Para peneliti dari Harvard kembangkan kecerdasan buatan yang diharapkan dapat memprediksi lebih tepat terjadinya gempa-gempa susulan.
Iklan
Gempa susulan diketahui bisa lebih merusak daripada gempa utama, karenanya penting bagi para ahli untuk memprediksi dengan lebih tepat gempa susulan.
Saat ini para ahli gempa atau seismolog memang telah memiliki metode untuk meramalkan besaran kekuatan dan waktu gempa susulan, namun masih belum banyak yang bisa memprediksi dengan tepat di mana gempa akan terjadi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, sekelompok ilmuwan meneliti apa yang mereka sebut dengan program "pembelajaran mendalam."
Dalam program ini, mereka mempelajari puluhan ribu data terkait gempa bumi dan gempa susulan untuk melihat apakah mereka bisa memperbaiki prediksi yang ada sekarang.
"Dengan menggunakan pendekatan yang ada saat ini, peramalan lokasi gempa susulan memiliki ketepatan sekitar tiga persen pada seluruh set data pengujian. Pendekatan jaringan kami memiliki presisi sekitar enam persen," kata Phoebe DeVries, salah satu penulis dalam studi yang diterbitkan di jurnal Nature, Kamis (30/8).
"Pendekatan ini lebih akurat karena dikembangkan tanpa adanya keyakinan di mana gempa susulan akan terjadi," kata DeVries yang juga bekerja di program pasca-doktoral di Harvard.
Gempa Paling Mematikan di Abad-21
Gempa berkekuatan 7,8 yang mengguncang Turki dan Suriah dan menewaskan lebih dari 15.000 jiwa adalah salah satu dari gempa paling mematikan. Inilah daftar gempa paling mematikan di abad-21 versi USGS.
Foto: AP
Turki dan Suriah
Lebih dari 50.000 orang tewas dan ratusan gedung roboh akibat gempa bumi yang mengguncang Turki dan Suriah pada hari Senin, 6 Februari 2023. Layanan Geologi Amerika Serikat mengatakan, gempa berkekuatan 7,8 SR ini berpusat di utara kota Gaziantep, pusat industri utama di dekat perbatasan dengan Suriah. Gempa dilaporkan terasa hingga ke Kairo, Mesir.
Foto: DHA/AFP
Port au Prince, Haiti
Sedikitnya 320.000 tewas, 300.000 lainya cedera akibat gempa berkekuatan 7,3 pada skala Richter yang mengguncang Haiti 12 Januari 2010, dengan episentrum sekitar 25 km di barat ibu kota Port au Prince. Bencana kemanusiaan di Haiti berlarut akibat sangat buruknya manajemen krisis dari pemerintah serta penjarahan brutal oleh warga yang selamat dan kelaparan.
Foto: AP
Aceh, Indonesia
Sekitar 230.000 orang di 14 negara tewas akibat tsunami dahsyat yang melanda Samudra Hindia, 26 Desember 2004. Tsunami dipicu gempa berkekuatan 9,1 pada skala Richter, yang episentrumnya berada Samudra Hindia, sekitar 85 km di barat laut Banda Aceh. Jakarta mengklaim, korban terbanyak sekitar 165.000 orang berasal dari Indonesia mayoritasnya dari Banda Aceh.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Sichuan, Cina
Hampir 90.000 orang tewas akibat gempa berkekuatan 7,9 pada skala Richter yang mengguncang Sichuan di Cina, pada 12 Mei 2008. Lebih dari lima juta bangunan runtuh. Korban kebanyakan tewas tertimpa bangunan yang runtuh, karena pembangunannya tidak mematuhi standar keamanan. Lebih dari lima juta warga Sichuan jadi tunawisma karena rumahnya hancur.
Foto: AFP/Getty Images
Kashmir, Pakistan
Lebih 84.000 orang tewas akibat gempa berkekuatan 7,6 pada skala Richter yang melanda kawasan Kashmir Pakistan di pegunungan Himalaya, 8 Oktober 2005. Episentrum gempa terletak di sekitar kota Muzaffarabad. Juga dilaporkan 1.300 korban tewas di kawasan Kashmir India, dan puluhan tewas di Afganistan.
Foto: AFP/Getty Images/E. Feferberg
Bam, Iran
Lebih 40.000 orang tewas dan 30.000 cedera akibat gempa berkekuatan 6,6 pada skala Richter yang melanda Provinsi Bam di Iran, pada 26 Desember 2003. Sekitar 70 persen kawasan kota termasuk bangunan bersejarah terbuat dari lempung juga hancur total. Kebanyakan korban tewas akibat tertimbun bangunan yang runtuh.
Foto: AP
Fukushima, Jepang
21.000 tewas dan lebih 4.000 dinyatakan hilang, akibat tsunami yang melanda Fukushima 11 Maret 2011. Pemicunya adalah gempa dahsyat berkekuatan 9.0 pada skala Richter dengan episentrum di kawasan laut di timur Kepulauan Honshu. Bencana gempa dan tsunami juga diikuti bencana atom, akibat meledaknya pembangkit listrik tenaga nuklir Daiichi di Fukushima.
Foto: picture alliance/dpa
Gujarat, India
Lebih dari 20.000 tewas akibat gempa berkekuatan 7,9 pada skala Richter, yang mengguncang negara bagian Gujarat di India, 26 Januari 2001, bertepatan dengan peringatan Republic Day ke-52. Ini gempa dahsyat pertama di abad ke-21 dengan korban tewas cukup banyak.
Foto: SEBASTIAN D'SOUZA/AFP/Getty Images
Kathmandu, Nepal
Dikhawatirkan hingga 10.000 orang tewas akibat gempa berkekuatan 7.9 pada skala Richter dengan episentrum 80 km di barat ibu kota Kathmandu, yang mengguncang Nepal 25 April 2015. Gempa juga memicu longsor salju (avalanche) yang menewaskan 250 warga dan puluhan pendaki gunung di Himalaya. Sejauh ini dikonfirmasi lebih 7.300 tewas, namun banyak warga yang masih dinyatakan hilang.
Foto: Reuters/N. Chitrakar
Yogyakarta, Indonesia
Sekitar 5.800 tewas dan 36.000 cedera akibat gempa berkekuatan 6,3 pada skala Richter yang melanda Yogyakarta, 26 Mei 2006. Episentrum gempa dangkal ini berada di Samudra Hindia, sekitar 22 kilometer di tenggara Yogyakarta. Lebih 1.350 ribu bangunan hancur dan 1,5 juta orang jadi tunawisma.
Foto: AP
10 foto1 | 10
Meniru kinerja otak manusia
Para peneliti menggunakan jenis kecerdasan buatan yang dimodelkan pada cara kerja otak manusia dalam membuat koneksi.
Program ini memungkinkan para peneliti untuk memetakan kaitan "antara karakteristik gempa bumi besar - bentuk patahan, seberapa banyak bagian yang tergelincir, bagaimana hal itu menimbulkan tekanan pada bumi - dan di mana gempa susulan terjadi," kata Brendan Meade, profesor ilmu bumi dan planet di Harvard, dan yang juga rekan penulis dalam penelitian itu.
Para peneliti menguji jaringan data tersebut dengan cara menyembunyikan sekitar seperempat informasi dari data set yang mereka miliki, kemudian memberikan informasi lainnya kepada program komputer.
Mereka kemudian menguji seberapa baik kinerja program dalam memprediksi lokasi gempa susulan berdasarkan seperempat informasi yang belum diberikan kepada program itu.
Dari penelitian itu, para peneliti menemukan bahwa enam persen dari area yang diidentifikasi oleh program sebagai berisiko tinggi ternyata memang benar-benar mengalami gempa susulan.
Hasil ini naik dari tiga persen ketepatan bila menggunakan metode yang ada.
Bencana Alam Dilihat dari Angkasa
Satu perspektif lain ditunjukkan foto-foto yang diambil dari ruang angkasa. Kengerian bencana yang melanda di bumi tampak menunjukkan kesan yang mendalam, jika dilihat dari ketinggian.
Foto: NASA
Raksasa Terbangun
Setiap kali terbangun dari tidurnya, gunung berapi selalu mendatangkan ketakutan. Tahun 2009, Gunung Sarychev, terletak di Kepulauan Kuril, Rusia, meletus. Pada saat yang sama, Stasiun Ruang Angklasa Internasional ISS tepat berada di atasnya, dan awak ISS berhasil mengabadikan foto ini.
Foto: NASA
Kering menjadi Pemenang
Salah satu misi satelit observasi bumi --- seperti Proba-V milik Badan Antariksa Eropa--adalah membuat foto-foto yang memungkinkan dilakukannya pelacakan perubahan lingkungan dari waktu ke waktu. Foto yang - diambil bulan April 2014, Juli 2015 dan Januari 2016 (kiri ke kanan) ini - memperlihatkan proses mengeringnya Danau Poopo di Bolivia akibat dampak perubahan iklim.
Foto: ESA/Belspo
Jangan Bermain Api
Setiap tahunnya, kebakaran hutan memusnahkan jutaan hektar hutan dan ekologi di berbagai belahan dunia, seperti juga di Indonesia. Tampak dalam foto yang diambil tanggal 15 September 2015 ini, Pulau Sumatera dan Kalimantan diselimuti asap tebal dari kebakaran hutan.
Foto: NASA/J. Schmaltz
Hujan yang Tidak Diharapkan
Tahun 2013, Eropa diguyur hujan berkepanjangan. Hal ini menyebabkan banyak sungai besar meluap, termasuk juga Sungai Elbe. Tampak dalam foto, lumpur yang dibawa Sungai Elbe menutupi wilayah sekitar Wittenberg, di negara bagian Sachsen-Anhalt.
Foto: NASA/J. Allen
Titik Pusat Badai
Badai angin kerap menyebabkan kerusakan hebat. Informasi cuaca yang di susun berdasarkan laporan dari satelit sangat penting untuk memonitor perkembangan badai, seperti: intensitas, arah pergerakan, kecepatan angin. Foto yang diambil pada 25 November 2015 di Samudera Pasifik, dekat Meksiko, ini membantu untuk memprediksi kekuatan badai tropis Sandra, yang mencapai kecepatan 160 km/jam.
Foto: NASA/J. Schmaltz
Gletser Lenyap di Argentina
Satelit memerankan peran penting dalam memantau perubahan iklim. Misalnya, lewat informasi yang dikirim dari ruang angkasa, ilmuwan dapat mendokumentasikan bagaimana gletser di seluruh dunia meleleh, dan menyebabkan peningkatan permukaan air laut. Foto yang diambil dari Stasiun Luar Angkasa Internasional ISS, ini menunjukkan proses melelehnya gletser Upsala di Argentina antara 2002-2013.
Foto: NASA
Mengerti Badai Pasir
Badai pasir di Timur Tengah disebut "Haboob" kerap menerjang wilayah padang pasir. Pada September 2015, satelit berhasil mengabadikan badai pasir hebat tengah bergerak ke wilayah pemukiman. Foto seperti ini dapat memberikan gambaran untuk memahami pola bagaimana badai terbentuk, untuk memprediksi kekuatan badai dan mengambil antisipasi yang diperlukan.
Foto: NASA/J. Schmaltz
Gunung Telanjang
Nama ini digunakan NASA untuk menggambarkan Gunung Shasta di Kalifornia, Amerika Serikat. Gunung yang memiliki selimut salju ini merupakan sumber air penting di kawasan. Namun hamparan salju secara bertahap menghilang. Foto yang diambil pada tahun 2013, saat terjadi bencana kekeringan parah ini, memperlihatkan bagaimana salju yang menutupi gunung tersebut telah menghilang hampir seluruhnya.
Foto: NASA/R. Simmon
8 foto1 | 8
Masih terlalu dini
Namun Gregory Beroza, seorang profesor geofisika di Universitas Stanford, memperingatkan bahwa "mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan... pemahaman fisik yang memicu gempa susulan."
Dalam artikel yang diterbitkan di jurnal Nature bersama dengan penelitian itu, Beroza mengatakan jika penelitian tersebut hanya berfokus pada satu set perubahan yang disebabkan oleh gempa bumi yang mempengaruhi terjadinya tempat gempa susulan.
"Alasan lain untuk berhati-hati adalah bahwa analisis penulis bergantung pada faktor-faktor yang penuh ketidakpastian," tulis Beroza.
Menanggapi kritik tersebut, DeVries mengakui bahwa memang ada faktor tambahan yang bisa mempengaruhi lokasi terjadinya gempa susulan dan bahwa "banyak yang masih harus dikerjakan."
"Kami sangat setuju bahwa pekerjaan ini hanyalah tahap awal yang memotivasi, bukan akhir," katanya.
Senada dengannya, Beroza pun mengatakan kalau penelitian ini telah membentuk "tempat berpijak" untuk studi lanjutan tentang bagaimana kecerdasan buatan dapat membantu memprediksi suatu kejadian.
"Penerapan metode pembelajaran mesin memberikan potensi bagi kita untuk menarik kesimpulan dari sumber informasi yang besar dan kompleks ini, tetapi kita masih berada di tahap awal."
Menguji Ketahanan Bangunan Tua Pada Guncangan Gempa