Ba’asyir diwacanakan akan bebas dari hukuman penjara dengan alasan kemanusiaan. Membebaskan seorang jihadis adalah suatu kesalahan besar jika dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Apa alasan penulis opini Monique Rijkers?
Iklan
Berulang-ulang saya harus menguras otak untuk menemukan satu alasan yang paling masuk akal dan manusiawi untuk mendukung pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. Sayangnya, saya tidak bisa menemukan alasan terbaik guna mendukung pembebasan Ba'asyir yang saat ini masih dikaji pemerintah.
Rencana pemerintah ini tentu saja mengejutkan karena Ba'asyir bukan orang sembarangan. Ia adalah otak terorisme di Indonesia yang sudah tiga kali divonis masuk penjara dalam kasus terorisme yang berbeda. Tahun 1983 Ba'asyir ditangkap dan divonis 9 tahun penjara karena menghasut orang untuk menolak Pancasila. Namun ia berhasil banding dan Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman tahanan rumah, akibatnya Ba'asyir kabur ke Malaysia.
Tahun 2003 Ba'asyir divonis empat tahun penjara karena terlibat dalam jaringan terorisme Bom Bali dengan korban tewas 202 orang dan tahun 2011 divonis 15 tahun penjara karena mendanai pelatihan teror di Aceh.
Ba'asyir memang sempat dibawa keluar lapas Nusa Kambangan untuk dirawat di rumah sakit di Jakarta pada Maret 2018 silam. Namun secara fisik, kondisi kesehatan Ba'asyir saat ini tidak memaksanya harus berada di atas tempat tidur (bed rest). Ba'asyir sejauh ini juga tidak membutuhkan ruang perawatan khusus (seperti ICU) sehingga masih bisa diberikan perawatan rawat jalan. Pemerintah tentu berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan memadai untuk setiap narapidana berusia senja dan sakit tanpa terkecuali.
Saya teringat pada Andreas Harsono dari Human Right Watch dan kawan saya Ruth Ogetay yang berjibaku membantu mengurusi para tahanan politik asal Papua yang sakit di dalam penjara, termasuk menerbangkan Filep Karma ke Jakarta dari Jayapura untuk operasi prostat pada tahun 2010.
Jika demi alasan kemanusiaan, pemerintah harus hadir di lapas-lapas yang kesulitan akses layanan kesehatan. Oktober 2018 silam ada empat napi terorisme yang tewas karena sakit di lapas Nusa Kambangan. Jika ada kekhawatiran Ba'asyir tewas di dalam lapas, maka menjadikan Ba'asyir sebagai tahanan rumah yang diawasi dan dibatasi jumlah kunjungan sudah sangat manusiawi, tetapi tidak untuk membebaskannya apalagi tanpa syarat apapun.
Pemenjaraan napi teroris
Salah satu hambatan pemberantasan terorisme di Indonesia adalah menghindari hukuman mati. Meski opsi hukuman mati masih dikenal di Indonesia, menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku terorisme bisa menyebabkan pengikut mengidolakan pelaku dan menempatkannya sebagai seorang yang mati syahid. Begitu pula jika dalam pengejaran pelaku terorisme, pelaku yang tewas akan dianggap martir karena melawan thogut (pemerintah kafir).
Pengkultusan para teroris sebagai syahid atau martir ini tentu kontra produktif dengan pemberantasan terorisme. Dengan demikian pemenjaraan menjadi satu-satunya cara hukuman yang bisa ditempuh demi memenuhi rasa keadilan terhadap korban. Karena itu membebaskan Ba'asyir adalah sebuah kesalahan besar dan merusak tujuan pemberantasan terorisme yang masih marak di tanah air. Rentetan peristiwa bom bunuh diri terakhir kali terjadi di empat lokasi termasuk di tiga gereja di Surabaya dalam waktu dua hari pada Mei 2018.
Membebaskan Ba'asyir hanya akan menyuburkan bibit terorisme karena mempermudah akses pertemuan antara pengikut dan "guru ideologinya”. Selama dalam lapas di Nusa Kambangan, Ba'asyir kerap dikunjungi pengikutnya.
Menyelisik Lebih Dalam Sosok Abu Bakar Ba'asyir
Abu Bakar Ba'asyir, terpidana kasus pendanaan teroris di Aceh tahun 2010 silam akan segera bebas dalam waktu dekat. Bagaimana sepak terjang pria berumur 80 tahun tersebut? Simak daftarnya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Berdarah Campuran Jawa - Arab
Memiliki nama lengkap Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud, ia lahir di Jombang, Jawa timur pada tanggal 17 Agustus 1938. Di tahun ini usianya akan memasuki angka yang ke-81 tahun. Pada tahun 1959, Ia mendalami pendidikan agama sebagai santri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Ia juga diketahui merupakan alumni Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah.
Foto: AP
Aktif di Berbagai Organisasi Islam
Abu Bakar Ba'asyir diketahui pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Solo dan sekretaris Pemuda Al Irsyad, Solo. Ia juga penah menjabat sebagai pemimpin tertinggi organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) pada tahun 1961. Ia juga menjadi Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam sekaligus mendirikan dan memimpin Pondok Pesantren Al Mu'min pada tahun 1972 di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Foto: AP
Pernah Tinggal di Malaysia
Pada masa Orde Baru, Ba'asyir vokal menyerukan penolakannya terhadap asas tunggal Pancasila. Pada tahun 1983 ia bersama rekannya, Abdullah Sungkar ditangkap karena dituduh menghasut orang untuk menolak Pancasila. 11 Februari 1985 mereka berdua melarikan diri ke Malaysia. Pada momen inilah Ba'asyir diduga membentuk gerakan islam radikal, Jamaah Islamiyah, yang menjalin hubungan dengan Al Qaida.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Terlibat dalam Peristiwa Bom Bali I
12 Oktober 2002, rentetan bom meledak di tiga tempat terpisah di Bali. Dua ledakan awal terjadi di Paddy's Irish Pub dan Sari Club yang berada di Kuta, sementara ledakan ketiga terjadi di dekat Konsulat Amerika Serikat di Denpasar. 202 orang diketahui tewas akibat kejadian ini. Abu Bakar Ba'asyir akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pelaku pemboman oleh Kepolisian Republik Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb/C. Ison
Mendanai Pelatihan Teroris di Aceh
Setelah bebas mendekam dari balik jeruji atas kasus Bom Bali I, pada tanggal 9 Agustus 2010 Abu Bakar Ba'asyir kembali ditangkap Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan mendirikan cabang organisasi terorisme Al Qaeda di Aceh. Pada 16 Juni 2011, Ba'asyir akhirnya divonis 15 tahun penjara setelah terbukti mendanai latihan teroris di Aceh dan mendukung adanya terorisme di Nusantara.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Bebas Setelah Menjalani 2/3 Masa Hukuman
Presiden Joko Widodo putuskan untuk membebaskan Abu Bakar Ba'asyir dengan alasan pertimbangan kemanusiaan. Ia menunjuk Yusril Ihza Mahendra untuk mengurus proses pembebasan dalang pelaku Bom Bali 1 tersebut. Ia telah menjalani masa hukuman 9 tahun dari total hukuman 15 tahun penjara.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tetap Menolak Pancasila
Berdasarkan keterangan Yusril, Abu Bakar Ba'asyir enggan untuk menandatangani dua persyaratan terkait pembebasannya. Ia enggan menandatangani keterangan setia pada Pancasila dan keterangan tidak akan mengulangi perbuatannya. Alasannya, ia hanya setia terhadap Islam dan merasa tidak pernah melakukan tindak pidana terorisme.
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
7 foto1 | 7
Suatu kali saya menyaksikan Ba'asyir duduk di tikar di area lapas bersama sejumlah orang bersarung atau bercelana cingkrang. Ada yang membawa rantang, buku-buku dan tas kresek, semua dibawa masuk ke dalam area lapas yang sesungguhnya harus steril dari barang bawaan pengunjung. Tas, barang bawaan dan terutama telepon seluler harus dititipkan saat memasuki lapas penjagaan maksimum Pasir Putih di Nusa Kambangan dalam rangka sebuah acara ibadah di gereja di dalam lapas.
Dari sebuah berita di media online Islam, tahun 2014 Ba'asyir tampak dalam foto berpidato dengan sebuah pengeras suara di depan kerumunan massa berlatar bendera tauhid berwarna hitam. Di dalam lapas yang super ketat, seorang Ba'asyir tetap dikultuskan oleh pengikutnya sehingga kerap dikunjungi dan didengar ceramahnya. Dibalik kulitnya yang mengeriput, uban pada janggutnya serta tubuh rentanya, ideologi Ba'asyir yang menolak Pancasila tak melemah. Tak heran ia menolak bebas dengan sejumlah syarat dan memilih bertahan di balik jeruji besi demi mempertahankan ketundukannya pada hukum agama, bukan hukum duniawi.
Ba'asyir hanya bisa bebas jika ia sudah menyelesaikan masa tahanannya selama 15 tahun potong remisi atau sebagai narapidana mengajukan Pembebasan Bersyarat karena sudah menjalankan masa hukuman selama 2/3 atau mengajukan grasi (pengampunan kepada presiden). Opsi Pembebasan Bersyarat Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 3/2018 pasal 83 mengharuskan narapidana memberikan jaminan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan grasi menghendaki adanya pengakuan bersalah dari napi.
Ba'asyir menolak mengajukan Pembebasan Bersyarat dan grasi karena tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau berjanji tidak mengulangi kesalahannya. Dengan demikian Ba'asyir tidak memenuhi prosedur hukum sehingga tidak bisa diproses untuk Pembebasan Bersyarat atau grasi.
Indonesia adalah negara hukum, kompromi dengan teroris mengindikasikan kelemahan penegakan hukum di dalam negeri. Bersekutu dengan teroris dapat menjatuhkan citra Indonesia di mata dunia internasional. Saya memahami kecaman dari pemerintah Australia yang diarahkan kepada pemerintah Indonesia jika membebaskan Ba'asyir mengingat pembentukan Detasemen Khusus Antiteror 88 pasca Bom Bali 2002 didanai oleh Australia yang kehilangan 88 warga negaranya. Gelontoran dana tersebut menjadi mubazir jika Ba'asyir dibebaskan. Adalah preseden buruk untuk penanganan kasus terorisme di masa datang jika pembebasan Ba'asyir terwujud.
Jejak Berdarah Aman Abdurrahman
Bahkan dari balik penjara pun Aman Abdurrahman mampu menghidupkan sel-sel teror yang telah mati untuk kembali beraksi. Pengaruhnya yang nyaris tidak berbatas membuat gentar Polri. Sebab itu ia kini dituntut hukuman mati
Foto: Reuters/Beawiharta
Yang Terakhir
Hukuman mati menjadi ancaman terakhir yang dihadapi Aman Abdurrahman, setelah sebelumnya menjalani lebih dari sepuluh tahun penjara. Rekam jejaknya penuh darah dan maut. Aman dianggap berbahaya karena pengaruh dan kapasitas keilmuannya yang kerap dijadikan pembenaran atas aksi-aksi teror di tanah air, termasuk untuk serangan bom oleh tiga keluarga di Surabaya dan Sidoarjo baru-baru ini.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Singa Tauhid Mencari Khilafah
Berkat loyalitas ideologinya, Aman Abdurrahman sering dijuluki "Singa Tauhid" oleh para jihadis. Reputasinya sebagai tokoh intelektual dibangun lantaran banyak mengkaji pemikian Abu Muhammad al-Maqdisi, ulama Yordania yang menjadi panutan ideologi kelompok teror Islamic State ISIS. Sebelum menjadi teroris, penganut Salafi itu rajin memberikan ceramah di Masjid As-Shofa di Lenteng Agung, Jakarta.
