1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kecerdasan Buatan Prediksi Lokasi Gempa Susulan

30 Agustus 2018

Para peneliti dari Harvard kembangkan kecerdasan buatan yang diharapkan dapat memprediksi lebih tepat terjadinya gempa-gempa susulan.

Symbolbild Erdbeben vor Indonesien Seismogramm
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini

Gempa susulan diketahui bisa lebih merusak daripada gempa utama, karenanya penting bagi para ahli untuk memprediksi dengan lebih tepat gempa susulan.

Saat ini para ahli gempa atau seismolog memang telah memiliki metode untuk meramalkan besaran kekuatan dan waktu gempa susulan, namun masih belum banyak yang bisa memprediksi dengan tepat di mana gempa akan terjadi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, sekelompok ilmuwan meneliti apa yang mereka sebut dengan program "pembelajaran mendalam."

Dalam program ini, mereka mempelajari puluhan ribu data terkait gempa bumi dan gempa susulan untuk melihat apakah mereka bisa memperbaiki prediksi yang ada sekarang.

"Dengan menggunakan pendekatan yang ada saat ini, peramalan lokasi gempa susulan memiliki ketepatan sekitar tiga persen pada seluruh set data pengujian. Pendekatan jaringan kami memiliki presisi sekitar enam persen," kata Phoebe DeVries, salah satu penulis dalam studi yang diterbitkan di jurnal Nature, Kamis (30/8).

"Pendekatan ini lebih akurat karena dikembangkan tanpa adanya keyakinan di mana gempa susulan akan terjadi," kata DeVries yang juga bekerja di program pasca-doktoral di Harvard.

Meniru kinerja otak manusia

Para peneliti menggunakan jenis kecerdasan buatan yang dimodelkan pada cara kerja otak manusia dalam membuat koneksi.

Program ini memungkinkan para peneliti untuk memetakan kaitan "antara karakteristik gempa bumi besar - bentuk patahan, seberapa banyak bagian yang tergelincir, bagaimana hal itu menimbulkan tekanan pada bumi - dan di mana gempa susulan terjadi," kata Brendan Meade, profesor ilmu bumi dan planet di Harvard, dan yang juga rekan penulis dalam penelitian itu.

Para peneliti menguji jaringan data tersebut dengan cara menyembunyikan sekitar seperempat informasi dari data set yang mereka miliki, kemudian memberikan informasi lainnya kepada program komputer.

Mereka kemudian menguji seberapa baik kinerja program dalam memprediksi lokasi gempa susulan berdasarkan seperempat informasi yang belum diberikan kepada program itu.

Dari penelitian itu, para peneliti menemukan bahwa enam persen dari area yang diidentifikasi oleh program sebagai berisiko tinggi ternyata memang benar-benar mengalami gempa susulan.

Hasil ini naik dari tiga persen ketepatan bila menggunakan metode yang ada.

Masih terlalu dini

Namun Gregory Beroza, seorang profesor geofisika di Universitas Stanford, memperingatkan bahwa "mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan... pemahaman fisik yang memicu gempa susulan."

Dalam artikel yang diterbitkan di jurnal Nature bersama dengan penelitian itu, Beroza mengatakan jika penelitian tersebut hanya berfokus pada satu set perubahan yang disebabkan oleh gempa bumi yang mempengaruhi terjadinya tempat gempa susulan.

"Alasan lain untuk berhati-hati adalah bahwa analisis penulis bergantung pada faktor-faktor yang penuh ketidakpastian," tulis Beroza.

Menanggapi kritik tersebut, DeVries mengakui bahwa memang ada faktor tambahan yang bisa mempengaruhi lokasi terjadinya gempa susulan dan bahwa "banyak yang masih harus dikerjakan."

"Kami sangat setuju bahwa pekerjaan ini hanyalah tahap awal yang memotivasi, bukan akhir," katanya.

Senada dengannya, Beroza pun mengatakan kalau penelitian ini telah membentuk "tempat berpijak" untuk studi lanjutan tentang bagaimana kecerdasan buatan dapat membantu memprediksi suatu kejadian.

"Penerapan metode pembelajaran mesin memberikan potensi bagi kita untuk menarik kesimpulan dari sumber informasi yang besar dan kompleks ini, tetapi kita masih berada di tahap awal."

Menguji Ketahanan Bangunan Tua Pada Guncangan Gempa

02:44

This browser does not support the video element.

ae (AFP)