Kasus kekerasan oleh anak kian marak terdengar. Bagaimana cara mencegahnya dan apakah hukuman yang ada saat ini sudah cukup?
Iklan
Maraknya peristiwa kekerasan termasuk penusukan yang dilakukan oleh anak di bawah umur menyita perhatian banyak pihak. Salah satu kejadian yang ramai dan viral di media antara lain penusukan bocah di Cimahi Jawa Barat yang terjadi sepulang mengaji. Di Sumatera Selatan, siswa SMK menusuk temannya karena sering menjadi korban perundungan.
Di tempat lain, seorang siswa SMP menjadi korban pembacokan sepulang kerja kelompok dan di Bogor seorang siswa SMK dibacok oleh tiga pelajar dari sekolah lain karena sekolahnya dikenal saling berkonflik.
Kriminolog Universitas Budi Luhur Chazizah Gusnita mengatakan tindak pidana memang bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh anak di bawah umur. Dalam usia anak, kekerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya norma yang biasanya diajarkan di dalam keluarga dan sekolah.
"Biasanya dalam tumbuh kembang mereka sudah terbiasa dengan paparan kekerasan yang dia terima. Kekerasan bagi mereka dianggap hal yang wajar dan biasa sehingga dia melampiaskan lagi ketidaksesuaian dari hal yang diinginkan dengan bentuk kekerasan," ujarnya kepada DW Indonesia.
Sementara mahasiswa profesi psikolog klinis anak, Owena Ardha, memprihatinkan kejadian ini dan menganggap ini disebabkan oleh kebutuhan emosional anak yang tidak terpenuhi. "Anak perlu diberikan rasa sayang, rasa aman, keberhargaan diri, gambar diri yang sehat dari lingkungan sekitar. Menyaksikan dan menjadi korban kekerasan akan menyebabkan anak melakukan tindakan agresif," kata Owena kepada DW Indonesia.
Iklan
Anak adalah peniru yang baik
Dosen Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Agustin Dea Prameswari, menambahkan semakin terbukanya akses informasi turut menyumbang sebab kekerasan oleh anak. Ia memberikan contoh media sosial yang memudahkan berbagai informasi yang tadinya sulit diakses.
"Tidak ada faktor tunggal yang sebabkan anak melakukan pelanggaran hukum. Tapi anak pada dasarnya adalah peniru dan lewat orang yang ada di sekitarnya, intens setiap hari, yang menjadi tontonannya setiap hari itu yang menjadi salah satu faktor anak berani untuk lakukan kekerasan penusukan itu," kata dia. Ditambah lagi, anak bisa lebih mudah mengakses tontonan di media sosial, dan bertukar informasi lewat ponsel.
"Itu yang harus diawasi, bukan hanya tugas orang tua dan guru saja tapi tugas negara. Pengawasan yang baik bisa didapatkan di lingkungan yang baik juga. Tontonan sekarang juga banyak tema balas dendam. Kalau (orang) dewasa yang melihat bisa mencerna ini hanya sandiwara tapi kalau anak yang lihat dia akan tiru," kata Dea.
"Ayah dan Ibu Meninggalkan Kami di Sini"
Kemandirian menjadi elemen penting di Panti Asuhan Manarul Mabrur di Semarang. Rois tidak ingin anak-anak asuhnya mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Foto: Leo Galuh/DW
Mengasuh dengan adil
Semua penghuni panti adalah saudara, begitu kira-kira prinsip Rois Bawono Hadi, 56, pendiri Panti Manarul Mabrur. Rois memberikan kasih sayang dan perhatian yang seimbang kepada seluruh penghuni panti. Saat DW Indonesia berkunjung pada awal Mei 2022, panti di Kota Semarang, Jawa Tengah, ini mengasuh 78 anak dan bayi, serta menampung ibu hamil yang tengah mengasingkan diri.
Foto: Leo Galuh/DW
Anak dari orang tua yang belum siap
Panti ini berdiri sejak Januari 2012. Bayi-bayi yang diasuh kebanyakan adalah hasil hubungan badan di luar pernikahan yang dilakukan orang tua mereka yang masih duduk di bangku perkuliahan, kata Rois. Malah ada juga bayi-bayi dari hubungan seks oleh pelajar yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), bahkan menengah pertama (SMP), menurut Rois.
Foto: Leo Galuh/DW
Ingin diajak bermain
Anak-anak balita di panti ini butuh perhatian. Mereka akan berusaha berinteraksi dengan para pengunjung yang datang ke panti. Entah mengajak ngobrol, bermain, atau minta digendong. Rois juga mengakui bahwa orang berkunjung pasti menanyakan keberadaan anak-anak asuhannya.
Foto: Leo Galuh/DW
Minum susu formula
Bayi di sini rata-rata minum susu formula. Namun Yulinda Lubis, 32, pengasuh yang juga anak kandung Rois, selalu meminta para ibu untuk memberi ASI eksklusif ke bayi mereka paling tidak 40 hari. Pengurus panti juga berkonsultasi dengan dokter anak. “Kita 'kan tidak tahu di dalam kandungan anaknya seperti apa. Secara fisik sehat tapi di dalamnya ada yang sesak nafas, sakit paru-paru,” tutur Linda.
Foto: Leo Galuh/DW
Bayi tidak untuk dipinjamkan!
Kepada DW Indonesia, Rois menegaskan bahwa bayi dan anak asuhnya adalah titipan para orang tua mereka ke panti. Apabila telah siap, para orang tua boleh mengambil buah hati mereka kembali. Jadi, Rois punya kebijakan bahwa para bayi dan balita di pantinya tidak boleh diadopsi, apalagi dipinjam-pinjam!
Foto: Leo Galuh/DW
Diambil kembali oleh orang tuanya
Sudah ada sekitar 26 bayi dengan kisaran usia lebih dari dua bulan dan kurang dari 10 bulan telah diambil kembali oleh orang tuanya. Namun ada juga seorang anak berusia dua setengah tahun yang tidak mau dibawa pulang oleh ibu kandungnya karena sudah terbiasa hidup di panti.
Foto: Leo Galuh/DW
Tanpa diminta, donasi datang dari berbagai sumber
Satu keluarga yang tengah berlebaran di Semarang meluangkan waktu mereka untuk singgah di kediaman Rois. Keluarga ini sumbangkan satu kereta dorong bayi, sejumlah pakaian bayi layak pakai, dan matras lantai. Sebelumnya, sekelompok pemuda juga berkunjung untuk survei kebutuhan pembangunan yang diperlukan panti. Rois mengatakan tidak pernah cari donatur atau menulis proposal pengajuan bantuan. (ae)
Foto: Leo Galuh/DW
7 foto1 | 7
Kekhawatiran orang tua
Menanggapi kekerasan oleh anak yang kian marak diberitakan, kekhawatiran juga datang dari pihak orang tua. Astri Lestari, 35, mengatakan anak harus diberi tahu batasan dalam membela diri dan mengelola rasa dendam.
Hal senada disampaikan orang tua lainnya, Anah, 35, yang menekankan anaknya untuk selalu menjaga omongan saat bermain dan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Karena khawatir, ia kini juga terpaksa membatasi pergaulan anaknya.
"Gara-gara kasus begitu, tadinya 'kan anak-anak kalau bulan puasa suka nyubuh ke masjid dan jalan-jalan pagi tapi sekarang saya larang," ujar Anah.
Pemulihan korban jadi hal penting
Dosen Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Agustin Dea Prameswari, mengatakan hukuman saat ini cenderung berfokus menghukum pelaku saja. Contohnya, ketika anak berhadapan dengan hukum, di tengah amarah masyarakat pasti ada tuntutan supaya dihukum dengan berat.
"Namun harus diingat, apakah dengan menghukum anak seberat-beratnya, seperti hukuman seumur hidup atau hukuman belasan tahun, akan membuat efek penggetar jeraan, sehingga anak lain tidak lakukan hal sama? Ini tugas bersama, yang semua harus berintegrasi kepentingan terbaik untuk anak dengan cara restorative justice, melibatkan masyarakat, orang tua pelaku, orang tua korban," kata dia.
Selain itu yang harus dipikirkan juga adalah pemulihan terhadap korban anak dan tak hanya fokus terhadap pelaku anak.
"Pemulihan korban menjadi hal penting. Ketika menghukum anak dengan hukuman seberat-beratnya apakah itu efektif atau malah di penjara dia belajar kejahatan lainnya. Saat keluar dia malah akan menjadi pelaku kejahatan lainnya. Itu yang harus dipertimbangkan sebelum kita memberikan penghukuman terhadap anak," ujar Dea.
Chazizah Gusnita menilai hukum pidana anak di Indonesia sudah cukup baik karena terdapat UU perlindungan anak yang harus dipenuhi. Meskipun tidak menormalisasikan tindak kekerasan oleh seorang anak, menurutnya kesalahan pelaku tindak pidana anak tidak serta-merta berasal hanya dari dirinya.
Anak Prancis Tidak Suka "Ngambek"
Anda mungkin pernah berhadapan dengan situasi bocah lucu berubah jadi “monster cilik“ saat merengek ingin sesuatu di supermarket. Beda halnya di Prancis, anak-anaknya dikenal tidak suka "ngambek". Berikut rahasianya.
Foto: Fotolia/Nicole Effinger
Sebelum ulang tahun pertama
Sama seperti di Indonesia, cuti hamil di Prancis hanya 3 bulan. Jika ingin cuti lebih lama, pekerjaan Si Ibu tetap dijamin, namun ia harus merelakan gajinya terpotong untuk membayar tunjangan sosial. Maka tak jarang, usai cuti hamil bayi langsung dibawa ke penitipan anak. Dampak positifnya, sejak dini anak terbiasa mengenal wajah baru, lebih cepat beradaptasi dan lebih mandiri.
Foto: Fotolia/allari
Tidur sendirian
Sejak kecil, anak-anak Prancis dilatih untuk tidur di tempat tidur mereka sendiri, bahkan di kamar tidur yang terpisah. Jika Si Kecil bangun di malam hari dan mulai menangis, orang tua tidak segera bergegas ke kamar anaknya. Mereka menunggu sesaat untuk memastikan seberapa penting Si Anak membutuhkan kehadiran mereka. Anak pun semakin terbiasa tidur sendirian.
Foto: picture-alliance/dpa
Bebas Tanpa Batas
Anak dibebaskan melalukan apapun hingga batas yang sanggup mereka tangani sendiri. Di tempat bermain, anak tak didampingi langsung orangtua. Saat konflik antar anak terjadi, orangtua juga tidak ikut campur agar Si Kecil terlatih menyelesaikan masalah sendiri. Batasan tegas antara "sikap main-main" dan "sikap buruk" ditetapkan dan hanya perbuatan buruk yang dihukum sehingga anak paham perbedaanya.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Assanimoghaddam
Boleh dititip nenek?
Setiap akhir pekan atau hari libur, keluarga besar akan berkumpul untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak. Tapi cukup hanya hari itu. Di Prancis, orang tua akan lebih sering terlihat minum kopi atau memegang segelas anggur di kafe daripada menjadi pengasuh untuk cucu mereka. Meski demikian, nenek dan kakek berperan penting mendidik Sang Cucu terutama selama masa pertumbuhan.
Foto: Fotolia/GordonGrand
Tidak ada makanan khusus anak-anak
Tiap keluarga di Prancis memegang teguh prinsip makan bersama harus dilakukan setidaknya sekali sehari. Tidak ada yang istilahnya "makanan khusus anak" sebab anak-anak dan orang dewasa menikmati hidangan yang sama. Bukan berarti orang tua akan memaksa anaknya menyantap menu yang tidak mereka sukai, namun ada syaratnya Si Anak setidaknya harus mencicipi dulu makanan apapun yang tersaji di meja.
Foto: picture-alliance/dpa
Bersikap sopan
Harus bersikap baik! Semua anak Prancis tahu aturan ini. Anak-anak terbiasa menyapa tamu atau tetangga dengan ramah. Mereka juga terbiasa mengantre dengan tenang, bahkan tak sungkan memberikan tempat duduk kepada orang tua di bus. Sejak kecil bocah di Prancis mengenal empat ungkapan wajib yakni: "terima kasih," "terima kasih kembali," "semoga Anda memiliki hari yang baik", dan "selamat tinggal".
Foto: Colourbox
Tak perlu segera kenal "A B C"
Orangtua di Perancis akan bersikap santai jika anak mereka belum bisa membaca atau berhitung hingga berusia lima tahun. Prinsip mereka, masa kecil adalah masa indah yang patut dihabiskan hanya dengan bermain, bermimpi, menjelajahi dunia, serta untuk belajar bersikap sopan dan bertanggung jawab. Setelah ulang tahun yang ke-6 barulah anak-anak mulai belajar menulis dan berhitung.
Foto: Imago/J. Alexandre
Hari Minggu khusus keluarga
Setiap hari Minggu adalah waktu terbaik untuk piknik di taman, bermain bersama, berjalan kaki atau bersantai sambil bersepeda. Bahkan keluarga di Prancis jauh hari sudah merencanakan kegiatan apa yang akan mereka lakukan pada hari Minggu mendatang.
Foto: Colourbox/Monkey Business Images
Uang saku sesuai umur
Ketika pergi berbelanja, anak-anak Prancis tetap tenang dan tidak berisik apalagi sampai merengek bila orangtua mereka menolak membeli permen atau mainan yang terpampang di rak supermarket. Sejak berusia tujuh tahun, bocah kecil di Prancis sudah menerima uang saku dan bebas untuk membeli apapun yang mereka mau. Jumlah uang saku yang mereka terima tiap bulan sesuai dengan usia mereka.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Marks
9 foto1 | 9
"Kalau anak diberikan lingkungan harmonis, main, belajar, maka kerentanan dia melakukan kekerasan itu minimal sedikit dibanding dengan yang hidup dengan kekerasan. Oleh karenanya, jika anak masuk ke dalam proses peradilan pidana, ada UU anak karena tumbuh kembang anak dianggap belum mumpuni. Jadi ada hak anak yang harus dipenuhi terhadap anak pelaku kejahatan," kata Chazizah.
Salah satunya, ujar dia, perlu dengan pembinaan di dalam lapas sehingga ketika kembali ke masyarakat bisa diterima. "Dengan cara dibina, dengan belajar, pendidikan harus terpenuhi, sekolahnya juga, dan keterampilan," tambahnya.
Pengawasan di lingkungan sekitar
Chazizah menambahkan, pengawasan sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan dan tindak pidana oleh anak, salah satunya dengan partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum.
"Tugas tidak hanya di aparat penegak hukum tapi juga dibutuhkan laporan dari masyarakat, adanya fasilitas seperti CCTV dan kamera pengawas di lingkungan rumah serta pengawasan dari guru dan orang tua turut meminimalisir terjadinya kekerasan," ujar dia.
Mahasiswa profesi psikolog klinis anak, Owena Ardha, mengatakan orang tua dan guru bisa mulai membangun hubungan yang sehat dengan anak seperti mendengarkan, berempati kepada anak, berkomunikasi dengan terbuka, dan memenuhi kebutuhan emosional anak.
"Anak juga perlu diedukasi mengenai berempati kepada orang lain, membangun hubungan yang sehat, dan mengelola emosi dengan cara yang tidak menyakiti diri sendiri maupun orang lain," kata dia. (ae)