1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menapaki Jejak Reformasi

21 Mei 2024

Lengsernya 32 tahun kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998, menandakan awal dari Reformasi.

Mahasiswa berdemonstrasi memperingati Tragedi Mei 1998
Foto ilustrasi demonstrasi memperingati Tragedi Mei 1998Foto: Nick Hanoatubun/ZUMA Wire/picture alliance

Ketidakpuasan terhadap rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto hingga akumulasi krisis politik, hukum, hingga ekonomi, menjadi awal timbulnya sejumlah demonstrasi besar di Indonesia. Di akhir era kekuasaan selama 32 tahun, rezim Orba yang dinilai melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta serangkaian kebijakan otoriter demi melanggengkan kekuasaan, memantik kemarahan masyarakat.

Tidak ratanya pembangunan, formalitas pemilihan umum, pembungkaman hak bersuara dan politik, praktik kekerasan, hingga pemberedelan media massa, jadi beberapa contohnya. Melansir Kompas.id krisis finansial Asia pada tahun 1997 dan terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI untuk ke tujuh kalinya, memicu babak awal demonstrasi di sejumlah wilayah di Indonesia, menjelang berakhirnya rezim Orba. April 1998, demonstrasi besar-besaran dimulai oleh aksi serentak mahasiswa berbagai daerah.

Demonstrasi Menuju Reformasi

Tanggal 8 Mei 1998, bentrok aparat dan mahasiswa sejumlah universitas di Yogyakarta memuncak.  Kericuhan tak terhindarkan di sore hari saat aparat keamanan berusaha mencegah konsentrasi  mahasiwa  dari dua lokasi, yakni bundaran Universitas Gadjah Mada dan jalan Gejayan, yang menjadi titik strategis pertemuan karena menghubungkan sejumlah kampus di Yogyakarta. Bentrok mahasiwa dengan aparat keamanan, tak hanya menimbulkan korban luka. Mozes Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, meninggal dunia dengan luka pukulan benda tumpul di kepalanya. Mozes Gatotkaca kini diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan yang terhubung dengan jalan Gejayan, di dekat Universitas Sanata Dharma.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Aksi demonstrasi massa dan mahasiwa berlanjut, 12 Mei 1998 jadi salah satu momen terpenting saat menapaki jejak menuju reformasi. 4 mahasiwa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru tajam, ratusan lainnya terluka. Museum Tragedi 12 Mei atau Museum Reformasi, yang terletak di sebelah lobby utama gedung M Universitas Trisakti menggambarkan detik-detik perjuangan sekaligus menghormati kepergian ke-empatnya; Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Tak hanya foto momen-momen kerusuhan dan demonstrasi Mei 1998, kenangan 4 "Pahlawan Reformasi” juga di jaga dengan baik, dengan mengabadikan beberapa pakaian dan barang mereka. 

Sejumlah Kasus HAM Berat Masa Lalu Masih Misteri

26 tahun berlalu, sejumlah misteri dinilai masih menghantui penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kejadian Gejayan dan Trisakti hanya beberapa dari peristiwa-perisitwa "berdarah” lainnya, di momen-momen akhir era Orba periode 1997-1998. Koordinator KontraS atau Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Dimas Bagus Arya Saputra, dalam wawancara kepada Deutsche Welle, menjelaskan banyaknya kasus pelanggaran HAM yang masih belum tuntas. "Karena ada banyak sekali rantai kekerasan di zaman pemerintahan Orde Baru yang itu bermuara kepada pelanggaran hak asasi manusia. Terutama sekali ketika kita berbicara dalam konteks senjakala Orde Baru di tahun 1996-1998. Salah satunya adalah tragedi Mei 98, ada penculikan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi, dan juga ada satu pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II”.

Fenomena Chindo: Tren Masa Kini atau Produk Trauma Generasi

01:59

This browser does not support the video element.

KontraS juga menilai, tidak adanya kemauan politik dari pihak berwenang dan pemerintah menjadi ersebut, "salah satu permasalahannya adalah ketidakmauan, atau biasanya bahasanya adalah political unwillingness, ketidakmauan politik, yang pada akhirnya menyebabkan kasus ini bolak-balik antara Komnas HAM dan juga Kejaksaan Agung. Dalam beberapa dokumen penyelidikan Komnas HAM, sudah disampaikan bahwa korban jiwa yang terjadi selama konteks pemerintahan Orde Baru, pelanggaran hak asasi manusia itu menelan hampir ratusan ribu sampai jutaan orang menjadi korban,” jelasnya.

Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya