1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Racik Antibodi di Negeri Orang, Sasar Sel Kanker dan Opioid

Marjory Linardy
23 Juli 2023

Obat dan terapi penyakit berat seperti kanker kerap kurang menolong. Monica Chandra menekuni biologi sel dan molekuler, ia bekerja pada start up Jerman yang meracik antibodi penyasar sel kanker dan opioid.

Monica Chandra I Krebsforschung
Monica Chandra di laboratoriumFoto: Privat

"Saya biasanya mulai kerja jam 10 gitu," katanya. Kalau bekerja tidak bisa dari rumah, katanya lagi. "Karena masih butuh eksperimen dan lain-lain, jadi ga bisa kerja dari rumah." Ia sekarang bekerja pada sebuah perusahaan start up, di Heidelberg, yang terutama bergerak di bidang pembuatan antibodi untuk terapi kanker dan ketergantungan pada narkotika.

Monica Chandra lahir di Surabaya. Ia tidak pernah berkuliah di Indonesia. Kuliah S1 ia tempuh di Amerika Serikat, tepatnya di University of California, Berkeley. Sedangkan S2 dan S3 ia tempuh di Universitas Heidelberg, di Jerman Selatan.

Mulai S1 sampai S3 dia sudah menggeluti bidang molecular and cell biology atau biologi sel dan molekuler. Monica bercerita, sejak SMA dia memang sudah sangat menggemari pelajaran biologi. "Kebetulan guru saja itu, dari kelas satu, dua, tiga, ok-ok semua," katanya sambil tersenyum. Di AS, dia memutuskan untuk menggeluti biologi sel dan molekuler, dan kesenangannya itu semakin terpupuk karena di sana ia tidak hanya belajar teori saja, melainkan juga ada prakteknya. Akhirnya bidang itu ia geluti hingga sekarang.

Monica Chandra saat berliburFoto: Privat

Dia berkuliah S1 di AS karena punya kerabat di sana. Selain itu, sejak kecil ia sudah les bahasa Inggris, jadi kesulitan bahasa tampaknya bisa teratasi. Ketika menempuh kuliah S1 di sana selama empat tahun, dia mendapat partial schollarship, atau beasiswa tidak penuh, dari sebuah institusi. Setelah selesai berkuliah, ia bekerja pada Johns-Hopkins University di Baltimore, Amerika Serikat.

Tapi karena memang ingin melanjutkan sekolah lagi, ia berbincang-bincang dengan temannya ketika SMA. Kebetulan temannya itu memang sudah tinggal di Jerman dan berkuliah di Universitas Aachen. Dialah yang menganjurkan Monica agar melanjutkan kuliah di Jerman, tepatnya di negara bagian Baden-Württemberg. "Waktu itu Baden-Württemberg masih free [maksudnya: mahasiswa tidak dituntut bayar biaya kuliah]," katanya dan menambahkan, "kalau sekarang harus bayar."

Supervisor atau pembimbingya di laboratorium di AS juga orang Jerman. Ia yang menyarankan Monica untuk mengirimkan lamaran ke Universitas Heidelberg. Setelah berbincang-bincang dengan profesor di Heidelberg, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan S2 di Heidelberg.

Ditambah lagi, dia pernah punya impian untuk mengelilingi Eropa sebelum umur 30 tahun. "Tapi ga sempet," katanya sambil tertawa, "jadinya ya udah sekalian pindah aja." Saat itu dia belum pernah ke Eropa sama sekali. "Jadi kaya' bondho nekat [modal nekat] gitu, kalo orang Surabaya bilang," jelasnya sambil tertawa.

Monica Chandra saat liburan bersama kolega-kolegaFoto: Privat

Tapi dia sempat belajar bahasa Jerman selama tiga bulan di Indonesia. Setelah berhenti bekerja di Johns Hopkins University, dia tidak ingin tinggal di AS karena perlu biaya, sementara kuliah di Heidelberg baru mulai beberapa bulan kemudian. Jadi dia memutuskan untuk pulang ke Surabaya dan belajar bahasa Jerman secara intensif. Namun demikian setelah tiba di Jerman, dia masih harus belajar bahasa Jerman lagi.

Tapi untuk mahasiswa ada keringanan untuk membayar les bahasa Jerman, begitu dijelaskan Monica. Ketika melamar, interview dan mengurus kuliah di Heidelberg, semuanya masih menggunakan bahasa Inggris. "Kapan hari baru lulus B2," katanya, jadi dia merasa bahasa Jermannya belum terlalu hebat.

Ketika berkuliah S2 di Heidelberg, dia juga sempat bekerja sampingan di klinik universitas, sebagai research assistant, atau asisten riset. "Jadi ga terlalu membebani orang tua," katanya. Sedangkan ketika berkuliah S3, dari tahun 2017 sampai 2021, ia dan rekan-rekannya mengadakan penelitian sambil bekerja, jadi mereka sudah mendapat pemasukan.

Monica menjelaskan, berbeda dengan di Jerman, di AS seorang mahasiswa tidak bisa bekerja di luar kampus. Jadi hanya bisa, misalnya, bekerja di perpustakaan, atau menjadi asisten dosen. Dulu, ia bekerja sampingan sebagai asisten dosen.

Membuat antibodi di negeri orang

Monica menjelaskan, dia lumayan beruntung ketika mendapat pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja sekarang. "Waktu itu pas banget, profesor yang mengajar aku waktu Ph.D. lagi punya proyek. Dia menjoinkan [menggabungkan] beberapa scientist [ilmuwan] untuk mendirikan start up ini."

Bidang perusahaan itu sangat khusus, sehingga tidak banyak orang yang bisa terlibat. Dia menjelaskan pula, berbeda dengan di AS, di mana dana yang menyokong sebuah perusahaan start up biasanya besar, di Jerman tidak demikian. "Jadi mereka ga bisa afford [tidak mampu menanggung risiko] untuk, misalnya hire [mempekerjakan] orang baru, atau training [melatih] orang baru. Jadi harus lebih cepat dapat hasilnya, begitu."

Ditambah lagi, penelitiannya ketika itu memang masih berkaitan dengan bidang start up. Sehingga dia langsung direkrut untuk bekerja, demikian diungkapkan Monica.

Dia menjelaskan, perusahaan membuat antibodi, tepatnya therapeutic antibody, atau antibodi untuk kebutuhan terapi. Yang jadi target antibodi adalah hal-hal yang ukurannya sangat kecil sehinga tidak kasat mata. Dia mengambil contoh, "Misalnya tubuh kita diserang benda, yang misalnya segede batu, pasti sistem pertahanan tubuh kita pasti bisa melihatnya." Tapi banyak hal yang menyerang tubuh kita, ukurannya sangat kecil. Karena sulit dilihat, tubuh juga sulit untuk memberikan respons yang spesifik.

Monica Chandra saat berliburFoto: Privat

Antibodi yang dibuat oleh perusahaan start upnya menarget hal-hal yang berukuran kecil. Produk pertama mereka yang masih dibuat adalah atibodi yang menyasar opioid, atau zat yang mengandung opium, yang bernama Fentanil. Monica memaparkan pula, ketergantungan pada heroin meningkat di mana-mana. Dan heroin biasanya dicampurkan dengan Fentanil, karena Fentanil seribu kali lebih kuat daripada heroin.

Karena konsumennya kerap tidak tahu bahwa heroin mendapat campuran Fentanil, mereka meninggal karena overdosis. Monica menjelaskan, biasanya penderita overdosis mendapat suntikan Nalokson untuk menghalangi efek overdosis. Sayangnya, pengaruh Nalokson tidak bertahan lama di tubuh. Saat itu terjadi, Fentanil kerap tetap masih ada di tubuh. Sehingga, beberapa jam setelah suntikan Nalokson diberikan, penderita bisa mengalami overdosis lagi. 

Produk pertama dari start up tempatnya bekerja ditujukan menyasar benda berukuran sangat kecil, dan bekerja seperti spons, demikian dijelaskan Monica. Jadi antibodi itu bisa menyerap Fentanil, sehingga penderita tidak mengalami overdosis lagi.

Tapi dia menekankan pula, bahwa dalam pengembangan antibodi ini, perusahaannya masih dalam tahap praklinis. Sehingga ada hal-hal yang belum mereka ketahui, karena masih dalam tahap eksperimen.

Selain antibodi yang menyasar opioid, start up tempat dia bekerja juga membuat antibodi yang menarget sel-sel kanker. Monica menjelaskan, sel-sel kanker boleh dibilang sama dengan sel tubuh kita sendiri, meskipun punya beberapa perbedaan. Ada perbedaan yang terlalu kecil untuk bisa dideteksi sehingga luput dari sistem kekebalan tubuh kita. Itulah yang disasar oleh antibodi yang sedang dibuat perusahaannya.

Setelah antibodi selesai diracik dan menjalani uji coba termasuk pada manusia, antibodi tersebut akan dilisensikan ke perusahaan farmasi. Monica mengambil contoh, misalnya Pfizer, atau perusahaan besar lainnya. "Karena start up yang masih kecil [seperti tempat dia bekerja] tidak punya infrastrukturnya untuk produksi dalam jumlah besar."

Monica Chandra bersama dua dari empat orang pembimbing S3-nyaFoto: Privat

Di perusahaan itu, ia menjadi salah seorang pemimpin tim yang meracik-racik antibodi. Sebelum antibodi diinjeksikan ke hewan untuk uji coba, ia yang membuat materi yang akan diinjeksikan, demikian dijelaskan Monica.

Monica mengaku tidak terpikir akan bekerja di Indonesia setelah selesai S3. "Untuk bidang yang saya tekuni, Indonesia untuk basic research [riset dasar] masih kurang." Dia menambahkan, untuk riset lain yang lebih merupakan applied research atau riset terapan, seperti pertanian, di Indonesia sudah lebih banyak. 

Dia bercerita seorang temannya yang dulu sama-sama berkuliah S3, kini kembali ke Indonesia dan menjadi dosen. Temannya itu mengatakan, untuk penelitian kadang sulit karena masalah birokrasi. Selain itu, untuk mendapat reagen-reagen kadang juga sulit.

"Orang Jerman itu direct banget, sih"

Ketika belum lama berada di Jerman, ia kerap merasakan syok karena cara bicara orang Jerman yang ia rasa sangat direct, atau langsung, apa adanya, sementara orang Amerika sangat berbeda. "Engga, kalo orang Amerika itu beneran di-sugarcoat [ibaratnya dilapisi gula]," kata Monica sambil tertawa terbahak-bahak.

"Kalau orang Amerika itu meskipun kerjaannya ga bener ngomongnya masih, 'It's good but you can improve,' [Bagus, tapi masih bisa diperbaiki]." Sedangkan orang Jerman: "Ah, apa ini?! Ga bener! Do it again! [ulang lagi!]"

Awalnya, ketika pertama kali mendapat jawaban keras dari pengajar, ia merasa agak takut. Untungnya, orang itu menyadari bahwa Monica orang Asia. Jadi berasal dari kebudayaan lain. Orang itu akhirnya meminta maaf dan menjelaskan, bahwa mengatakan langsung apa yang tidak disukai memang sudah jadi kebiasaan. Sejak itu, menurut Monica, ia tidak merasa tersinggung lagi.

Dalam hidup sehari-hari, yang ia rasakan sebagai tantangan adalah birokrasi di Jerman. Terutama ketika ia belum lama tinggal di Jerman. Ia mengambil contoh di Ausländerbehörde atau kantor urusan orang asing. Awalnya, Monica mengira, orang yang bekerja di sana bisa berbahasa Inggris, tapi kenyataannya tidak demikian. "Jadi pusing lah, ama birokrasi-birokrasi ini," kata Monica sambil tertawa.

Dia juga dulu sering merasa orang Jerman tidak ramah. "Kok cembetut semua," katanya dengan heran. "Kalau di Amerika, sama kasir aja bisa ngobrol. Di Jerman, masuk Aldi [salah satu supermarket di Jerman] langsung rasanya ekspres semua," katanya sambil tertawa lagi.

Monica Chandra (baris pertama, ketiga dari kiri) bersama para koleganyaFoto: Privat

Tapi dibanding dengan di Indonesia, dia merasa di Jerman ia bebas mengutarakan pendapatnya. Orang Jerman bagi dia sangat terbuka dalam menanggapi orang lain yang punya pemikiran berbeda. Orang Jerman juga lebih bersedia mendengarkan pendapat orang yang lebih muda. Dia mengungkapkan, di AS, dulu dia merasa orang lebih terbuka dengan pendapat yang berbeda. Sebaliknya, sejak masa kepresidenan Donald Trump, orang cenderung lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pendapat politik.

Menatap masa depan

Monica merasa tetap positif menatap masa depan, walaupun perang masih berlanjut di Ukraina, dan harga bahan pangan dan energi masih tinggi. Dia berpendapat, politik yang dijalankan Partai Hijau Jerman baik, misalnya Klimaschutz atau perlindungan iklim. Tapi dia menambahkan, "Cuma mungkin, approachnya [pendekatannya] agak salah, ya." Bagi Monica, sepertinya politik yang dijalankan Partai Hijau tidak memperhitungkan orang-orang yang mungkin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Dia setuju dengan upaya pemerintah Jerman yang mengoperasikan Deutschland Ticket, yang bisa digunakan untuk naik bus, trem serta kereta biasa di seluruh Jerman, dengan hanya membayar 49 Euro per bulan. Tetapi seperti banyak orang Jerman lainnya, ia mengemukakan masalah kereta yang kerap datang terlambat. "Tapi di Jerman, saya positif, gitu. Kalo di Indo [Indonesia] saya agak skeptis, begitu." Karena di Indonesia infrastruktur transportasi publik masih tidak memadai. Ditambah lagi, kendaraan pribadi masih jadi simbol status di Indonesia.

Tapi yang jelas, dia merasa senang dan bangga, jika membaca atau melihat laporan tentang anak-anak muda Indonesia yang peduli lingkungan. Misalnya yang melaksanakan upaya upcycling, atau mendaur ulang untuk menjadikan barang bisa digunakan kembali dan lebih bermutu.

Di Jerman Monica belajar untuk persistent atau tahan mental. Selain itu, di Jerman ia belajar hidup lebih teratur, mengingat untuk banyak hal, orang harus membuat janji terlebih dahulu. "Jadi lebih organized [terorganisir], begitu."

Untuk berkuliah di AS, menurut Monica, yang penting adalah orang yakin mampu membiayai kuliah sampai selesai, karena seorang mahasiswa tidak bebas mencari sumber penghasilan tambahan. Sementara untuk berkuliah di Jerman, orang terutama harus siap mental. (ml/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait