1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Marak Kasus Kekerasan oleh Anak, Bagaimana Mencegahnya?

28 Maret 2023

Kasus kekerasan oleh anak kian marak terdengar. Bagaimana cara mencegahnya dan apakah hukuman yang ada saat ini sudah cukup?

Ilustrasi kekerasan terhadap anak di bawah umur
Ilustrasi kekerasan terhadap anak di bawah umurFoto: imagebroker/IMAGO

Maraknya peristiwa kekerasan termasuk penusukan yang dilakukan oleh anak di bawah umur menyita perhatian banyak pihak. Salah satu kejadian yang ramai dan viral di media antara lain penusukan bocah di Cimahi Jawa Barat yang terjadi sepulang mengaji. Di Sumatera Selatan, siswa SMK menusuk temannya karena sering menjadi korban perundungan.

Di tempat lain, seorang siswa SMP menjadi korban pembacokan sepulang kerja kelompok dan di Bogor seorang siswa SMK dibacok oleh tiga pelajar dari sekolah lain karena sekolahnya dikenal saling berkonflik.

Kriminolog Universitas Budi Luhur Chazizah Gusnita mengatakan tindak pidana memang bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh anak di bawah umur. Dalam usia anak, kekerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya norma yang biasanya diajarkan di dalam keluarga dan sekolah.

"Biasanya dalam tumbuh kembang mereka sudah terbiasa dengan paparan kekerasan yang dia terima. Kekerasan bagi mereka dianggap hal yang wajar dan biasa sehingga dia melampiaskan lagi ketidaksesuaian dari hal yang diinginkan dengan bentuk kekerasan," ujarnya kepada DW Indonesia.

Tumbuh kembang anak idealnya diisi dengan aktivitas bermain dan belajar. Namun, tidak dipungkiri ada banyak permasalahan sehingga banyak anak tidak bisa tumbuh di lingkungan yang baik, ujar Chazizah Gusnita.

Sementara mahasiswa profesi psikolog klinis anak, Owena Ardha, memprihatinkan kejadian ini dan menganggap ini disebabkan oleh kebutuhan emosional anak yang tidak terpenuhi. "Anak perlu diberikan rasa sayang, rasa aman, keberhargaan diri, gambar diri yang sehat dari lingkungan sekitar. Menyaksikan dan menjadi korban kekerasan akan menyebabkan anak melakukan tindakan agresif," kata Owena kepada DW Indonesia.

Anak adalah peniru yang baik

Dosen Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Agustin Dea Prameswari, menambahkan semakin terbukanya akses informasi turut menyumbang sebab kekerasan oleh anak. Ia memberikan contoh media sosial yang memudahkan berbagai informasi yang tadinya sulit diakses.

"Tidak ada faktor tunggal yang sebabkan anak melakukan pelanggaran hukum. Tapi anak pada dasarnya adalah peniru dan lewat orang yang ada di sekitarnya, intens setiap hari, yang menjadi tontonannya setiap hari itu yang menjadi salah satu faktor anak berani untuk lakukan kekerasan penusukan itu," kata dia. Ditambah lagi, anak bisa lebih mudah mengakses tontonan di media sosial, dan bertukar informasi lewat ponsel.

"Itu yang harus diawasi, bukan hanya tugas orang tua dan guru saja tapi tugas negara. Pengawasan yang baik bisa didapatkan di lingkungan yang baik juga. Tontonan sekarang juga banyak tema balas dendam. Kalau (orang) dewasa yang melihat bisa mencerna ini hanya sandiwara tapi kalau anak yang lihat dia akan tiru," kata Dea.

Kekhawatiran orang tua

Menanggapi kekerasan oleh anak yang kian marak diberitakan, kekhawatiran juga datang dari pihak orang tua. Astri Lestari, 35, mengatakan anak harus diberi tahu batasan dalam membela diri dan mengelola rasa dendam.

Hal senada disampaikan orang tua lainnya, Anah, 35, yang menekankan anaknya untuk selalu menjaga omongan saat bermain dan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Karena khawatir, ia kini juga terpaksa membatasi pergaulan anaknya.

"Gara-gara kasus begitu, tadinya 'kan anak-anak kalau bulan puasa suka nyubuh ke masjid dan jalan-jalan pagi tapi sekarang saya larang," ujar Anah.

Pemulihan korban jadi hal penting

Dosen Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Agustin Dea Prameswari, mengatakan hukuman saat ini cenderung berfokus menghukum pelaku saja. Contohnya, ketika anak berhadapan dengan hukum, di tengah amarah masyarakat pasti ada tuntutan supaya dihukum dengan berat.

"Namun harus diingat, apakah dengan menghukum anak seberat-beratnya, seperti hukuman seumur hidup atau hukuman belasan tahun, akan membuat efek penggetar jeraan, sehingga anak lain tidak lakukan hal sama? Ini tugas bersama, yang semua harus berintegrasi kepentingan terbaik untuk anak dengan cara restorative justice, melibatkan masyarakat, orang tua pelaku, orang tua korban," kata dia.

Selain itu yang harus dipikirkan juga adalah pemulihan terhadap korban anak dan tak hanya fokus terhadap pelaku anak.

"Pemulihan korban menjadi hal penting. Ketika menghukum anak dengan hukuman seberat-beratnya apakah itu efektif atau malah di penjara dia belajar kejahatan lainnya. Saat keluar dia malah akan menjadi pelaku kejahatan lainnya. Itu yang harus dipertimbangkan sebelum kita memberikan penghukuman terhadap anak," ujar Dea. 

Chazizah Gusnita menilai hukum pidana anak di Indonesia sudah cukup baik karena terdapat UU perlindungan anak yang harus dipenuhi. Meskipun tidak menormalisasikan tindak kekerasan oleh seorang anak, menurutnya kesalahan pelaku tindak pidana anak tidak serta-merta berasal hanya dari dirinya. 

"Kalau anak diberikan lingkungan harmonis, main, belajar, maka kerentanan dia melakukan kekerasan itu minimal sedikit dibanding dengan yang hidup dengan kekerasan. Oleh karenanya, jika anak masuk ke dalam proses peradilan pidana, ada UU anak karena tumbuh kembang anak dianggap belum mumpuni. Jadi ada hak anak yang harus dipenuhi terhadap anak pelaku kejahatan," kata Chazizah.

Salah satunya, ujar dia, perlu dengan pembinaan di dalam lapas sehingga ketika kembali ke masyarakat bisa diterima. "Dengan cara dibina, dengan belajar, pendidikan harus terpenuhi, sekolahnya juga, dan keterampilan," tambahnya.

Pengawasan di lingkungan sekitar

Chazizah menambahkan, pengawasan sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan dan tindak pidana oleh anak, salah satunya dengan partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum.

"Tugas tidak hanya di aparat penegak hukum tapi juga dibutuhkan laporan dari masyarakat, adanya fasilitas seperti CCTV dan kamera pengawas di lingkungan rumah serta pengawasan dari guru dan orang tua turut meminimalisir terjadinya kekerasan," ujar dia.

Mahasiswa profesi psikolog klinis anak, Owena Ardha, mengatakan orang tua dan guru bisa mulai membangun hubungan yang sehat dengan anak seperti mendengarkan, berempati kepada anak, berkomunikasi dengan terbuka, dan memenuhi kebutuhan emosional anak.

"Anak juga perlu diedukasi mengenai berempati kepada orang lain, membangun hubungan yang sehat, dan mengelola emosi dengan cara yang tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain," kata dia. (ae)

Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait