Lebih banyak orang di Asia Tenggara memprioritaskan perlindungan “harmoni” sosial dibandingkan hak atas kebebasan berpendapat. Demikian hasil sebuah penelitian baru-baru ini.
Iklan
Negara-negara Asia Tenggara termasuk dalam kelompok yang terburuk di dunia dalam hal standar kebebasan pers dan hak media. Penutupan paksa surat kabar independen dan pemenjaraan aktivis karena komentar publik mereka telah jadi sumber ketegangan antara pemerintah otokratis dan negara demokrasi Barat dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah di Asia Tenggara, mulai dari Vietnam dan Laos, hingga negara demokrasi tentatif seperti Indonesia dan Filipina, cenderung setuju bahwa mereka harus sangat membatasi kebebasan berpendapat demi melindungi "harmoni" nasional.
Hal ini berdasarkan laporan "Buddhisme, Islam, dan Pluralisme Agama di Asia Selatan dan Tenggara" yang diterbitkan oleh Pew Research Center. Studi ini berfokus pada peran agama dalam berbagai masyarakat di Asia Selatan dan Tenggara.
Di bagian agama dan politik, laporan tersebut mengungkapkan bahwa "kebebasan berpendapat dan demokrasi tidak selalu dianut secara luas di kawasan ini."
Peringkat kebebasan pers di Asia Tenggara rendah
Temuan ini juga tercermin dalam peringkat kebebasan pers global yang diukur setiap tahunnya oleh organisasi seperti Reporters Without Borders.
Wilayah lainnya berada di peringkat paruh bawah, kecuali Malaysia, yang berada di peringkat 73.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Memburuknya standar kebebasan berpendapat secara internasional "adalah akibat dari meningkatnya agresivitas pihak berwenang di banyak negara dan meningkatnya rasa permusuhan terhadap jurnalis di media sosial dan dunia nyata," Sekretaris Jenderal Reporters Without Borders Christophe Deloire mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Indeks lainnya, Freedom On The Net dari lembaga Freedom House, yang memantau kondisi kebebasan berpendapat secara online menunjukkan, baru-baru ini Myanmar dan Cina berada di peringkat terakhir dalam hal "kebebasan internet".
Dua negara Asia Tenggara lainnya, yakni Vietnam dan Thailand, termasuk dalam 20 negara dengan kinerja terburuk.
Iklan
Pendapat masyarakat awam tentang kebebasan pers
Studi oleh Pew Research Center memang berbeda dengan pemeringkatan kebebasan pers tahunan, karena studi ini berfokus pada pemikiran masyarakat awam terhadap masalah kebebasan berpendapat.
Menurut laporan yang diterbitkan pada awal September, mayoritas responden di tiga dari empat negara Asia Tenggara yang disurvei setuju dengan pemerintah mereka bahwa "harmoni" nasional harus lebih diutamakan dibandingkan kebebasan berpendapat.
Meski sebagian besar responden di empat negara Asia Tenggara berpendapat, masyarakat seharusnya diperbolehkan mengritik pemerintah secara terbuka, sebagian besar responden di Malaysia (36%) dan Singapura (41%) justru berpendapat warga negara tidak seharusnya melakukan hal tersebut.
Responden kemudian diminta untuk memilih satu dari dua pernyataan: "keharmonisan dengan orang lain lebih penting daripada hak untuk mengutarakan pendapat" atau "orang harus diperbolehkan mengutarakan pendapatnya di depan umum meskipun hal itu membuat orang lain kesal."
Hanya mayoritas di Thailand (59%) berpendapat, kebebasan berpendapat harus didahulukan sebelum keharmonisan sosial. Sekitar 64% masyarakat Singapura, 67% masyarakat Indonesia, dan 69% masyarakat Kamboja berpendapat bahwa keharmonisan sosial dikedepankan sebelum kebebasan berpendapat.
