1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memperkenalkan Sejarah Indonesia ke Dunia Internasional

Anggatira Gollmer
28 Maret 2020

Meneliti tradisi megalitik di situs arkeologi di Kerinci atau sejarah emas di Jawa. Sebagai arkeolog dan pakar sejarah seni Asia Tenggara Mai Lin Tjoa-Bonatz ingin agar sejarah Indonesia dikenal lebih baik di Eropa.

Mai Lin Tjoa-Bonatz
Mai Lin Tjoa-BonatzFoto: DW/A. Gollmer

"Ayah saya berasal dari Indonesia dan karena itu saya dari dulu sudah selalu tertarik dengan budaya Indonesia dan selalu ingin membuktikan dan menunjukkan, bahwa Indonesia juga mempunyai kebudayaan tua dan beraneka ragam seperti Jerman dan Eropa," ujar Mai Lin Tjoa-Bonatz dengan semangat.

Berbekal keinginan tersebut, perempuan yang besar di Frankfurt ini kuliah jurusan Asia Tenggara, sejarah seni dan arkeologi. Pada tahun 2000 Mai Lin bersama tim dari Jerman mulai meneliti tentang tradisi megalitik di Pulau Nias.

"Kami tertarik dengan pola batu-batunya, kenapa mereka dulu punya batu setinggi dua atau tiga meter di depan rumahnya, dari mana asal batunya, serta upacara dan ritual apa yang dilakukan dengan batu-batu ini," cerita Mai Lin tentang proyek arkeologi pertamanya di Indonesia. 

Setelah penggalian di Pulau Nias mereka pergi ke Sumatra untuk terus melakukan ekskavasi di Kerinci, Dataran Tinggi Jambi dan wilayah Minangkabau yang juga mempunyai pola batu-batu yang mirip. Artefak-artefak dari bahan keramik, metal dan kaca yang ditemukan membuktikan, bahwa tempat-tempat tersebut dulunya merupakan pemukiman. Batu-batu megalitik digunakan sebagai penanda batas pemukimannya.

Tidak hanya sisa-sisa peninggalan utuh, sering kali potongan kecil pun bisa memberikan banyak petunjuk tentang kehidupan di suatu tempat tertentu pada zaman dahulu. Sambil menunjukkan sebuah potongan gerabah, Mai Lin menjelaskan, bahwa misalnya dengan melihat lengkungannya, potongan tersebut bisa direkonstruksi ulang dan dengan itu bisa diketahui, bahwa potongan ini adalah bagian dari sebuah periuk untuk memasak. Di laboratorium artefak juga bisa dianalisa lebih lanjut untuk mengetahui periode pembuatannya dan sisa-sisa makanan yang menempel.

Meneliti tentang logam mulia 

Pekerjaan di lapangan hanya salah satu aspek dari beragam pekerjaan Mai Lin Tjoa-Bonatz. Di Jerman, selain bekerja sama dengan berbagai museum, ia juga mengemas informasi yang ia kumpulkan menjadi makalah-makalah ilmiah maupun artikel dan buku dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris.

Emas adalah salah satu tema yang senang ia kaji. "Untuk bidang arkeologi dan sejarah seni, emas sangat menarik karena ini merupakan bahan yang awet sampai zaman sekarang. Di iklim tropis banyak benda sehari-hari dari kayu, bambu atau kain tidak bisa bertahan," ujarnya. "Selain itu, menurut saya emas juga sangat berseni." 

Setelah lama meneliti tentang emas di Jawa dan Bali, saat ini Mai Lin sedang menggeluti tema penambangan emas di Indonesia untuk sebuah proyek di Universitas Darmstadt. Dengan melibatkan bidang etnoantropologi, penelitian Mai Lin ingin merekonstruksi bagaimana berbagai teknologi penambangan emas yang antara lain datang dari Eropa dan Cina bertemu dengan tradisi-tradisi setempat di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

"Sejumlah penambang emas kawakan asal Sachsen datang untuk membangun tambang emas di Sumatra pada abad ke-17. Pada zaman dulu pun beragam teknik dan metode juga sudah dibawa dari negara-negara yang tertarik dengan sumber daya Indonesia. Tapi akhirnya hanya penduduk setempat yang berhasil menambang emas secara berkelanjutan dengan metodenya sendiri, bukan proyek-proyek asing jangka pendek ini," jelasnya. "Saya tertarik dengan apa yang bisa kita pelajari dari sejarah."

