Bagaimana manusia keluar dari ketakutan yang membuatnya tak mampu menerima kebhinekaan, melainkan membuntuti ideologi fasis bergaya preman dan siap untuk berkorban bagi sebuah ide yang abstrak? Simak opini Timo Duile.
Iklan
Berikut ini merupakan bagian terakhir ulasan mengenai kebangkitan benih-benih fasisme gaya baru di Indonesia. Jika pada bagian terdahulu telah diurai mengenai apa itu fasisme dan bagaimana benihnya muncul di Indonesia belakangan ini, maka dalam bagian penutup ini, dijabarkan bagaimana pada ujungnya kita dihadapkan oleh berbagai pilihan ketika diprovokasi dalam menghadapi musuh imajiner.
Bagian 3: Bela negara: Harga mati untuk apa?
Wacana bela negara yang dikumandangkan pemerintah bekerjasama dengan TNI menyatakan ingin membuat 900 pusat latihan “bela negara” di Indonesia sampai tahun 2018.
Menurut hemat saya, pusat bela negara ini bisa menjadi tempat untuk manusia yang tidak nyaman sebagai individu, yang ingin merasa diri kuat dalam kelompok dengan tujuan kolektif, yaitu menolak musuh imajiner. Karena itu, pusat latihan bela negara bisa dengan mudah dicurigai sebagai basis penyemaian ideologi fasis.
Program bela negara ini juga mengangkat kembali peran militer. Dalam latihan bela negara maka komunisme, LGBT dan narkoba disebutkan sebagai musuh.
Menurut Jendral Purnawirawan Kivlan Zein, saat ini sudah ada 15 juta pengikut PKI. Buktinya? Jelas, 15 juta anggota PKI ini hanya di kepala Kivlan Zein sendiri. Hanya musuh dalam kepala saja. Pada konferensi anti-PKI yang dilakukan di Jakarta pertengahan tahun 2016, membuktikan, bagi TNI, komunisme adalah akar dari kejahatan.
Masyarakat didorong untuk percaya bahwa komunisme adalah musuh bersama yang mengancam kedaulatan negara. Dalam konteks ini, menteri pertahanan menyatakan dalam latihan bela negara orang belajar untuk "akhirnya siap bekerja untuk bangsa dan negaranya, bila perlu mati untuk negaranya."
Ini adalah tujuan ideologi fasis: Semua individu SIAP MATI atas nama perintah apapun, yang penting perintah itu dari pemimpin. Dan karenanya, individu dan nyawa manusia, dalam fasisme dianggap tidak penting. Pejabat negara yang berkewajiban untuk membela demokrasi, malah lebih memelihara ketakutan dan pola pikir otoriter.
Jika fasisme gaya baru akan bangkit, maka membutuhkan ideologi negara dan agama sebagai landasannya. Bukan patriotisme sebagai gagasan emansipatoris seperti pada zaman revolusi kemerdekaan, dan agama bukan pula hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan. Dalam fasisme, keduanya menjadi sebatas simbol identitas.
Pemikir otoriter seperti pejabat negara dan militer sudah memelihara ideologi di mana individu tidak berharga lagi. Dalam keadaan darurat (dalam fasisme berlaku masa darurat perang di mana semua musuh diperbolehkan untuk dimusnahkan)-- bukan individu yang dianggap penting, melainkan perintah dari pemimpin. Kemampuan untuk berpikir mandiri merupakan ancaman untuk persatuan rombongan fasis, dan setiap anggota harus siap mengorbankan diri untuk sebuah ideologi.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.
Foto: Getty Images/AFP/H. Dinh Nam
6 foto1 | 6
Pentingnya individu
Padahal, banyak angkatan 45 yang berjuang untuk kemerdekaan menilai individualitas adalah hal utama. Dalam novel atau puisi angkatan 45 kita bisa merasakan semangat perjuangan, semangat untuk membangun negara supaya manusia Indonesia bisa menjadi individu yang bebas. Tujuan perjuangan tersebut bukan membangun persatuan di mana individu dilenyapkan jadi kelompok.
Sayangnya, panglima militer masih memelihara narasi tentang individu yang harus siap mengorbankan diri untuk kelompok. Ada banyak contoh untuk semangat perjuangan kemerdekaan tersebut.
Yang paling terkenal mungkin puisi berjudul “Aku” karya Chairil Anwar, sebuah puisi tentang individu yang siap berjuang sebagai individu dan tidak sekedar menjadi bagian rombongan saja.
Sebenarnya, bukan negara atau bangsa saja yang merupakan fokus angkatan 45, tmelainkan individu. Indonesia dididik dengan janji atas kebahagiaan untuk semua masyarakat, suku, golongan agama dan ideologi yang ada di Indonesia ini yang begitu lama dijajah.
Salah satu contohnya adalah novel ”Jalan Tak Ada Ujung“ karya Mochtar Lubis. Tokoh protagnis novelnya yang bernama Hazil, merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang menjelaskan nilai-nilai perjuangan setelah dia selesai memainkan biolanya:
„Ini adalah musik menyanyikan perjuangan manusia sebagai manusia.(…) Manusia seorang-seorang. Tahukah engkau maksud? Bagaimana harus aku terangkan? Perjuangan manusia yang bukan dalam gerombolan. Bukan salak serigala dalam kawanan yang melakukan pemburuan, tapi salak dan geram, sedu-sedan, dan teriak nyaring serigala seekor-seekor yang merebut hidup. Bagiku individu itu adalah tujuan, dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku. Ini jalan yang tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat mencapai kemerdekaan. Dan kemerdekaan juga hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.”
Justru impian pejuang kemerdekaan ini diancam pikiran fasis yang membenci kebebasan individu. Pejuang kemerdekaan memberi contoh bahwa justru dalam keadaan darurat, individu sangat penting dan bahkan bisa menjadi dasar perjuangan.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Melawan musuh imajiner
Kalau kita mau mewujudkan impian perjuangan kemerdekaan, kita tidak boleh percaya kepada institusi yang mengajak masyarakat untuk membenci dan memelihara musuh imajiner sampai individualitas lenyap dalam kebencian kolektif.
Kita harus membuat keputusan apakah negara punya tujuan sendiri dan kehidupan manusia hanyalah dijadikan alat, atau negara itu alat untuk kebebasan manusia dan bingkai untuk kebhinekaan.
Kita harus memilih apakah agama menjadi dasar identitas dan alasan untuk membenci orang lain atau agama adalah hubungan antara individu dengan Tuhan, sebuah hubungan yang mengajak kita untuk menerima kebhinekaan.
Indonesia tentu saja belum menjadi negara fasis. Jelas, Indonesia punya tradisi kebhinekaan yang panjang dan impian untuk membangun negara sebagai bingkai untuk tinggal bersama, agar setiap individu bisa hidup merdeka.
Tapi kejadian pada bulan-bulan terakhir kini mengajak semua orang yang percaya kepada martabat manusia untuk waspada dan melawan ideologi kebencian dan politik yang berusaha untuk memperalat individu atas nama ideologi apapun.
Bagaimana kita bisa keluar dari rasa takut --yang membuat manusia tidak mampu lagi menerima kebhinekaan tapi ikut ideologi fasis seperti disediakan kaum proto-fasis bergaya preman-- atau dalam ideologi yang membuat manusia siap untuk berkorban diri untuk sebuah ide yang abstrak?
Saya pikir, ketakutan ini hanya bisa hilang kalau kita saling mendengar, saling belajar dan menjadi mampu untuk berpikir mandiri.
Ada sebuah kisah menyentuh dari seorang kawan. Dia bercerita, dulu ia diminta ayahnya untuk menulis daftar orang-orang yang dianggap terlibat PKI di desanya. Daftar ini sudah tua dan harus ditulis lagi. Tiba-tiba dia melihat nama seorang lelaki yang dia kenal di daftar anggota PKI, lelaki baik yang selalu membantu dan selalu sopan. Dia bingung dan bertanya-tanya: ‘Bukankah PKI manusia yang buruk dan kejam?‘ Lelaki tersebut tak seperti itu. Ia lantas meminta ayahnya untuk menghapus nama lelaki baik tersebut dari daftar. Ayahnya menolak keinginan itu, tapi dia berkata: “Sekarang kamu sudah tahu tentang PKI.“
Ketakutan yang membuat manusia tidak bebas dan lari ke ideologi fasis bisa hilang pada saat kita melihat mausia lain tanpa kaca mata ideologi yang memelihara kebencian. Pada saat manusia sebagai individu muncul, sebagai saudara yang berbeda, kita jadi mampu untuk melawan ideologi fasis.
Timo Duile belajar Ilmu Politik, Antropologi dan Filsafat di Universitas Bonn, Jerman, dan Bahasa Indonesia di Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia. Kini, dia adalah dosen dan peneliti di Departmen Ilmu Asia Tenggara di Universitas Bonn dan dosen di Departmen Antropologi di Universitas Köln.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Menguak Buku Harian Arsitek Pembantai Yahudi
Heinrich Himmler dianggap sebagai salah satu pimpinan Nazi yang paling kejam. Sejumlah dokumen, termasuk catatan harian perang arsitek pembantai etnis Yahudi dan minoritas Sinti-Roma ini menguak berbagai hal penting.
Foto: picture-alliance/dpa
Buku Harian perang 1937-1938 dan 1944-45
Buku harian perang salah satu tokoh Nazi, Heinrich Himmler bakal diterbitkan German Historical Institute (DHI) yang bermarkas di Moskow. Dokumen ini mengungkap aktivitas dan rapat penting tokoh-tokoh Nazi, sebelum dan selama perang. Buku harian yang berisi aktivitas antara tahun 1937-1938 dan 1944-1945 itu ditemukan pada tahun 2013 dalam arsip Kementerian Pertahanan Rusia di Podolsk.
