1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
FilmJepang

AI di Balik Layar Anime Jepang: Inovasi atau Ancaman?

Lee Chermaine
21 Mei 2025

AI bantu produksi anime di Jepang, tapi picu kekhawatiran para seniman soal masa depan profesi mereka.

Cuplikan salah satu frame dalam film animasi pertama dengan bantuan AI berjudul Twins Hinahima
Film pendek 2025 "Twins Hinahima" dianimasikan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI)Foto: KaKa Technology Studio

Saat filter Kecerdasan Buatan (AI)Studio Ghibli yang bisa mengubah foto dan video jadi tampak seperti anime karya Hayao Miyazaki dirilis, hal itu juga memicu perdebatan soal hak cipta para seniman.

Meskipun Studio Ghibli tidak memberikan tanggapannya terhadap tren viral tersebut, sebuah wawancara tahun 2016 dengan salah satu pendiri perusahaan itu kembali beredar luas. Dalam wawancara itu, Miyazaki mengatakan bahwa ia "sangat muak" dengan karya yang dibuat oleh AI, bahkan menyebutnya sebagai "penghinaan terhadap kehidupan."

Namun, hal itu tidak menghentikan Jepang untuk terus mengembangkan teknologi AI.

Undang-Undang Hak Cipta Jepang yang diamandemen pada 2019 sebagian besar ditafsirkan mengizinkan penggunaan karya berhak cipta untuk melatih AI, tanpa harus meminta izin dari pemilik hak cipta. Aturan ini jauh lebih longgar dibanding hukum di Uni Eropa atau Amerika Serikat (AS), dan memang aturan ini dirancang untuk menarik investor AI ke Jepang.

Para seniman di Jepang sudah mulai khawatir. Menurut survei Arts Workers Japan tahun 2023, yang melibatkan hampir 27.000 pekerja kreatif, sebanyak 94% responden khawatir tentang pelanggaran hak cipta mereka oleh AI.

Badan Urusan Kebudayaan Jepang pun mencoba membuka ruang diskusi publik. Tahun lalu, mereka menetapkan bahwa penggunaan karya berhak cipta untuk melatih AI ini tidak diberlaku jika "secara tidak masuk akal merugikan kepentingan pemegang hak cipta.”  

Namun saat ini, upaya mempertahankan perlindungan hak cipta ini jadi tantangan besar. Bahkan, jika anggota parlemen sepakat bahwa penggunaan konten berhak cipta oleh AI itu tidak tepat, semuanya sudah telanjur terdampak, ujar Charlie Fink, seorang profesor bidang AI sinematik di Chapman University, California, AS.

"Jadi pertanyaannya adalah, jika pelanggarannya sudah cukup besar, bagaimana caranya kita mulai mengatasi kerusakan yang ada?” katanya.

Salah satu pendiri Studio Ghibli, Hayao Miyazaki, adalah seorang kritikus AI yang terkenalFoto: Chris Pizzello/AP/picture alliance

Industri anime juga kekurangan tenaga kerja

Sebagai bagian dari strategi merek global bernama "Cool Japan", Jepang telah mempromosikan kekayaan budayanya yang unik, termasuk anime, sebagai salah satu ekspor andalannya.

Ledakan popularitas anime secara global telah mencatatkan rekor pasar anime Jepang pada 2023, dengan produksi mencapai 300 judul TV, demikian menurut laporan tahunan dari Asosiasi Animasi Jepang.

AI pun mulai masuk ke industri ini untuk pertama kalinya, dalam proses pembuatan anime Twins Hinahima, yang dirilis pada Maret 2025. Sebelumnya pada tahun 2023, Netflix Jepang juga menggunakan AI untuk membuat latar belakang dalam klip pendek anime berjudul Dog & The Boy pada tahun 2023.

Saat ini, industri anime menghadapi krisis tenaga kerja karena kondisi kerja yang buruk. Laporan tahun 2024 dari Asosiasi Budaya Film dan Anime Nippon menunjukkan bahwa banyak pekerja anime dibayar rendah dan bekerja terlalu berlebihan, bahkan gaji per jam mereka sering kali di bawah upah minimum.

Oleh karena itu, penggunaan AI dapat dilihat sebagai solusi untuk mengisi kekurangan itu, kata Roland Kelts, pakar anime dan profesor tamu di Universitas Waseda, Tokyo.

"Populasi Jepang menyusut, jadi tidak banyak seniman muda, dan mereka dibayar sangat rendah untuk melakukan banyak pekerjaan berat,” ujarnya kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

K&K Design, salah satu studio produksi anime, telah memakai AI dalam karyanya. Mereka menggunakan versi khusus dari Stable Diffusion, model AI yang mengubah teks menjadi gambar. AI ini membantu dalam proses pewarnaan, pembuatan latar belakang, hingga mengubah foto dan video menjadi anime. Menurut Wakil Presiden K&K Design, Hiroshi Kawakami, hal ini menghemat banyak waktu dan tenaga.

Ia menjelaskan kepada DW bahwa sebuah klip anime berdurasi lima detik yang biasanya memerlukan waktu seminggu untuk digambar tangan, kini bisa selesai dalam sehari hanya dengan memasukkan dua gambar ke dalam model AI.

Menurut survei Arts Workers Japan, sekitar 60% seniman Jepang khawatir AI akan menggantikan pekerjaan mereka.

Meski begitu, Kawakami menekankan bahwa AI hanya berperan sebagai "pendukung" dan tidak bisa menggantikan manusia di bidang-bidang seperti misalnya penilaian visual dan ide kreatif.

Model AI hanya butuh dua gambar tersebut untuk membuat klip berdurasi 5 detikFoto: K&K Design Japan

Budaya Jepang yang merangkul teknologi

Menurut Kelts, studio-studio anime Jepang yang memproduksi konten untuk acara TV yang tayang larut malam bisa sangat terbantu dengan AI. Namun, dia tidak melihat AI sebagai ancaman bagi kreativitas di Jepang.

Kelts menjelaskan bahwa Jepang tidak serta-merta melihat prospek AI yang menciptakan kembali versi anime "One Piece" dalam beberapa tahun mendatang sebagai sebuah ancaman.

"Dalam ajaran Shinto, keyakinan mayoritas masyarakat Jepang, semua hal memiliki ‘kami', atau roh... jadi orang Jepang tidak takut dengan ide-ide robot, dengan teknologi, karena teknologi dianggap bagian dari alam,” jelasnya.

Lagi pula, pahlawan anime pertama Jepang adalah Astro Boy, di mana ia adalah setengah anak manusia, setengah robot.

Belajar dari dunia perfilman Hollywood

Tren AI ini juga akan berdampak pada perfilman global. Banyak pembuat film yang mulai memakai AI dalam karya mereka.

Pembuat film independen asal Kanada Taylor Nixon-Smith mengatakan, ia menggunakan ChatGPT untuk menyusun daftar tugas sebelum syuting, merangkum hasil riset, dan membuat rancangan kontrak. Namun sebagian besar tugas pembuatan film tetap harus dilakukan manusia, katanya.

"Anda masih membutuhkan desainer kostum untuk membuat rancangannya, seseorang untuk pergi keluar dan membeli barang, dan penjahit untuk membuat pakaian yang benar-benar pas untuk para aktor,” kata Nixon-Smith kepada DW.

Charlie Fink, yang juga mantan produser Disney, meyakini bahwa teknologi AI yang berkembang pesat ini bisa menciptakan "era keemasan baru Hollywood". Menurutnya, teknologi ini akan membuat produksi film "sangat demokratis, karena seseorang dapat membuat film dengan biaya hanya beberapa ribu dolar saja,” katanya kepada DW.

Fink juga memprediksi bahwa di masa depan, produksi film tidak lagi membutuhkan ratusan orang seperti sekarang. 

Untuk saat ini, aktor masih menjadi yang utama dalam produksi film, tapi Fink yakin penampilan karya berbasis  AI akan "benar-benar berubah dalam beberapa tahun ke depan.”

"AI bukan seni" demikian bunyi spanduk yang dipegang aktris Frances Fisher selama aksi mogok SAG-AFTRA pada bulan Juli 2023Foto: Richard Shotwell/Invision/AP/dpa/picture alliance

Kekhawatiran ini telah menyebabkan beberapa aktor Hollywood melakukan aksi mogok tahun lalu karenan kurangnya perlindungan terkait AI bagi para pekerja.

Aturan hukum "NO FAKES”, yang menargetkan AI yang tidak sah, kembali diajukan ke Kongres AS bulan lalu. RUU ini didukung oleh berbagai perusahaan besar seperti Disney, YouTube, serikat aktor SAG-AFTRA, serta OpenAI.

Namun bagi Fink, aturan ini hanyalah "tahap pertama dari proses menerima kenyataan.” Menurutnya, perkembangan AI tetap tidak bisa dihindari. Ia memprediksi bahwa AI akan perlahan-lahan menggantikan aktor dan produser. Ia bahkan menyarankan untuk mulai belajar menggunakan AI. "Disrupsi juga berarti peluang,” ungkapnya.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi

Editor: Yuniman Farid

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait