama-agama lokal pribumi Nusantara (Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Kaharingan di Kalimantan, Islam Wetu Telu di Lombok, agama "suku Anak Dalam” di Sumatera, Islam Kejawen di Jawa, dlsb), sekte-sekte keislaman (Syi'ah, Ahmadiyah, Salamullah, dlsb). Bukan hanya itu saja. Mereka bahkan menyatroni kelompok Islam dan ormas Islam mana saja yang berbeda pandangan dan gerakan dengan mereka. Sangat miris dan menyedihkan.
Bagi kelompok "uncivil Islam” ini, agama Islam(tentu saja Islam menurut mereka) adalah segala-galanya dan harus ditempatkan di atas konsep, gagasan, dan sistem apapun: negara-bangsa, Pancasila, demokrasi, Konstitusi, dlsb.
Daftar Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia
Daftar "The Muslim 500" memuat peringkat tokoh muslim berdasarkan pengaruhnya di dunia Islam. Sejumlah tokoh Indonesia juga masuk dalam 20 besar. Siapa saja?
Foto: picture-alliance/Godong
#1. Syeikh Ahmed Al-Tayyeb
Sejak mundur dari jabatan Presiden Universitas Al-Azhar, Kairo, Syeikh Ahmed Al-Tayyeb diangkat menjadi Imam Besar Al-Azhar. Di jabatan barunya ia banyak mengkampanyekan perdamaian. Dia berpesan kepada kaum Muslim agar menerapkan ajaran nabi Muhammad dalam konteks "kasih sayang dan perdamaian dunia." Menurut Al-Tayyeb siapa yang bertindak sebaliknya berarti mengamalkan Islam yang "sesat."
Foto: picture alliance/AP Photo/A. Nabil
#2. Raja Abdullah II bin Al-Hussein
Raja Abdullah II dari Yordania secara resmi bergelar "Pelindung Yerusalem". Ia tidak hanya berhasil meniti di antara dua badai Timur Tengah, yakni perang di Palestina dan Suriah, tetapi juga menawarkan diri sebagai payung pelindung pluralisme dalam Islam dengan menggagas Risalah Amman yang menyerukan toleransi dan mengharamkan kebiasan saling mengkafirkan.
Foto: Getty Images/D. Angerer
#3. Raja Salman Ibn Abdul Aziz
Pengaruh kuat Raja Salman di dunia Islam tidak hanya berwujud jaringan dakwah Salafisme Arab Saudi yang dikelola secara profesional dan menyebar di seantero Bumi. Tetapi juga manuver politiknya yang kerap berpegang pada statusnya sebagai penjaga dua kota suci Islam, yakni Mekkah dan Madinah. Tidak heran jika Raja Salman ditetapkan sebagai tokoh muslim nomer tiga paling berpengaruh di dunia.
Foto: Reuters/Saudi Press Agency
#4. Ayatollah Ali Khamenei
Selama 28 tahun Ayatollah Ali Khamanei memimpin Iran di bawah sistem Wilayatul Faqih. Bersamanya Iran menjadi kekuatan penyeimbang di Timur Tengah yang didominasi poros Arab Saudi, Israel dan Amerika Serikat. Pada 2010 Khamenei mengeluarkan fatwa bersejarah yang mengharamkan kaum Syiah menghina atribut keagamaan Sunni. Langkah itu disambut baik mufti besar Al-Azhar, Syeikh Ahmed Al-Tayyeb.
Foto: picture-alliance/AP Photo
#5. Raja Muhammad VI
Muhammad VI sering dijadikan contoh betapa sistem monarki tidak harus bernafas otoriter. Pada 2011 ia menggagas referendum konstitusi yang membatasi wewenangnya sendiri sebagai raja. Pengaruhnya terhadap umat muslim yang ia tanamkan melalui Universitas Al-Karouine mencakup sebagian besar pengikut madzhab Al-Maliki di seantero Afrika Utara.
Foto: imago/CTK Photo
#7. Ayatollah Ali Sistani
Ali Sistani tidak hanya dianggap sebagai otoritas agama tertinggi buat 21 juta pengikut Syiah di Irak, sikapnya yang menolak konsep Wilayatul Faqih juga menjadikannya sebagai kekuatan penyeimbang terhadap Ayatollah Khamenei di Iran. Sang Ayatollah juga aktif merajut damai kala perang Irak berkecamuk dan mendorong warga untuk memperkuat institusi demokrasi setelah kepergian Amerika Serikat.
Foto: AFP Photo/Getty Images
#8. Recep Tayyip Erdogan
Kendati banyak mendulang kritik lantaran manuver politiknya pasca kudeta 2016, Erdogan tetap dipandang sebagai salah satu tokoh muslim paling berpengaruh. Keberhasilannya membawa Turki menjadi salah satu negeri muslim paling makmur adalah salah satu alasan. Selain itu ia juga dinilai berhasil ikut menghadang geliat Islamic State di Suriah dan Irak.
Foto: Reuters/M. Sezer
#11. Sultan Qaboos bin Said al-Said
Selama 40 tahun berkuasa, Sultan Qaboos dinilai berhasil membawa Oman dari negeri miskin menjadi salah satu negara paling makmur di dunia. Tanpa gembar-gembor ia mendorong wajah Islam yang lebih moderat. Sultan Qaboos juga sukses membangun budaya keislaman yang mengawinkan tradisi lama dan asas modern. Tidak heran jika masyarakat muslim Oman sering dianggap sebagai permata dunia Islam.
Foto: imago/Xinhua
#12. Pangeran Muhammad bin Zayid al-Nahyan
Sebagai calon pewaris tahta Abu Dhabi dan calon Presiden Uni Emirat Arab, kecakapan Pangeran Muhammd bin Zayid al-Nahyan sebagai seorang politisi sudah banyak terbukti. Sang pangeran terutama dikenal royal mengucurkan dana sumbangan. Ia tercatat pernah menghabiskan dana hampir 200 juta US Dollar untuk memerangi Polio dan bisnis gelap perdagangan manusia.
Foto: imago/PanoramiC
#13. Joko Widodo
Kiprahnya menuju RI 1 berlangsung tanpa dukungan mayoritas tokoh muslim. Tapi Presiden Joko Widodo tetap dipandang berpengaruh di dunia Islam. Gaya pemerintahannya yang dinilai agresif dalam membangun perekonomian Indonesia dan kinerjanya yang dinilai bersih dari korupsi menjadikan Jokowi sebagai salah satu tauladan bagi kaum muslim.
Foto: Reuters/G. Lotulung
#15. Syeikh Abdul Aziz al Syeikh
Keluarga al-Syeikh sejak lama mengawal penerapan Syariah Islam di Arab Saudi. Mereka adalah keturunan langsung Muhammad Ibn Abdul Wahhab, pendiri ajaran Wahabisme dan Salafisme. Kendati pandangan keagamaannya yang sangat konservatif, ia berulangkali menyerukan umat Muslim agar memerangi ideologi terorisme sebagai musuh terbesar Islam.
Foto: Getty Images/AFP/H. Ammar
#20. Dr. Said Aqil Siradj
Bersama Nahdlatul Ulama, KH. Said Aqil Siradj adalah benteng terakhir konsep Islam Nusantara yang mengedepankan pluralisme dan perdamaian. Ia juga menggagas program internasional buat mengkampanyekan Islam moderat ala Nahdlatul Ulama di dunia. Sejak lama ia juga aktif membela kaum terpinggirkan dan menentang diskriminasi terhadap minoritas.
Foto: Gemeinfrei
12 foto1 | 12
Pada saat Presiden Suharto yang otoriter itu berkuasa, kelompok "uncivil Islam” ini bungkam, tiarap, bersembunyi, tidak berkutik, dan hanya bergerak secara "bawah tanah” (clandestine) karena memang Pak Harto tidak memberi tempat kepada kelompok-kelompok keislaman jenis ini (kecuali di akhir pemerintahannya dimana beliau menggunakan kelompok Islam militan-radikal-konservatif untuk memecah kekuatan "Islam demokrat” yang merongrong kekuasaannya). Akan tetapi setelah Pak Harto lengser dari kekuasaan dan Indonesia memasuki babak baru "era demokrasi”, mereka kembali muncul ke panggung sosial-politik Indonesia, persis seperti para katak yang "riuh-rendah menyanyi” dan hiruk-pikuk menyambut datangnya sang hujan.
Fenomena dan realitas ini adalah sebuah ironi karena disatu sisi kelompok "uncivil Islam” ini rajin mengkritik sistem demokrasi yang mereka anggap "tidak islami” dan produk kebudayaan liberal-sekuler Barat, sementara dipihak lain, secara diam-diam, mereka menikmati buah sistem demokrasi ini.
Penting untuk dicatat bahwa kelompok "uncivil Islam” ini tidak akan bisa hidup di sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan otoriter seperti Indonesia di zaman Orde Baru (juga Orde Lama, khususnya di akhir kekuasaan Bung Karno) atau di berbagai negara mayoritas berpenduduk Muslim seperti kawasan Arab dan Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dlsb. Hanya sistem politik yang menghargai kedaulatan rakyat dan warga negaralah—seperti sistem pemerintahan demokrasi—yang memungkinkan kelompok-kelompok "Islam politik” dan "uncivil Islam” ini bisa tumbuh dan berkembang. Karena itu kelompok "uncivil Islam” ini seharusnya "berterima kasih” terhadap sistem demokrasi, bukan malah menghujatnya.
Anak Mantan Teroris Merajut Masa Depan di Pesantren al-Hidayah
Seorang mantan teroris mendidik anak-anak terpidana terorisme agar menjauhi faham radikal. Mereka kerap mengalami diskriminasi lantaran kejahatan orangtuanya. Kini mereka di tampung di pesantren al-Hidayah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Ujung Tombak Deradikalisasi
Seperti banyak pesantren lain di Sumatera, pesantren Al-Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara, didirikan ala kadarnya dengan bangunan sederhana dan ruang kelas terbuka. Padahal pesantren ini adalah ujung tombak program deradikalisasi pemerintah.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Mantan Teroris Perangi Teror
Perbedaan paling mencolok justru bisa dilihat pada sosok Khairul Ghazali, pemimpin pondok yang merupakan bekas teroris. Dia pernah mendekam empat tahun di penjara setelah divonis bersalah ikut membantu pendanaan aktivitas terorisme dengan merampok sebuah bank di Medan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Tameng Radikalisme
Bersama pesantren tersebut Al-Ghazali mengemban misi pelik, yakni mendidik putra mantan terpidana teroris agar menjauhi faham radikal. Radikalisme "melukai anak-anak kita yang tidak berdosa," ujar pria yang dibebaskan 2015 silam itu. Jika tidak dibimbing, mereka dikhawatirkan bisa terpengaruh ideologi teror.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Derita Warisan Orangtua
Saat ini Pesantren al-Hidayah menampung 20 putra bekas teroris. Sebagian pernah menyaksikan ayahnya tewas di tangan Densus 88. Beberapa harus hidup sebatang kara setelah ditinggal orangtua ke penjara. Menurut Ghazali saat ini terdapat lebih dari 2.000 putra atau putri jihadis yang telah terbunuh atau mendekam di penjara.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Uluran Tangan Pemerintah
Pesantren al-Hidayah adalah bagian dari program deradikalisasi yang digulirkan pemerintah untuk meredam ideologi radikal. Untuk itu Presiden Joko Widodo mengalihkan lebih dari 900 milyar dari dana program Satu Juta Rumah untuk membantu pembangunan pondok pesantren yang terlibat dalam program deradikalisasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Perlawanan Penduduk Lokal
Meski mendapat bantuan dana pemerintah buat membangun asrama, pembangunan masjid dan ruang belajar di pesantren al Hidayah tidak menggunakan dana dari APBN. Ironisnya keberadaan Pesantren al-Hidayah di Deli Serdang sempat menuai kecurigaan dan sikap antipati penduduk lokal. Mulai dari papan nama yang dibakar hingga laporan ke kepolisian, niat baik Ghazali dihadang prasangka warga.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Peran Besar Pesantren Kecil
Al-Hidayah adalah contoh pertama pesantren yang menggiatkan program deradikalisasi. Tidak heran jika pesantren ini acap disambangi tokoh masyarakat, entah itu pejabat provinsi atau perwira militer dan polisi. Bahkan pejabat badan antiterorisme Belanda pernah menyambangi pesantren milik Ghazali buat menyimak strategi lunak Indonesia melawan radikalisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Trauma Masa Lalu
Melindungi anak-anak mantan teroris dianggap perlu oleh Kepala BNPT, Suhardi Alius. Abdullah, salah seorang santri, berkisah betapa ia kerap mengalami perundungan di sekolah. "Saya berhenti di kelas tiga dan harus hidup berpindah," ujarnya. "Saya dikatai sebagai anak teroris. Saya sangat sedih." Pengalaman tersebut berbekas pada bocah berusia 13 tahun itu. Suatu saat ia ingin menjadi guru agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
Stigma Negatif Bahayakan Deradikalisasi
Stigma negatif masyatakat terhadap keluarga mantan teroris dinilai membahayakan rencana pemerintah memutus rantai terorisme. Terutama pengucilan yang dialami beberapa keluarga dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kondisi kejiwaan anak-anak. Ghazali tidak mengutip biaya dari santrinya. Ia membiayai operasional pesantren dengan beternak dan bercocok tanam, serta menjual hasil panen.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Bakkara
9 foto1 | 9
Siapa yang berhasil memenangkan "pertarungan pemikiran”?
Lepas dari masalah ini, corak keislaman Indonesia ke depan akan ditentukan oleh dinamika dan kompetisi kelompok "civil Islam” dan "uncivil Islam” ini dalam panggung sejarah politik dan kebudayaan bangsa kita. Siapa yang berhasil memenangkan "pertarungan pemikiran” dan merebut simpati publik Muslim Indonesia, maka merekalah yang akan menentukkan "gambar” wacana keislaman di negeri ini di masa-masa yang akan datang.
Saya tentu saja berharap kekuatan "civil Islam” kembali bangkit dan bersatu, bukan untuk menggulingkan pemerintah dan kekuasaan tetapi untuk (1) melawan kelompok "Islam ekstrim” yang gemar melakukan kekerasan dan terorisme atas nama agama dan Tuhan yang kian marak dewasa ini dan (2) membendung laju pergerakan kelompok "uncivil Islam” dan kaum Islamis yang mengancam sendi-sendi kemajemukan warga, bangsa, negara, dan agama.
Bertaubat Dengan Menghapus Tato
Kaum muslim bertato sering mengalami diskriminasi dan sentimen negatif dari masyarakat. Sebagian kini mengikuti layanan hapus tato gratis dengan syarat membaca Al-Quran.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Dibayangi Sentimen Negatif
Sebuah klinik di Tanggerang menawarkan jalan 'bertaubat' bagi kaum muslim dengan menawarkan layanan hapus tato secara gratis. Sekitar 1.000 pasien telah mendaftar. Kebanyakan mengaku ingin kembali diterima masyarakat, tanpa sentimen negatif yang selalu menghinggapi mereka yang memiliki tato di tubuhnya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Bertaubat Lewat Al-Quran
Kendati ditawarkan secara gratis, layanan bernama "Berani Hijrah" itu bukan tanpa syarat. Setiap pasien diwajibkan membaca dan menghapal Surah ar-Rahman selama proses penghapusan. Jumlah peminat layanan diklaim terus bertambah di beberapa kota.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Tenar Berkat Media Sosial
Gagasan membuka klinik di Tanggerang berasal dari Ahmad Zaki dan Rizki Sari. Bersama aktivis lain mereka mengumpulkan sumbangan hingga 100 juta rupiah buat membeli dua laser. Kabar tentang layanan tersebut menyebar cepat, terutama melalui sebuah akun di Instagram.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Laser Menghapus Dosa
Biasanya pasien akan mendapat olesan salep khusus ke permukaan kulit yang ditutupi tato. Setelah kulit terasa kebas, dokter memulai terapi dengan menembakkan sinar laser ke permukaan kulit. Bergantung pada jenis tato, terapi tersebut bisa berlangsung antara hitungan menit hingga jam.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Stigmatisasi Berujung Diskriminasi
"Orang bertato mungkin berpikir itu adalah seni, budaya atau identitas diri, tapi masyarakat berpikiran lain," kata salah seorang penggagas layanan, Ahmad Zaki. "Biasanya kan gambar setan, atau gambar seksual dan itu tidak baik."
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Hambatan Menuju Tuhan
Rizki Sari, dokter Islamic Medical Service yang ikut menggagas program tersebut mengatakan kebanyakan pasiennya merasa terbebani oleh sentimen negatif. Selain itu keberadaan tato juga menyulitkan mereka ketika ingin beribadah. Seorang pasien, katanya, bahkan mencoba menggerus tato dengan setrika.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Tinta Tanda Kriminal
Tato yang telah diterima secara terbuka oleh masyarakat barat, masih mengundang sentimen negatif di Asia lantaran sering diasosiasikan dengan pelaku tindak kriminal. Terlebih perempuan yang bertato sering mengalami diskriminasi atau setidaknya mendapat pandangan negatif dari lingkungan sekitar.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
Naas Nasib Perempuan
Hal ini terutama dirasakan Sri Novianti, remaja 19 tahun yang memiliki tato di lengannya. Ketika Sri mulai mengenakan jilbab dan tato di lengannya itu lenyap, "Laki-laki tidak lagi melihat saya dengan pandangan menjijikkan. Tiba-tiba saya merasa dihormati. Saya ingin terus memakai hijab karena saya merasa menjadi perempuan yang terhormat."
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
8 foto1 | 8
Jika kelompok "civil Islam” diam-membisu, tidak bergerak untuk melakukan perlawanan politik dan kultural terhadap kaum "uncivil Islam”, maka masa depan bangsa dan negara yang majemuk dan toleran ini akan terancam sirna tenggelam dalam limbo sejarah. Ingat wejangan Albert Einstein, "The world will be destroyed not by bad people but by good people who let it happen.” Wallahu a'lam.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/hp)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)