Bagaimana Orang Jerman Mencela dan Berkata-kata Mesra?
17 April 2020„Hallo mein Mäuschen, oh…ich vermisse dich sehr…!". Bagi yang tidak menguasai bahasa Jerman jangan coba-coba terjemahkan kalimat tersebut melalui kamus, baik yang online atau pun yang cetak. Pasalnya, kalau Anda kurang jeli … maka mereka yang sedang tahap pendekatan dengan orang Jerman pasti akan emosi disebut dengan panggilan Si Tikus kecil. Memang, untuk orang Indonesia tikus bukan hewan untuk puja puji, apalagi untuk sebutan sayang yang tunjukkan kemesraan. Di workshop-workshop bahasa yang saya berikan, baik untuk orang Jerman mau pun orang Indonesia, saya selalu tekankan bahwa aspek budaya demikian kuat mendukung tahap mengerti dengan baik dan benar.
Saya ingat sekali cerita seorang peserta workshop kedwibahasaan. Seorang ibu muda, peserta asal Indonesia tersebut menceritakan pengalaman saat ia bersama keluarganya baru tinggal di Jerman karena pekerjaan suaminya. Pada awalnya ia menganggap guru PAUD anaknya sebagai guru yang rasis gara-gara kata panggilan sayang yang dipakai untuk menyebut Si Sulung jagoan keluarga dengan menggunakan kata Mäuschen. Pikirnya mungkin karena status sebagai imigran lah yang membuat Si Buyung disebut Tikus Kecil. Tentu saja sebagai orang baru, ia tidak protes dan juga tidak menanyakan hal ini. Baru setelah beberapa lama mempelajari bahasa Jerman dia mengerti kebiasaan orang Jerman.
Sebagai guru Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing/ BIPA, saya selalu mempersiapkan juga materi khusus yang membahas tema ungkapan emosi baik caci maki mau pun puja puji. Saya melihat pentingnya tema ini dalam belajar bahasa, apalagi belajar bahasa asing yang memang tidak bisa dipisahkan dengan pengetahuan budaya yang melatarbelakangi dan mengikatnya.
Orang Jerman banyak menggunakan kosa kata yang sangat berbeda dalam mengungkapkan kasih sayang, kemesraan, puja puji bahkan juga untuk caci maki. Kosakata itu jadi penting untuk dipelajari dan sangat disayangkan bahwa hampir tak ada buku pelajaran yang membahas hal ini, jadi kebanyakan orang mempelajarinya dari kehidupan keseharian. Untuk tunjukkan rasa kasih, kemesraan dan puja-puji mungkin sedikitnya bisa kita temui di beberapa materi pelajaran bahasa Jerman, tetapi hampir tak ada yang membahas bagaimana cara orang Jerman mencaci dan memaki. Penasaran? Ayo kita lihat kosa kata yang digunakan untuk hal ini.
Ada banyak kelompok kata-kata kasih sayang, kemesraan dan pujian yang sama atau hampir sama, artinya tidak berbeda dengan budaya lainnya. Mari kita fokuskan untuk melihat kosa kata yang demikian berbeda yang digunakan orang Jerman. Kita pilih saja kelompok kosa kata yang bisa dibilang sebagai kelompok „kebun binatang". Kelompok kata ini menggunakan nama-nama binatang dan dalam bahasa lain, apalagi dalam bahasa Indonesia justru sering dipakai sebagai makian atau pun celaan. Mari kita lihat bagaimana orang Jerman menggunakan kelompok kata ini untuk ungkapkan perasaan dan emosinya.
Kata-kata dari kelompok keluarga babi: Schwein (babi), Schweinchen (babi kecil), Ferkel (anak babi), Ferkelchen (anak babi mungil), Sau (babi betina). Jangan kaget, kalau tidak ada angin dan hujan tiba-tiba mendengar salah satu kata dari kelompok keluarga babi. Jangan berpikir orang Jerman yang menggunakan kata-kata ini sedang mencela, marah atau pun mencaci maki. Kata-kata dari keluarga babi tidak selalu berkonotasi buruk, bahkan untuk mengatakan pujian yang artinya sangat bagus, ada kata „Saugut". Kata „Sau", dan „Schwein" yang didukung emosi marah tentu saja berfungsi sebagai kata makian, tetapi kata-kata dari keluarga babi ini tersebut juga bisa digunakan sebagai kata yang dianggap normal, misalnya untuk menunjukkan ketidakberesan, ketidakbersihan, misalnya minuman yang tumpah menodai pakaian.
Kosa kata keluarga babi ini juga sangatlah banyak digunakan dalam memberikan panggilan sayang kepada orang dengan hubungan dekat atau pun kepada anak-anak, misalnya kata: Mein Schweinchen, Mein Ferkelchen! Babi mungilku, Bayi babiku. Babi kecil yang warnanya merah jambu dianggap lucu dan manis oleh orang Jerman. Babi juga digunakan sebagai lambang keberuntungan karena itu di tiap awal tahun banyak kita jumpai Marzipan, sejenis kue khas dan coklat dengan bentuk babi.
Dalam kelompok keluarga tikus ada tiga kata yang artinya tikus: Maus, Mäuschen, Ratte. Nama-nama dalam kelompok ini hanya kata Ratte yang digunakan sebagai kata makian. Keluarga binatang pengerat ini dianggap punya sisi sebagai hewan yang manis dan lucu jika dalam bentuk tikus kecil dan sisi yang buruk pembawa penyakit jika dalam bentuk tikus besar yang disebut Ratte. Jadi jangan heran jika orang Jerman menyebut orang kesayangan dengan kata kleine Mäuschen, Tikus Kecil.
Bagaimana dengan kelompok keluarga hewan lainnya yang di Indonesia digunakan sebagai kata makian? Keluarga Anjing? Keluarga monyet? Dari dua keluarga hewan tersebut kata anjing, Hund, lebih digunakan untuk kata makian, sementara keluarga monyet, Affe, punya dua sisi seperti yang dimiliki babi mau pun tikus. Tidak jauh berbeda dengan orang Indonesia, orang Jerman juga menyebut kata panggilan sayang dengan kata Affe, monyet atau pun Äffchen, monyet kecil. Kata yang sama bisa jadi makian jika diutarakan untuk mengumpat.
Selain kosa kata „kebun binatang", ada barisan kata-kata yang masih termasuk normal. Barisan kata-kata kasar juga sangat banyak yang dianggap tabu dan tidak patut digunakan dalam bahasa apa pun, misalnya kosa kata seputar alat kelamin, hubungan badan serta katakata yang berbau SARA. Jika kita pantau, dalam keseharian ada kata „Scheisse!" yang artinya „ Tahi!". Kata ini demikian normal digunakan oleh orang Jerman untuk ungkapkan kejengkelan atas segala hal, baik jengkel tingkat rendah mau pun jengkel yang dibarengi emosi tinggi. Sebagai bandingan sepadan dengan kebiasaan pengguna bahasa Inggris „Shit!". Kata-kata lain yang bisa juga dicatat tinggi tingkat penggunaaannya adalah Verdammt! Sialan!, Dummkopf! Bodoh!
Pengalaman lain yang mengherankan saya dalam mengajar topik ini adalah ketika muridmurid saya yang asli Jerman mendapati bahwa orang Indonesia yang terkenal ramah tamah justru banyak sekali menggunakan kata panggilan sayang, makian dengan memaki atau pun mencela orang dengan menggunakan kosa kata yang menggambarkan kekurangan fisik, misalnya: Si Pesek, Si Pincang, Si Gendut, Si Juling, Si Jelek. Hal ini justru dihindari orang Jerman karena dianggap salah satu hal yang tidak baik, jauh dari sifat ramah.
Dari pengalaman mengajarkan tema ini, saya juga jadi belajar banyak juga dari kebiasaan orang Jerman. Saya jadi sangat memilah apa-apa yang juga saya ekspresikan dalam bahasa Indonesia untuk tunjukkan bahwa ungkapan emosi dalam bahasa Indonesia juga menanggalkan kebiasaan tak ramah itu.
*Dyah Sri Ayoe Rachmayani Narang-Huth tinggal di Jerman sejak lulus kuliah jurusan bahasa Jerman di IKIP Jakarta 1992. Meneruskan kuliah di Hamburg, berkeluarga dan bekerja sebagai pengajar bahasa asing: Bahasa Jerman bagi penutur Indonesia serta bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Mendirikan IKAT –Indonesisches Kultur Agentur Team, sebuah layanan budaya dan bahasa Indonesia.
** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.