Popularitas gerakan anti-Islam Pegida yang terus meningkat memicu pertanyaan, apakah ada yang salah dalam politik Jerman? Apakah perlu menggelar dialog dengan kelompok rasiss semacam itu?
Iklan
Harian-harian Jerman menyoroti secara kritis melonjaknya popularitas gerakan patriotik Eropa menentang Islamisasi Jerman dan Eropa-Pegida. Sulit untuk memastikan, apakah maraknya gerakan anti-Islam yang di latar belakangnya tercium keras pengaruh Neonazi itu merupakan gerakan menentang kebijakan politik atau sebuah indikasi dari makin miskinnya moral spiritual.
Harian Stuttgarter Nachrichten yang terbit di Stuttgart berkomentar: Jerman terjebak dalam spiral aksi kelompok bukan pemilih. Banyak warga merasa ditinggalkan atau dilecehkan oleh partai-partai politik yang sudah mapan, jika dampak kebijakan politik besar mengetuk daun pintu rakyat kecil. Tidak mengherankan, jika jajak pendapat menunjukkan, 49 persen warga Jerman menyatakan bisa memahami aksi demonstrasi gerakan Pegida. Karena itu, seharusnya politik tidak boleh terus membiarkan gerakan semacam Pegida dan terus bungkam terhadap pertanyaan warga. Tidak bicara dan tidak mendengar, tidak bagus untuk semua pihak.
Harian Rheinische Post yang terbit di Düsseldorf dalam tajuknya berkomentar : Gerakan Pegida membuat para politisi Jerman ibarat tontonan dalam sebuah ruang pamer barang aneh. Pernyataan seorang tokoh politik partai pemerintah, yang memuji Pegida karena menyanyikan lagu Natal saat menggelar demonstrasi anti Islam, terdengar seperti ironi, seolah di gereja harus dibaca ayat al Quran dan di mesjid dinyanyikan lagu pujian Kristiani. Sementara seruan mantan kanselir Gerhard Schröder untuk bangkit melawan Pegida, seolah menuduh para pemrotes damai dari kalangan warga biasa itu sebagai raksasa jahat. Inilah sebuah gerakan kebodohan yang ditimpali reaksi yang tidak matang dan kurang dewasa.
Potret Islamis di Jerman
Mereka muda, fanatis dan mencari jalur pintas menuju surga. Otoritas keamanan memeperkirakan terdapat 500 Islamis di Jerman yang siap mengangkat senjata atau mengorbankan diri.
Foto: twitter.com
Komunitas Garis Keras
Ratusan warga Muslim di Jerman tercatat atau dicurigai sebagai militan. Sebagian adalah Muallaf. Sementara sisanya kaum muda berlatarbelakang imigran yang sedang mencari arah hidup, kewalahan menghadapi integrasi dan akhirnya mendarat di komunitas Islam garis keras, kata Hans Georg Maasen, Direktur Dinas Intelijen Dalam Negeri Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Serangan 9/11
Serangan teror pada 11 September 2001 terhadap menara kembar New York direncanakan di Hamburg. Tiga dari empat pelaku serangan 9/11 dan enam kolaborator adalah warga Jerman. Termasuk di antaranya Mohammed Atta dan Moui Mounir el-Motassadeq yang dihukum 15 tahun penjara.
Foto: picture-alliance/dpa/lno
Bom Koper di Köln
Pada 31 Juli 2006, dua mahasiswa Libanon, Jihad Hamad dan Yussuf El Hadjib, berencana meledakan dua bom koper di dua kereta berpenumpang penuh yang berangkat dari stasiun di Köln. Beruntung kedua bom mengalami malfungsi. Hamad kini menjalani 12 tahun penjara di Beirut. Sementara El Hajdib dikurung seumur hidup di Jerman.
Foto: AP
Sel Teror Sauerland
Pada malam tanggal 4 September 2007, satuan anti teror GSG 9 menyerbu sebuah rumah di Sauerland, negara bagian Nord Rhein Westfallen. Mereka menangkap tiga orang, Adem Yilmaz (ki.), Daniel Schneider (tengah) dan Fritz Gelowicz (ka,). Kelompok teroris ini merencanakan serangan bom terhadap aset militer Jerman dan AS. Ketiganya divonis 12 tahun penjara.
Isteri pemimpin sel teror Sauerland, Fliz Gelowicz, juga didakwa di pengadilan. Duduk di belakang kaca pengaman di sebuah pengadilan di Berlin, perempuan berusia 29 tahun itu mengakui dirinya terlibat mencari dana buat mendukung aktivitas jihad suaminya. Ia divonis bersalah turut membantu tindakan terorisme dan dikurung selama dua setengah tahun.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Schwarz
Tumpah Darah di Bandar Udara Frankfurt
Pada 2 Maret 2011, Arid Uka, melancarkan pertumpahan darah di Banda Udara Frankfurt. Ia menembak mati dua serdadu AS dan mencederai dua lainnya. Hingga kini serangan Uka adalah satu-satunya serangan teror di Jerman yang menelan korban jiwa. Uka dilahirkan sebagai Muslim di Kosovo dan tumbuh besar di Jerman. Keluarganya tidak tergolong fanatik.
Foto: picture alliance / dpa
Al Qaeda di Düsseldorf
Al Qaeda di jantung Eropa. Halil S. (tengah) tampil di pengadilan federal Karlsruhe pada Desember 2011 silam. Ia dituduh menjadi anggota sel teror Al-Qaida di Düsseldorf. Salah seorang anggotanya tercatat pernah menjadi pasukan penjaga Osama bin Laden. Jaringan teror itu merencanakan aksi teror besar di Jerman. Ke-empat anggota sel Düsseldorf kini mendekam seumur hidup di penjara.
Foto: dapd
Jejak Salafisme
Jumlah pemeluk Salafisme di Jerman berkembang pesat. Beberapa memperkirakan komunitas ini kini beranggotakan 7000 orang. Sejak Oktober 2011 mereka membagi-bagikan 25 juta eksemplar terjemahan literal Al-Quran dalam Bahasa Jerman secara gratis. Sekitar 500 anggota Salafisme Jerman pernah berpelesir ke daerah perang Suriah dan Irak.
Foto: picture-alliance/dpa/Britta Pedersen
Serangan di Bonn
Bonn sejatinya menjadi demonstrasi kekuatan kelompok radikal. Pada Desember 2012 silam sebuah bom bersarungkan tas olahraga diletakkan di stasiun kereta utama. Cuma Malfungsi pada rakitan bom saja yang menggagalkan serangan teror dan menyelamatkan puluhan nyawa penumpang. Marco G. yang besar di Oldenburg dan memeluk agama Islam berada di balik serangan tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
Polisi Syariah
Awal September 2014 lalu, Jerman dikejutkan dengan keberadaan "polisi Syariah" yang berpatroli di kota Wuppertal. Mengenakan rompi oranye, para lelaki ini menghentikan pemuda Muslim dan mengingatkan mereka agar selalu beribadah dan tidak meminum alkohol atau mendengarkan musik. Aiman Mazyek, Direktur Dewan Pusat Muslim Jerman, menyebut aksi kelompok tersebut "penyalahgunaan agama."
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Veteran Perang Suriah
Pada Juli 2013 silam Kreshnik B. pergi ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok teror Islamic State. Ketika kembali ke Jerman, ia ditangkap di Frankfurt dan didakwa terlibat dalam terorisme dan pembunuhan. Jika mengaku bersalah, ia minimal akan mendekam di balik jeruji selama empat tahun.
Foto: picture-alliance/dpa/Boris Roessler
Dari Rapper menjadi Jihadis
Denis Cuspert, berayahkan seorang Jerman dan ibu berdarah Ghana, dilahirkan 1975 silam. Penyanyi rap yang terkenal dengan nama Deso Dog itu memutuskan berjihad bersam Islamic State di Suriah sejak 2012. Belakangan sosoknya diidentifikasi dalam video pemenggalan kepala sandera yang disebarkan oleh IS.
Foto: twitter.com
12 foto1 | 12
Sementara harian Schwäbische Zeitung menuntut semua pihak untuk menjernihkan permasalahan. Dalam tajuknya harian yang terbit di Ravensburg ini berkomentar : yang paling gampang adalah menuduh semua pendukung Pegida yang berdemonstrasi di Dresden, Bonn, München dan Kassel sebagai orang goblok. Tapi akan jauh lebih bermanfaat, jika belajar memahami ketakutan warga pendukung Pegida yang fobi terhadap Islam dan takut terhadap para pengungsi yang ditampung di dekat pemukiman mereka. Mengajak mereka bicara, menyangkut perasaan tidak nyaman tersebut, agar mereka tidak mengekor pada Pegida. Memberi mereka pengertian, bahwa dunia berubah amat cepat, arus informasi makin gencar dan Jerman akan makin multi budaya. Bahwa Pegida hanya mencari kambing hitam. Seperti zaman Nazi dulu, yang jadi biang keroknya adalah Yahudi dan di zaman neonazi ini kambing hitamnya adalah Islam.
Harian Thüringische Landeszeitung yang terbit di Weimar juga menuntut adu argumentasi ketimbang cuma melontarkan yel-yel dan seruan rasisme. Mayoritas demonstran Pegida memang tidak bersedia adu argumentasi dan tidak mau bicara dengan media. Tudingan bahwa media adalah pembawa kabar bohong yang tersistem, mengingatkan orang pada pernyataan rezim Nazi. Untuk menjalin dialog dan diskusi memang agak terlambat. Namun sikap hantam kromo juga bukan jalan keluar. Harus diakui, dalang dan organisator aksi protes Pegida, mayoritasnya tokoh neonazi yang berpakaian jas dasi. Tapi banyak pendukung Pegida bukan orang bodoh yang rasis. Mereka hanya orang yang ketakutan pada hal-hal yang tidak mereka kenal. Barang siapa tidak menanggapi serius ketakutan tersebut, merekalah yang harus membayar kuitansinya.