1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membuat Karang di Lautan

21 Juli 2011

Lautan di dunia banyak yang menghadapi masalah, antara lain tercemar polusi. Tetapi di Indonesia dikembangkan cara untuk membangun kembali terumbu karang dan mempekerjakan nelayan.

This Gorgonian sea fan coral, shown among reefs in the Philippines, is prized for its beauty, causing many specimens to be harvested. A survey on the condition of the world's coral reefs was the subject of a news conference Thursday, April 20, 2000, in Santa Monica, Calif. While some of the reefs damaged by El Nino-driven high seawater temperatures of the last few years have recovered, the long-term outlook for the world's reefs remains negative. Most threats to reefs are man-made. (AP Photo/UCLA, Reef Check)
Foto: AP


Gili Trawangan adalah sebuah pulau kecil yang dapat dijangkau dalam dua jam dari Bali jika menggunakan perahu motor. Pasir putih dan air berwarna biru di daerah itu menarik ratusan ribu wisatawam setiap tahunnya. Anna Walker, seorang wisatawan, datang untuk menjelajahi terumbu karang di daerah itu dan di sekitar dua pulau sekitarnya. Walker bercerita, ia pertama-tama datang ke Gili Trawangan tahun 1999. Ia langsung jatuh cinta pada pulau itu, juga pada olah raga menyelam.

Tetapi segera setelah tiba, Anna Walker mulai mendengar suara-suara mengerikan. Para nelayan di daerah itu menggunakan dinamit di daerah karang. ”Suara itu entah membunuh ikan-ikan atau mengejutkan, sehingga ikan-ikan itu naik ke permukaan. Jadi orang dapat dengan mudah mengumpulkan ikan dari permukaan. Dan bagi orang-orang itu, nampaknya itu cara efektif untuk menangkap sejumlah besar ikan.”

Mempekerjakan Nelayan

Pulau Gili (30/05/2011)Foto: Sandy Hausman

Walker yang memiliki toko perangkat menyelam bernama Bib Bubble Dive Shop langsung aktif, dan ia tidak menghadapi kesulitan untuk menyakinkan tetangganya, bahwa mereka harus mengambil tindakan. Mereka semua sudah mengalami dampak negatif yang diakibatkan serangan teroris di Bali tahun 2002.

Anna Walker mengungkapkan pendapatnya, ”Jika ada sesuatu yang positif yang bisa dilihat dari dampak bom Bali, mungkin itu bisa berupa kesadaran yang membuka mata, apa yang terjadi jika tidak ada turis. Jadi, bagi orang-orang setempat bisa dijelaskan apa yang terjadi jika terumbu karang dihancurkan. Dampaknya akan terus ada di sini, ini bukan sekedar reaksi atas ledakan bom.“

Tujuh toko yang menjual peralatan selam setuju untuk memulai aksi menagih uang tambahan sekitar dua Euro, atau sekitar 25.000 Rupiah, dari setiap pembeli. Uang itu kemudian digunakan untuk membayar sekelompok nelayan, yang berfungsi seperti polisi, yang menjaga kelestarian terumbu karang dan tidak merusaknya.

Membuat "Biorock"

Delphine RobbeFoto: Sandy Hausman


“Yang paling penting adalah mendidik orang-orang, agar mereka dapat memperoleh keuntungan dari terumbu karang, dan bukan hanya sekedar menangkap ikan dan memanggangnya. Itu hanya dapat dijual sekali. Jika orang dapat menjual ikan dengan cara mengajak penyelam untuk melihatnya, orang akan mendapat uang jauh lebih banyak lagi daripada memakannya.“

Itu dikatakan Delphine Robbe, kepala kelompok lokal yang bertekad menyelamatkan terumbu karang. Untuk mencegah kerusakan selanjutnya, Robbe menggalakkan penggunaan teknologi yang diawali oleh peneliti Jerman Wolf Hilbertz. Tekniknya disebut “biorock“ atau “seacrete“. Caranya, orang membuat sebuah kerangka dari kawat, yang panjangnya berbeda-beda. Benda yang tampak seperti sangkar itu kemudian ditempatkan di dasar laut. Kemudian aliran listrik tegangan rendah dialirkan lewat kawat-kawat dari metal tersebut. Dalam waktu singkat batu kapur, seperti halnya terumbu karang alami, mulai terbentuk pada kawat-kawat itu.

Delphine Robbe menjelaskan, sebenarnya proses yang berlangsung sama dengan reaksi antara sinar matahari, tumbuhan karang, dan semua mineral yang terkandung dalam air laut. Teknik “biorock“ hanya memungkinkan reaksi tersebut berjalan lebih cepat, yaitu lima kali lebih cepat daripada proses yang alami. Lagipula karang yang terbentuk lebih kuat, lebih tahan penyakit dan pemutihan karang.

Didukung Energi Alternatif

Seekor kura-kura hijau berenang di terumbu karangFoto: picture-alliance/dpa


Anna Walker menceritakan pengalamannya ketika pertama kali melihat “biorock“ di dalam air. “Sejujurnya, pertama kali saya menyelam, ketika kami baru saja menempatkan "biorock", saya harus akui, kelihatannya sangat aneh. Saya kaget, dan saya pikir itu tampak sangat tidak alamiah di dalam air. Tetapi setelah dua atau tiga hari, di kerangkanya sudah ada banyak batu kapur, jadi "biorock" tampak tidak seperti kerangka metal lagi, melainkan lebih alamiah.“

Kepulauan Gili kini sudah memiliki 62 “biorock”. Negara-negara lain sudah melaksanakan proyek ini juga, misalnya di Maladewa, Thailand, Filipina dan kepulauan Karibik. Sekarang, Delphine Robbe, yang mengepalai kelompok pecinta terumbu karang, akan mengambil langkah berikutnya, yaitu penyediaan listrik bagi “biorock” harus lewat sumber energi alternatif.

Ia menjelaskan, “Sekarang kami mencari pakar listrik yang sukarela datang ke sini untuk mendirikan prototipe untuk membuat "biorock" yang berkelangsungan, yaitu dengan menggunakan energi gelombang pasang yang datang dari turbin yang memberikan tenaga bagi "biorock". Itu juga menjadi contoh bagi semua pengusaha di sini, bahwa mereka harus menggunakan sumber energi lain, energi yang hijau untuk memberikan tenaga bagi semua pendingin ruangan, bagi kolam renang dan lainnya, yang mereka miliki di pulau ini.“

Seekor gurita di terumbu karang di dekat Manado, Sulawesi UtaraFoto: picture-alliance / OKAPIA KG

Perluasan ke Wilayah Lain

“Biorock” juga menjadi alat pengajar bagi mahasiswa dari berbagai negara, yang datang untuk menyelam dan menjaga kelestarian terumbu karang. Delphine Robbe senang dengan perkembangan selama ini. Ia juga yakin, bahkan ikan-ikan menyukai tempat tinggal baru mereka di dalam “biorock” dan saling berebut rumah yang baru.

Robbe berharap dapat menyebabkan kabar baik tentang “biorock” ke wilayah lain Indonesia. Tetapi ia tahu itu adalah tugas yang sangat berat, di negara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, yang terbentang sepanjang 3.200 km.

Sandy Hausman / Marjory Linardy

Editor: Ayu Purwaningsih