Meneliti tradisi megalitik di KerinciFoto: D. Bonatz

Ingin kerjasama lebih erat antara museum dan peneliti

Namun meneliti tentang emas tidaklah mudah, karena logam berharga ini selalu memancing perampok dan mempersulit penelitian arkeologi. Banyak emas yang tersedia untuk diteliti kadang ternyata tidak berasal dari penggalian resmi, tapi dari konteks yang bermasalah. Misalnya dari makam-makam tua di Jawa yang dijarah dan temuannya dijual ke toko-toko antik, cerita Mai Lin.

"Hal seperti itu sangat menyedihkan bagi kami para arkeolog. Karena kami tidak tahu konteks dan asalnya, barang curian tidak punya nilai sebagai dokumen bersejarah," jelas Mai Lin. 

"Sering kali emas juga dijual ke luar negeri, walaupun seharusnya tidak boleh. Ini merupakan masalah etis yang juga ditelaah oleh para arkeolog, antara lain untuk melindungi warisan budaya Indonesia," tambahnya.

Tantangan lain dalam meneliti emas adalah bahwa logam mulia ini tidak bisa dianalisa di laboratorium untuk diketahui usianya. Dengan demikian sulit untuk diketahui apakah sebuah benda dari emas memang asli dari periode tertentu atau imitasi. Para ahli terutama menaksir usia emas dengan menganalisa motif, bentuk dan teknik pembuatannya. Karena itu ahli sejarah seni dan arkeolog perlu melihat dan membandingkan banyak obyek dari emas untuk bisa membedakan emas asli dan imitasi.

"Di Indonesia kami juga bekerja dengan banyak museum dan saya senang, karena sejumlah museum sangat terbuka dan kami bisa memotret dan melihat koleksi di penyimpanan tertutup," kata Mai Lin. 

"Tapi sayangnya di Museum Nasional Indonesia tidak begitu. Saya sudah mencoba sejak bertahun-tahun untuk mendapatkan izin masuk ke penyimpanan tertutup untuk melihat dan memotret koleksi emas disana. Tapi sampai sekarang belum boleh," keluhnya.

Pakar sejarah seni yang tinggal di Berlin ini berharap agar kerjasama antara peneliti dan museum-museum di Indonesia nantinya bisa lebih erat agar mereka juga diperbolehkan untuk mendokumentasikan lebih banyak koleksi yang disimpan.


Indonesia kaya akan budaya dan sejarah

Setelah bekerja selama lebih dari 30 tahun di berbagai tempat berbeda di Indonesia sebagai arkeolog dan pakar sejarah seni, bagi Mai Lin setiap proyek yang pernah ia jalankan mempunyai keistimewaan sendiri karena ia selalu menemukan banyak hal baru yang bisa dipelajari. 

"Indonesia begitu kaya akan budaya. Menurut saya, masih banyak yang belum diketahui. Di Eropa semuanya sudah dipelajari dengan detil dan begitu tersistematis. Di Indonesia masih banyak sejarah yang bisa diteliti," ujarnya.

"Saya juga ingin menunjukkan, bahwa sejarah dan budaya Indonesia sejak dulu sudah terhubung dengan dunia Barat melalui jalur maritim global. Karena itu sejarah seni atau arkeologi seharusnya tidak hanya terpusat pada Eropa, melainkan dilihat dengan sudut pandang lain yang juga terhubung dengan wilayah-wilayah lain, seperti Asia Tenggara,“ tambahnya.

Mai Lin Tjoa-Bonatz yang juga bekerja sebagai dosen di Universitas Frankfurt juga mendapatkan kepuasan tersendiri setiap kali ia mengajar mahasiswa. Ia senang bisa membagikan pengetahuannya tentang beragam sejarah Indonesia yang telah ia kumpulkan selama puluhan tahun, seperti cita-citanya sejak kecil. (ag/yp)