Bukan hal yang baru jika Indonesia dikritik sebagai negara yang rendah tingkat literasinya. Berbagai alasan dituduh menjadi penyebabnya. Simak opini Nadya Karima Melati
Iklan
Seorang beragama membaca sebuah buku dan merasa tahu segalanya sementara ilmuwan membaca ratusan buku dan merasa masih tidak tahu apa-apa – Anonimus.
Buku adalah jendela dunia. Salah seorang selebgram yang saya kenal menyatakan mau melakukan give away buku sebagai perayaan penambahan jumlah followers di Instagramnya. Mengapa buku? Karena buku dianggap mampu membuat seseorang berpikiran terbuka, katanya. Seorang selebgram juga, menampilkan berbagai pose dirinya sedang membaca berbagai buku dalam album Instagramnya, tentu saja disertai dengan caption yang menandakan bahwa dirinya, sebagai orang yang membaca buku lebih berkualitas daripada yang tidak membaca.
Bukan hal yang baru jika Indonesia dikritik sebagai negara yang rendah tingkat literasinya, baik membaca, menulis maupun berpikir kritis. Berbagai survei menghadirkan fakta angka-angka sedikitnya tingkat membaca bangsa ini dan membandingkannya dengan negara-negara Skandinavia atau negara Eropa Barat, berbagai alasan dituduh menjadi penyebabnya: mulai dari infrastruktur yang buruk, kualitas pendidikan yang buruk, gizi yang buruk, buku yang mahal dan sebagainya. Sedangkan kondisi kemampuan menulis, lebih menyedihkan lagi dari kemampuan dan keinginan membaca. Produksi jurnal ilmiah di tingkat universitas se-Asia Tenggara, Indonesia di daulat sebagai yang paling rendah. Padahal lulusan universitas adalah ujung tombak budaya menulis di Indonesia.
Bagaimana sesungguhnya nasib membaca dan menulis di Indonesia?
Dewasa ini seharusnya banyafk orang tidak asing lagi dengan kehadiran gawai smartphone sampai e-book reader. Negara Indonesia dikenal dengan penduduknya yang mudah adaptasi dengan teknologi terbaru khususnya gadget.
Saya sendiri pertama kali saya mendapat pembaca buku digital (e-book reader) keluaran Amazon dibelikan oleh pacar saya yang tinggal di Jerman. Saya takjub dan merasa membaca buku menjadi lebih sederhana dan praktis karena tidak perlu lagi membawa tas besar berisi buku dan harga buku digital jauh lebih murah daripada buku cetak. Di Amerika pada tahun 2012, pangsa pasar buku elektronik mencakup 35 persen sedangkan di Indonesia, hanya mencapai 2 persen. Hingga hari ini, buku digital belum mempengaruhi pasar pembaca buku manual disebabkan oleh hal yang kita semua pahami: minat baca masih lemah, apapun bentuknya.
Penyebaran hoax yang masif, pelanggaran lalu lintas di jalan hingga massa mengambang yang mudah dimobilisasi.
Literasi dianggap sebagai kemampuan dasar bertahan hidup di era demokrasi post-modern. Literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berpikir kritis.
Pada hari ini, pendidikan pada umumnya mengasah manusia untuk memiliki empat R kemampuan untuk mengatasi masalah yakni Reading, wRiting, aRitmethic dan Reasoning. Literasi adalah bagian dari membaca, menulis dan berpikir kritis yang diharapkan muncul melalui pendidikan.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Buka Kunci Sejarah Indonesia
Terletak di kawasan perumahan di Tangerang, ruko berlantai dua ini diubah menjadi penyimpanan berbagai buku, majalah, koran, komik dan literatur tentang Tionghoa yang diberi nama “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa”.
Foto: Monique Rijkers
Mengenal Museum Peranakan Tionghoa
Proses pengumpulan pustaka dilakukan sejak 2005. Kehadiran museum ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang peran orang Tionghoa di Indonesia dan memupus kesan negatif yang masih melekat pada segelintir orang Indonesia.
Foto: Monique Rijkers
Kontribusi Nyata Non Tionghoa
Azmi Abubakar bukan keturunan Tionghoa dan tidak berkaitan dengan Tiongkok. Namun ia berkontribusi bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Koleksinya dilirik hingga ke luar negeri dan membawa Azmi jadi pembicara tentang peranakan Tionghoa. Setelah museum, Azmi Abubakar berupaya membangun Universitas Cheng Ho di Aceh, tanah kelahirannya.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Pustaka, Koleksi Pengetahuan Sejarah
Bambang Sriyono, kawan seperjuangan Azmi Abubakar dalam membangun Museum ini memperkirakan hingga awal 2018 sudah ribuan buku ada di sini. Buku-buku itu berasal dari toko buku bekas di beberapa kota, diberikan orang hingga perburuan ke orang yang pindah rumah. Menurut Bambang Sriyono atau akrab disapa Ibeng, koleksi museum bisa dipamerkan di luar museum sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.
Foto: Monique Rijkers
Bahasa Mandarin Dalam Aksara Jawa
Pengelola museum, Bambang Sriyono berkata, “Karena tak tahu bahasa Mandarin, banyak buku yang belum ketahuan isinya.” Ia berharap ada yang berminat menerjemahkan buku-buku ini ke bahasa Indonesia agar menambah khazanah pengetahuan. Buku tertua ini misalnya, ditulis dalam aksara Jawa kuno tetapi berbahasa Mandarin sehingga butuh penerjemah bahasa Jawa yang bisa bahasa Mandarin.
Foto: Monique Rijkers
Pendidikan Untuk Murid Tionghoa
Dari buku-buku tahunan ini diketahui ada sekolah khusus Tionghoa di Jakarta, Semarang dan Cirebon. “Tiong Hoa Hwee Koan” adalah sekolah di Jalan Patekoan 31 Jakarta yang berdiri sejak 1901 hingga ditutup pemerintah 1960. Di Jl Kampung Baru Utara 80, Jakarta ada sekolah dwibahasa bernama “The Chinese High School”. Kini di Tangerang ada upaya membangun kembali sekolah serupa yaitu Sekolah Pa Hoa.
Foto: Monique Rijkers
Pemakaman Bersejarah di Cirebon
Dari biografi “Majoor Tan Tjin Kie” yang disusun Tan Gin Ho, anak almarhum membawa pembaca pada peristiwa kematian Tan Tjin Kie, pemilik pabrik gula “Suikerfabriek Luwunggadjah”, orang terkaya di Cirebon, Jawa Barat. Saat meninggal 1919, peti matinya ditarik 240 orang dan dihadiri masyarakat Cirebon yang kehilangan sosoknya yang membangun masjid dan Rumah Sakit “Dr. Gottlieb” (RSUD Gunung Jati).
Foto: Monique Rijkers
Pendiri Rumah Sakit Husada di Jakarta
Dokter Kwa Tjoan Sioe pada 1924 sudah mengajak rekan-rekan dokter dan pengusaha Tionghoa dirikan perkumpulan Jang Seng Ie guna membangun klinik bersalin di Jakarta. Saat itu angka kematian bayi mencapai 45% dari jumlah kelahiran. Saking banyaknya pasien, kadang para pasien harus diinapkan di rumah dokter. Pada tahun 1965, Rumah Sakit Jang Seng Ie diganti nama jadi RS Husada oleh pemerintah.
Foto: Monique Rijkers
Lie Kim Hok, Tokoh Sastra Tionghoa-Melayu
Catatan kesusasteraan Melayu-Tionghoa banyak menyebut nama Lie Kim^Hok sebagai penulis Melayu-Tionghoa pertama yang sangat mempengaruhi perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ia merintis penggunaan bahasa Melayu yang kemudian jadi bahasa Indonesia di Jawa, Padang, Medan, Palembang, Banjarmasin dan Makassar. Buku pada foto ini ditulis oleh Tio Ie Soei untuk mengenang ulang tahun Lie KimHok ke-105.
Foto: Monique Rijkers
Cita Rasa Tionghoa Dalam Keberagaman
Cita rasa Tionghoa sangat mempengaruhi masakan di Indonesia. Dari buku resep masakan yang dikompilasi oleh Lie Tek Long terbitan Batavia tahun 1915, pembaca bisa mengetahui aneka bumbu dan bahan dalam makanan Betawi, Jawa dan Melayu seabad silam. Untuk sambal saja, buku ini memuat 40 resep sambal. Selain sambal, ada pula resep laksa, perkedel nyonya, sate Njo Kim Poei, sop telor burung, dll.
Foto: Monique Rijkers
Daur Ulang Komik Tionghoa Kekinian
Banjir sejak dahulu rupanya sudah menjadi momok bagi warga Jakarta. Hal ini bisa dilihat dalam komik yang menggambarkan kritik sosial dan keseharian seorang Tionghoa yang digambarkan selalu sial dalam komik yang berjudul Put On atau “Si Gelisah”. Put On menjadi judul komik karya Kho Wan Gie yang diterbitkan setiap edisi majalah Sin Po mulai tahun 1931.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Foto Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Saat rumah Jon Lie mau dijual, pendiri museum, Azmi Abubakar datangi rumah itu dan mendapat koleksi surat dan album foto pahlawan nasional Tionghoa pertama Indonesia itu. John Lie atau Lie Tjeng Tjoan dikenal sebagai mayor, komandan maritim Jakarta. Kisah tentangnya sangat minim karena profesinya sebagai penyelundup senjata untuk kebutuhan Angkatan Laut Indonesia melawan Belanda.
Foto: Monique Rijkers
Nama Indonesia dari Majalah Sin Po Tahun 1926
Membuka lembar-lembar halaman koleksi museum ini sesungguhnya menyelami rekam jejak sejarah Indonesia. Nama Indonesia dahulu digunakan oleh penulis-penulis Belanda dan Jerman pada rentang 1850-1880. Namun koran Sin Po yang terbit sejak 1910 dianggap mempopulerkan Indonesia. Pada terbitan mingguan Sin Po tahun 1926, Indonesia dipilih menjadi nama kolom yang memuat tulisan tentang beragam hal.
Foto: Monique Rijkers
Menjadi WNI
Meski peranakan Tionghoa di Indonesia berkontribusi pada bangsa ini, namun kebijakan politik Orde Lama hingga Orde Baru sisakan luka. Museum ini memiliki segepok dokumen kependudukan yang menorehkan catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Surat pernyataan melepas kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok untuk menjadi Warga Negara Indonesia di foto ini dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1961.
Foto: Monique Rijkers
Ketika Ada "Staf Chusus Urusan Tjina"
Mengacu pada dokumen Laporan Tahunan Kabinet Pembangunan tahun 1968, berdasarkan Undang-undang No 4/1961 WNI yang masih memakai nama Cina wajib mengubah namanya sesuai nama Indonesia asli. Repotnya nama yang dipilih itupun masih bisa digugat oleh pihak yang keberatan pada pilihan nama baru tersebut. Dalam dokumen ini disebutkan masa tunggu ada-tidaknya gugatan selama tiga bulan.
Foto: Monique Rijkers
Di Balik Papan Nama Bolak-Balik
Berbagai papan nama Tionghoa - saksi bisu asimilasi identitas - jadi bagian penting koleksi museum. Papan nama yang dulu umumnya dipasang di depan rumah ini bisa dibolak-balik tergantung situasi. Jika ada keluarga yang akan berkunjung, papan bertuliskan Tan Lian Tjhoen yang ditampilkan. Setelah keluarga pergi, demi kenyamanan bertetangga, papan nama kembali menjadi nama Indonesia, Djoenaedy.
Foto: Monique Rijkers
Merawat Sejarah, Merajut Keberagaman
Dudi Duta Akbar, rekan Azmi Abubakar mengumpulkan bahan tulisan tentang koleksi museum. Kelak, seluruh pustaka yang ada diharapkan bisa jadi sumber sejarah Tionghoa dan rujukan jejak nenek moyang keluarga keturunan Tionghoa. Koleksi museum sudah berhasil menghadirkan bukti keberagaman di Indonesia yang harus selalu dirajut tanpa lelah. Penulis: MoniqueRijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
16 foto1 | 16
Sejak masa awal kebijakan pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda bernama Politik Etis hingga sekarang, pemahaman literasi sering kali disandingkan dengan berpendidikan. Walau pada hari ini kenyataannya kita bisa saksikan bahwa banyak orang berpendidikan tinggi ternyata tidak punya kemampuan literasi.
Dalam pelbagai survei yang sering dikutip untuk menyetakan rendahnya minat baca bangsa ini, kemampuan literasi yang seharusnya mencakup tiga hal tadi, disederhanakan menjadi hanya minat baca. Akibatnya banyak orang berlomba-lomba untuk menunjukan diri menjadi sebagai orang yang membaca, berpikir dan menulis dikesampingkan. Hal ini ditangkap juga oleh kapitalisme yang meraup keuntungan dari literasi dangkal tersebut.
Penjualan buku di Indonesia dikuasai oleh sebuah perusahaan besar bernama Kompas Gramedia yang memiliki industri produksi buku cetak dari hulu sampai hilir, mulai dari kepemilikan perusahaan kertas Graha Cemerlang Paper, kontrak dengan penulis buku-buku melalui Kompas Gramedia Group hingga jaringan toko buku Gramedia yang hadir hampir di setiap kota besar di Indonesia.
Dengan monopoli ini, perusahaan Kompas Gramedia mempunyai kuasa penuh untuk mendistribusikan buku-buku yang diproduksi, dicetak, dipajang dan mempengaruhi isi pikiran pembaca. Seorang penulis kawan saya mati-matian untuk menerbitkan bukunya di bawah Kompas Gramedia Group karena ia ingin tulisannya dijangkau dan dibaca banyak orang, tanpa kuasa dari perusahaan ini menurutnya, harapannya akan sulit untuk terwujud mengingat jaringan pemasaran dan kesempatan buku untuk tayang.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.
Foto: DW/M. Ridwan
13 foto1 | 13
Romantisme akan buku
Kedangkalan pemahaman soal literasi yang ditangkap pasar juga memunculkan tren yang lain: Romantisme akan buku. Apa yang dilakukan oleh para selebgram di atas adalah bentuknya. Buku, dianggap menjadi sebuah benda ajaib yang mampu menaikan status sosial pembacanya. Tren penjualan buku yang dipegang oleh distributor sekaligus produsen pertama di Indonesia adalah buku-buku motivasi, atau buku fiksi dengan pesan moral tertentu, buku agama yang mengajarkan menikah dan menanti jodoh adalah keutamaan dalam hidup ini dan sebagainya.
Buku yang diproduksi dan dibeli secara besar-besaran adalah buku yang menyesuaikan tuntutan literasi yang sekedar membaca, bukan buku yang mengajak untuk berpikir secara kritis dan mampu menuangkan buah pikirnya melalui tulisan. Intan Paramaditha, penulis dan dosen di Universitas McQuarie di Australia dalam sebuah wawancara dengan media Kompas.com dalam peluncuran bukunya yang diterbitkan KPG menyatakan "selama buku-buku di Indonesia masih bersifat apolitis, menjual mimpi, dan menyodorkan standar moral tertentu tanpa memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk berpikir kritis, di situlah letak permasalahan yang sebenarnya.”
Perang Dunia 1 dalam Buku Anak-Anak
Buku bertemakan perang bagi anak-anak antara tahun 1914 dan 1918 di Eropa ditujukan mendorong ketertarikan anak pada Perang Dunia. Namun tidak semuanya berisi propaganda nasionalis.
Foto: DW/S. Hofmann
Ayah berperang
Ketika pada bulan Agustus 1914 Eropa - bahkan kemudian di seluruh dunia – saling berperang, hal itu dialami juga oleh anak-anak. Ayah dan saudara laki-laki mereka pergi berperang, sementara keluarga ditinggalkan sendirian. Tidak mengherankan jika sejumlah buku anak-anak pada masa itu mengambil tema perang.
Foto: DW/S. Hofmann
Humor dalam perang?
Inggris benar-benar dikenal karena humor hitam mereka. Hal ini sebenarnya juga berlaku untuk buku anak-anak. "Tapi selama perang," inilah kesan yang didapat Claudia Pohlmann setelah melihat beberapa buku yang dievaluasi dalam pameran, "tampaknya akibat kengerian, humor juga hilang. Sebuah kerugian bagi sastra anak-anak."
Foto: DW/S. Hofmann
Perang dan epilog
Banyak buku anak-anak memiliki karakter lucu, seperti dalam buku “Si Kerudung Merah" versi Perancis. Di buku digambarkan bagaimana Perancis bersama dengan sekutu-sekutunya berupaya melawan serigala jahat Jerman. Sementara dalam buku-buku perang anak-anak Jerman (lihat gambar) - sering disajikan kemenangan mudah dalam peperangan.
Foto: DW/S. Hofmann
Papan permainan dan kartu
Perang tidak hanya digambarkan dalam buku-buku, tetapi juga dalam bentuk papan permainan atau permainan kartu, seperti ini dari "Si Hitam Peter dari Serbia". Di balik permainan ini, perang tidak hanya beraspek pendidikan propaganda, tetapi juga sangat banyak lebih komersial. Dari perspektif penerbit, perang menjadi sarana terbaik dalam mencari uang.
Foto: DW/S. Hofmann
Pelajaran di sekolah
Buku-buku tidak hanya dibaca di rumah. Di sekolah, guru juga menyerukan semangat patriotik. Seringkali, pelajaran gagal diberikan, karena sekolah dijadikan rumah sakit - atau karena tidak ada batubara dan kayu untuk pemanas ruangan. Sementara karena buruknya perekonomian dalam masa perang, maka anak-anak harus bekerja.
Foto: DW/S. Hofmann
Buku anak perempuan
Banyak literatur perang mengusung petualangan berjiwa muda - dan terutama diarahkan untuk anak laki-laki. Tapi anak perempuan juga jadi "sasaran". Buku-buku ini terutama ditujukan pada apa yang disebut "fron kampung halaman" - sebagaimana kisah "Anak Keras Kepala" atau "Anak Bungsu" yang mengalami perang di Berlin, Jerman.
Foto: DW/S. Hofmann
Antara pencetakan berkecepatan tinggi dan seni
"Para juru gambar buku anak-anak di bawah tekanan waktu, jika yang harus ditangani adalah sebuah pertempuran," kata peneliti buku anak-anak dan mitra kurator Friedrich C. Heller. Tapi buku-buku Perancis secara konsisten menampilkan kualitas sangat tinggi. Foto: Invasi Jerman di Belgia, yang digambarkan dalam buku anak-anak Perancis: sepatu lars Jerman yang menginjak Liege, Belgia.
Foto: DW/S. Hofmann
Brosur dan panggilan perang
Juga di sejumlah brosur dan billboard muncul anak-anak, seperti dalam iklan cetak tahun 1915 ini, yang hadir dengan teks "Kita tidak boleh kelaparan." Dengannya diserukan sumbangan untuk anak-anak. Satu hal yang tidak boleh dilupakan: anak-anak tahu tentang perang tidak hanya dari buku, mereka mengalaminya setiap hari.
Foto: DW/S. Hofmann
Tidak ada jejak euforia
Dengan semakin melajunya perang, maka ilustrasi dalam buku anak-anak dan remaja semakin gelap. Bertentangan dengan apa yang disebut “lelucon“, dalam beberapa publikasi, disajikan gambaran realistis tentang kekejaman perang modern pertama, yaitu penggunaan gas beracun dan serbuan tank.
Foto: DW/S. Hofmann
Katedral Reims
Bahkan buku yang bernada pasifisme juga ada, meskipun tidak banyak. Kelelahan akibat perang, membuat para penulis buku anak-anak sekarang tampaknya rindu perdamaian. Dalam terbitan Perancis, "Reims, da Cathédrale“ ditampilkan mimpi atas dunia yang ideal. Kehancuran katedral Reim lama dianggap sebagai wujud kebarbaran Jerman di Perancis. Dalam buku, katedral muncul sebagai simbol yang menyatukan.
Foto: DW/S. Hofmann
Damai? Hanya dalam waktu yang singkat
Pada 11 November 1918, akhirnya penguasa Jerman melakukan gencatan senjata dengan Perancis dan Inggris. Namun perdamaian itu tidak bertahan. Banyak bocah laki-laki yang telah membaca buku cerita selama Perang Dunia Pertama, pada tahun 1939 menjadi tentara dalam perang berikutnya.
Foto: DW/S. Hofmann
Dari buku gambar prajurit menjadi tentara sesungguhnya
"Ketika sebagai anak-anak menyaksikan tayangan visual berulang, maka tanpa disadari mereka membentuk pemahaman diri sebagai seorang prajurit, demikian menurut peneliti buku anak-anak, Heller. "Ini bukti bahwa kekuatan gambar dan teks tidak bisa diremehkan."
Foto: DW/S. Hofmann
12 foto1 | 12
Sekarang mulailah dengan berkunjung ke toko buku di kotamu, buku apa yang paling pertama muncul dalam pajangan? Apakah buku tentang perjalanan hidup seorang selebgram berusia 24 tahun yang berhasil mendapat beasiswa ke luar negeri? Buku jual mimpi atau motivasi? Buku berisi rahasia pengusaha sukes eksklusif dengan membeli buku ini? Buku 30 hari mencari cinta sejati yang diridhoi Allah? Atau buku fiksi yang berisi ajaran moral tertentu? Buku-buku itu yang mengisi pasar dan pikiran bangsa Indonesia sesungguhnya walau begitu tetap saja bangsa kita didaulat sebagai minat baca yang rendah.
Hari ini membaca buku tidak bisa jadi penentu ukuran kecerdasan seseorang. Kemampuan berpikir tidak diasah melalui membaca buku apabila buku yang dibaca memang sengaja tidak mengajak untuk berpikir karena menyodorkan standar nilai moral dan ajaran tertentu.
Pembaca buku hari ini tidak harus ditakuti oleh penguasa karena berpotensi untuk membangkang dan kritis, pembaca buku hari ini adalah hasil dari romantisme akan buku dan monopoli pasar buku cetak. Sebuah lingkaran setan dibentuk bagi pembaca jenis ini, pembaca tidak diajak belajar berpikir kritis agar mereka sengaja tidak menyelesaikan permasalahan hidupnya seperti rezeki dan percintaan karena penyelesaian akan masalah hidupnya dijual dalam bentuk buku yang lain yang harus dibeli.
Penulis: Nadya Karima (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Kesempatan Emas bagi Sastra Indonesia
Tahun 2015, menjadi terobosan baru dalam karya sastra Indonesia. Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurter Buchmesse, ajang pameran buku bergengsi di dunia, yang diselenggarakan tiap tahun di Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Acara Serah Terima
Serah terima Guest of Honour dari Finlandia kepada Indonesia Minggu, 12 Oktober 2014 di Pameran Buku Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tarian Memukau
Penampilan musik dan tari Ayu Laksmi, Endah Laras dan Ariani, Minggu 12 Oktober 2014.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tongkat Guest of Honour
Inilah tongkat Tamu Kehormatan yang diserahkan kepada Indonesia untuk 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Dewi Dee Lestari
Dewi Dee Lestari bertukar pengalaman dengan penulis Finlandia Kjell Westo dalam acara serah terima.
Foto: Frankfurter Buchmesse/P. Hirth
Tamu Kehormatan
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair pada tahun 2015 nanti. Dalam pameran buku akbar tahun ini dimana Finlandia menjadi tamu kehormatan, Indonesia mulai unjuk diri.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
17.000 Islands of Imagination
Indonesia mengemas keikutsertaan di FBF dalam tema "17.000 Islands of Imagination". Pulau dalam hal ini adalah semacam suatu imajinasi, kreativitas yang tidak terbatas yang lahir dan berkembang di 17.000 pulau di tanah air.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Memperkenalkan Indonesia
Dalam pameran buku tahun ini pihak penyelenggara memperkenalkan peran serta Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Hadir dalam konferensi pers, Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Wakil Menteri Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, Goenawan Mohamad, penulis senior yang menjadi panitia delegasi Indonesia, dan Husni Syawie dari IKAPI.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Banyak Peminat
Konferensi pers yang memperkenalkan Indoensia sebagai tamu kehormatan diserbu pengunjung. Menjadi tamu kehormatan sangat menguntungkan, karena mendapat kesempatan dalam menonjolkan Indonesia pada dunia. Bahkan, selama setahun sebelum penyelenggaraan, negara yang menjadi tamu kehormatan akan diperkenalkan ke publik dalam berbagai liputan media di Jerman.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Ajang Penting
Pameran buku internasional di Frankfurt merupakan ajang yang sangat efektif dalam mengenalkan para penulis Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Mencari Penerjemah
Bukan perkara mudah untuk mencari penerjemah buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Direktur Frankfurter Buchmesse Jürgen Boos mengatakan: "Ini merupakan tantangan besar, untuk mencari penerjemah sastra ke bahasa Jerman.“
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Terobosan Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an, fokus pameran lebih bersifat tematik. Namun sejak tahun 1980-an, tiap tahun dipilih tamu kehormatan dari berbagai negara dalam pameran akbar itu. Setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan tahun 2015, Belanda akan menyusul sebagai tamu kehormatan 2016.