Saat pemilihan presiden tahun 2014 lalu, publik Indonesia terpecah setidaknya menjadi dua kubu, yang pro-Joko Widodo dan pro-Prabowo Subianto. Kecemasan apa yang menghantui? Simak opini Zaky Yamani.
Iklan
Orang-orang yang trauma dengan Orde Baru, segera berada di kubu Joko Widodo, walau mungkin tidak ikut kampanye, setidaknya mereka datang ke Tempat Pemungutan Suara untuk memilih Joko Widodo. Saya termasuk salah satu di antara mereka. Rasanya malu jika saya harus ikut membiarkan tokoh yang menjadi salah satu aktor di era Orde Baru menang jadi presiden.
Ada semacam paranoia yang menghantui, jangan-jangan kalau Prabowo menang, perilaku kekuasan gaya Suharto akan hadir lagi di negeri ini. Sebagai seorang jurnalis dan penulis novel—di mana dua profesi itu mensyaratkan kebebasan berbicara dan berekspresi—saya takut suara saya dibungkam, kebebasan berekspresi saya dibatasi. Saya juga takut jika Prabowo menang akan banyak penindasan terhadap para aktivis, mulai dari aktivis buruh, aktivis lingkungan, aktivis petani, sampai aktivis seni, seperti di masa Orde Baru.
Joko Widodo kemudian menang. Saya merasa lega. Setidaknya saya merasa tidak percuma ikut lagi memilih presiden, karena sejak pemilu 1999 saya tidak pernah ikut memilih siapa pun, apakah itu dalam pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, dan juga pemilihan kepala daerah. Sebagian orang mungkin menuding saya sebagai orang yang tidak bertanggung jawab sebagai warga negara. Tapi bagi saya, memilih untuk tidak memilih adalah sikap politik yang sama tegasnya dengan orang yang memilih para calon dukungan mereka dalam pemilu. Persis seperti saat saya ikut memilih Joko Widodo, itu adalah plihan politik yang tegas.
Lalu rezim berjalan seperti biasa, seperti yang sudah-sudah: ada kebijakan dan pembangunan yang bagus, ada juga sikap tercela di sana-sini. Kekecewaan besar saya yang pertama adalah ketika marak pemberangusan aktivitas yang dituding oleh kaum fasis agama dan militer sebagai aktivitas yang berkaitan dengan PKI dan komunisme. Sampai-sampai petunjukan teater seorang kawan saya yang bertemakan Tan Malaka pun diberhentikan dengan paksa, padahal sejak zaman Sukarno sampai hari ini Tan Malaka masih diakui sebagai pahlawan nasional. Saya juga ingat, seorang kawan yang melakukan aktivitas pantomim di jalan, ditangkap polisi karena dicurigai membawa agenda "kiri”.
Sebagai seorang jurnalis, saya juga pernah mengalami intimidasi oleh militer. Ketika saya menjadi seorang editor untuk halaman seni dan budaya di sebuah surat kabar, saya dicari-cari intel militer hanya karena saya menerbitkan artikel tentang sastrawan-sastrawan dari kubu kiri di zaman Orde Lama. Bahkan intel militer sampai masuk ke lingkungan kantor, bertanya kepada beberapa orang untuk mencari saya selama beberapa hari. Ketika akhirnya saya temui, mereka mengatakan keberatan dengan artikel yang saya terbitkan, meminta identitas penulisnya, dan berkali-kali menegaskan bahwa menerbitkan konten tentang orang-orang komunis adalah tabu di negeri ini.
Tak pernah saya bayangkan sebelumnya, jauh setelah Suharto turun dari jabatannya, masih ada tentara yang mencari-cari seorang jurnalis sampai ke redaksinya. Tak kalah sengit, ada seorang sastrawan senior yang mengirimkan surat keberatan ke redaksi tempat saya bekerja, sambil menjelaskan panjang lebar tentang kejahatan kaum komunis di seluruh dunia.
Saya bukan seorang komunis. Saya hanyalah orang yang peduli akan sejarah dan ingin sejarah dituturkan dengan jujur dan selalu mengungkap hal-hal baru yang tak pernah disampaikan sebelumnya. Dengan semangat jurnalisme—menjadi mata bagi yang tidak bisa melihat, menjadi mulut bagi yang tidak bisa bicara, menjadi telinga bagi yang tidak bisa mendengar—saya selalu ingin memberi ruang pada orang-orang yang disembunyikan dari narasi kaum pemenang.
Jokowi Blusukan di Papua
Presiden Joko Widodo membawa Ibu Negara Iriana dan sejumlah menteri dalam kunjungan kerja ke Papua. Ini adalah kedelapan kalinya Jokowi melawat ke provinsi di ufuk timur tersebut.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Delapan Kali di Papua
Selama lima jam Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo menumpang pesawat kepresidenan ke Papua. Ini adalah kali ke-delapan presiden mengunjungi provinsi di ufuk timur Indonesia itu sejak dilantik Oktober 2014 silam.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Tanda Kemakmuran
Dalam kunjungannya kali ini presiden mendapat agenda ketat. Setibanya di Jayapura, Jokowi dijadwalkan menyerahkan 3.331 sertifikat hak atas tanah kepada penduduk setempat. Ia berpesan agar penduduk menyimpan dokumen penting tersebut dengan aman. "Dimasukkan ke plastik, difotokopi, jadi kalau hilang ngurus-nya lebih gampang," ujar Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Kepemilikan Permudah Pinjaman
Penyerahan sertifikat tanah dinilai penting sebagai pondasi kemakmuran. Kini penduduk bisa menggunakan sertifikat tersebut untuk menambah pinjaman usaha. "Tapi hati-hati untuk agunan ke bank tolong dihitung, dikalkulasi bisa mencicil, bisa mengembalikan ndak setiap bulan? Kalau ndak, jangan," ucap Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Kurangi Konflik Tanah
Tahun 2017 silam pemerintah membagi-bagikan 70.000 sertifikat kepada penduduk Papua. Tahun ini Badan Pertanahan Nasional menargetkan penyerahan 20.000 sertifikat tanah tambahan.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Rombongan Menteri di Jayapura
Selain presiden dan ibu negara, rombongan kenegaraan ini juga dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Seketaris Negara Pratikno, Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Blusukan Infrastruktur
Selain bertemu penduduk, rombongan presiden juga dijadwalkan mengunjungi sejumlah proyek infrastruktur vital, antara lain Pasar Mama Mama yang khusus dibangun buat kaum perempuan dan jembatan Holtekamp di atas Teluk Youtefa.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Jembatan Memangkas Jarak
Jembatan sepanjang 732 meter ini menghubungkan Jayapura dengan Muara Tami. Keberadaan jembatan di atas Teluk Youtefa memangkas waktu perjalanan dari yang semula 2.5 jam menjadi hanya satu jam saja.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
7 foto1 | 7
Pemberangusan aktivitas intelektual
Tak cukup sampai di sana, ketika saya mengikuti sebuah kegiatan sastra di Bali, dan salah satu agenda kegiatannya adalah mengungkap narasi sejarah tentang orang-orang Bali yang dibantai dengan tudingan komunis pasca G30S tahun 1965, acara itu dibatalkan dengan paksa oleh kepolisian. Saya sangat kecewa dengan sikap rezim yang nyaris tak menunjukkan sikap apa pun terhadap pemberangusan aktivitas intelektual. Rezim juga diam ketika beberapa perguruan tinggi melakukan pemberangusan aktivitas mahasiswanya, mulai dari pelarangan buku, pelarangan diskusi sampai pelarangan terbitnya media mahasiswa.
Itu semua saya alami di masa Joko Widodo, yang sebelumnya saya anggap sebagai tandingan dari orang-orang Orde Baru yang ingin bangkit kembali. Bahkan ketika kubu lawan politiknya menuding Joko Widodo memberi ruang bagi kebangkitan PKI, alih-alih memberikan argumen yang cerdas tentang sejarah—saya yakin sebagai presiden dia bisa mengakses ahli sejarah mana pun di Indonesia untuk mendapatkan narasi sejarah yang objektif, bahkan salah seorang direktur jenderal di salah satu kementeriannya pun adalah seorang ahli sejarah—Joko Widodo menyatakan tegas, "Tunjukkan pada saya mana PKI, saya akan gebuk!” Ironis, pernyataan serupa pernah dilontarkan Suharto saat dia berkuasa.
Tak berhenti di masalah kebebasan berbicara dan berekspresi bagi para aktivis seni dan literasi, di rezim Joko Widodo pula konflik agraria muncul dengan sengit. Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, hanya di tahun 2017 saja terjadi 659 konflik agraria, meningkat 50 persen dari tahun 2016. Kita juga bisa mengingat kasus-kasus yang mencuat ke permukaan, seperti konflik berlarut-larut di Kendeng, yang para petaninya sampai berunjuk rasa di depan Istana Negara. Tentu kita juga akan selalu ingat tentang dibunuhnya Salim Kancil, warga Desa Selok Awar-Awar yang memprotes tambang pasir di desanya. Lalu ditangkapnya Heri Budiawan, seorang aktivis lingkungan hidup di Banyuwangi, dengan tudingan sebagai komunis karena memprotes tambang emas di daerahnya. Kemudian yang baru-baru ini terjadi: Poro Duka yang ditembak mati karena membela tanah adatnya di Sumba Barat.
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
"Pembangunan-isme” gaya Suharto
Konflik-konflik agararia yang memakan begitu banyak korban itu mengingatkan saya pada "pembangunan-isme” gaya Suharto: demi pembangunan, rakyat harus minggir. Bahkan di masanya, Suharto dijuluki sebagai Bapak Pembangunan, karena dia banyak "membangun”: mulai dari Taman Mini Indonesia Indah, berbagai waduk yang menggusur rakyat dari tanahnya, sampai proyek sawah sejuta hektar di Kalimantan yang mangkrak tidak karuan. Bukankah Joko Widodo juga sekarang sedang menggenjot pembangunan infrastruktur, dan akibatnya banyak rakyat tergusur dan muncul konflik agraria di mana-mana?
Mungkin Joko Widodo adalah orang baik. Tapi ternyata kita tak bisa mengandalkan kebaikan dan keluguan, karena bagaimana pun kita bisa melihat, kekuasaan Joko Widodo ditopang oleh para oligark, yang secara langsung atau tidak langsung memiliki hubungan dengan penopang kekuatan Suharto di masa lalu: militer dan para konglomerat. Kita bisa melihat, unsur militer selalu hadir sebagai salah kekuatan politik penting di kubu Joko Widodo, walau mereka adalah para pensiunan jenderal. Saya sendiri selalu skeptis—jika bukan curiga—dengan kehadiran para mantan jenderal dalam peta politik negeri ini. Walau mereka adalah para pensiunan—dan karenanya mereka adalah warga sipil yang memiliki hak politik—tetap saja kita tidak bisa mengabaikan doktrin militer yang diajarkan kepada mereka sejak zaman Suharto. Demikian juga dengan para konglomerat Indonesia, yang di masa lalu banyak mendapatkan akses bisnis dari Cendana dan banyak yang melakukan ekspansi bisnis dengan cara-cara Orde Baru: menggunakan tangan kepolisian, militer, dan preman untuk melancarkan ekspansi bisnis mereka.
Memang ada PDIP di belakang Jokowi, yang katanya masih partai berbasis massa—yang dianggap juga sebagai partainya wong cilik. Tapi bukankah PDIP juga partai yang pragmatis, karena pada pemilihan presiden tahun 2009 partai itu mengusung pasangan Megawati-Prabowo? Saya pikir PDIP pun sudah tergelincir menjadi partai oligarki, dengan dominasi Megawati dan ada kecenderungan kuat untuk menjaga dominasi trah Sukarno di partai itu.
Pada akhirnya, saya harus menyerah pada kenyataan: andaikan Joko Widodo adalah orang baik yang memiliki idealisme untuk membela rakyat kecil, kekuatan dia terlalu kecil jika dibandingkan dengan kekuatan uang dan politik para mantan jenderal dan para konglomerat, apalagi berhadapan dengan Megawati dan PDIP. Sayangnya, Joko Widodo tampaknya tidak percaya diri untuk bersandar pada kekuatan rakyat, dan berdiri bersama rakyat yang tertindas. Padahal suara rakyalah yang membuat dia menang jadi presiden.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz)
Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.