1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Melongok Sepak Terjang Para Misionaris Jerman di Nusantara

Monique Rijkers
Monique Rijkers
21 Desember 2018

Berbeda dengan para misionaris asal Portugis dan Belanda yang masuk ke Indonesia lewat perdagangan kemudian diikuti dengan penjajahan, misionaris Jerman bebas dari beban masa lalu.

Foto: picture-alliance

Apakah Anda masih ingat dengan Romo Karl Edmund Prier yang menjadi korban pembacokan di Gereja Katolik Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta pada Februari 2018 silam?

Romo Prier adalah seorang misionaris atau penginjil asal Jerman yang datang ke Indonesia tahun 1964. Sejak itu, Romo Prier menetap di Indonesia dan dikenal pula sebagai pendiri Pusat Musik Liturgi Yogyakarta yang didirikan 11 Juli 1971.

Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Romo Prier memang seorang pemusik dan penggubah musik rohani gerejawi yang juga mempelajari filsafat saat masih di Jerman. Para misionaris Jerman bukan hanya datang ke Nusantara pada abad ke-18 saja tetapi berlangsung hingga saat Indonesia sudah merdeka.

Selain Romo Prier, nama yang sangat dikenal masyarakat adalah Franz Magnis Suseno atau disapa Romo Magnis yang memilih melepas kewarganegaraan Jerman dan menjadi WNI pada tahun 1977.

Sejak tiba pertama kali di Indonesia tahun 1961, Romo Magnis sudah menerbitkan sekitar 25 buku, menjadi pembicara tentang toleransi dan keberagaman dan kerap dimintai pendapatnya oleh media massa. Mendapat gelar doktor filsafat dari Universitas di München, Jerman, dia kini menjabat Ketua Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. 

Bermula dari Rempah

Kekristenan berkembang dan tersebar di Indonesia boleh dibilang berawal dari perdagangan rempah-rempah kemudian diikuti dengan penjajahan. Misi Katolik pertama kali masuk ke Maluku yang menjadi pusat perdagangan pada awal tahun 1500 bersama dengan para pedagang asal Portugis.

Seorang Spanyol bernama Fransiscus Xaverius menjadi pemimpin misi dan dikenang sebagai pendiri Gereja Katolik pertama di Nusantara, berlokasi di Ternate pada tahun 1523.

Misi Protestan datang belakangan hampir 100 tahun setelah misi Katolik bersamaan dengan masuknya kapal-kapal para pedagang rempah yang berada di bawah naungan Kongsi Dagang Belanda Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Kekuasaan Belanda selama 350 tahun turut menyebarkan Protestan sehingga menjadi umat kedua terbesar di Indonesia saat ini. Yang menarik adalah peran misionaris Jerman di Indonesia yang masuk tanpa embel-embel dagang dan kekuasaan.

Ketika misionaris jadi martir

Meski baru datang di kurun waktu 1800-an dan bukan yang pertama kali masuk di daerah itu, para misionaris Jerman terbukti berhasil masuk ke daerah yang "berat” yakni di suku Batak dengan tradisi leluhur yang kuat dan Papua yang saat itu masih belum tersentuh peradaban dan masih mengenal perang suku.

Beberapa wilayah memang sudah dijangkau lebih dulu oleh misionaris negara lain seperti di Minahasa, Sulawesi Utara misi Katolik asal Portugis sudah sampai di Minahasa tahun 1563 yang berhasil membaptis 1500 orang. Setelah itu baru misionaris Protestan asal Jerman Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz tiba tahun 1831 di Minahasa.

Tahun 1835, Barnstein, seorang misionaris Jerman tiba di Banjarmasin untuk menginjil suku Dayak di Pulau Kalimantan. Mitra misionaris Barnstein, Heyer sakit begitu tiba di Batavia sehingga ia kembali ke Jerman dan digantikan oleh Becker, Hupperts dan Krusmann.  Menurut situs Gereja Kalimantan Evangelis, gereja hasil pelayanan misionaris Jerman, baru pada tahun 1839 ada pembaptisan sebagai tanda menjadi Kristen.

Sayangnya pada tahun 1859 terjadi pemberontakan Kesultanan Banjarmasin terhadap orang kulit putih, termasuk misionaris yang datang dengan misi pendidikan dan kesehatan. Pemberontakan itu menewaskan misionaris Roth, misionaris Wiegand dan istri, misionaris Kand dan istri serta dua anak, misionaris Hofmeister dan istri. Misionaris Klammer diselamatkan oleh pemimpin suku Dayak Maanyan.

Kematian misionaris juga dialami saat menginjili suku Batak. Misi Protestan di suku Batak pada periode 1824-1834 gagal saat misionaris dari Inggris dan Amerika Serikat datang. Bahkan dua misionaris Amerika Serikat Munson dan Leiman dibunuh oleh leluhur suku Batak.

Menurut catatan sambutan Atase Militer Indonesia di Jerman, D.I. Panjaitan, yang dibacakannya saat diundang ke Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) Wuppertal-Bremen tahun 1960, pada tahun 1859 seorang misionaris RMG Wuppertal bernama Dr. Nommensen. Pengikut Nommensen kemudian berkembang hingga menjadi satu denominasi gereja khusus yang dikenal dengan nama Huria Kristen Batak Protestan atau HKBP yang dalam bahasa Jerman disebut Protestantische Kirchengemeninde Bataks).

Menurut D.I. Panjaitan, Nommensen mendapat gelar adat "Grossvater des Volkstammes Bataks” atau Ompung Suku Batak. Nommensen dan RMG bukan hanya menginjil saja tetapi juga membangun sekolah, rumah sakit, gereja dan infrastruktur. Bahkan D.I. Panjaitan, Pahlawan Revolusi merupakan lulusan sekolah rintisan RMG.

Misionaris Dr. Heinrich Sundermann dari RMG juga sampai di suku Nias, di pulau kecil tetangga dari wilayah suku Batak sejak 1875 hingga 1910. Berbekal status doktor dari Universitas Halle, Sundermann terlibat dalam penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru Bahasa Nias yang dipublikasikan tahun 1892 di Amsterdam, Belanda.

Penerjemahan lengkap Alkitab Bahasa Nias dilakukan sejak 1904 hingga 1915. Selama di Nias, Sundermann mengoleksi 33 patung dan karya seni tradisional Nias yang sempat dilelang tahun 2016 di Jerman serta menghasilkan 4 tulisan tentang Nias.

Sama seperti Sundermann, pendeta dan guru Teologi W.A Bode, berperan penting menerjemahkan Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu hingga diterbitkan pada 1938. Tahun 1940, Bode yang keturunan Jerman ditahan Belanda di Kepulauan Seribu, lalu dipindahkan ke Aceh Selatan. Selama di tahanan, Bode masih menyelesaikan penerjemahan Kitab Yosua, Hakim-hakim, Rut dan Amsal dalam bahasa Melayu. Akhir 1941 para tahanan diungsikan ke Sibolga, Sumatera Utara karena Jepang mulai masuk ke Semenanjung Malaka.

Belanda bermaksud memindahkan para tahanan ke India dengan menumpang kapal "Van Imhoff” yang tidak pernah sampai tujuan karena dibom Jepang di sekitar Kepulauan Nias. Bode bersama 400 orang penumpang tewas pada 19 Januari 1942. Naskah terjemahan lenyap. Namun pada tahun 1948 Lembaga Alkitab Belanda mendapat informasi istri Bode masih menyimpan sejumlah naskah sehingga bisa digunakan dan terbit pada tahun 1947. Kontribusi Bode pada penerjemahan Alkitab yang digunakan sejak 1938 hingga 1974 dan menuliskan dengan tangan tentu patut diapresiasi.

Menuai jiwa di Papua

Perjuangan terberat misionaris Jerman adalah masuk ke Papua yang masih mengenal perang suku dan kanibalisme. Johann G. Geissler dan Carl W.Ottow dididik sebagai pendeta merangkap tukang oleh sekolah misi Gossner di Berlin.

Ottow dan Geissler tiba di Papua atas prakarsa misi zending Heldring dari Belanda. Untuk sampai di Papua, Geissler berjalan kaki dari Jerman ke Belanda untuk bertemu Ottow yang sedang belajar di sana. Keduanya menumpang kapal laut untuk ke Batavia, di sini keduanya belajar bahasa Melayu. Lalu menumpang kapal ke Ternate dan bertemu Sultan Tidore yang beragama Islam. Perjalanan dari tahun 1852 baru berbuah hasil pada 5 Februari 1855 ketika Ottow dan Geissler mendarat di Pulau Mansinam yang letaknya berhadapan dengan daerah Dore yang sekarang diberi nama Manokwari.

Tahun 1862, Ottow meninggal karena sakit dan dimakamkan di Kwawi, Manokwari. Di lokasi pemakaman Ottow kini dibangun Gereja Kristen Injili (GKI). Geissler hidup di Mansinam selama 14 tahun dan saat dalam perjalanan pulang untuk bertemu orang tuanya, Geissler meninggal dunia di Siegen, Nord Rhein Westfallen, Jerman pada tanggal 11 Juni 1870.

Kehidupan yang keras selama di Papua bisa diketahui dari catatan harian yang ditulis Geissler yang dibukukan oleh E. Baltin dan diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Pendeta Rainer Scheunemann. Buku tentang Geissler itu diberi judul "Fajar Merekah di Tanah Papua”.

Rainer Scheunemann menulis, "Lima tahun sesudah Injil masuk di tanah Papua, ada lebih banyak kuburan para misionaris dan penginjil daripada jumlah orang yang dibaptiskan.” Guna mengenang jasa Ottow dan Geissler, UU Otonomi Khusus di Papua memasukkan peringatan Hari Pekabaran Injil pada setiap tanggal 5 Februari yang dirayakan dengan ibadah dan seni budaya meriah di Pulau Mansinam.

Kontribusi di luar urusan iman

Pendeta Rainer Scheunemann adalah seorang Jerman kelahiran Kediri, Jawa Timur, yang tinggal dan melayani di Papua hingga saat ini. Ia bukan hanya berurusan soal misi Protestan sebagai pendeta, dosen di Sekolah Teologia di Jayapura dan produktif menulis buku rohani, namun bersama istrinya, Pendeta Rainer aktif membina klub sepak bola wanita Persipura usia di bawah 18 tahun. Tim binaan Pendeta Rainer dan istri sukses meraih banyak kemenangan yang dibuktikan dengan deretan piala di rumah mereka di Sentani, Jayapura, Papua.

Pendeta Rainer dan adiknya Timo Scheunemann memang penggemar sepak bola, keduanya meraih predikat lulusan terbaik untuk izin melatih kategori B dari FA Inggris. Timo menjadi pemain bola, pelatih dan mendirikan Malang Football Club yang mencari dan membina bakat anak muda Papua dalam sepak bola. Pendeta Rainer juga mengarang lagu rohani dan banyak lagu tentang Persipura, tim sepakbola andalan asal Papua.

Romo Adolf J. Heuken datang ke Indonesia bukan hanya untuk berkhotbah. Sejak datang ke Jakarta tahun 1963 dan menjadi WNI tahun 1970, Romo Heuken justru sangat produktif menulis buku tentang Jakarta antara lain: Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta I-III, Menteng; Kota Taman Pertama di Indonesia, Gereja-gereja Tua di Jakarta, Gereja-gereja  Bersejarah di Jakarta dan terakhir terbit tahun 2017 adalah "Sejarah Jakarta dalam Lukisan dan Foto”.

Buku penting lainnya adalah Ensiklopedia Gereja, Ensiklopedia Katolik dan kamus bahasa Jerman-Indonesia dan Indonesia-Jerman. Romo Heuken pada tahun 2013 mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia atas dedikasinya selama 50 tahun di Indonesia. Romo Heuken juga menerima penghargaan Bintang Penghargaan Republik Federal Jerman pada tahun 2008 berkat jasanya dalam membangun hubungan Jerman dan Indonesia.

Para misionaris datang dari negeri yang jauh dan bersedia hidup di lingkungan yang sangat berbeda dari tanah asal mereka demi panggilan pelayanan. Peran misionaris bukan hanya untuk membawa manusia mengenal Tuhan, tetapi juga membawa pengetahuan yang berguna untuk hidup berkat ketrampilan bertukang, bertani, beternak dan mengajarkan baca-tulis-berhitung termasuk urusan kebersihan diri.

Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.