Foto: picture-alliance/dpa
Catatan harian yang sangat rapi
Tanggal, jam, kegiatan hingga nama-nama yang ikut kegiatan, semuanya dicatat lengkap. Jadwal sarapan dan makan siang pun ikut dicantumkan. Tak ketinggalan jadwal pemberkatan pernikahan pejabat Nazi, ikut tercatat pula. Semua jadwal itu tersusun rapi. Ini foto contoh catatan jadwal kerja dalam buku harian perang itu.
Foto: picture-alliance/dpa/CAMO/DHI Moskau
Melengkapi dokumen sebelumnya
Temuan dokumen kali ini melengkapi temuan-temuan sebelumnya. Tahun 1990 ditemukan catatan serupa untuk kurun waktu 1941-1942. Buku catatan perang itu sudah diterbitkan tahun 1999. Dokumen penting ini menunjukkan pertemuan penting birokrat, pemimpin Nazi dengan para pemimpin asing seperti Benito Mussolini, dan kunjungan ke kamp-kamp konsentrasi, termasuk Auschwitz, Sobibor, dan Buchenwald
Foto: Archiv Reiner Moneth, Norden
'Oleh-oleh' Nazi
Sementara itu, catatan harian tahun 1940-1941 ditemukan dalam arsip Badan Intelehjen Soviet KGB tahun 1991. Buku harian Himmler dari tahun 1914 - 1922, surat-surat pribadi dan dokumen lainnya disimpan di kantor arsip Jerman di Koblenz. Amerika Serikat mengambil dokumen-dokumen itu pada tahun 1945 sebagai "oleh-oleh Nazi" dari rumah pribadi dari Himmler di Gmund, kemudian dikembalikan ke Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Mengemban banyak jabatan
Komandan Schutzstaffel (SS) Jerman ini merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh di tubuh Nazi. Di penghujung Dritte Reich tahun 1945, Himmler mengemban banyak jabatan berbeda-beda, dari kepala polisi Jerman, menteri dalam negeri dan panglima angkatan darat Jerman. SS adalah satuan elit Nazi yang sangat ditakuti.
Foto: picture-alliance/dpa
Temuan penting
Himmler mengendalikan jaringan kamp konsentrasi serta badan intelijen dalam negeri Nazi. Mengingat tidak ada pemimpin penting Nazi lainnya selain Josef Goebbels yang membuat catatan harian detail seperti itu, publikasi temuan dokumen ini dipandang sangat penting, karena publik akan dapat mengamati keseharian Himmler dan bagaimana Nazi mengambil putusan-putusan penting.
Foto: picture-alliance/dpa
Berperan aktif dalam Holocaust
Buku harian tersebut juga membuat lebih jelas gambaran umum dari peran Himmler dalam Holocaust. Buku harian tersebut menunjukkan bahwa Himmler mengadakan lawatan ke sejumlah kamp konsentrasi serta Ghetto Warsawa (pada tanggal 9 Januari, 1943), dan mengambil peran aktif dalam mengarahkan genosida kaum Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Pidato terkenal Himmler
Salah satu catatan yang paling penting dalam diari itu adalah tanggal 4 Oktober 1943, saat Himmler menyampaikan pidato di hadapan para pemimpin SS di Poznan, sebuah kota di Polandia yang diduduki Jerman. Pidatonya berisi soal pembantaia etnis Yahudi. Buku harian perang menunjukkan bahwa pidato itu diikuti dengan acara makan malam para pejabat SS.
Foto: AP
Catatan pribadi juga
Dalam dokumen itu, juga termuat beberapa hal pribadi Heinrich Himmler yang punya nama panggilan sayang dari istrinya,‘Heini‘. Di antaranya ada jadwal pijat, makan siang, sampai penembakan massal. Bagi Himmler, pergi ke kamp kematian di belahan timur itu itu seperti bepergian ke lokasi wisata. Dokumen diari terbaru setebal 1.000 halaman miliknya akan diterbitkan dalam dua volume pada akhir 2017.
Foto: picture-alliance/dpa
Surat untuk istri, anak dan gundik
Awal 2014 harian "Die Welt" mengungkap surat-surat pribadi dari Heinrich Himmler kepada istrinya dan putrinya "Puppi", serta ke gundiknya Hedwig Potthast, yang sebelumnya merupakan sekretarisnya. Dalam buku dinas Himmler, ‘wakuncar‘ Himmler dicatat secara resmi sebagai "perjalanan dinas": 1 Juni 1938, pukul 15 pm bekerja dengan Pottthast, jam 16 minum kopi, pukul 16:30 berburu.
Foto: picture-alliance/dpa
Mati minum sianida
Menyadari akan kalah perang, Himmler mendekati sekutu. Hitler berang dan menganggapnya berkhianat. Ditolak kamerad, diburu sekutu, iapun sembunyi, melarikan diri dengan identitas palsu lalu tertangkap pasukan Inggris. Tanggal 23 Mei 1945 tidak ada lagi jadwal hariannya. Dia bunuh diri di Lüneburg dengan menelan kapsul sianida yang selalu dibawanya.