1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMalaysia

Alasan Negara-Negara Asia Tenggara Bergabung dengan BRICS

Emmy Sasipornkarn
4 Juli 2024

Malaysia dan Thailand dua negara di Asia Tenggara baru-baru ini menyatakan berminat untuk bergabung dengan kelompok negara berkembang BRICS.

Logo BRICS di KTT ke-15
Logo BRICS di KTT ke-15Foto: Sergei Bobylev/TASS/dpa/picture alliance

 

BRICS menarik perhatian negara-negara Asia Tenggara.  Thailand dan Malaysia baru-baru ini menyatakan ketertarikan mereka untuk bergabung dengan blok ini.

Thailand bulan lalu mengajukan permohonan keanggotaan, sementara Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam sebuah wawancara dengan portal berita RRT Guancha mengatakan, negaranya akan segera memulai prosedur formal dalam BRICS.

"Menjadi anggota BRICS akan membuka peluang perdagangan dan investasi, jadi mengapa tidak?" Piti Srisangam, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation, mengatakan kepada DW.

"Blok ini memiliki anggota dari seluruh dunia, namun belum ada yang berasal dari Asia Tenggara," tambahnya.

James Chin, seorang profesor Studi Asia di University of Tasmania mengatakan, "Baik Thailand maupun Malaysia dipandang sebagai kekuatan menengah."

"Lebih baik mereka bergabung dengan kelompok-kelompok seperti BRICS agar mereka memiliki suara yang lebih besar di kancah internasional. Namun, manfaat utamanya adalah perdagangan," tambahnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Peluang ekonomi yang lebih besar dengan BRICS

Tahun lalu, BRICS--sebuah akronim yang awalnya digunakan untuk merujuk pada Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, memutuskan untuk memperluas keanggotaannya, dengan mengundang Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab agar bergabung dengan blok tersebut.

Nama untuk kelompok yang diperluas ini belum diumumkan secara resmi, tetapi bisa disebut "BRICS+". Jika digabungkan, jumlah anggotanya mencapai 45% dari populasi dunia, yaitu sekitar 3,5 miliar orang. Menurut data Bank Dunia, potensi ekonomi blok ini bernilai hingga $30 triliun (€28 triliun) atau sekitar 28% dari ekonomi global.

"Blok ini dapat membantu ekonomi digital Malaysia tumbuh lebih cepat, dengan memungkinkannya untuk berintegrasi dengan negara-negara yang memiliki pasar digital yang kuat, dan juga memanfaatkan praktik-praktik terbaik dari anggota lainnya," kata Rahul Mishra, profesor di Pusat Studi Indo-Pasifik Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, kepada DW.

"Thailand juga akan dapat menarik investasi di industri-industri penting termasuk jasa, manufaktur, dan pertanian," tambahnya.

Profesor Studi Asia di University of Tasmania, James Chin, meyakini hubungan perdagangan yang telah dimiliki Cina dengan Malaysia dan Thailand telah memengaruhi keputusan mereka untuk bergabung dengan BRICS.

Cina telah menjadi mitra dagang terbesar Malaysia selama 15 tahun terakhir dan mitra dagang Thailand selama 11 tahun. Menurut Chin, bergabungnya kedua negara Asia Tenggara ini dengan BRICS akan meningkatkan hubungan mereka dengan Cina.

Cina Kuasai Farmasi, Eropa Ingin Kembali Bangkit

04:00

This browser does not support the video element.

Bergabung BRICS bukan untuk memihak

Bulan lalu, Menteri Luar Negeri Thailand Maris Sangiampongsa menegaskan, langkah Bangkok bergabung dengan BRICS bukan tindakan "memilih-milih," atau sebagai cara untuk mengimbangi blok lainnya.

"Thailand unik karena kami berteman dengan semua negara dan tidak memiliki musuh. Kami dapat bertindak sebagai jembatan antara negara-negara berkembang dan anggota BRICS," kata Maris.

Selain BRICS, Thailand juga telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berbasis di Paris, yang beranggotakan 38 negara--yang sebagian besar berasal dari Barat.

"Negara-negara kecil dan menengah tidak memiliki banyak pilihan," kata Piti Srisangam, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation.

"Apa yang dilakukan Thailand adalah sebuah tindakan penyeimbang, satu kaki dengan demokrasi liberal Barat dan kaki lainnya dengan negara-negara berkembang," lanjutnya.

Di Malaysia, sentimen publik saat ini lebih berpihak pada Cina, yang jadi ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, menurut survei terbaru oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute, sebuah lembaga pemikir Singapura.

Hampir tiga perempat dari responden survei tersebut menyebutkan, ASEAN harus lebih mendukung Cina daripada AS jika blok ini dipaksa untuk bersekutu dengan salah satu dari dua negara adidaya tersebut.

Pada bulan Juni, selama kunjungan tiga hari Perdana Menteri Cina Li Qiang ke Malaysia, Anwar mengkritik "propaganda yang tak henti-hentinya bahwa kita harus melontarkan kebencian dan ketakutan terhadap dominasi Cina secara ekonomi, militer, dan teknologi."

"Kami tidak melakukannya. Kami di Malaysia, dengan sikap netral, memiliki tekad untuk bekerja sama dengan semua negara dan dengan Cina," tambahnya.

Perdana Menteri Cina Li Qiang berjabat tangan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam pertemuan di Putrajaya, Malaysia, 19 Juni 2024Foto: Syazrul Azis/Department of Information Malaysia/Handout via REUTERS

Apakah negara ASEAN lainnya akan mengikuti?

Negara di Asia Tenggara yang tertarik untuk bergabung dengan BRICS bukan cuma Malaysia dan Thailand.

Pada bulan Mei silam, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Pham Thu Hang mengatakan pada sebuah konferensi pers di Hanoi: "Seperti banyak negara di seluruh dunia, kami memantau dengan saksama proses perluasan keanggotaan BRICS."

Rahul Mishra, profesor di Pusat Studi Indo-Pasifik Universitas Jawaharlal Nehru di New Delhi, juga meyakini bahwa Vietnam, Laos dan Kamboja dapat menjadi calon anggota yang potensial" karena mereka telah memiliki hubungan yang baik dengan Cina, India, dan Rusia--yang merupakan para pemain kunci di BRICS.

"Bagi Vietnam, yang telah mencatatkan investasi yang signifikan, ini adalah kesempatan yang baik untuk meningkatkan perdagangannya di luar pasar tradisional mereka ke Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika," tambahnya.

Menjelang KTT BRICS di Afrika Selatan tahun lalu, ada spekulasi bahwa Indonesia sebagai satu-satunya negara G20 di Asia Tenggara yang berharap untuk menyelesaikan proses aksesi dengan OECD dalam waktu tiga tahun, dapat menjadi anggota BRICS.

Namun pada akhirnya, Presiden Joko Widodo mengatakan kepada publik, pemerintahannya telah memutuskan untuk tidak mengajukan surat minat untuk bergabung dengan BRICS.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada sebuah konferensi pers di bulan Januari lalu mengatakan, Jakarta masih menimbang-nimbang pro dan kontra dari keanggotaan BRICS.

(mel/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait