1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Membuka Luka Lama

5 Mei 2014

Para korban perang saat pendudukan Belanda meninggalkan keluarga. Bukan hanya istri, anak-anak para pejuang pun menuntut kompensasi.

Foto: picture alliance/AP Photo

Abdul Khalik mengingat dengan jelas, ketika pada tujuh dekade lalu ia melihat ayahnya yang ditarik keluar dari desa terpencil oleh tentara Belanda untuk dieksekusi.

"Dia berkata kepada saya, 'Pulanglah, Nak' tapi saya menolak," kenang pria berusia 75 tahun yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi. Matanya menerawang ke suatu tempat di masa lalu. Ayahnya yang ditembak mati, adalah salah satu dari ribuan orang yang dibunuh oleh tentara Belanda ketika Indonesia berjuang untuk mengusir pemerintahan kolonial.

Pada tahun 1946-1947, Belanda melancarkan operasi untuk menegaskan kembali kontrol mereka di Sulawesi. Masa ini adalah salah satu episode paling gelap dari perang kemerdekaan. Para pejuang dibunuhi.

Setelah beberapa janda memenangkan guguatan atas kompensasi tahun lalu, Belanda meminta maaf atas semua eksekusi yang dilakukan selama perjuangan kemerdekaan dan mengatakan akan membayar kepada pasangan dari korban yang tewas.

Kini, Khalik dan orang-orang lain menuntut bahwa anak-anak korban -bukan hanya janda– juga seharusnya menerima kompensasi.

"Ini tidak adil. Penangkapan yang sama, penjara yang sama, penembakan yang sama, kejadian yang sama, jadi mengapa anak-anak mendapatkan perlakuan yang berbeda?" tanya Khalik.

Shafiah Paturusi, 82 tahun usianya. Ia kehilangan ayah dan saudara laki-lakinya di Sulawesi pada masa itu. Ia menegaskan: "Saya menginginkan keadilan dari Belanda, karena rasa sakit kehilangan seorang ayah adalah sama dengan –atau tidak lebih buruk daripada- kehilangan suami."

Upacara peringatan kemerdekaan IndoensiaFoto: AP

Kenangan masa lalu

Seorang kapten pasukan Belanda, Raymond Westerling, mendalangi pembantaian di Sulawesi itu. Pasukannya mengepung desa dan kemudian membunuh pejuang tanpa proses pengadilan.

Ada ketidaksepakatan yang kuat atas jumlah yang meninggal selama aksi berbulan-bulan itu. Beberapa kalangan di Indonesia mengklaim bahwa jumlah korban tewas mencapai 40.000 orang, meskipun penelitian sejarah menempatkan angka korban tewas antara 3.000 hingga 4.000 orang.

Operasi pembantaian Westerling ini sangat kontroversial. Westerling kemudian dibebastugaskan pada tahun 1948, meskipun ia tidak pernah menghadapi pengadilan atas kejahatan perang yang dilakukannya.

Untuk generasi tua di Sulawesi, kenangan itu masih lekat dalam ingatan.
Khalik teringat ayahnya dan para korban lain "menumpuk di sebuah truk seperti binatang" sebelum akhirnya dibawa pergi.

Ayahnya masih berhasil melambaikan tangan kepada anaknya ketika kendaraan yang mengangkutnya melaju pergi. "Keesokan harinya ayah saya diambil dari penjara, dirantai dengan delapan orang lain dan mereka semua dieksekusi," katanya.

Ikuti kisah selanjutnya tentang kenangan masa lalu keluarga korban di laman berikut.


Waktunya hampir lewat

Liesbeth Zegveld, pengacara hak asasi manusia Belanda yang telah memenangkan gugatan kompensasi untuk para janda Indonesia, juga mewakili beberapa anak-anak pejuang.

Dia berharap gugatan ini akan berhasil tetapi memperingatkan mungkin tidak akan mudah, karena waktunya sudah hampir habis. Apalagi mereka yang mencari ganti rugi sudah berusia tua.

Jeffry Pondaag, bekerja untuk yayasan berbasis di Belanda yang membantu mereka yang mencari kompensasi. Dia mengatakan bahwa selain uang kompensasi, mereka juga menginginkan Belanda lebih terbuka tentang sisi gelap dari pemerintahan kolonial.

Peringatan pembantaian tahun 1947.Foto: dapd

"Kami akan berjuang agar pemerintah Belanda menjelaskan kepada rakyat bahwa apa yang mereka lakukan di Indonesia adalah salah," tandas Pondaag, yang juga bekerja di sebuah pabrik semen sebelah barat laut dari Amsterdam.

Namun pemerintah Belanda bersikeras bahwa Jakarta dan Den Haag telah "menggarisbawahi, bahwa ini merupakan bagian dari sejarah mereka bersama".

"Pemerintah Belanda telah berulang kali menyatakan penyesalan yang mendalam," kata pernyataan itu.

Hubungan diplomatik antara Jakarta dan Den Haag secara umum baik dan masa penjajahan Belanda dianggap sudah menjadi bagian dari zaman dulu bagi kebanyakan orang muda.Tetapi beberapa generasi tua masih memendam dendam masa lalu.

Foto: picture alliance/AP Photo

Setelah kemerdekaan Indonesia dideklarasikan, pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kontrol, memicu perang berdarah yang berlangsung sampai tahun 1949, hingga akhirnya Belanda mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Beberapa janda di Sulawesi telah mendapat kompensasi. Para janda yang suaminya tewas dalam pembantaian di Rawagede tahun 1947, juga menerima kompensasi.

Pemerintah Belanda pada bulan Agustus tahun lalu mengatakan, janda lain dengan klaim serupa memiliki dua tahun untuk mengajukan permohonan kompensasi. Tapi uang tidak selalu menutup perih."Kami telah mengampuni Belanda, tetapi ketika saya menerima uang, perasaan saya campur aduk," kata Andi Aisyah, seorang perempuan yang duduk di kursi roda, yang suaminya tewas di Sulawesi: "Rasa sakit yang sudah lama terkubur tiba-tiba datang kembali."