Dugaan manipulasi pemilu di negara lain juga memicu keraguan dan ketidakpastian di Jerman. Namun, otoritas keamanan menganggap risikonya rendah.
Iklan
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga kini masih mengklaim bahwa pada pemilu 2020 kemenangannya telah dicuri, dan menyebabkan ia kalah dari Joe Biden.
Kemudian di Rumania, pemilihan presiden 2024 bahkan dinyatakan tidak sah oleh pengadilan, karena adanya tuduhan manipulasi oleh Rusia dan platform media sosial TikTok, yang tampaknya masuk akal tetapi sulit dibuktikan.
Di Rumania, ekstremis sayap kanan yang sebelumnya kurang dikenal publik yakni Calin Georgescu memenangkan putaran pertama pemungutan suara. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apa arti peristiwa seperti itu bagi pemilu dini di Jerman pada tahun 2025?
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Informasi yang diperoleh DW, jawaban dari kalangan keamanan cukup membuat tenang: "Saat ini, tidak ada temuan atau fakta relevan yang dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan adanya ancaman konkret terhadap pemilu federal." Walau begitu, apa yang terjadi di luar Jerman, misalnya di Rumania, tetap akan dimonitor secara seksama.
Kemungkinan Rusia intervensi pemilu Jerman?
Dalam waktu bersamaan, pengamatan di tingkat internasional menunjukkan, ada kepentingan mendasar kemungkina mempengaruhi pemilu secara tidak sah oleh negara asing, dengan Rusia saat ini menjadi aktor yang paling mencolok, demikian menurut sejumlah pengamat keamanan global. Kemungkinannya berupa serangan siber yang dapat meresahkan masyarakat, memengaruhi pemilihan umum, atau dengan sengaja mendiskreditkan aktor politik tertentu.
Kemungkinan upaya manipulasi antara lain dapat berbentuk konten palsu berupa kutipan, gambar, dan suara yang menggunakan kecerdasan buatan (AI). "Dengan cara ini, video atau audio deepfake yang tampak nyata dapat dibuat untuk menipu pemilih," menurut analisis yang ditunjukkan kepada DW.
Untuk memastikan keamanan hasil pemilu Jerman dari manipulasi, Kantor Federal untuk Perlindungan Konstitusi (BfV) telah membentuk satuan tugas untuk memantau situasi. Tim ini bertukar informasi dengan platform media sosial dan Kantor Statistik Federal, yang presidennya juga merupakan Ketua Komisi Pemilu Federal. Berbagai informasi tentang topik keamanan tersedia di situs web otoritas ini.
Lembar informasi "Fakta Melawan Disinformasi" juga tersedia untuk diunduh. Ada peringatan tegas tentang berita palsu yang beredar di media sosial dan grup chat terkait pemilu federal.
7 Kandidat Top di Pemilu Dini Jerman 2025
Jelang pemilihan umum dadakan pada tanggal 23 Februari 2025 selepas runtuhnya pemerintahan koalisi, partai-partai politik Jerman memilih kandidat utama mereka. Berikut ini daftarnya.
Foto: Carsten Koall/dpa/picture alliance
Olaf Scholz, SPD (Kelahiran 1958)
Lama jadi anggota Partai Sosial Demokrat, Scholz menganggap dirinya seorang pragmatis efisien. Ia menjalankan firma hukum, punya karier politik yang panjang, dan memegang jabatan pemerintahan mulai dari Wali Kota Hamburg hingga kanselir. Namun tampaknya Scholz belum bisa menghilangkan persepsi publik bahwa ia seorang birokrat arogan dan kurang mendapat dukungan publik.
Foto: Carsten Koall/dpa/picture alliance
Friedrich Merz, CDU (Kelahiran 1955)
Merz, seorang Demokrat Kristen yang konservatif, dan kandidat kanselir tertua yang diajukan oleh partai Jerman dalam lebih dari 50 tahun. Sebagai seorang Katolik dan pengacara bisnis dari pedesaan Sauerland, Merz pernah berkarier di sejumlah perusahaan swasta, termasuk di salah satu perusahaan manajemen aset terbesar di dunia, BlackRock, serta beberapa tahun di Bundestag.
Foto: Ruffer/Caro/picture alliance
Robert Habeck, Partai Hijau (Kelahiran 1969)
Dengan ciri khasnya yang tampak kusut dan tidak bercukur, Robert Habeck terlihat mudah didekati. Politikus pragmatis itu tidak ragu mengakui kesalahannya. Habeck menemukan kata-kata sederhana dan tulus untuk menjelaskan keputusan politik pemerintah kepada publik dan mengimbangi anggapan arogansi mitra koalisinya. Sebelum berkarier di politik, ia adalah seorang penulis, penerjemah, dan filsuf.
Foto: appeler/dpa/picture alliance
Alice Weidel, AfD (Kelahiran 1979)
Weidel, salah satu ketua Partai AfD yang ekstremkanan. Ia meraih gelar doktor di bidang ekonomi, pernah bekerja dan belajar di Cina, dan skeptis terhadap euro dan NATO. Weidel terkenal karena provokasi dan retorika antiimigran yang bersifat menghasut. Ia tinggal di Swiss dalam sebuah kemitraan sipil dengan seorang perempuan dari Sri Lanka. Bersama-sama, mereka memiliki dua anak angkat.
Menteri Keuangan yang baru dipecat oleh Scholz dan menggoyahkan stabilitas pemerintah koalisi, Lindner mempelajari ilmu politik, mendirikan bisnis periklanan kecil, dan menjadi perwira cadangan di angkatan udara. Di usia 34 tahun ia menjadi ketua Partai Demokrat Bebas (FD) yang neoliberal. Ia punya reputasi sebagai orang yang paham media sosial, penuh gaya, dan cinta mobil sport.
Foto: Hannes P Albert/dpa/picture alliance
Sahra Wagenknecht, BSW (Kelahiran 1969)
Wagenknecht, mantan pemimpin Partai Kiri, sering menjadi tamu di acara bincang-bincang politik dan ahli retorika populis. Ia mencemooh politisi lain sebagai orang dungu dan munafik. Ia menganut pandangan sosial konservatif dan kebijakan ekonomi yang terinspirasi dari sayap kiri, serta posisi antimigrasi. Ia skeptis terhadap perubahan iklim dan kritis terhadap NATO.
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Jan van Aken, Partai Kiri (Kelahiran 1961)
Jan van Aken, lahir di Jerman Barat, meraih gelar doktor di bidang biologi dan bekerja sebagai inspektur senjata biologis untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dari 2004 hingga 2006. Ia menjadi anggota parlemen untuk Partai Kiri di Bundestag dari 2009 hingga 2017. Sejak Oktober 2024, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Partai Kiri.
Foto: Axel Heimken/dpa/picture-alliance
7 foto1 | 7
Berita palsu tentang memilih wajib di Jerman
Spektrum upaya untuk membingungka warga sangat luas, misalnya: "Dikabarkan bahwa di Jerman ada kewajiban untuk memilih. Orang yang tidak memilih akan ditandai dan hak-hak mereka dibatasi." Berita palsu seperti itu telah diluruskan.
"Di Jerman tidak ada kewajiban memilih dalam sebuah pemilu. Prinsip kebebasan memilih yang dilindungi secara konstitusional tidak hanya mencakup "bagaimana" tetapi juga "apakah" akan memilih. Semua warga yang memiliki hak pilih, bebas untuk memilih atau tidak."
Kekhawatiran pemalsuan suara oleh system teknologi informasi yang dimanipulasi dinilai tidak berdasar. Hasil pemilu nantinya dikirimkan secara elektronik ke lokasi pusat, dalam bentuk terenkripsi. Jika diretas, masyarakat juga tidak perlu khawatir, karena pemungutan suara dilakukan sepenuhnya dalam format di atas kertas, baik di di tempat pemungutan suara maupun lewat pos.
Iklan
Kecil kemungkinan manipulasi oleh serangan siber
Serangan siber memang bisa saja terjadi, tetapi tidak berbahaya. Kantor Federal untuk Keamanan Informasi (BSI) juga tidak meragukan hal ini. "Hasil akhir pemilu didasarkan pada catatan dewan pemilu dan dapat diperiksa dan diverifikasi kapan saja. Oleh karena itu, hasil tersebut tidak dapat dimanipulasi oleh serangan siber," menurut BSI.
Dari sudut pandang ilmiah, pemilu federal juga tidak berisiko terkena pengaruh kekuatan asing dan media sosial, sebagaimana ditunjukkan investigasi DW. Peneliti demokrasi dan populisme Laurenz Günther dari Universitas Bocconi di Milan, Italia, bahkan memperingatkan agar tidak melebih-lebihkan dampak berita palsu.
"Narasi yang menyesatkan ini memicu ketidakpercayaan dan merusak demokrasi," tulisnya dalam Jurnal Politik dan Masyarakat Internasional (IPG).
Foto-foto Saat Massa Pendukung Trump Menyerbu Gedung Capitol AS
Massa pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung DPR AS dalam upaya membatalkan kekalahan Trump. Foto-foto berikut ini menggambarkan insiden penyerbuan di Gedung Capitol saat perusuh bentrok dengan pasukan keamanan.
Foto: Saul Loeb/AFP/Getty Images
Bentrok antara pengunjuk rasa dan polisi
Massa pendukung Presiden AS Donald Trump bentrok dengan aparat keamanan di depan Gedung Capitol di Washington DC pada 6 Januari. Kongres AS sedang mengadakan sidang untuk meratifikasi kemenangan 306-232 Presiden terpilih Joe Biden atas Presiden Trump.
Foto: Stephanie Keith/REUTERS
Demonstran yang marah menyerbu Gedung Capitol
Awalnya, pendukung Trump yang agresif berunjuk rasa di luar Gedung Capitol AS. Namun, mereka akhirnya mencoba menerobos masuk ke dalam gedung dan polisi gagal menahan massa yang marah.
Foto: Roberto Schmidt/AFP/Getty Images
Pendukung Trump menerobos masuk
Massa pendukung Trump yang marah menerobos Gedung Capitol AS pada 6 Januari 2021, saat Kongres mengadakan sidang untuk meratifikasi kemenangan Presiden terpilih Joe Biden dari hasil Electoral College atas Presiden Trump.
Foto: Win McNamee/Getty Images
Petugas keamanan Gedung Capitol berjaga penuh
Petugas keamanan Gedung Capitol AS berjaga penuh saat menangani kerusuhan ketika pengunjuk rasa mencoba masuk ke House Chamber, ruangan paling inti, tempat para legislator berkumpul untuk meratifikasi pemungutan suara Electoral College.
Foto: J. Scott Applewhite/AP Photo/picture alliance
Petugas keamanan menahan para perusuh
Petugas keamanan mencoba menahan para perusuh yang berada di lorong di luar ruang Senat. Sementara, para anggota parlemen dibawa ke tempat aman.
Foto: Manuel Balce Ceneta/AP Photo/picture alliance
Mengambil alih ruang Senat
Setelah berhasil menerobos keamanan Gedung Capitol, seorang pengunjuk rasa berlari ke tengah ruang Senat dan meneriakkan "Kebebasan!"
Foto: Win McNamee/Getty Images
Perusuh menyerbu ruang Senat
Seorang perusuh berhasil menerobos keamanan Gedung Capitol, dan melompat dari atas galeri umum ke ruang Senat.
Foto: Win McNamee/Getty Images
Anggota parlemen berlindung di House Chamber
Para anggota parlemen dengan panik mencari tempat berlindung di ruang galeri DPR, saat para pengunjuk rasa mencoba menerobos masuk. Menurut seorang jurnalis Gedung Putih, para anggota parlemen diberi masker gas yang berada di bawah kursi.
Foto: Andrew Harnik/AP Photo/picture alliance
Pengunjuk rasa menduduki kantor anggota parlemen
Massa pendukung Trump mengambil alih kantor yang telah dikosongkan. Anggota parlemen berhasil dibawa ke tempat aman.
Foto: Saul Loeb/AFP/Getty Images
Petugas tak berhasil menahan
Polisi dan petugas keamanan Gedung Capitol gagal menahan pengunjuk rasa yang menerobos masuk ke Rotunda dan kantor anggota parlemen. Seorang pria bahkan memboyong podium yang biasa digunakan oleh Ketua DPR Nancy Pelosi untuk berpidato.
Foto: Win McNamee/Getty Images
Petugas menembakkan gas air mata
Petugas keamanan menembakkan gas air mata untuk membubarkan para perusuh di luar Gedung Capitol.
Foto: Andrew Caballero-Reynolds/AFP/Getty Images
Ledakan di luar Gedung Capitol
Sebuah ledakan terjadi di luar Gedung Capitol ketika polisi berusaha menghalau laju massa pendukung Trump. Kepolisian Washington dan Garda Nasional telah dikerahkan untuk membubarkan para pengunjuk rasa.
Foto: Leah Millis/REUTERS
Upaya membubarkan pengunjuk rasa
Petugas Garda Nasional dan kepolisian Washington DC dikerahkan ke Gedung Capitol untuk membubarkan pengunjuk rasa. Jam malam di seluruh kota diberlakukan dari pukul 6 sore hingga pukul 6 pagi. (Ed: pkp/rap)
Penulis: Kristin Zeier
Foto: Spencer Platt/Getty Images
13 foto1 | 13
Studi kasus kontroversil pilpres di Rumania
Misinformasi dan disinformasi, semakin kerap dilihat sebagai penyebab utama keberhasilan politik yang tak terduga. Günther mengutip contoh dibatalkannya hasil pemilu presiden Rumania pada 2024. Masalahnya menurut peneliti demokrasi ini, sering kali argumen dasarnya adalah hipotesis yang kedengarannya masuk akal, tetapi belum teruji.
Ilmuwan tersebut menganggap hal ini berbahaya. "Jika ada yang berasumsi bahwa berita palsu secara signifikan mendistorsi hasil pemilu, mengapa orang harus menganggap serius hasil ini?" tanya Laurenz Günther. Dan jika setiap kekalahan politik hanya dapat dijelaskan oleh propaganda tidak adil dari pihak lain, mengapa orang masih harus mengakui legitimasi lawan politik?
Di Jerman, saat ini tidak ada bukti pemilu mengarah pada perkembangan seperti di Rumania atau AS pada 2020. Kendati demikian, Günther mengkhawatirkan perkembangan selanjutnya, terkait perdebatan mengenai dugaan pengaruh berita palsu di Jerman. "Cara berpikir seperti ini merusak kepercayaan pada proses demokrasi, dan semakin menjadi norma dalam demokrasi Barat," pungkasnya.