"Kombinasi tradisi keharmonisan sosial dan pemerintahan otoriter selama bertahun-tahun di banyak negara Asia Tenggara, serta tekanan terhadap hak kebebasan berpendapat, semuanya berdampak pada pandangan; kebebasan berpendapat sebagai prioritas," ujar peneliti senior Asia Tenggara di Council on Foreign Relations, Joshua Kurlantzick, kepada DW.
Namun ia menambahkan, khususnya kalangan generasi muda mengutamakan untuk mendahulukan kebebasan berpendapat.
Peringkat masing-masing negara Asia Tenggara
Laporan tersebut juga menemukan adanya perbedaan berdasarkan agama. Misalnya, hampir separuh umat Islam di Thailand (52%) mengatakan keharmonisan dengan orang lain lebih penting daripada kebebasan berpendapat, hanya 38% umat Buddha di Thailand yang bersikap sama.
Pihak berwenang Thailand mengatakan undang-undang lese-majeste yang ketat, yang menjadikan penghinaan terhadap raja dan keluarga dekatnya dapat dihukum 3 hingga 15 tahun penjara, diperlukan karena lembaga tersebut menentukan definisi sebagai "orang Thailand".
Kekerasan terhadap Jurnalis di Jantung Eropa
Eropa dikejutkan dengan serangan penembakan terhadap Peter R. de Vries, seorang jurnalis Belanda. Meski Uni Eropa punya reputasi bagus dalam kebebasan pers, namun terkadang para jurnalis jadi korban serangan kekerasan.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Amsterdam syok berat
Peter R. de Vries, wartawan kriminal terkemuka ditembak orang tidak dikenal saat meninggalkan studio televisi Selasa, 6 Juli 2021 malam di pusat kota Amsterdam, Belanda. Beberapa indikasi menunjukan sindikat kriminal terorganisir menjadi otak penyerangan tersebut. Dua orang tersangka diamankan beberapa jam setelah penembakan.
Foto: Evert Elzinga/ANP/picture alliance
Wartawan kriminal terkemuka di Belanda
De Vries telah meliput kejahatan terorganisir di Belanda selama bertahun-tahun. Sebelum aksi penembakan, dia jadi penasihat pribadi seorang saksi mahkota yang akan bersaksi terhadap seorang pimpinan organisasi kriminal besar. Saudara dan pengacara saksi mahkota tersebut telah dibunuh beberapa tahun lalu. Saat ini De Vries masih berjuang antara hidup dan mati di sebuah rumah sakit.
Foto: ANP/imago images
Harapan dan ketakutan
“Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi di jantung Eropa!” Begitu reaksi dari masyarakat Belanda atas kejadian penembakan Selasa malam tersebut. Sejumlah orang terlihat di TKP meninggalkan bunga dan ucapan belasungkawa. Sayangnya, de Vries bukanlah jurnalis pertama yang menjadi korban pembunuhan berencana di benua Eropa.
Foto: Koen Van Weel/dpa/picture alliance
Negara tempat demokrasi dilahirkan
Jurnalis Yunani, Giorgos Karaivaz dibunuh di selatan kota Athena pada 9 April 2021. Dua orang bermasker yang mengendarai sepeda motor menembak wartawan kriminal senior ini sebanyak 10 kali. Sebagai wartawan berpengalaman, Karaivaz telah meliput sejumlah kasus korupsi yang melibatkan otoritas Yunani dan sindikat kriminal terorganisir.
Daphne Caruana Galizia (53), seorang jurnalis investigasi yang meliput kasus korupsi dalam bidang politik dan bisnis di Malta, tewas setelah mobilnya diledakkan menggunakan bom yang dipicu dari jarak jauh 16 Oktober 2017. Pelakunya divonis 15 tahun penjara setelah mengakui perbuatannya. Namun, dalang kejahatan, seorang pebisnis terkenal masih diadili untuk pembunuhan itu.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Klimkeit
Dibunuh di kediaman pribadi
Jurnalis investigasi Slovakia, Jan Kuciak dan tunangannya, Martina Kusnirova ditembak pembunuh bayaran 21 Februari 2018. Jurnalis berusia 28 tahun ini memfokuskan liputannya pada sindikat kriminal terorganisir, pengemplang pajak dan korupsi di kalangan politisi dan penguasa Slovakia. Pembunuhannya mengejutkan Eropa dan berujung dengan pengunduran diri Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico.
Foto: Mikula Martin/dpa/picture alliance
Bebaskan media!
Lukasz Masiak, jurnalis Polandia, dipukuli hingga tewas di pusat boling, 2015 silam. Masiak meliput kasus korupsi, bisnis narkoba dan penangkapan sewenang-wenang. Pemerintah Polandia dikritik karena makin membatasi kebebasan pers. Warga Polandia memprotes aturan baru pemerintah di Warsawa untuk terus membatasi kebebasan pers.
Foto: Attila Husejnow/SOPA Images/ZUMAPRESS.com/picture alliance
Saya adalah Charlie
12 orang dibunuh dalam serangan teror di kantor majalah satire Prancis Charlie Hebdo, tahun 2015. Ratusan ribu orang di seluruh dunia berdemonstrasi untuk kebebasan berbicara dan pers menggunakan tagar “Saya adalah Charlie”. Pada November, jurnalis musik Guillaume Barreau-Decherf dibunuh saat serangan teroris di teater Bataclan, Paris yang tewaskan ratusan penonton.
Foto: picture-alliance/dpa
Jurnalis Turki diserang di Berlin
Jurnalis Turki di Jerman, Erk Acarer, pengkritik Presiden Recep Tayyip Erdogan, diserang oleh tiga orang tak dikenal di kediamannya pada 7 Juli 2021. Dalam Bahasa Turki, Acarer menceritakannya di Twitter: “Saya diserang menggunakan pisau dan dipukuli di rumah saya di Berlin.“ Tiga orang pelaku juga mengancam akan datang kembali kalau dia tidak berhenti melakukan reportase.
Foto: twitter/eacarer
Wartawan dengan pembatasan?
Bukan hanya kasus yang membahayakan nyawa wartawan yang ditakuti. Namun, sering wartawan yang dihambat saat bertugas, seperti oleh pengunjuk rasa yang murka, polisi atau pihak berwenang. Pada foto terlihat polisi antihuru-hara Prancis menghadang seorang pekerja pers saat demonstrasi menentang peraturan keamanan yang baru.
Foto: Siegfried Modola/Getty Images
10 foto1 | 10
Sementara pemerintah Kamboja membela diri dengan mengatakan, politisi oposisi dan surat kabar independen adalah ancaman terhadap perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah, menyusul perang saudara selama tiga dekade yang berakhir pada akhir 1990-an.
Pemerintahan komunis di Vietnam dan Laos menegaskan, komunitas nasional harus diutamakan lebih dari hak individu untuk menyatakan pendapat.
Pemerintah Singapura, negara multietnis dan multiagama yang pernah mengalami "kerusuhan rasial" pada era 1960-an, telah memperluas cakupan undang-undang "ujaran kebencian" dalam beberapa tahun terakhir.
"Di Singapura, kami mengambil tindakan, baik terhadap ujaran kebencian maupun ujaran yang menyinggung. Dan kami tidak mengizinkan ras, atau agama apa pun diserang atau dihina oleh siapa pun," kata Menteri Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam, dalam pidatonya tahun 2021.
"Bagi kami, kebebasan berpendapat berhenti pada batas menyinggung orang lain," tambahnya.
Namun, para kritikus mempertanyakan, apakah undang-undang "ujaran kebencian" yang keras di Asia Tenggara dan undang-undang lainnya benar-benar membela "harmoni" sosial.
Sebuah laporan tahun 2021 dari Asia Centre, sebuah kelompok penelitian yang berbasis di Thailand, mengatakan pemberlakuan "harmoni" dan undang-undang lainnya "melanjutkan dominasi mayoritas etno-agama, membatasi (kebebasan beragama atau berkeyakinan) dan memberangus adanya keluhan dari komunitas minoritas."
"Pemerintah yang dominan secara etno-religius di kawasan ini masih terus mengeksploitasi perpecahan masyarakat demi keuntungan politik," tambah laporan itu.