1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Jerman Sulit Melepaskan Diri dari Energi Nuklir?

Kristie Pladson | Neil King
23 November 2022

25 tahun lalu Jerman sudah punya ide meninggalkan tenaga nuklir. Namun, hingga kini itu belum terjadi karena ada krisis energi. Mengapa sulit bagi Jerman meninggalkan energi nuklir?

Foto ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir
Foto ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklirFoto: Rupert Oberhäuser/picture alliance

Selama ini, Rusia telah menjadi mitra energi utama bagi Jerman, menyediakan sebagian besar minyak dan gas alam untuk negara ekonomi terbesar di Eropa itu. Namun, dengan invasi Rusia ke Ukraina, kemitraan itu pun terhenti.

Jerman sekarang berjuang untuk mendapatkan pasokan alternatif menghadapi bulan-bulan musim dingin, di tengah harga energi yang melambung tinggi. Jerman akhirnya batal menghentikan tiga reaktor nuklirnya, yang rencananya akan dibesi-tuakan akhir tahun ini.

Padahal cita-cita meninggalkan energi nuklir sudah ada sejak 1998, ketika pemerintahan koalisi antara Sosial Demokrat SPD dan Partai Hijau terbentuk. Sejak itu, Jerman mulai menghentikan pembangunan rektor nuklir. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terakhir dibangun di Jerman tahun.

"Teknologi yang menawan"

Pada tahun 2010, pemerintahan Angela Merkal (CDU) yang akhirnya memutuskan penghentian energi nuklir, setelah bencana nuklir Fukushima di Jepang. Penghapusan tenaga nuklir lalu dijadwalkan untuk akhir 2022. Semua rencana kelihatan berlangsung lancar, sampai terjadi perang di Ukraina.

Demonstrasi anti nuklir di Hannover, 1979Foto: Dieter Klar/picture alliance

Bulan Oktober lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz memerintahkan perpanjangan operasi tiga PLTN terakhir di Jerman sampai April 2023.

Franz-Josef Thiering, ahli listrik dan energi, ketika ditemui DW di rumahnya memamerkan model sepotong uranium, yang diberikan kepadanya oleh perusahaan bahan bakar uranium tempat dia bekerja. Terbungkus dalam plastik bening sebuah lempengan tipis berwarna gelap seukuran kuku jari kelingking. Dua dari lempengan ini dapat memberi listrik untuk satu rumah tangga di Jerman selama satu tahun, kata Franz-Josef Thiering. "Itu membuat saya terpesona,” katanya kepada DW. "Itulah fisika." Listrik dari energi nuklir, kata dia, adalah "teknologi yang menawan."

Dia menganggap, penghentian energi listrik adalah gagasan yang salah, terutama ketia Jerman mencoba melakukan transisi ke energi hijau demi meredam perubahan iklim. "Kita akan membutuhkan lebih banyak tenaga listrik di masa depan. Itu faktanya," katanya.

Banyak orang Jerman yang sekarang tampaknya setuju. Sementara mayoritas publik mendukung penghapusan nuklir setelah bencana Fukushima, per Agustus tahun ini lebih dari 80% mendukung perpanjangan operasi reaktor nuklir, menurut sebuah survei oleh stasiun siaran Jerman, ARD.

Ketakutan akan bencana nuklir

Namun, banyak orang juga yang mengaku takut akan bencana nuklir dan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan limbah nuklir juga belum terjawab. Claudia Kemfert, profesor ekonomi energi di Hertie School of Governance di Berlin, merujuk ke negara tetangga Prancis, yang masih sangat bergantung pada energi nuklir.

"Separuh dari pembangkit listrik tenaga nuklir baru [di Prancis] tidak beroperasi, karena mereka mengalami kesulitan keamanan," kata Kemfert kepada DW. "Di Jerman, kami memiliki masalah yang sama. Inspeksi keselamatan belum dilakukan selama lebih dari 15 tahun terakhir. Dan perlu segera dilakukan, untuk melihat apakah kita memiliki masalah yang sama seperti di Prancis."

Dia juga menegaskan, tenaga nuklir adalah pengganti gas alam yang buruk, yang juga dapat digunakan untuk pemanasan, tidak hanya menghasilkan listrik.

Terlepas dari situasi yang berubah, Franz-Josef Thiering tidak melihat bahwa perpanjangan operasi tiga PLTN Jerman itu akan menjadi kebangkitan besar energi nuklir. "Saya pikir, kita hanya berbicara tentang waktu yang sungguh singkat," katanya.

(hp/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait