Mengapa Jepang Marah pada Junta Myanmar? Ini Alasannya
3 Mei 2023
Tokyo meluapkan kemarahannya usai mengetahui militer Myanmar mengoperasikan kapal sipil yang didanai Jepang untuk tujuan militer.
Iklan
Pemerintah Jepang mengajukan keluhan resmi kepada junta militer Myanmar setelah adanya laporan organisasi hak asasi manusia (HAM) soal kapal sumbangan dari Jepang yang digunakan untuk mengangkut tentara dan peralatan militer dalam serangan terhadap kelompok etnis bersenjata, Tentara Arakan.
Myanmar dengan segara meminta maaf atas penggunaan kapal tersebut, karena tidak sesuai dalam hal penggunaan.
Merespons itu, Myanmar telah mengontak Kementerian Luar Negeri di Tokyo, untuk mengambil langkah guna memastikan bahwa kapal-kapal tersebut tidak akan lagi digunakan untuk keperluan militer.
Jepang memiliki hubungan yang sudah terjalin lama dengan Myanmar dan tetap mempertahankan hubungan itu, bahkan setelah militer merebut kekuasaan pada Februari 2021 dengan cara menggulingkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Terlepas dari banyaknya kritik atas sikapnya, pemerintah Jepang tidak mengubah sikapnya terhadap Myanmar.
Namun, mengetahui kapal-kapal yang didanai Jepang telah digunakan untuk menyerang warga sipil, hal itu mungkin sangat berat diterima oleh Tokyo.
'Hentikan kekerasan'
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 29 Maret, Kementerian Luar Negeri Jepang menyerukan kepada "militer Myanmar untuk berusaha dengan sungguh-sungguh terhadap resolusi damai" di negara tersebut, membebaskan para anggota politik kelompok Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dan "segera menghentikan kekerasan."
Organisasi Human Rights Watch (HRW), yang juga mengungkap penggunaan kapal Jepang untuk keperluan militer, memperkirakan setidaknya 3.400 jiwa tewas sejak kudeta militer.
Sebanyak 21 ribu orang lainnya ditangkap dan saat ini 17 ribu lainnya masih ditahan, berdasarkan laporan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah lembaga nonprofit yang didirikan oleh mantan tahanan politik yang tinggal di pengasingan.
Militer Myanmar juga disalahkan atas serangan udara di wilayah Sagaing bulan lalu yang menewaskan puluhan warga sipil dan serangan di daerah Magway yang menghancurkan sebuah rumah sakit yang dibangun dengan bantuan pembangunan resmi Jepang (ODA).
Potret Warga Rohingya Rela Bertaruh Nyawa di Lautan Hingga Terdampar di Aceh
Sebanyak 99 pengungsi Rohingya ditemukan kelaparan dan kehausan di atas kapal motor rusak di perairan Aceh Utara, Rabu (24/06). Ini bukan kali pertama etnis yang terusir dari Myanmar ini terdampar di perairan Indonesia.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Terombang-ambing di lautan
Sebanyak 99 pengungsi Rohingya ditemukan terombang-ambing di atas sebuah kapal di perairan Aceh Utara, Rabu (24/06). Mereka ditemukan oleh nelayan sekitar yang kebetulan sedang melintas di sekitar lokasi. Ini bukan kali pertama sebuah kapal motor bermuatan puluhan bahkan ratusan pengungsi Rohingya terdampar di perairan Aceh Utara.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Bertaruh nyawa
Para pengungsi rela bertaruh nyawa melintasi lautan selama berminggu-minggu dengan perbekalan minim. Mereka yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak ini, berharap dapat mengadu nasib dan mencari pekerjaan di negara tujuan. Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya (PIARA) melaporkan sebanyak 15 pengungsi tewas di perjalanan dan dilarung ke laut. Diduga akan ada kapal-kapal lain yang menyusul.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Terusir dari rumah
Kaum Rohingya yang berasal dari Myanmar ini, terpaksa mencari suaka ke negara-negara Asia Tenggara lainnya karena etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka kerap dianiaya, dikucilkan, dan diusir ke kamp-kamp pengungsian setelah penumpasan militer tahun 2017 silam. Bahkan dalam laporan PBB tahun 2018 dilaporkan adanya pembunuhan massal 10 ribu kaum Rohingya di Rakhine.
Foto: Reuters/Antara Foto/Rahmad
Rasa kemanusiaan
Para pengungsi kemudian ditampung sementara di Kantor Imigrasi Lhokseumawe, Aceh. Meski dunia tengah dilanda pandemi Covid-19, tidak menyurutkan niat masyarakat setempat untuk menyelamatkan para pengungsi tersebut. "Ini tidak lebih dari rasa kemanusiaan dan bagian dari tradisi kami para nelayan Aceh Utara," ujar Hamdani salah seorang nelayan yang ikut mengevakuasi para pengungsi dilansir Reuters.
Foto: Getty Images/AFP/R. Mirza
Non-reaktif Covid-19
Dari hasil pemeriksaan cepat (rapid test) virus corona yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, dilaporkan seluruh pengungsi Kaum Rohingya yang terdampar di perairan Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh utara, Rabu (24/06), non-reaktif Covid-19. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Selain rapid test, pemeriksaan kesehatan secara umum juga turut dilakukan.
Foto: AFP/C. Mahyuddin
Apresiasi dunia internasional
Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Ann Maymann mengapresiasi Indonesia yang telah menyelamatkan para pengungsi Kaum Rohingya. Organisasi non-pemerintah Amnesty International juga memuji mayarakat Aceh yang telah menunjukkan rasa solidaritas kemanusiaan mereka. Menlu RI Retno Marsudi dalam pernyataan resminya Jumat (26/06) berjanji akan penuhi kebutuhan dasar dan kesehatan 99 pengungsi Rohingya.
Foto: AFP/C. Mahyuddin
6 foto1 | 6
Selain itu, ada laporan yang berulang soal penyiksaan.
Faktanya, junta dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan dan genosida, bahkan sebelum kudeta dimulai.
Diduga setidaknya satu juta muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras militer yang dilakukan pada tahun 2017, yang saat ini tengah menjadi objek penyelidikan kejahatan genosida PBB.
Sebagian besar dari mereka yang pergi telah menetap di kamp pengungsi Bangladesh. Sekitar 600 jiwa Rohingya masih menetap di Myanmar, tapi mereka menghadapi penganiayaan dan kekerasan, serta sebagian besar terputus dari bantuan makanan dan kesehatan dari luar.
Setelah kudeta, Jepang menghentikan proyek-proyek bantuan baru, tapi terus mendukung program-program yang sudah ada.
Salah satu program bantuan yang paling kontroversial dari Jepang adalah pelatihan perwira militer di Tokyo. Sejak tahun 2015, kadet dan perwira Myanmar telah menjalani pelatihan di Akademi Pertahanan Nasional Jepang.
Meskipun Jepang mengaku pada September 2022 bahwa mereka bakal berhenti menerima rekrutran baru, Jepang masih mengizinkan para tentara yang mengikuti program itu untuk menyelesaikan pelatihan mereka.
"Untuk waktu yang lama, pemerintah Jepang punya sikap bahwa sangat penting bagi Tokyo untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka dengan pemerintah Myanmar untuk sementara, pada saat yang sama, juga menyatakan oposisi terhadap semua perilaku dan tindakan yang tidak demokratis," kata seorang pejabat pemerintah Jepang yang tidak mau disebut namanya karena tidak memiliki wewenang untuk berbicara kepada media.
Myanmar: Aksi Protes Perahu Menentang Kudeta Militer
Warga etnis Intha di negara bagian Shan, Myanmar, melakukan protes unik terhadap junta militer dengan aksi protes perahu di Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara itu.
Foto: Robert Bociaga
Protes meluas di Myanmar
Protes terhadap kudeta militer di Myanmar 1 Februari lalu meluas ke luar kota Yangon. Pada 18 Februari, penduduk di sekitar Danau Inle, salah satu tujuan wisata populer di negara bagian Shan selatan, berdemonstrasi menentang junta militer dan menuntut pemulihan demokrasi.
Foto: Robert Bociaga
Protes dari atas perahu
Warga dari semua lapisan masyarakat berpartisipasi dalam aksi protes perahu. Mereka terlihat membawa megafon dan plakat-plakat, sambil melantunkan lagu-lagu revolusi.
Foto: Robert Bociaga/DW
Kudeta militer
Pihak militer awal Februari mengkudeta pemerintahan sipil dengan mengklaim terjadi penipuan yang luas dalam pemilihan umum November lalu, yang dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dari Aung San Suu Kyi, sekalipun militer ketika itu membuat partai politik untuk menang pemilu. Sejak kudeta, banyak anggota NLD dan pemerintahan sipil yang ditahan, termasuk Suu Kyi.
Foto: AP Photo/picture alliance
Pembangkangan sipil
Sejak kudeta, puluhan ribu orang melakukan protes dan kampanye pembangkangan sipil. Pihak militer menanggapi dengan keras dengan gelombang penangkapan ancaman sanksi berat.
Foto: REUTERS
Aksi protes perahu dukung sanksi Barat terhadap pelaku kudeta
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin kudeta dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan para tahanan politik lain. Pengunjuk rasa di Danau Inle menyambut baik sanksi tersebut dan mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk mengakhiri dominasi militer selamanya. Namun, mereka tidak mendukung rekonsiliasi dengan para jenderal, kebijakan yang diambil Suu Kyi selama ini.
Foto: Robert Bociaga
Sistem demokrasi satu-satunya jalan melindungi minoritas
Negara bagian Shan dihuni oleh warga etnis Intha, yang juga dikenal sebagai "orang danau". "Satu-satunya cara untuk melindungi tradisi minoritas adalah melalui sistem demokratis dan desentralisasi. Itulah mengapa kami membutuhkan demokrasi federal di Myanmar," kata Ko Su, seorang aktivis etnis Intha, kepada DW.
Foto: Robert Bociaga
Sektor turisme di bawah pengawasan militer
Suku Intha mengatakan, mereka belum dapat sepenuhnya memanfaatkan pariwisata karena sebagian besar hotel dan bisnis di daerah tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki koneksi dengan militer. Namun sebelum kudeta, penduduk setempat setidaknya bisa mendapatkan keuntungan dari industri pariwisata yang berkembang pesat. (hp/vlz)
Foto: Robert Bociaga
7 foto1 | 7
Namun, saat ini hubungan "jelas berubah", tegas pejabat tersebut, yang mengaku bekerja untuk Kementerian Pertahanan di Tokyo, dan menunjukkan bahwa semakin banyak politisi dan pejabat Jepang yang menyadari bahwa mereka tak memiliki pengaruh terhadap Naypyidaw, seperti yang mereka kira.
"Jika Junta tak berubah sekarang maka saya pikir Jepang tidak punya pilihan lain selain mengikuti jejak pemerintah lain dan mengambil sikap yang jauh lebih keras terhadap pemerintah," kata pejabat tersebut. "Mereka telah merasakan bahwa tak ada yang berhasil dan semakin sulit untuk membenarkan untuk tidak mengambil sikap yang lebih tegas."
HRW juga menyerukan kepada pemerintah Jepang untuk segara menangguhkan semua bantuan non-kemanusiaan kepada Myanmar dan "menjatuhkan yang ditujukan kepada para pemimpin militer dan perusahaan yang dimiliki militer."