Kampanye ISIS di Nusantara
Menurut Suratno, dosen ilmu Filsafat di Universitas Paramadina dan Direktur The Lead Institute, selama di penjara Aman banyak membuat tulisan dan video berisikan ceramah yang dipublikasikan ke luar lewat jaringannya. Ia antara lain rajin mempromosikan ISIS ketika Abu Bakar Baghdadi mendeklarasikan negara Islam 2014 silam di Irak dan Suriah.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Mencari Surga Hingga ke Suriah
Kala itu ajaran Aman sudah banyak diadopsi oleh Mujahidin Indonesia Barat dan terutama Forum Aktivis Syariah Indonesia (FAKSI) yang pertama kali menyerukan agar Muslim Indonesia bergabung dengan kekhalifahan al-Baghdadi. FAKSI antara lain dikenal lewat sosok Bahrumsyah. Komandan ISIS di Asia Tenggara itu tewas saat bom mobil yang ia kendarai meledak secara prematur di Suriah 2017 silam.
Foto: Reuters
Panggilan Suci ke Nusakambangan
Setelah memperluas pengaruhnya dari balik jeruji penjara Nusakambangan, Aman akhirnya membantu pembentukan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) pada 2015. Untuk itu ia memanggil Marwan alias Abu Musa dan Zainal Anshori untuk menjenguknya ke Nusakambangan dan meminta keduanya membentuk organisasi buat menaungi pendukung ISIS.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Geliat ISIS di Seluruh Penjuru Negeri
Baiat di Nusakambangan itu menjadi cikal bakal kelahiran teror ISIS di Indonesia. Setelahnya baiat serupa dilakukan di berbagai penjuru tanah air, antara lain di Jakarta, Bekasi, Bima, Lombok dan Poso. Aman bahkan dikabarkan berhasil membujuk Abu Bakar Ba'asyir dan jaringan teror lain buat mengucapkan sumpah setia kepada ISIS.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Teror Khilafah di Indonesia
Marwan memilih nama JAD untuk gerakan baru itu. Karena memiliki jejaring yang kuat, dia dibujuk Aman memimpin JAD di tingkat nasional dan Zainal Anshori di Jawa Timur. Sejak itu JAD mulai mematangkan rencana menebar teror khilafah di Indonesia. Mereka menggelar latihan militer di Gunung Panderman, Malang, jelang serangan pertama di Jalan Thamrin 2016 silam. (rzn/as - dari berbagai sumber)
Foto: Reuters/Beawiharta
7 foto1 | 7
Keistimewaan untuk Ba'asyir dapat dimaknai berbeda untuk para tahanan politik yang menunggu grasi dari presiden. Paling tidak ada tiga orang tahanan politik asal Maluku yang sudah 10 tahun dipenjara menunggu pengampunan dari presiden. Perlakuan istimewa terhadap Ba'asyir bisa memicu kecemburuan dari teroris lain yang juga tidak mau mengakui Pancasila seperti Aman Abdurrahman, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah dan Abu Umar dari Jaringan Batalyon Abu Bakar. Aman Abdurrahman yang menjadi ideolog kasus Kerusuhan Mako Brimob tahun lalu dijatuhi hukuman mati namun ia menolak mengajukan banding. Ba'asyir bebas sedangkan Aman Abdurrahman dieksekusi kelak tentu bisa disalahpahami oleh pengikut masing-masing sehingga menimbulkan sikap anti-pemerintah.
Menolak Ba'asyir bebas sama dengan menyelamatkan deradikalisasi. Akar dari terorisme adalah radikalisme sehingga program deradikalisasi dianjurkan diadakan di dalam lapas bagi para napi teroris. Masalahnya deradikalisasi sifatnya sukarela. Napi terorisme tidak wajib mengikuti dan kalaupun ada napi yang ikut, si napi bisa berpura-pura demi mempercepat keluar dari penjara. Nah, Ba'asyir secara terang-terangan mengakui menolak Pancasila dan tidak mau menandatangani surat pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila.
Di tengah tantangan keberagaman yang semakin tergerus oleh Islamisasi dan ideologi khilafah, membebaskan seorang gembong teroris dengan pemahaman yang bertentangan dengan dasar negara adalah sebuah tindakan bodoh! Pemerintah dengan sangat gegabah telah mematikan program deradikalisasi yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Dalam acara Debat Capres Pemilu Presiden 2019 yang baru lewat, cawapres Ma'ruf Amin menyatakan pemahaman agama yang salah menyebabkan terorisme sehingga pemahaman itu harus diluruskan. Alih-alih berhasil meluruskan pemahaman agama yang salah, pemerintah gagal menyadarkan Ba'asyir akan Pancasila padahal cuma Pancasila itulah yang menyatukan keberagaman di Indonesia. Ideologi jihadis Ba'asyir masih sangat tebal, tiada solusi untuk menembusnya, termasuk pemenjaraan selama bertahun-tahun.
Daftar Serangan Teror JAD di Indonesia
Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Islamic State alias ISIS adalah kelompok teror paling mematikan di Indonesia saat ini. Berikut serangan teror yang dilakukan anggota JAD di Indonesia sejauh ini.
Foto: REUTERS
Bom Thamrin, Jakarta
Serangkaian ledakan mengguncang Sarinah pada 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB. Para pelaku yang merupakan anggota JAD dan berjumlah tujuh orang membawa granat dan senjata api. Empat pelaku dan empat warga sipil tewas, sementara 24 lainnya mengalami luka-luka. ISIS mengklaim bertanggungjawab atas serangan tersebut. Anggih Tamtomo alias Muhammad Bahrun Naim dicurigai mengarsiteki serangan di Jakarta
Foto: Reuters/Beawiharta
Serangan di Mapolres Surakarta
Seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya di gerbang Mapolres Surakarta pada 05 Juli 2016. Kapolri saat itu, Badrodin Haiti, mengatakan pelaku yang bernama Nur Rohman memiliki hubungan dekat dengan Bahrun Naim. Keduanya sempat aktif di organisasi teror Jamaah Anshar Daulah Khilafah Nusantara yang juga ikut membentuk JAD. Serangan di Solo mengakibatkan seorang petugas mengalami luka-luka.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Surya
Bom Molotov di Samarinda
Serangan bom Molotov di Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda pada 13 November 2016 menyebabkan empat orang anak-anak mengalami luka bakar, salah seorangnya yang bernama Intan Olivia Marbun akhirnya meninggal dunia. Pelaku yang bernama Juhanda merupakan anggota JAD Kalimantan Timur dan pernah dipenjara terkait teror bom buku tahun 2011 di Tanggerang.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/P. Utama
Bom Kampung Melayu
Dua ledakan di Kampung Melayu pada 25 Mei 2017 menewaskan lima orang dan melukai belasan lainnya. Wakapolri Komisaris Jenderal Syafruddin saat itu mengklaim ISIS melalui JAD bertanggungjawab atas kebiadaban tersebut. Buntutnya polisi menggelar operasi penggerebekan di seluruh Indonesia dan menangkap 22 tersangka teroris yang sebagian merupakan anggota JAD.
Foto: Reuters/Antara Foto
Ledakan di Bandung
Ledakan dahsyat mengguncang kawasan pemukiman penduduk di Jalan Jajaway, Bandung, 8 Juni 2017. Ledakan yang diduga berasal dari bom panci itu terjadi akibat kecelakaan, Polisi akhirnya menangkap lima terduga teroris lantaran memiliki bahan kimia untuk pembuatan bom. Mereka, termasuk Agus Wiguna, dipastikan berafiliasi dengan kelompok JAD Bandung Raya.
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Arbi
Kerusuhan di Mako Brimob
Meski diklaim tidak direncanakan, pemberontakan narapidana teror di Mako Brimob, Depok, pada 9 Mei 2018 silam turut melibatkan anggota senior JAD. Aman Abdurrachman yang mendirikan organisasi teror itu bahkan sempat diminta menjadi mediator oleh para narapidana. ISIS sendiri mengaku bertanggungjawab dan mengklaim sudah merencanakan aksi yang menewaskan lima orang polisi dan seorang tahanan itu.
Foto: picture alliance / Photoshot
Serangan Bom Bunuh Diri di Surabaya
Tiga keluarga bertanggungjawab atas rangkaian serangan bom bunuh diri di tiga gereja dan mapolrestabes Surabaya, serta sebuah ledakan di Sidoarjo, pada Mei 2018. Para pelaku yang ikut mengorbankan anak-anaknya sebagai pelaku teror dikabarkan saling mengenal dan menjalin hubungan melalui jaringan JAD Jawa Timur. Salah seorang pelaku, Dita Oepriaro, adalah tokoh senior JAD.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Risyal Hidayat
Gagal di Riau
Sejak lama JAD Riau sudah merencanakan serangan kepada kepolisian. Akhir 2017 Densus 88 menggagalkan serangan dengan menangkap sejumlah figur kunci, serta mengamankan senjata api dan bom. Namun bukan JAD, melainkan Negara Islam Indonesia yang akhirnya berhasil melakukan serangan pada 16 Mai 2018. Seorang petugas meninggal dunia dalam insiden tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sutisna
Suami istri pelaku bom bunuh diri Makassar
Bom bunuh diri terjadi pada tanggal 28 Maret di gereja Katedral Makassar, saat umat merayakan Hari Minggu Palma. Dari hasil identifikasi polisi, pelaku merupakan pasangan suami istri berinisial LL dan EM dan merupakan bagian dari kelompok teroris JAD. Iniden itu dipicu oleh penangkapan terhadap 24 anggota JAD asal Sulawesi Selatan. (rzn/yf - detik, kompas, tribun, ap)
Foto: via REUTERS
9 foto1 | 9
Persoalan lain yang mengemuka adalah waktu pembebasan Ba'asyir yang berlangsung hanya tiga bulan sebelum pemilu. Meski pihak pengacara Ba'asyir mengklaim sudah mengurus pembebasan sejak tahun lalu, faktanya Ba'asyir kerap menolak mengajukan Pembebasan Bersyarat dan grasi. Hampir diduga, jika Ba'asyir bebas tanpa syarat maka suara pro-pemerintah akan menyusut. Dari jajak pendapat pada akun Facebook pribadi saya, 78% dari 758 suara menolak pembebasan Ba'asyir.. Lebih banyak suara menolak Ba'asyir bebas tentu tidak mengejutkan. Sudah terlalu banyak catatan kelam terorisme di Indonesia. Keluarga korban masih belum mampu melupakan peristiwa kelam yang menyebabkan mereka kehilangan anggota keluarga. Luka-luka para penyintas belum pulih. Mengapa kita harus menambah duka mereka lagi dengan berpihak pada penjahat kemanusiaan?
Harapannya kini mencegah pemerintah mengambil langkah hukum gegabah yang dapat mempermalukan nama baik presiden dan menghancurkan reputasi Indonesia sebagai negara yang serius dalam pemberantasan terorisme. Idealnya pemerintah patuh pada hukum guna menghindari negara ini terjerumus dalam jurang radikalisme dan terorisme dan membuat deradikalisasi terjun bebas tanpa hasil hanya karena pemerintah lebih memilih seorang otak teroris ketimbang suara kritis masyarakat. Pemerintah pun akan kehilangan kredibilitasnya di mata publik jika menyalahi hukum demi menyenangkan satu kelompok. Karena itulah kita harus menolak Ba'asyir bebas.
Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis