Prof Hikmahanto Juwana berpendapat surat itu bisa bermakna agar Indonesia mengambil sikap mendukung salah satu faksi di Palestina. Dia mewanti-wanti agar Indonesia bijak menanggapi surat tersebut.
Iklan
Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Lantas apa maksud sebenarnya surat dari pimpinan Hamas tersebut?
Guru Besar Bidang Studi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana awalnya menjelaskan surat tersebut dari latar belakang dua faksi yang ada di Palestina yakni Hamas dan Fatah. Menurutnya Hamas dan Fatah memiliki orientasi politik dan cara memperoleh kemerdekaan yang berbeda.
"Pertama yang perlu dipahami adalah di Palestina ada dua faksi yang saling bersaing dalam orientasi politik dan cara memperoleh kemerdekaan yaitu Hamas dan Fatah. Hamas dominan dan mengusai Gaza sementara Fatah dominan dan menguasai Tepi Barat (West Bank). Ini dua lokasi yang berbeda dan dipisahkan oleh wilayah yang dikuasai oleh Israel," kata Hikmahanto saat dihubungi, Kamis (20/05).
Hikmahanto menyebut insiden yang terjadi di Yerusalem Timur merupakan daerah yang dikuasai oleh faksi Fatah sedangkan faksi Hamas menguasai wilayah jalur Gaza yang sempat dihujani roket oleh Israel. Sementara itu, kata dia Presiden Palestina Mahmoud Abbas berasal dari Fatah.
"Kejadian di Yerusalem Timur kemarin ada di daerah yang dikuasai oleh Fatah. Sementara peluncuran roket ke Israel dari Gaza. Saat ini Presiden Palestina Mahmoud Abbas atas hasil pemilu berasal dari Fatah," ucapnya.
Hamas dan Fatah: Siapakah Mereka?
Fatah dan Hamas berusaha untuk membentuk pemerintahan persatuan setelah bertahun-tahun bersaing untuk mencapai tujuan sama, negara Palestina. Berikut tujuan, momen penting dan perbedaan yang menghambat kerjasama.
Foto: Getty Images
Kekuatan Palestina
Fatah dan Hamas muncul sebagai dua kekuatan politik utama dalam gerakan kemerdekaan Palestina. Tetapi ada perbedaannya. Misalnya dalam strategi, dalam hal penentuan nasib dan status kemitraan politik mereka.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/M. Faiz
Fatah Didirikan Yasser Arafat
Didirkan 1950-an oleh Yasser Arafat (foto), dan dipimpinnya hingga meninggal 2004. Partai sekuler ini awalnya berupaya dirikan negara Palestina lewat gerilya. Fatah jadi kekuatan utama dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dibentuk 1964 sebagai representasi berbagai faksi yang ingin menentukan nasib sendiri. Fatah berarti "kemenangan".
Foto: Jamal Aruri/AFP/Getty Images
Bagaimana Hamas Terbentuk?
Organisasi militan ini didirikan Sheikh Ahmed Yassin 1987 dengan sokongan Ikhwanul Muslimin dan anggota PLO yang religius. Partai keagamaan ini mulai naik pamornya 1993, ketika menampik Kesepakatan Oslo, di mana PLO yang dipimpin Fatah setuju bahwa Israel punya hak untuk eksis. Hamas singkatan dari Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah yang berarti Gerakan Perlawanan Islam.
Foto: Getty Images/A.Katib
Tujuan Hamas dan Fatah
Tujuannya sama: penentuan nasib sendiri bagi Palestina. Tapi caranya berbeda. Setelah akhiri perang gerilya terhadap Israel, Fatah jadi mitra perundingan utama di pihak Palestina. Mereka setujui solusi 2 negara dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama. Sebaliknya Hamas tidak terima eksistensi Israel, dan serukan penghancurannya. Foto: Perayaan Hari Bencana di Gaza terkait pendirian Israel 1948.
Foto: AP
Organisasi Teroris?
Fatah tidak diklasifikasikan sebagai organisasi teroris. Tetapi pemerintah AS mengklasifikasikan Organisasi Abu Nidal dan Brigade Al Aqsa yang punya hubungan dengan Fatah, sebagai kelompok teroris. Sementara Hamas diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh AS, Israel dan Uni Eropa.
Foto: Reuters/S. Salem
Status Koalisi Pemerintahan
Koalisi Hamas-Fatah dibubarkan Presiden Mahmoud Abbas setelah Hamas mendesak pemerintah otonomi Palestina keluar dari Jalur Gaza (2006/2007). Setelahnya Hamas berkuasa di Jalur Gaza, dan Fatah di Tepi Barat Yordan. 2011 mulai ada pendekatan lewat pembicaraan menuju rekonsiliasi yang disokong Mesir. Foto: Dua orang kenakan topeng Presiden Mahmoud Abbas dan Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh.
Foto: AP
Upaya Perdamaian Yang Terseok-Seok
Upaya perdamaian antara Hamas dan Fatah sudah digelar berkali-kali. Terakhir, kedua partai berusaha membentuk kabinet persatuan yang beranggotakan menteri-menteri tanpa partai, tahun 2014 Foto: dari kiri: Yasser Arafat, Menlu Israel Shimon Peres dan PM Israel Yitzak Rabin ketika mendapat Nobel Perdamaian 1994 berkat upaya mereka untuk mengadakan perdamaian. Penulis: Kathleen Schuster, Ed.: ml/as
Foto: Getty Images
7 foto1 | 7
Kemudian Hikmahanto menjelaskan kedua faksi di Palestina tersebut juga menjadi penyebab pecahnya suara negara-negara di Timur Tengah dalam menentukan sikap terkait konflik antara Israel dan Palestina.
"Ini yang mengakibatkan negara-negara di Timur Tengah tidak bulat dalam pengambilan keputusan di OKI. Iran mendukung Hamas sementara negara-negara mayoritas Arab mendukung Fatah. Nah, Iran dan kebanyakan Negara Arab punya pandangan politik yang bertentangan," jelasnya.
"Surat Hamas perlu disikapi dengan bijak”
Lantas apa hubungan fakta tersebut dengan surat yang dikirimkan oleh Hamas kepada Jokowi? Hikmahanto berpendapat surat itu bisa bermakna agar Indonesia mengambil sikap mendukung salah satu faksi. Karena itulah, Hikmahanto mewanti-wanti agar Indonesia bijak menanggapi surat tersebut.
"Di sini Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam sedang ditarik-tarik untuk berada di belakang salah satu faksi yang ada di Palestina, bahkan mungkin kelompok negara-negara yang ada dalam OKI," ungkapnya.
"Artinya jangan sampai Indonesia ikut dalam perpolitikan dalam negeri Palestina. Indonesia tentu mendukung rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaannya, bukan untuk mendukung salah satu faksi perpolitikan dalam sistem ketatanegaraan Palestina. Oleh karenanya kalau Hamas meminta dukungan Presiden Jokowi maka perlu disikapi dengan bijak," lanjut Hikmahanto.
Iklan
Indonesia dinilai harus mengedepankan sisi kemanusiaan
Hikmahanto lantas memberi masukan agar Indonesia cukup menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif terkait surat tersebut. Fokus Indonesia, kata dia, bukan mendukung kekerasan, melainkan mendorong negara-negara di dunia khususnya Amerika Serikat agar Israel dan Palestina melakukan gencatan senjata.
"Ingat Indonesia harus konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Kita sangat berpihak agar rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya. Prioritas perhatian Indonesia saat ini adalah gencatan senjata dari semua pihak, bukan dukung-mendukung terkait penggunaan kekerasan. Bagi Indonesia seharusnya sisi kemanusiaan yang harus dikedepankan, terutama rakyat sipil dan lebih khusus perempuan dan anak-anak. Sebagai mediator yang baik maka Indonesia harus bisa meyakinkan banyak negara terutama AS atas seruan gencatan senjata," sebutnya.
Rangkaian Perjanjian dan Prakarsa Damai Israel-Palestina yang Gagal
Selama lebih dari setengah abad, berbagai upaya telah digalang untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina, namun semuanya gagal.
Perjanjian Camp David dan Perdamaian Israel-Mesir, 1978-1979
Perundingan Arab-Israel dimulai pada tahun 1978 di bawah penengahan AS. Bertempat di Camp David, pada 26 Maret 1979, Perjanjian Damai Israel Palestina ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat (kiri) dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin (kanan), melalui penengahan Presiden AS Jimmy Carter (tengah).
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Daugherty
Perjanjian Oslo I, 1993
Negosiasi di Norwegia antara Israel dan PLO menghasilkan Perjanjian Oslo I, yang ditandatangani pada September 1993. Perjanjian tersebut menuntut pasukan Israel mundur dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan otoritas sementara Palestina akan membentuk pemerintahan otonomi untuk masa transisi lima tahun. Kesepakatan kedua ditandatangani pada tahun 1995.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Sachs
Pertemuan Puncak Camp David, 2000
Presiden AS Bill Clinton pada tahun 2000 mengundang Perdana Menteri Israel Ehud Barak (kiri) dan Pemimpin PLO Yasser Arafat (kanan) ke Camp David untuk membahas masalah perbatasan, keamanan, permukiman, pengungsi dan status Yerusalem. Meskipun negosiasi menjadi lebih rinci dari sebelumnya, tidak ada kesepakatan yang dicapai.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Edmonds
Prakarsa Perdamaian Arab dari KTT Beirut, 2002
Negosiasi Camp David diikuti dengan pertemuan di Washington di Kairo dan Taba, Mesir - semuanya tanpa hasil. Setelahnya Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab di Beirut, Maret 2002. Rencana tersebut meminta Israel menarik diri ke perbatasan sebelum 1967. Sebagai imbalannya, negara-negara Arab akan setuju untuk mengakui Israel.
Foto: Getty Images/C. Kealy
Peta Jalan Kuartet Timur Tengah, 2003
AS, Uni Eropa, Rusia, dan PBB bekerja sama sebagai Kuartet Timur Tengah untuk mengembangkan peta jalan menuju perdamaian. PM Palestina saat itu, Mahmoud Abbas, menerima teks tersebut, namun mitranya dari Israel, Ariel Sharon, keberatan. Peta jalan itu memuat tentang solusi dua negara Sayangnya, hal itu tidak pernah dilaksanakan. Dalam foto: Yasser Arafat dan pejabat Uni Eropa Lord Levy.
Foto: Getty Iamges/AFP/J. Aruri
Prakarsa Perdamaian Trump, 2020
Presiden AS Donald Trump memperkenalkan rancangan perdamaian tahun 2020. Tetapi rancangan itu menuntut warga Palestina menerima pemukiman Yahudi di kawasan Tepi Barat yang diduduki Israel. Palestina menolak rencangan tersebut.
Foto: Reuters/M. Salem
Konflik kembali berkobar 2021
Rencana Israel mengusir empat keluarga Palestina dan memberikan rumah mereka di Yerusalem Timur kepada pemukim Yahudi berujung bentrokan dan aksi protes di Yerusalem. Hamas kemudian menembakkan lebih 2.000 roket ke Israel, dibalas dengan serangan udara militer Israel, yang menghancurkan banyak bangunan di Jalur Gaza. (hp/gtp)
Foto: Mahmud Hams/AFP
7 foto1 | 7
Seperti diketahui, Ismail Haniyeh berkirim surat ke Presiden Jokowi. Haniyeh meminta Jokowi untuk memobilisasi dukungan negara Islam dan internasional terhadap Palestina.
Dilansir dari Anadolu Agency, Kamis (20/05), surat itu disampaikan ke Jokowi pada Selasa (18/05) lalu. Dalam suratnya, militan Palestina itu menuliskan perihal agresi Israel ke Palestina yang terus meningkat.
"Kami meminta Anda untuk segera bertindak dan memobilisasi dukungan Arab, Islam dan internasional, dan untuk mengambil sikap yang jelas dan tegas untuk mewajibkan pendudukan Israel segera menghentikan agresi dan terornya di Jalur Gaza," kata Haniyeh dalam suratnya.
Haniyeh juga meminta Jokowi untuk menyerukan diakhirinya kekerasan di Yerusalem dan penduduknya. Termasuk soal pengusiran paksa dan diskriminasi rasial terhadap warga Palestina.
"Termasuk skema Yudaisasi, permukiman, pengusiran paksa dan diskriminasi rasial, dan mencabut semua keputusan yang menargetkan pintu gerbang dan lingkungannya, terutama lingkungan Sheikh Jarrah," lanjutnya. (Ed: gtp/ha)