Dana akan jadi topik besar dalam KTT iklim di Paris. Negara-negara bernegosiasi tentang siapa yang akan bayar langkah pengamanan iklim. Seberapa banyak uang akan dilibatkan dan bagaimana menggunakannya.
Iklan
Apakah dunia akan berhenti memuntahkan kuantitas besar karbon dioksida secepat mungkin untuk bisa mencegah gangguan pada sistem iklim global yang akibatkan kebinasaan? Seperti banyak isu lainnya, jawabannya tergantung pada dana. Banyak yang setuju, satu-satunya cara mencegah perubahan iklim adalah dengan menempatkan insentif dan mekanisme pendanaan yang bisa dengan cepat digerakkan dari proyek-proyek infrastruktur karbon tinggi ke karbon rendah.
Misalnya mengembangkan tenaga matahari dan bukan batu bara, kendaraan tenaga listrik dan bukan yang bertenaga diesel atau bensin, dan sebagainya.
"Keuangan iklim" pada dasarnya tentang tantangan untuk mencapai tujuan itu, juga tentang pendanaan proyek-proyek untuk menolong negara-negara beradaptasi dengan perubahan iklim, yang tidak bisa dihindari lagi. Penjagaan terhadap banjir di kota-kota tepi pantai, misalnya, atau juga perubahan yang perlu dalam praktek-praktek pertanian di daerah yang terancam tambah tinggi suhunya atau tambah kering.
Penjagaan lebih baik atas karbon yang terkandung dalam tanah dan vegetasi, misalnya hutan tropis Amazon atau tanah gambut di Indonesia juga membutuhkan dana.
Perincian penting
Di Paris, PBB adakan pertemuan untuk menyetujui rangka kerja baru mengenai iklim, termasuk langkah keuangan baru, dalam pembaruan besar bagi konfensi kerangka kerja tentang perubahan iklim, Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berasal dari tahun 1992.
Mencari jalan tengah di antara kepentingan berbeda sulit. Tepatnya di antara kepentingan negara-negara kaya minyak dan batu bara dan kepentingan negara berkembang yang kecil dan kurang punya sumber daya alam. Demikian dikatakan Athena Ballesteros, direktur bidang keuangan iklim pada institut World Resources Institute (WRI), sebuah tangki pemikir non pemerintah, yang berpusat di Washington DC.
Banyak pembicaraan berkisar pada masalah bagaimana negara industri maju bermaksud untuk melunasi janji yang diberikan dalam konferensi UNFCCC tahun 2010 di Cancun, di mana negara-negara industri setuju menyalurkan dana 100 bilyun Dolar per tahun bagi negara berkembang hingga 2020, lewat Green Climate Fund (GCF).
Lima tahun setelah Cancun, GCF akhirnya sudah berhasil melalui fase awalnya, tepat waktu untuk konferensi di Paris. Roda politik iklim internasional bergerak sangat lamban, terutama jika sejumlah besar negara harus menentukan siapa yang harus membayar, dan siapa yang dibayar, dan bagaimana dana harus digunakan secara efektif.
6 November, GCF mengumumkan pendanaan tahap pertama. GCF akan menyediakan sebagian dari 168 juta Dolar untuk mendukung delapan proyek. Nilai semuanya sampai 624 juta Dolar karena ada pemasukan dari sumber-sumber lain. Termasuk dalam daftar penerima dana adalah proyek untuk meningkatkan daya tahan tanah rawa di provinsi Datem del Maranon di Peru, yang merupakan skema energi efisien bagi Amerika Latin dan Karibia, juga penyediaan air wilayah urban dan proyek manajemen limbah di Fiji.
Ballesteros dari WRI mengatakan kepada DW bahwa yang lebih penting dari perincian pengeluaran dana GCF adalah pertanyaan apakah dana dari investasi swasta di dunia bisa dialihkan dari investasi di sektor yang menekankan pada penggunaan karbon, ke sektor yang ramah lingkungan.
Dampak Perubahan Iklim Sudah Landa Dunia
Efek perubahan iklim sudah terasa. Pakar iklim peringatkan, jika kenaikan suhu global lebihi rata-rata 2 derajat Celsius, dampaknya akan fatal. Inilah beberapa bukti bencana yang sudah melanda akibat perubahan iklim:
Foto: picture-alliance/dpa
Kabut Asap Cekik Asia Tenggara
Kebakaran hutan di Indonesia yang dipicu fenomena iklim El Nino, durasinya bertambah panjang dari biasanya. Akibatnya negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand dicekik kabut asap berbulan-bulan. Kuala Lumpur disergap asbut berminggu-minggu (foto). Beberapa kali pemerintah negara jiran terpaksa meliburkan sekolah dan Kantor pemerintahan, akibat kadar cemaran lebihi ambang batas aman.
Foto: MOHD RASFAN/AFP/Getty Images
Masalah Kesehatan Dipicu Kabut Asap
Kalimantan dan Sumatra sudah langganan disergap kabut asap akibat kebakaran hutan. Tapi serangan kabut asap tahun ini jauh lebih hebat dan panjang dibanding tahun tahun sebelumnya. NASA melaporkan penyebabnya: fenomena iklim El Nino yang Alami perubahan pola. Akibatnya lebih 500.000 warga menderita infeksi saluran pernafasan akibat kabut asap.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Smog di Cina Berkategori Berbahaya
Kadar Smog di Cina telah lewati ambang batas aman yang ditetapkan WHO. Ibukota Beijing dan sejumlah kota besar lainnya menderita tercekik Smog yang terutama berasal dari pambakaran batubara secara intensif. Ekonomi Cina sangat tergantung dari pembangkit listrik batubara. Dampaknya adalah masalah kesehatan bagi jutaan warga
Foto: Getty Images/K. Frayer
Neraka Kebakaran Hutan
Amerika juga tak luput dilanda dampak perubahan iklim. Kebakaran hutan di California September 2015 melalap kawasan ribuan Hektar. Lebih 10.500 pemadam kebakaran dikerahkan. Tapi tetap saja api melumat 1400 rumah milik warga. Api menyala sendiri akibat kemarau panjang dan kekeringan hutan yang dipicu fenomena iklim El Nino.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Sosial Dipicu Kemarau Panjang
Kemarau panjang dan kekeringan dipicu perubahan iklim, timbulkan masalah sosial berat di negara berkembang. Terutama anak perempuan yang jadi korban. Organisasi bantuan "Kindernothilfe" mencatat, kasus perkawinan dini meningkat. Pasalnya orang tua tak mampu lagi memberi makan keluarganya. Menikahkan dini anak perempuan berarti satu beban berkurang dan dari uang mahar anak lain bisa diberi makan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
Banjir Makin Kerap Datang
Di belahan bumi lainnya terjadi fenomena kebalikan. Curah hujan makin tinggi dan badai makin sering melanda. Banjir yang tak kenal musim memaksa jutaan orang bermigrasi. Angka kemiskinan hingga 2030 diramalkan meningkat drastis. Bencana lingkungan di kawasan Afrika dan Asia Selatan memicu gagal panen, kelaparan dan wabah penyakit.
Foto: picture-alliance/dpa
Angin Topan Membuat Sengsara
Ini bukan pemandangan mistis, melainkan citra udara dari atas pulau Luzon di Filipina yang tergenang banjir setelah dilanda angin topan. Ratusan tewas akibat tanah longsor dan banjir. 50.000 warga jadi tuna wisma dan terpaksa mengungsi. Filipina dilanda 20 topan hebat setiap tahunnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Eropa Juga Terimbas
Pemanasan global dan perubahan iklim juga berdampak di Eropa. Sungai Rhein yang melintasi beberapa negara dan penting sebagai urat nadi lalu lintas air, kini nyaris kering akibat tak turun hujan selama berbulan-bulan. Dampak ekonominya, transportasi barang kini mengandalkan moda darat yang jauh lebih mahal.
Foto: picture-alliance/dpa
Terumbu Karang Mati massal
Kematian massal terumbu karang juga melanda kawasan luas di bawah laut. Terumbu karang ini berwarna pucat, sebuah indikasi koloni binatang ini nyaris mati. Koral Yang sehat berwarna indah cemerlang. Pemicu kematian massal terumbu karang adalah makin hangatnya suhu air laut, yang memicu stress dan pertumbuhan ganggang beracun.
Foto: imago/blickwinkel
Beruang Kutub Terancam Punah
Beruang kutub menjadi simbol bagi perubahan iklim. Akibat lumernya lapisan es abadi di kutub utara, binatang ini kehilangan habitat alaminya. Tidak ada lapisan es, berarti beruang kutub tidak bisa berburu mangsanya dan akan mati kelaparan. Ramalan pesimistis menyebutkan: hingga 2050 populasi beruang kutub akan menyusut hingga tinggal 30 persen dari populasi saat ini.