1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sri Tunruang: Tiada Rekonsialiasi Tanpa Kebenaran

4 Oktober 2020

Pemerintah silih berganti. Namun posisi Sri Tunruang tidak pernah berubah. Aktif di International People’s Tribunal 65, aktivis Indonesia di Jerman ini tetap menuntut dibukanya kebenaran dan pengakuan atas Tragedi 1965.

Seminar | Sri Tunruang
Aktivis Sri TunruangFoto: Ayu Purwaningsih/DW

Sebuah petang yang hangat di akhir bulan Agustus 2020, Sri Tunruang, aktivis asal Indonesia yang bermukim di kota Aachen, Jerman, meluangkan waktunya menjadi pembicara di sebuah seminar “Indonesia up to Date“ di Bonn yang diselenggarakan Yayasan Pesanggrahan Indonesia. 

Di dalam aula Migrapolis tempat diselenggarakannya acara, Sri Tunruang mengenakan masker mulut, namun sudut matanya menampakkan senyum gembira menyambut para undangan yang hadir. Bicara soal hak asasi manusia (HAM), dengan lantang ia mengingatkan kembali pentingnya untuk pengungkapan tragedi 1965 sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang hingga kini belum dituntaskan pemerintah. “Kabarnya pemerintah akan membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR. Namun bagaimana mau rekonsiliasi jika kebenaran itu belum diungkap!“ tandasnya di hadapan para undangan seminar yang dihadiri warga Indonesia dan Jerman di Kota Bonn.

Senja menepi, malam menghampiri. Waktu telah menunjukkan hampir sepuluh malam. Ia pun bergegas, “Sudah gelap sekali, saya masih harus menyetir mobil kembali pulang ke Aachen,“ ujarnya sedikit was-was. Hujan sedang membasahi Bumi. Butuh sekitar satu jam bagi perempuan yang usianya yang sudah melewati kepala tujuh itu untuk sampai di rumah.

Bergabung dangan IPT '65

Di berbagai kesempatan, perempuan yang hidup sejak pemerintahan Soekarno itu, kerap berbicara soal penegakan HAM bagi korban tragedi pembantaian 1965. Bertahun-tahun lamanya ia bergabung dengan International People’s Tribunal 65 dan menjadi anggota dewan di dalamnya.

“Saya baru menyatakan siap bergabung pada bulan Februari 2014. Jadi ada suatu pertemuan yang sangat-sangat tidak sengaja pada waktu saya ke Amsterdam tahun 2013 bulan Agustus, waktu itu bertemu dengan seorang narasumber yang akan membuat ceramah, mengenai perampasan tanah, tak ada hubungannya dengan soal-soal itu. Saya itu yang tadinya di Amsterdam panas-panas dibawa pergi ke rumah yang kecil, bagus cantik di Den Haag dan ternyata rumah itu adalah rumah di mana waktu itu Profesor Saskia Wirienga dan Mbak Nursyahbani Katjasungkana sedang ada di situ mempersiapkan International People’s Tribunal,“ demikian dikisahkan Sri Tunruang tentang bagaimana ia bergabung dengan Yayasan International People’s Tribunal 65.

Sri Tunruang merasa Tragedi 1965 menyangkut masalah kemanusiaan dan keadilan. Setelah memikirkannya berbulan-bulan, perempuan yang sejak tahun 1974 tinggal di Jerman itu bersedia membantu. “Jadi ini juga karena saya punya motto waktu muda itu:  Bilamana keadilan diinjak-injak maka nurani akan berontak. Saya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai menyatakan diri bersedia gabung.“

Sri Tunruang, dengan baju tradisional Indonesia, mengajak melawan lupaFoto: Sri Tunruang

Pengadilan rakyat

International People’s Tribunal 1965 adalah bentuk pengadilan yang digelar oleh kelompok-kelompok masyarakat dan bersifat internasional untuk membahas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan dampaknya. Mekanisme ini berada di luar negara dan lembaga formal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kekuatannya berasal dari suara para korban dan masyarakat sipil, nasional dan internasional.

