Mendikbud: "Jerman dan Indonesia Punya Filosofi Sama.."
30 Juni 2016 Kunjungan delegasi Indonesia ke Jerman adalah tindak lanjut agenda kerjasama bilateral Indonesia-Jerman yang disepakati oleh Presiden Joko Widodo dan Kanselir Angela Merkel selama kunjungan kerja di Jerman akhir April lalu.
Reporter DW Hendra Pasuhuk mewawancarai Mendikbud Anies Baswedan ketika delegasi Indonesia berkunjung ke kota Bonn hari Selasa (28/06) untuk serangkaian pembicaraan dengan lembaga-lembaga terkait. Berikut petikan wawancaranya:
DW: Pak Menteri Anies Baswedsan, setelah kunjungan ke Jerman dan juga ke kota Bonn hari ini untuk menjajaki soal edukasi vokasional, apa kesan yang sudah Bapak dapatkan dari kunjungan ini?
Anies Baswedan: Pertama di sini adalah satu masyarakat industri yang strukturnya sudah terbentuk dengan lengkap. Sehingga antara hulu dan hilir itu sudah bisa dibuatkan link. Jadi tidak aneh bila tingkat pengangguran di Jerman termasuk yang paling rendah di Eropa. Karena mereka membuat struktur di sekolahnya, mencerminkan apa yang sudah ada di masyarakatnya. Jadi masyarakat industrinya pun bisa dibilang sudah komplit. Ini berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia kita sedang membangun, sedang membentuk.. Saya bayangkan menjadi enterpreneur di Jerman itu jauh lebih sulit daripada menjadi enterpreneur di Indonesia. Karena peluang usaha di sini sudah hampir semuanya diambil. Apalagi yang tidak diambil, semuanya sudah jadi.
Yang menarik adalah, bahwa pemerintahnya sejak tahun 1970-an menyadari jumlah tenaga kerja yang terbatas, dan potensi penurunan jumlah tenaga kerja. Karena itu mereka berkepentingan untuk bisa memastikan, bahwa industrinya, baik swasta maupun komponen pemerintahan, mendapatkan supply yang terus menerus.
Jadi yang menarik di sini adalah, bagaimana struktur industri sudah selesai, lalu pemerintah mengantisipasi dengan menyiapkan supply tenaga kerja, dan supply itu mencerminkan kebutuhan. Ini yang tidak banyak ditemukan di banyak negara industri lain. Di sana biasanya ada pasar tenaga kerja yang 100 persen dibiarkan pada mekanisme pasar. Artinya ada supply dan demand tenaga kerja, demand dari perusahaan dan industri, supply dari institusi pendidikan. Lalu mereka dibiarkan mencari keseimbangan. Masalahnya, bila supply lebih tinggi daripada demand, atau ada ketidaksesuaian, muncul pengangguran.
Di Jerman yang menarik adalah, calon tenaga kerjanya ditarik ke sekolah. Jadi proses pembagiannya di sana. Itu yang menarik. Tentu, tidak ada satu negara yang sistem pendidikannya bisa diaplikasikan ke negara lain secara total. Harus ada penyesuaian sesuai dengan kondisi kita.
DW: Yang kita lihat di Jerman adalah, bahwa dual system perlu melibatkan pihak pengusaha swasta. Terutama perusahaan swasta menengah dan kecil harus mau ikut dalam program ini..
Dari sejarahnya yang saya dengar, ini inisatifnya bukan dari pemerintah. Justru dari swasta, dari perusahaan- perusahaan yang merasa perlu melatih calon karyawan seawal mungkin. Kalau dilihat dari porsi biaya, untuk program ini biayanya ditanggung 16 persen oleh pemerintah, 84 persen ditanggung oleh swasta. Jadi perusahaan-perusahaan mengeluarkan uang yang cukup besar untuk melatih tenaga kerjanya. Ketika saya tanya rasionalnya dimana, dia mengatakan, pilihannya adalah karyawan itu dilatih oleh orang lain, atau kita yang latih. Mereka merasa, lebih baik melatih sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
Nah, perasaan bertanggung jawab bagi pelatihan calon karyawan itu tinggi. Ini bisa juga disebabkan karena supply tenaga kerja kecil. Jadi dia tidak punya banyak pilihan, selain melatih. Di tempat yang over supply tenaga kerja, kalau pekerja tidak cocok, ya dikeluarkan dan cari yang lain.
Ini yang unik di Jerman: Penjelasannya bukan soal idealisme, bukan altruisme. Ini adalah model rasional. Perusahaan mencari keuntungan dengan cara meningkatkan efisiensi dan produktivitas, salah satu instrumennya adalah dengan cara merekrut tenaga kerja yang terbaik..
DW: Perusahaan mencetak tenaga kerjanya, sumber daya manusianya sendiri..?
Dia melakukan itu. Nah, dalam konteks Indonesia saya rasa kita perlu mendorong perusahaan-perusahaan untuk memiliki kesadaran itu. Dan di Jerman pun yang terlibat tidak sampai 25 persen. Jadi tidak berarti harus 100 persen perusahaan yang terlibat, 25 persen saja. Tapi yang 25 persen ini sudah bisa menyerap 55 persen angkatan kerja baru. Jadi cukup besar porsinya.
Perusahaan yang sadar di Indonesia juga sekarang sudah banyak. Terutama yang skala operasinya besar. Mereka sangat menyadari bahwa tidak mungkin bisa bisa bertahan dalam jangka panjang, jika tidak ada supply tenaga kerja trampil yang ajek. Jadi saya melihat peluang di Indonesia juga sudah lebih besar sekarang.
DW: Menurut Anda, apa tantangan besarnya di Indonesia untuk menciptakan struktur dan edukasi vokasi seperti yang diinginkan oleh pemerintahan saat ini, yang ingin segera menggerakkan pendidikan vokasi, tentunya dengan cara Indonesia..
Pertama, edukasi vokasi dual system di sini modelnya adalah, anak didik berada dua atau tiga hari di tempat kerja, lalu dua hari di sekolah untuk belajar teori. Model seperti itu mensyaratkan bahwa lokasi tempat mereka belajar dekat dengan lokasi industri.
Di Indonesia situasinya tidak selalu demikian. Sentra-sentra industri hanya ada di beberapa daerah saja. Sementara kita punya lebih dari 13.000 SMK di seluruh Indonesia. Karena itu model yang bisa diterapkan di Indonesia mungkin bukan model 2 hari dan 3 hari, tapi pola block leave, jadi misalnya meninggalkan sekolah selama enam bulan, nanti kembali lagi. Jadi modelnya nanti tidak sama seperti di sini, kecuali untuk SMK-SMK yang lokasinya dekat dengan industri.
Kedua, kita melihat ada jurusan-jurusan yang bisa dilaksanakan dalam skala kecil. Misalnya bakery, pemotong rambut, penjahit. Itu bisa dilaksanakan dalam skala kecil, tapi ada juga masalahnya. Ekonomi skala kecil biasanya tidak mampu membayar biaya pelatihan. Jadi pemerintah harus mencari cara untuk memberi pelatihan. Jasa potong rambut misalnya, yang dilakukan hanya oleh dua orang, mereka tidak mungkin melakukan pelatihan. Dalam hal ini pemerintah bisa memberikan tempat pelatihan ekstra.
Jadi kami yang ke sini, ada tim dari Dikbud, Bappenas, KADIN, kami tidak mencoba untuk mengcopy-paste, tapi melihat esensinya, bukan cuma polanya. Esensinya adalah, anak-anak disiapkan untuk bisa mendapatkan kesejahteraan lewat pekerjaan di perusahaan dengan cara yang cepat. Jadi membuat mereka trampil, mereka siap, untuk itulah kita perlu model pendidikan vokasi yang tepat.
DW: ..Termasuk penyusunan kurikulumnya..
Termasuk kurikulumnya. Di Jerman, kurikulumnya hampir 100 persen disusun oleh industri. Karena mereka yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan. Di Indonesia kita sering mendengar, perusahaan mengeluh angkatan baru tidak siap kerja. Tapi perusahaan-perusahaan itu tidak memberikan kontribusi untuk pembuatan kurikulum. Apa saja yang mereka butuhkan? Yang bagaimana yang dimaksud siap kerja?
Nah, di Jerman peran industri dalam hal ini sangat besar. Jadi sudah saatnya kita di Indonesia berhenti saling menyalahkan, justru sekaranglah saatnya melakukan sesuatu bersama-sama.
DW: Secara umum, bagaimana Anda melihat prospek kerjasama Indonesia Jerman, tidak hanya khusus dalam edukasi vokasi, tapi juga secara umum dalam konteks hubungan bilateral. Karena Jerman adalah motor utama yang memimpin Uni Eropa, dan Indonesia juga punya peran yang sama di ASEAN.
Ya betul, Indonesia punya peran cukup unik. Bagi Jerman, Asia adalah mitra masa depan, tepatnya Asia Tenggara. Karena inilah kawasan yang akan bertumbuh paling pesat, tanpa masalah serius dalam ideologi dan politik. Jadi, membangun kerjasama dengan kawasan ini jauh lebih mudah. Jerman punya keunggulan di bidang sains dan teknologi, dan keseriusan mereka dalam dua bidang inilah yang menjadi kekuatannya sampai sekarang. Dari sini Indonesia bisa belajar banyak, dan Indonesia harus serius memanfaatkan kesempatan ini.
Kami tadi baru saja mendatangi kantor Senior Experten Service (SES). Kita lihat bagaimana orang-orang pensiunan di Jerman, sesuai dengan bidangnya masing-masing, datang ke Indonesia untuk bekerja selama tiga-empat mingguan, sesuai dengan keahliannya. Mulai dari peternakan sampai masalah farmasi. Ini menarik untuk jadi contoh, dan mudah-mudahan menginspirasi banyak orang di Indonesia melakukan hal yang sama.
Sebagai catatan akhir dari saya: Indonesia punya prinsip Ekonomi Pancasila. Jerman juga menerapkan semangat itu, namanya Social Market Economy (bahasa Jerman: Soziale Marktwirtschaft -red). Jerman dan Indonesia punya filosofi yang sama, keadilan sosial. Semangat itulah sebenarnya yang digagas oleh para pendiri Republik Indonesia. Jadi, bagaimana semangat Keadilan Sosial bisa tercermin di dalam pengelolaan pasar? Pasar tidak dilepas sebagai arena kompetisi persaingan bebas tanpa batas. Tapi, pasar juga tidak dijadikan semata-mata sebagai robot yang diatur seluruhnya oleh intervensi negara.
Nah, memasukkan komponen Keadilan Sosial dalam mekanisme pasar, itu bukan sesuatu yang mudah. Itu membutuhkan kemampuan menerjemahkan filsafat keadilan di dalam model-model ekonomi. Tidak mudah, karena banyak yang berpandangan bahwa model-model ekonomi tidak bisa memasukkan komponen keadilan di dalamnya. Saya tidak percaya itu. Saya berpendapat, pasar bisa melakukannya. Di sini kita bisa belajar banyak dari Jerman.
DW: Konkritnya bagaimana..?
Sebagai contoh, kalau mau mengelola masalah kemiskinan, pertanyannya apakah ini mau dikelola sebagai masalah Kesejahteraan Rakyat (Kesra) atau sebagai masalah ekonomi? Di bawah bagian Kesra atau bagian ekonomi?
Jerman menyelesaikan masalah kemiskinan sebagai bagian dari perekonomian. Dia memasukkan masalah kemiskinan dalam soal distribusi. Maksudnya begini: Orang membawa modal, atau teknologi, membawa tanah atau tenaga kerja, lalu membentuk kegiatan di perekonomian. Begitu teorinya.
Dari situ terjadi distribusi kesejahteraan. Yang membawa modal mendapat sekian persen, teknologi sekian persen, tanah sekian persen dan yang membawa tenaga kerja sekian persen. Itulah distribusi pendapatan. Ketika disitu terjadi ketidakadilan, maka dilakukanlah redistribusi pendapatan. Misalnya dengan memberikan subsidi bagi mereka yang menganggur, dan berbagai jenis bantuan sosial dengan dana dari pajak. Itulah redistribusinya, bisa dibilang distribusi tahap kedua.
Jadi di Jerman, persoalan kemiskinan dan keadilan sosial dimasukkan ke dalam distribusi yang pertama. Caranya, bagaimana meningkatkan kapasitas tenaga kerja agar bisa menembus pasar untuk mendapat kesejahteraan?
Jadi sistem edukasi vokasi, pelatihan-pelatihan, program-program magang, itu semua harus kita lihat dalam skema yang lebih besar, bahwa ini adalah bagian dari prinsip keadilan sosial, bagian distribusi kesejahteraan. Dalam hal itulah Jerman jadi sangat relevan untuk Indonesia.
Kita di Indonesia memiliki semangat Ekonomi Pancasila, hanya saja kita selama ini belum menerjemahkannya ke dalam model-model ekonomi. Kita masih menerapkannya sebagai bagian dari filsafat. Sebagai filsafat, sebagai landasan moral, kita semua sudah setuju. Tidak ada masalah. Tapi bagaimana penerjemahannya ke dalam model ekonomi, disitulah kita bisa belajar banyak dari Jerman.
DW: Bapak Menteri Anies Baswedan, Terimakasih untuk wawancara ini.#gallerybig#