1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mendulang Peluang Lewat Perdagangan Karbon

9 September 2024

Saat ini perdagangan karbon di Indonesia memasuki tahun kedua, periode terakhir dari fase pertama. Sekitar seratus perusahaan batubara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik bergabung sebagai peserta jual beli karbon.

PLTU Suralaya di Cilegon
PLTU Suralaya Cilegon yang rencananya akan dihentikan operasinyaFoto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images

Sejak dimulai kebijakan karbon atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia pada tahun 2021, saat ini sudah beberapa sektor menetapkan peta jalan perdagangan karbon. Indonesia memulai dengan perdagangan emisi untuk sektor pembangkit listrik tenaga batubara.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi menjelaskan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 telah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan tata cara teknisnya. Ada juga aturan pelaksanaan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang mengatur hal tersebut.

"Kemudian di sektor kehutanan peta jalannya sudah lengkap semua aksi aksi mitigasi di sektor kehutanan didesain ini akan menggunakan mekanisme nilai ekonomi karbon atau carbon pricing yang mana. Itu sudah terjadi dan kita sudah punya beberapa unit karbon yang sudah diregistrasi dan sudah keluar sertifikat pengurangan emisinya,” ujar Laksmi.

Pasar Karbon Indonesia telah diresmikan tahun 2023, sehingga penjualan emisi mulai dilakukan melalui bursa karbon itu. Pada 23 Agustus 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon).

Penurunan emisi karbon global

Model ini adalah salah satu bentuk upaya penurunan emisi karbon Indonesia yang dimaksudkan untuk memberi insentif bagi perusahaan dan insitusi untuk meningkatkan efisiensi energinya, menurunkan emisi karbonnya, bahkan beralih sepenuhnya pada energi terbarukan.

Langkah tersebut dilakukan untuk untuk memenuhi komitmen untuk memperlambat laju perubahan iklim dengan penurunan emisi karbon global, termasuk dalam rangka mencapai target komitmen Indonesia: Net Zero Emission 2060 atau lebih awal.

Mekanisme perdagangan karbon atau yang dikenal juga sebagai Emission Trade System (ETS) merupakan salah satu solusi kebijakan yang dipercaya dapat menjadi terobosan penting untuk mengatasi persoalan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan perubahan iklim. Indonesia termasuk salah satu negara yang tengah menguji coba model ini.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Dalam Pasal 47 Ayat 1 Perpres 98/2021 diatur bahwa penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing di Indonesia dilakukan melalui empat kategori mekanisme. Kategori tersebut antara lain: perdagangan karbon (carbon trade), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment), pungutan atas karbon (pajak karbon atau carbon levy), dan mekanisme lainnya sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditetapkan.

Laksmi Dewanthi memaparkan pemikiran dasarnya adalah upaya global untuk menahan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi secara global tidak melebihi 1.5 derajat celsius, sesuai Perjanjian Paris. "Tapi intinya adalah kita tidak akan bisa melakukan perdagangan karbon, jika kita tidak punya sertifikat pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, karena sertifikat itu yang menjadi komoditas untuk diperjualbelikan dan sertifikat itu tidak akan kita bisa dapatkan kalau kita tidak melakukan upaya pengurangan emisi GRK, karena harus ada pengurangan karbon, baru kemudian disertifikasi, baru kita bisa melakukannya.”  Sejak 2021 beberapa perusahaan yang mendapatkan sertifikasi ini semakin lama semakin meningkat.

Semua PLTU batubara memiliki batas atas emisi, yakini diberi persetujuan teknis berapa banyak emisi yang boleh dikeluarkan. Laksmi menjelaskan: ”Misal saya punya perusahaan batubara A, izin emisi saya  adalah 100 ton CO2 ekuivalen. Perusahaan B punya surat yang sama tapi karena perusahaan B menggunakan teknologi tertentu, misalnya emisi saya bisa di bawah 100 ton, taruhlah 80 ton, maka saya punya kelebihan 20, sedangkan sementara misalnya PLTU B emisinya masih di atas 100 ton, maka perusahaan B bisa beli yang 20 ton, karena emisi saya lebih kecil.” Semakin lama batas atas emisinya makin diturunkan secara bertahap, sehingga nanti total emisi dari sektor atau sub sektor pembangkit listrik tenaga batubara itu diharapkan akan berkurang dari waktu ke waktu.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi menjelaskan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 telah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan tata cara teknisnya.Foto: Ayu Purwaningsih/DW

Laksmi mengakui pengurangan emisi di sektor kehutanan memakan waktu yang panjang, sementara target Indonesia untuk pengurangan emisi sebesar 31,89% di tahun 2030 tidak hanya tergantung pada satu sektor. Menurutnya di tahun 2030 sektor energi masih akan tinggi emisinya dan diperkirakan untuk puncak emisinya baru ada di tahun 2035. Kemudian apa yang dilakukan? ”Di sektor kehutanan, di tahun 2030 emisinya akan minus 140 juta ton ekuivalen. Jadi kita masih bisa mengkompensasikannya, menyeimbangkannya. Kita tahu bahwa konsumsi per kapita pemenuhan konsumsi energi per kapita kita masih jauh bahkan jauh di bawah rata-rata middle income country,” demikian klaimnya.

Ia mengakui pemerintah masih harus memenuhi kebutuhan energi masyarakat Indonesia yang sekarang ada yakni PLTU batubara, namun tidak akan membangun yang baru. Sementara energi-energi terbarukan semakin ditingkatkan. ”Memang tidak bisa seperti membalikkan tangan, hari ini berkeinginan besok harus ada. Ini butuh konsistensi dan implementasi kebijakan.”

Seluruh PLTU batubara sudah mendapatkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAEPU), di mana mereka sudah tahu berapa jumlah emisinya. Kemudian di akhir masa komitmennya di akhir tahun, bisa dilihat berapa emisinya. Kementerian Energi dan Mineral sudah dilakukan uji coba perdagangan karbon ini. Jadi jika perusahaan itu berhasil mengurangi emisinya, dia bisa menjual karbonnya.  Kalau belum, masih harus membeli.

”Jadi sekarang sebetulnya yang penting buat mereka adalah melakukan pengurangan emisi, melakukan upaya-upaya mengurangi emisinya ataukah mengubah teknologinya dan sebagainya.” Yang penting adalah bagaimana mereka menjaga agar emisinya terus turun sehingga berada dalam posisi sebagai penjual, bukan sebagai pembeli, tambahnya.

”Kalau kita lihat dari perdagangan karbon yang ada di sistem registrasi nasional, yang sudah mendaftarkan sertifikat pengurangan emisinya justru di sektor energi seperti Pertamina,” ujar Laksmi.

Sebagian menurutnya sudah melakukan pengurangan emisi dan mereka juga sudah mulai menjual sertifikatnya di Bursa Karbon Indonesia (BKI), jadi yang lainnya belum, masih antre untuk melakukan registrasi karena mereka harus daftar dulu rencana aksi mitigasinya, kemudian rencana aksi mitigasinya harus divalidasi oleh pihak ketiga lembaga validasi dan diverifikasi, lalu kemudian melaporkan kembali capaian aksi mitigasinya, lalu diverifikasi lagi.

Memang ada tahapan-tahapannya dan tidak bisa tergesa-gesa, karena terutama untuk beberapa sektor aksi mitigasi itu perlu waktu dari mulai melakukan aksi mitigasi sampai pengurangan emisinya terjadi.

Perdagangan karbon di Eropa

Policy Advisor Germanwatch Giovanni Maurice Pradipta mengatakan pengurangan emisi lewat perdagangan karbon di  Uni Eropa bukan hanya untuk sektor batubara. Di Uni Eropa katakanlah ada perusahaan palet kayu yang mengeluarkan CO2 dalam pembakarannya. Jadi setiap 1 ton CO2 yang dihitung rantai suplai harga karbon yang ditetapkan. "Bilanglah setahun kita mengeluarkan 2000 ton, jadi itulah yang harus dibayar dikali harganya misal 65 euro. Nah dalam "kompensasi” tadi misalnya bisa dengan memasang fotovoltaik, itu kan ada hitungannya bahwa kita  "menghemat” berapa banyak CO2 dan juga menggunakan listrik dari energi terbarukan itu.”

Ia menambahkan contoh lain apda perusahaan yang sama. Misal, tadinya karyawan perusahaan itu naik mobil, maka hitunglah berapa kilometernya, dari situ kita dapat menghemat 250 ton emisi, ”Ya sudah 2000 ton kurangi 500 ton dari panel surya, dikurangi lagi  250 ton dari penghematan bensin, karena tidak pakai mobil lagi, tapi pakai kereta. Maka dengan demikian berkurang pajak karbon yang harus dibayar, ” Sehingga dengan car aitu banyak perusahaan berlomba-lomba mengungari emisi GRK-nya.

Policy Advisor Germanwatch Giovanni Maurice Pradipta mengatakan pengurangan emisi lewat perdagangan karbon di  Uni Eropa sudah berjalan di perusahaan-perusahaan.Foto: Ayu Purwaningsih/DW

Yang jadi pertanyaan bagi Giovanni adalah apakah sistem atau mekanisme itu bisa diterapkan dengan jujur? "Masih ada perdebatan apakah nanti benar sistemnya berjalan jujur? Setahu saya ya CO2 di Indonesia itu baru berlaku kalau kamu emiten, baru untuk ke power plant yang ada di aturan pemerintah.”

Contoh lain yang ia kemukakan berdasar pengalaman di Eropa. Jika  A dan B punya perusahaan di bidang yang sama, misalnya sama-sama pabrik mebel, bisa juga perusahaan A membayar perusahaan B yang punya pabrik mebel tapi kebetulan pabriknya lebih banyak dapat akses sinar matahari,  sehingga memasang panel surya di pabrik mebelnya. "Jadi bisa membiayai bersama-sama, mengurangi emisi. Tapi di Indonesia karena menurut saya, sebelum semuanya kena efek pajak karbon jadi belum ada gunanya untuk beli karbon. Apakah bisa jujur mekanismenya?”

Contoh lain yang ia kemukakan adalah jika ingin memesan tiket pesawat penumpang biasanya ada pilihan apakah ingin membayar biaya kompensasi karbon. Ini juga bisa membantu dalam mengurangi emisi, pungkasnya.

(ap/hp)