Dikutip dari situs internet Tribunal1965, lebih dari setengah abad yang lalu di Indonesia, setelah peristiwa 1 Oktober 1965, 500.000 hingga satu juta orang yang dituduh sebagai anggota atau pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh, dan ratusan ribu orang ditahan tanpa pengadilan, dibinasakan atau diasingkan. Impunitas seputar pembunuhan massal ini telah dilingkupi dalam amnesia sosial dan politik. Belum ada upaya resmi untuk mengetahui siapa di balik pembunuhan itu, para korbannya, dan di mana mereka dimakamkan.

Untuk mengatasi budaya impunitas dan untuk memulai aktivitas guna menghancurkan lingkaran  penyangkalan, distorsi, tabu dan kerahasiaan, Yayasan International People's Tribunal 1965 (IPT 65) berdiri pada bulan Maret 2014, bersama dengan jaringan luas yang berbasis di Indonesia dan negara-negara lain.

Yayasan ini kemudian menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT'65), dengan tuntutan kepada negara Indonesia untuk menyelidiki sejauh mana kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara dan kelompok main hakim sendiri pada masa-masa tragedi itu.

Misi pengadilan tersebut adalah untuk memeriksa bukti kejahatan terhadap kemanusiaan, mengembangkan catatan sejarah dan ilmiah yang akurat dan menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional sebagai bukti yang dikumpulkan. Kesaksian diberikan oleh sejumlah korban dan penyintas, baik dari Indonesia maupun eksil politik yang saat ini tinggal di negara lain.

Namun karena IPT '65 bukan pengadilan pidana, maka IPT '65 tidak memiliki mandat untuk menjamin keadilan dan kompensasi bagi para korban. Akan tetapi yayasan ini berusaha untuk mendorong negara agar bertanggung jawab terhadap para korban dan keluarganya, dan terhadap masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hal ini dirasakan penting untuk  membantu memecahkan budaya kekerasan dan menciptakan keadilan dan kesetaraan sosial dan gender agar menjadi nilai-nilai penting.

November 2015, tribunal rakyat International People's Tribunal '65 (IPT '65) digelar di Den Haag, Belanda. Majelis hakim ketika itu menyimpulkan, negara Indonesia telah gagal mencegah kejahatan atas kemanusiaan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui rantai komando. Untuk menyiarkan fakta-fakta sebenarnya tentang sejarah kelam Indonesia kepada masyarakat, khususnya generasi muda, Yayasan IPT 1965 menerbitkan buku dwi bahasa dalam bahasa Inggris-Indonesia, "Laporan Akhir IPT 1965".

“Pengadilan ini ingin membuka masalah 65 kembali, supaya yang tidak tahu menjadi tahu, terutama di dunia internasional. Jadi kita harus melihat pada tahun itu, 2013-2014 itu adalah tahun di mana masalah 65 sangat hangat, dibuka kembali, membuat orang yang tadinya tidak tahu apa-apa, tidak ingin tahu karena selama ini dinyatakan soal 65 itu adalah suatu kejahatan komunisme, PKI, kekejaman... mungkin semua tahu itu dengan film-film itu, kalau 65 isinya itu jenderal yang dibunuh, yang berdarah-darah, jadi Tribunal 65 ini berusaha untuk meluruskan kembali bahwa apa yang terjadi sebetulnya tidak (seperti) itu,“ demikian Sri Tunruang menjelaskan. 

Apa langkah selanjutnya?

“Produsen Amerika, Joshua Oppenheimer meluncurkan filmnya, The Act of Killing yang mendapatkan penghargaan internasional di berbagai forum film. Sebagai orang yang suka film tentu saja jadi kepo. Kalimat provokasinya Joshua Oppenheimer adalah sebagai produsen sudah melakukan sesuatu untuk membuka masalah 65. Sekarang kalian mau berbuat apa? Kita sebagai orang Indonesia, malu toh?“ tandas Sri Tunruang yang akrab di kalangan mahasiswa Indonesia di Jerman dengan sebutan Tante Ning.

Untuk menjawab pertanyaan itu, pengamat militer Aris Santoso pernah menyebutkan dalam sebuah kolom ihwal pentingnya peta penyelesaian korban: "Kini bola ada di tangan rezim Jokowi, untuk bagaimana harus bersikap terhadap korban 1965. Ia mengingatkan di belahan bumi lain, sebuah tragedi selalu diperingati sebagai ruang memelihara nilai kemanusiaan. Singkatnya, upaya melupakan sebuah tragedi, di kawasan mana pun, akan sia-sia belaka."

Sulit memang untuk menantikan perubahan yang signifikan dalam waktu dekat ini, tutur sejarawan Rahadian Rundjan dalam sebuah kolom. "Saya tidak melihat jalan untuk menyibak tabir Peristiwa 1965 akan terbuka selama jejaring oligarki Indonesia yang saat ini tengah berkuasa masih eksis.“

Jika negara ini sudah bisa berfungsi dengan semestinya, narasi-narasi PKI tersebut seharusnya tidak laku lagi. Tapi mungkin masih butuh 100 tahun lagi sampai hal itu akhirnya terwujud,“ tambah Rahadian.

Terus menanti niat baik pemerintah

Namun haruskah Sri Tunruang menanti satu dekade lagi? Hingga kini dia masih aktif bertemu dan berdiskusi dengan para korban Tragedi 65. Menurutnya, yang menjadi masalah adalah penetapan keadilan bagi para korban, bahwa sebetulnya tidak bersalah. Banyak misalnya yang tuntutan-tuntutan yang muncul di setiap pemerintahan agar pemerintah minta maaf. 

“Kalau saya pribadi perkara minta maaf itu memang Indonesia kan susah tuh minta maaf ya, yang penting itu adanya pengakuan dari pemerintah bahwa orang-orang yang jadi korban 65 itu sebetulnya tidak bersalah. Bahwa itu yang terjadi pada tahun 1965/66 adalah kesalahan ataupun kejahatan yang dilakukan oleh negara dan Komnas HAM dengan 700 halaman laporannya penyelidikannya itu sudah membuktikan bahwa itu bukan suatu konflik horizontal yang begitu saja muncul, tapi itu konflik horizontal yang dipacu dari atas ini pemerintah yang harus mengakui, keadilan ini yang harus di tegakkan, kebenaran ini yang harus dibuka,“ tegas Sri Tunruang.

“Tuntutan ini penting, sehingga para korban itu tidak dihantui oleh trauma, juga keturunannya bahwa mereka itu dianggap keturunan orang yang bersalah, keturunan pelacur.  Kan dulu judulnya (dicap) Gerwani itu pelacur. Jadi Anda bisa bayangkan kalau cucu Gerwani atau anaknya itu sepanjang hidup menanggung rasa, saya cucunya pelacur, saya ini anaknya pelacur. Trauma ini belum pernah diselesaikan. Belum pernah ada pernyataan bahwa mereka itu bukan pelacur. Jadi pertama itu pengakuan tadi bagi para korban, yang kedua penegakan kebenaran. Pemerintah sampai sekarang  belum ada usaha itu naik turun usahanya,” pungkasnya.

Dari halaman belakang rumahnya di Aachen -- sarang cinta bersama suaminya yang telah tiada--, tatapannya menerawang jauh berusaha menembus mentari yang kadang tertutup awan di musim gugur. Ia tetap menanti keadilan segera tiba. (ap/vlz)

*Tambahan informasi dari laman Tiribunal1965 dan kutipan dari DWnesia Kolom

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait