1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Memburu Harta Gelap "Raja Sawit" Sukanto Tanoto di Jerman

10 Februari 2021

Sukanto Tanoto dan anaknya tahun 2019 membeli properti mewah di Jerman seharga lebih 7 triliun rupiah lewat perusahaan cangkang. Ini terungkap kolaborasi investigatif jurnalis internasional dalam proyek "OpenLux".

Rangkaian tiga gedung rancangan arsitek kondang Frank O. Gehry di Duesseldorf
Rangkaian tiga gedung rancangan arsitek kondang Frank O. Gehry di pusat kota DuesseldorfFoto: DW/N. Aubel

Kolaborasi jurnalis internasional dalam proyek OpenLux menyisir data-data yang ada di perbankan Luxembourg yang dicurigai menjadi bagian dari  operasi pengemplangan pajak para miliarder dunia. Hal serupa pernah dilakukan kolaborasi jurnalis yang mengungkap skandal Panama Papers. Dari dokumen-dokumen Open Lux, terungkaplah kepemilikan gelap gedung-gedung Sukanto Tanoto dan anaknya Andre di Jerman.

Andre Tanoto disebut tahun 2019 membeli satu dari tiga gedung mewah rancangan arsitek kondang Frank O. Gehry di kota pusat perekonomian Düsseldorf, ibukota negara bagian Nordrhein Westfalen (NRW). Tapi gedung seharga 50 juta euro itu belum seberapa dibanding bekas istana Raja Ludwig di München, yang dibeli Tanoto Sukanto tidak lama sesudahnya.

Gedung empat lantai itu, yang sekarang menjadi kantor pusat perusahaan asuransi Allianz di kawasan prestisius Ludwigstrasse, menurut dokumen OpenLux dibeli seharga 350 juta euro atau sekitar 6 triliun rupiah.

Beli properti di Jerman lewat Cayman Islands

Anggota Parlemen Uni Eropa dari fraksi Partai Hijau, Sven Giegold mengungkapkan, keluarga Sukanto Tanoto secara diam-diam melakukan pembelian terselubung itu lewat beberapa perusahaan cangkang di Cayman Islands, Singapura dan Luxembourg.

Dia menegaskan, pembelian terselubung biasanya dilakukan untuk pengemplangan pajak atau pencucian uang dan sangat merugikan Jerman, Luxembourg dan Indonesia. Otoritas di Jerman tidak mengetahui bahwa konglomerat sawit asal Indonesia itu yang membeli properti-properti tersebut, kata dia.

Organisasi lingkungan Greenpeace menyebut Sukanto Tanoto sebagai "sosok perusak hutan terbesar dunia" dan menuduh praktek bisnis minyak sawitnya terlibat berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan berbagai praktik penghindaran pajak.

Sven Giegold menekankan, praktek pengemplangan pajak merugikan tidak hanya Jerman dan Uni Eropa, melainkan juga Indonesia. Di Jerman saja, kerugiannya mencapai lebih 20 miliar euro.

Investigasi dimungkinkan Aturan Tranparasi Uni Eropa

Proyek OpenLux digalang oleh OCCRP, platform jurnalisme investigatif untuk mengungkap kasus-kasus kejahatan terorganisir dan korupsi skala besar, yang dalam proyek ini berkolaborasi dengan media Prancis Le Monde dan media Jerman Süddeutsche Zeitung (SZ).

Investigasi untuk pelacakan kepemilikan yang dibeli dengan konstruksi perusahaan cangkang dimungkinkan di Uni Eropa, setelah ditetapkan Aturan Transparansi pada tahun 2018 untuk memerangi korupsi, pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Aturan ini mewajibkan negara-negara anggota Uni Eropa membuat daftar kepemilikan secara transparan yang memuat nama-nama pemilik properti dan usaha maupun pemegang saham.

Investigasi OpenLux mengungkapkan, di Luxembourg saja ada sekitar 55 ribu perusahaan cangkang yang mengelola dana sampai 5 triliun euro.

hp/as (dpa, sz, sven-giegold.de)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait