Momentum lawatan Jokowi di Jerman kemarin bermuara pada menemukan kembali “Indonesia” di kancah internasional. Mengapa demikian? Simak ulasan Zacky Khairul Umam, berikut ini.
Iklan
“Kita ini bangsa besar; kita harus selalu terdepan,” demikian penekanan Presiden Joko Widodo dalam silaturahim dengan perwakilan belasan ribu warga Indonesia di Jerman, 18 April lalu.
Dengan penegasan itu, Jokowi sekaligus mengkritik pencitraan Indonesia yang kerap berada di belakang kala pameran-pameran internasional digalakkan. Jokowi tahu persis apa yang ia bicarakan.
Pasalnya, belasan tahun ia berpengalaman sebagai saudagar yang ikut memamerkan produknya di banyak kesempatan di Jerman. Namun, stan Indonesia kerap kali berada di belakang dan dekat toilet. Kata Jokowi, kemungkinannya ada dua: Apakah selama ini pameran tersebut tidak diperhatikan atau mungkin disediakan dana besar, namun ada gelagat ketidakberesan dalam pengelolaan dan keterbukaan anggaran.
Sambutan yang lugas ala Jokowi di Berlin bagi warga Indonesia di Jerman adalah sebuah dentuman. Bukan hanya soal komitmennya untuk memindahkan kedutaan besar RI yang strategi di jantung ekonomi dan ide ke-Eropa-an, yakni Jerman, melainkan juga soal bagaimana ia berkomitmen atas pembentukan mimbar ke-Indonesia-an di panggung global.
Kendati Jokowi tidak berapi-api dengan kerangka teoritis yang menggebu-gebu, pesannya jelas terbaca. Kata-katanya serupa verba yang harus dikerjakan terus-menerus. Inilah filosofi kerja Jokowi.
Kemitraan Pasca-Oktober 2015
Pikiran-pikiran besar lahir di Jerman yang menamai dirinya “ranah gagasan” (Land der Ideen). Soal teknologi hingga masalah sosial-kemasyarakatan, Jerman masih terus bertindak inovatif. Demikian halnya dengan industri yang juga disebut Jokowi. Tidak salah jika pintu memasuki Eropa berada di Brandenburger Tor. Kendati kunjungan Jokowi singkat, banyak apresiasi positif dari publik dan media massa Jerman.
Salah satu yang paling ditekankan Jokowi dalam kerjasama Indonesia-Jerman ke depan ialah pentingnya transfer ilmu-ilmu kejuruan (vocational education) yang dulu sempat mendapat momentum kala BJ Habibie memimpin.
Arah kerjasama ini seia sekata dengan rencana besar Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Berlin, Prof. Agus Rubiyanto, yang kerap kali mendorong banyak kalangan untuk belajar tentang kreativitas dan inovasi melalui pendidikan kejuruan. Ia menelisik bahwa kemajuan Jerman ditopang oleh ilmu-ilmu praktis yang sangat spesialis. Tidak semua warga Jerman, dalam analisisnya, harus menguasai soal-soal yang besar.
Ketika Budaya Indonesia Merambah Jerman: FBF 2015
Indonesia diundang menjadi Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, mengambil alih status itu dari Finlandia (2014).
Foto: Yayat Supriyatno
Indonesia Jadi Tamu Kehormatan
Oktober 2014, pada penutupan Frankfurt Book Fair, Guest of Honour (Tamu Kehormatan) Finlandia secara resmi menyerahkan status itu kepada delegasi Indonesia.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Gulungan Guest of Honour
Dengan menerima gulungan Guest of Honour, dimulailah kerja keras satu tahun mempersiapkan penampilan prima di Pameran Buku Frankfurt 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Ketua Komite Nasional Indonesia: Slamet Rahardjo dan Goenawan Mohamad
Dua tokoh budaya Indonesia terpilih memimpin Komite Nasional Guest of Honour FBF 2015: Sutradara, aktor dan pemeran panggung kawakan Slamet Rahardjo, dan budayawan kondang Goenawan Mohamad.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Pameran Buku Leipzig, 12 - 15 Maret 2015
Penampilan pertama Indonesia di Jerman dimulai dari Pameran Buku Leipzig, 12 sampai 15 Maretb 2015. Indonesia memboyong banyak penulis dan buku-buku ke ajang ini. Sekitar 2000 penerbit dari 42 negara tampil di Leipzig.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Schmidt
Laksmi Pamuntjak dan Amba (Alle Farben Rot)
Salah satu penulis perempuan Indonesia, Laksmi Pamuntjak, digaet penerbut besar Jerman Ullstein Verlag. Penerbit itu langsung melakukan promosi gencar buku Amba, yang diterbitkan dengan titel Jerman "Alle Farben Rot". Dalam foto acara pembacaan dan diskusi buku, bersama artis Jerman Milena Karas.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Sukses menembus pasar buku Jerman
Alle Farben Rot yang terbit di Ullstein Verlag segera menduduki peringkat atas untuk buku-buku dari penulis non-Eropa, dan menjadi satu buku dengan angka penjualan tertinggi di Jerman.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kunjungan 17 Jurnalis Jerman ke Indonesia
Panitia FBF di Frankfurt, bekerjasama dengan Komite Nasional di Indonesia, menyelenggarakan program kunjungan wartawan Jerman dari media online. cetak dan elektronik ke Jakarta dan Makassar, awal Juni 2015. Semua media terkemuka Jerman ikut dalam delegasi ini.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Terjebak Macet di Jakarta
Hari pertama kunjungan ke Indonesia, bis para wartawan Jerman terjebak macet di Jakarta. Tapi mereka kagum dengan ketenangan sopir bis, yang menurut mereka seharusnya sudah menderita sakit jantung menghadapi lalu lintas yang serba kacau.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Diundang ke Istana bertemu Presiden Jokowi
Tanggal 3 Juni 2015, sehari sebelum bertolak ke Makassar International Writers Festival, para wartawan diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Kepresidenan.
Foto: Yayat Supriyatno
Mendikbud Anies Baswedan membuka FBF 2015
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mendapat kehormatan membuka Frankfurt Book Fair 2015 dan berpidato tanggal 13 Oktober 2015 di hadapan ribuan tamu undangan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Dedert
Pavilyun Indonesia mengundang decak kagum pengunjung
Penampilan Pavilyun Indonesia menjadi salah satu atraksi utama Pameran Buku Frankfurt. Panitia FBF memuji Indonesia dengan menyatakan, inilah penampilan negara Guest of Honour yang terbaik selama 10 tahun terakhir. Artinya, Indonesia masih lebih baik daripada Cina, Brasil dan Turki.
Foto: DW/R. Nugraha
Ajang Pameran Buku terbesar dunia
Frankfurt Book Fair adalah ajang Pameran Buku terbesar dunia yang diselenggarakan setiap tahun. Sebagai Tamu Kehormatan, Indonesia memboyong sekitar 300 penulis, budayawan dan pelaku seni pertunjukkan untuk mengisi lebih dari 400 agenda acara yang digelar di berbagai kota di Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
Belasan seniman tampil di Frankfurter Kunstverein
Belasan seniman lukis, grafis dan seni rupa menggelar pameran di lokasi bergengsi Frankfurter Kunstverein dan di berbagai museum lain di Frankfurt. Film Indonesia diputar setiap malam di Deutsches Filmmuseum, Frankfurt. Sebelum pemutaran film, ada sesi diskusi dengan para sutradara yang khusus datang ke Jerman untuk acara ini.
Foto: DW/R. Nugraha
Pertunjukan Seni dan Musik
Berbagai pertunjukan tari dan musik digelar di arena FBF 2015. Ada juga pameran kuliner Indonesia dan peragaan memasak yang menyedot perhatian banyak pengunjung.
Foto: DW/R. Nugraha
Seni Instalansi Bambu di Frankfurter Kunstverein
Di sekitar gedung Frankfurter Kunstverein di pusat kota Frankfurt, dipasang instalasi bambu raksasa dari Indonesia, yang segera menjadi sorotan media dalam dan luar negeri.
Foto: DW/R. Nugraha
15 foto1 | 15
Jika dikembangkan ke arah semestinya, kemitraan strategis jenis ini tentu akan banyak memberikan dampak yang berarti bagi pembangunan negara kita ke depan. Di banyak kepulauan di tanah air, sudah semestinya memang untuk membangun lembaga perguruan tinggi yang sama levelnya dengan tingkat Fachhochschule di Jerman, yang menyediakan jenjang pendidikan hingga selevel master, tanpa perlu penelitian doktoral.
Jika setiap pulau memiliki spesifikasi tersendiri, misalnya lembaga pendidikan perkapalan di Madura atau lembaga pengembangan kemaritiman di Maluku, maka setiap titik di wilayah Indonesia akan punya konsentrasi tersendiri. Ini pada urutannya akan ikut memberikan sumbangsih dan tukar-menukar keahlian antarpulau, sehingga membentuk kesatuan yang sinergis.
Ketika penulis diundang Goethe Institut dan Deutsche Welle untuk memberikan masukan di salah satu forum ilmiah Pameran Buku Frankfurt (Frankfurt Buchmesse) --kala Indonesia menjadi tamu spesial pada Oktober tahun lalu--- perhatian pada Indonesia tidaklah sesemu fatamorgana.
Kemitraan dalam hal transfer pendidikan kejuruan di atas dengan demikian menjadi langkah nyata untuk menindaklanjuti watak keseriusan dan kedisiplinan Jerman, selain terus-menerus mengelola kemitraan dalam bidang seni, sastra, filsafat, politik, agama dan seterusnya. Tidak menutup kemungkinan jika kemitraan itu bisa diperluas dalam hal dunia sepak bola.
Pasca-Oktober 2015 di Frankfurt jelas bukan akhir dari sebuah cerita bagaimana karangan-karangan imajinatif keindonesiaan diapresiasi besar-besaran, kadangkala gigantis melebihi capaian negara lain di forum serupa pada tahun sebelumnya. Ada garis Kontinuum yang harus diperhatikan Indonesia soal bagaimana menjadi menjadi sahabat sejati (wahrer Freund) bagi Jerman.
Maka, apresiasi tinggi atas Indonesia pada event lalu itu, kendati banyak kritik yang berarti, harus dianggap sebagai titik mula untuk mengartikan moto kita di Frankfurt 17000 islands of imagination hingga setaraf the land of ideas dari moto resmi yang mewakili soft-power Jerman.
Reinvensi “Indonesia”
Eksplorasi etnologis Adolf Bastian pada akhir abad ke-19 mempopulerkan nama “Indonesia” yang ditemukan sarjana Skotlandia, James Logan, di kancah global melalui berjilid-jilid bukunya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884-1894 (Indonesia atau Kepulauan Melayu).
Puluhan tahun sebelum anak bangsa menamakan organisasi mereka bernisbat “Indonesia”, Bastian sudah terlebih dahulu memperkenalkan nomenklatur ini secara luas dalam forum internasional. Ia ikut menyumbang pada identitas geografis dan kultural yang hingga kini menjadi tanah air kita.
Pelukis Jawa di Eropa
Raden Saleh, pelukis Jawa yang punya nama besar di Eropa termasuk terkenal di pula Jerman pada abad ke-19,
Foto: gemeinfrei
Kepribadian Artistik
Raden Saleh (1811 - 1880) adalah orang Asia pertama yang menikmati pendidikan melukis secara akademis di Eropa. Sosok eksotis yang berkarya seni adalah hal mengejutkan bagi Eropa di pertengahan abad ke-19. Ia juga turut melahirkan aliran lukis orientalis di Jerman. Penampilannya dalam karya Johann Carl Bähr disukai publik, seorang pelukis tampan berkostum pangeran oriental.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Pelukis Berbakat
Lahir di bekas koloni Belanda di Jawa, pada usia muda Saleh melihat hobi favorit penguasa kolonial yakni: berburu. Aktivitas itu menjadi salah satu motif favoritnya. Pelukis kolonial keturunan Belgia, Antoine Payen, melihat bakat Saleh dan mendukungnya. Dengan bantuan hibah, Saleh berangkat ke Belanda pada tahun 1830, di mana ia mendapat pendidikan melukis.
Foto: gemeinfrei
Seniman Lepas
Pemerintah Belanda mengirimnya untuk studi keliling di Eropa, termasuk di Dresden. "Di sana tahun 1839 Saleh tertahan," kata Dr. Julia M. Nauhaus, direktur Museum Lindenau di Altenburg, yang pertama kali di Jerman memamerkan lukisan-lukisan Saleh. "Dia menerima banyak pesanan dan bisa bekerja sebagai seniman lepas, tanpa ketergantungan pada Belanda."
Foto: picture alliance/ANN/The Jakarta Post
Hewan Spektakuler
Harimau, anjing, singa, hewan- hewan ini sering muncul dalam karya Saleh. Di tanah kelahirannya Jawa, tidak ada singa. Tampaknya ia secara seksama meriset binatang liar itu selama berkeliling Eropa. "Dia telah melakukan perjalanan antara lain ke kebun binatang London dan sirkus di Den Haag," kata Dr. Nauhaus.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Diakui di Kalangan Seniman
Di Dresden, Saleh dianggap setara sebagai seniman dan warga. Suatu hal yang tidak umum pada waktu itu, karena masih adanya diskriminasi latar belakang dan warna kulit. Saleh dan pesonanya membuat dia disambut kalangan bangsawan dan borjuis. Dia mendapatkan kontrak-kontrak yang menguntungkan.
Foto: gemeinfrei
Lukisan Bersejarah
Tahun 1851 Raden Saleh merasa terpanggil untuk pulang ke tanah Jawa. Fasih dalam lima bahasa, dalam lukisannya ia mengangkat peristiwa sejarah. Lukisan ini, sekarang dipamerkan di istana presiden di Jakarta dan menunjukkan penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1857.
Foto: gemeinfrei
Menggambarkan Realita
Saleh juga seorang arkeolog amatir. Selama berekspedisi ke Jawa Tengah, ia mengalami peristiwa letusan Gunung Merapi yang mengerikan. Kesaksiannya dalam bentuk lukisan. Hasil pantauannya ini tergantung di Museum Nasional Sejarah di Leiden, Belanda. Pada tahun tujuh puluhan, Saleh berwisata bersama istri keduanya sekali lagi ke Eropa.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Lukisan Terkenal
Di samping lukisan penangkapan Diponegoro , lukisan "Berburu Singa" juga menjadi karya Saleh yang paling terkenal. Menurut Direktur Nauhaus lukisan itu dijual hampir dua juta Euro pada tahun 2011. Saleh yang bekerja di Jerman memicu daya tarik orientalis - bersama dengan publikasi sastra Goethe dan Lessing.
Foto: Lindenau-Museum Altenburg
Peran Pangeran
Saleh, potret pelukis Jawa karya Frederick Schreuel tahun 1840 itu. Ia dianggap sebagai bapak seni lukis modern Indonesia dan meninggal pada tahun 1880 di rumahnya setelah mengalami stroke.
Foto: gemeinfrei
9 foto1 | 9
Tak berlebihan jika Bastian kerap kali menjadi lecutan yang menarik untuk memunculkan wacana serius tentang sejarah terikat (entangled history) antara Indonesia dan Jerman. Biasanya, Bastian disandingkan dengan pengalaman artistik pelukis Raden Saleh yang sempat tinggal dan mempengaruhi seni lokal di Jerman. Indonesia tidaklah asing sama sekali dalam memori Jerman.
Kunjungan Jokowi kemarin yang memperkuat imajinasi pasca-Oktober 2015 menjadi penting karena bertepatan pula dengan momentum peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA), 18-24 April 1955. Walaupun Jokowi tidak menyinggung hal ini, intisari pikiran Jokowi begitu gamblang: menjadikan Indonesia terdepan di mimbar global.
Titik singgung yang paling kentara dari peringatan KAA dan lawatan Jokowi kali ini ialah pada soal momen globalnya, yang harus diciptakan terus-menerus. Apalagi dalam menanggulangi masalah terorisme, Jerman perlu sekali bekerjasama lebih jauh mengenai kerangka Islam yang berkeadaban yang menjadi komitmen kita dan bisa direfleksikan dalam perkembangan Islam di Eropa dewasa ini.
Tidaklah berlebihan jika momentum lawatan Jokowi di Jerman kemarin bermuara pada menemukan kembali “Indonesia” di kancah internasional.
Jerman adalah contoh ideal sebuah bangsa besar, bukan hanya besar dalam berbagai prestasi terdepan di antara berbagai bangsa, melainkan juga besar jiwanya dalam mengakui dosa-dosa bengis di masa lalu di hadapan kemanusiaan. Ini adalah cermin yang bagus untuk masa depan Indonesia.
Penulis:
Zacky Khairul Umam, ketua Nahdlatul Ulama Cabang Istimewa Jerman, kandidat doktor di Freie Universität Berlin.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Jokowi Dikejar Dosa HAM Hingga ke Eropa
Presiden Joko Widodo membidik kerjasama bisnis untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi betapapun sang presiden berusaha menghindar, ia tetap dikejar dosa HAM masa lalu
Foto: Reuters/H. Hanschke
Sambutan Kenegaraan
Jerman mempersiapkan upacara kenegaraan buat menyambut Presiden Indonesia Joko Widodo. Di jantung Eropa dia menyisakan waktu tidak barang sehari. Jokowi terutama membidik kerjasama pendidikan kejuruan buat calon tenaga kerja muda. Dengan cara itu sang presiden ingin menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pondasi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Foto: DW/R.Nugraha
Dikejar Dosa
Namun Jokowi tidak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari isu Lingkungan dan Hak Azasi Manusia. Selama kunjungannya di Berlin sang presiden diiringi aksi demonstrasi berbagai kelompok, antara lain organisasi lingkungan Rettet den Regenwald. Sementara International People Tribunal 65 menyerahkan petisi yang berisikan tuntutan kepada pemerintah untuk menyelesaikan isu HAM masa lalu.
Foto: DW/R.Nugraha
Sentilan Sang Pendeta
Agenda serupa juga menantinya di Istana Bellevue, saat bertemu dengan Presiden Jerman, Joachim Gauck. Gauck yang bekas pendeta itu membahas hak minoritas dan hubungan antar agama di Indonesia. Ia juga menyentil sang presiden ihwal hukuman mati. Jokowi berkilah Indonesia sedang dalam darurat narkoba
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Berguru ke Jerman
Setelah bertemu Gauck, Jokowi bergegas menemui Kanselir Angela Merkel yang terpaksa menunggu selama tiga menit di kantor kekanseliran di Berlin. Bersama perempuan paling berkuasa di Bumi itu Jokowi membahas berbagai kerjasama ekonomi, terutama pendidikan vokasi dan juga isu terorisme.
Foto: DW/R.Nugraha
Terjebak Isu HAM
Namun serupa dengan Gauck, Merkel turut membahas "kasus HAM di Indonesia, terutama di Aceh dan Papua." Soal isu pembantaian 1965, Jokowi akhirnya angkat bicara ketika sudah tiba di London. "Saya belum memutuskan apa-apa," ucapnya membantah klaim Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan.
Foto: Reuters/H. Hanschke
Bergegas Mengejar Pertumbuhan
Tanpa membuang banyak waktu presiden beserta rombongan langsung terbang ke London, lalu Belgia dan Belanda dengan selang waktu satu hari. Di Eropa Jokowi membidik perjanjian perdagangan bebas yang ia canangkan akan selesai dalam dua tahun. Selain kerjasama pendidikan vokasi dengan Jerman, Jokowi juga menggandeng Inggris untuk membenahi industri kelautan.