Cina dan Indonesia, sama-sama memulai nafas kehidupan yang damai sejak 1949, namun kini begitu beda rupa. Cina sudah bisa membuat dan menjual produk teknologinya, sedangkan kita masih membeli dan menggerutuinya.
Iklan
Masih teringat, sekitar 10 tahun lalu ketika seorang guru saya bercerita tentang kebangkitan teknologi Cina. Katanya, penduduk desa Negeri Tirai Bambu tersebut sudah mampu merakit flash disk, perangkat keras penyimpanan data yang saat itu digadang-gadang akan menggantikan disket, sebagai bagian industri rumahan. Ucapannya itu merespon iklan yang dibuat Telkom tentang internet yang masuk ke sebuah sekolah di daerah pedesaan Indonesia, dengan penduduknya yang masih lugu-lugu. Entah ucapannya sungguh-sungguh atau sekedar perbandingan hiperbola untuk menggugah kami murid-muridnya.
Satu dekade berlangsung, kebangkitan tersebut menjelma menjadi keperkasaan. Cina tengah menjadi penantang terkuat dalam produksi produk-produk teknologi dunia yang selama ini didominasi Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang. Di banyak negara, produk-produk teknologi Cina mulai melakukan penetrasi dagang secara halus, bahkan blak-blakan, untuk merebut pasar dari pesaing-pesaingnya yang telah begitu mapan.
Agresivitas Cina ini bisa menjadi bencana atau karunia, tergantung yang terlibat. Namun bagi Donald Trump, Presiden Amerika bermulut besar yang ucapan-ucapan tak terprediksinya pasti sering membuat panas dingin penasihat-penasihat ekonominya, Cina merupakan ancaman. Misalnya saja, pada 22 Maret 2018 lalu ia meneken kebijakan untuk menaikkan bea masuk sebesar 25% terhadap sekitar 1.300 produk-produk Cina, yang bernilai US$50 miliar (Rp687 triliun) per tahun.
Alasannya, karena barang-barang Cina yang diimpor Amerika jumlahnya lebih banyak daripada sebaliknya, khususnya barang-barang elektronik, suku cadang pesawat terbang, panel surya, sampai mesin cuci. Neraca perdagangan Amerika defisit. Namun Cina menolak tunduk terhadap kesemena-menaan bea masuk Trump tersebut. Bahkan mereka siap untuk melakukan perang dagang dengan Amerika, sesuatu yang banyak pakar perkirakan akan lebih merugikan Amerika.
Dalam konteks dunia, kepercayaan diri Cina untuk memasarkan produk-produk teknologinya tengah melangit, sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja oleh negara-negara lain. Lalu, bagaimana dengan reaksi negara-negara target pasarnya, terutama kelompok negara berkembang seperti Indonesia?
Kekuatan Ekonomi Global Masa Depan
Cina diprediksi akan merajai perekonomian dunia tahun 2050 menurut Economist Intelligence Unit. Tapi kiprah negeri tirai bambu itu bukan temuan yang paling mengejutkan, melainkan posisi Indonesia.
Foto: Fotolia
1. Cina
Negeri tirai bambu ini berada di peringkat kedua daftar negara sesuai besaran Produk Domestik Brutto-nya (PDB). Cina tahun 2014 berada di posisi kedua, di bawah AS dengan 11,212 Triliun Dollar AS. Tapi pada tahun 2050, Economist Intelligence Unit memprediksi Cina akan mampu melipatgandakan PDB-nya menjadi 105,916 Triliun Dollar AS.
Foto: imago/CTK Photo
2. Amerika Serikat
Saat ini AS masih mendominasi perekonomian global. Dengan nilai nominal PDB yang berada di kisaran 17,419 Triliun Dollar AS per tahun, tidak ada negara lain yang mampu menyaingi negeri paman sam itu. Tapi untuk 2050 ceritanya berbeda. AS akan turun ke peringkat dua dengan nilai PDB 70,913 Triliun Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa/J. F. Martin
3. India
Tahun 2050 India akan menikmati pertumbuhan konstan di kisaran 5%, menurut studi EIU. Saat ini raksasa Asia Selatan ini bertengger di posisi sembilan daftar raksasa ekonomi terbesar dunia dengan nilai PDB 2 Triliun Dollar AS. Tapi 35 tahun kemudian India akan merangsek ke posisi ketiga di bawah AS dengan pendapatan nasional sebesar 63 triliun Dollar AS.
Foto: Reuters/N. Chitrakar
4. Indonesia
Perekonomian Indonesia membaik setekah tiga kali bangkrut menyusul krisis moneter berkepanjangan. Saat ini Indonesia mencatat nilai nominal PDB sebesar 895 Miliar Dollar AS dan berada di peringkat 16 dalam daftar kekuatan ekonomi global. Tahun 2050, Econimist Intelligence Unit memproyeksikan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dengan PDB sebesar 15,4 Triliun Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa
5. Jepang
Serupa AS, Jepang terpaksa turun peringkat di tahun 2050. Saat ini negeri sakura itu masih bertengger di posisi ketiga kekuatan ekonomi terbesar sejagad, dengan perolehan PDB sebesar 4,6 Triliun Dollar AS. 35 tahun kemudian, Jepang digeser oleh Indonesia dan terpaksa melorot ke peringkat lima dengan 11,7 Triliun Dollar AS.
Foto: AP
6. Jerman
Perekonomian Jerman banyak ditopang oleh sektor riil yang didominasi oleh industri padat karya. Tapi menurut EIU, justru sektor inilah yang akan banyak menyusut di masa depan. Jerman diyakini bakal kehilangan seperlima tenaga kerjanya pada 2050. Hasilnya, Jerman yang saat ini di posisi keempat dengan PDB sebesar 3,8 Triliun, akan merosot ke posisi enam dengan perolehan 11,3 Triliun Dollar AS.
Foto: imago/Caro
7. Brasil
Dari semua negara di posisi sepuluh besar, cuma Brasil yang tidak berubah. Saat ini raksasa Amerika Selatan itu berada di posisi tujuh dengan nominal PDB sebesar 2,3 Triliun Dollar AS. Di posisi yang sama Brasil bakal mencatat perolehan sebesar 10,3 Triliun Dollar AS tahun 2050.
Foto: picture-alliance/dpa/W. Rudhart
7 foto1 | 7
Tidak Lagi Murahan
Ada ucapan yang bunyinya kira-kira seperti ini: "Tuhan menciptakan langit dan bumi, sisanya dibuat oleh orang-orang Cina”. Entah sejak kapan kalimat guyonan tersebut menjadi viral, namun benar rasanya bahwa benda-benda dengan label ‘Made in China' kini dapat ditemukan di mana-mana, dari raket nyamuk sampai satelit yang mengorbit di luar angkasa.
Melihat sejarahnya, setidaknya pada abad ke-3, Kekaisaran Romawi sudah berkontak dengan Cina Dinasti Han. Selanjutnya, barang-barang Cina, terutama porselen dan sutra, dihargai tinggi di peradaban-peradaban Barat turunan Romawi. Ekspor Cina begitu intens, namun Cina dapat dikatakan sedikit sekali mengimpor barang-barang dari luar negeri. Berabad-abad kemandirian ekonomi Cina ini baru goyah ketika Inggris, dengan jalan perang selama 1839-1860, memaksa Cina mengimpor opium sebagai balasan atas ekspor tehnya yang membengkak dan membuat neraca perdagangan Inggris merosot.
Di Indonesia masa kini, ceritanya sedikit berbeda. Sekitar akhir 2017 lalu saya memutuskan untuk membeli smartphone baru, mengganti Nokia Lumia yang sudah lima tahun dipakai. Awalnya, saya ingin membeli kembali merek ikonik asal Finlandia tersebut. Namun, ternyata merek Nokia sudah turun pamor, baik dalam perangkat keras maupun lunaknya, oleh merek-merek mapan asal Korea dan Jepang. Dan saya terkejut mengetahui bahwa merek-merek Cina kini sudah mendapat tempat yang terhormat di kalangan pengguna smartphone Indonesia.
Menara Ajaib Ubah Polusi Menjadi Perhiasan
Sebuah proyek inovatif karya desainer Belanda mengubah kabut asap menjadi perhiasan berharga. Dengan proyek tersebut ia ingin menciptakan ruang publik berudara bersih di tengah kota yang pekat dengan polusi udara
Foto: Derrick Wang
Modern dan Futuristik
Menara anti polusi yang didesain Daan Roosegaarde terlihat modern dan futuristik. Kendati terkesan sederhana, benda ajaib ini mampu membersihkan udara di sekelilingnya, menjadi semacam oase udara bersih di tengah kabut asap.
Foto: Derrick Wang
Filter Ajaib
Di dalamnya terdapat filter udara berteknologi teranyar yang sangat efisien. Selain hemat energi, filter ini juga mampu menyaring partikel terkecil sekalipun. Hasilnya udara yang ada di sekitar menara 75% lebih bersih ketimbang udara kota.
Foto: Derrick Wang
Hak Bernafas
Satu menara saja tidak cukup buat membersihkan udara seisi kota. Gagasan Roosegaarde sebenarnya cuma menyulap ruang publik menjadi kawasan berudara bersih di kota-kota yang berpolusi tinggi seperti Beijing.
Foto: Laard Buurman
Limbah di Udara
Roosegaarde meyakini masa depan tanpa sampah. Sebab itu ia mencari cara untuk mendaur ulang partikel polusi yang tersaring oleh menara udara buatannya.
Foto: Studio Roosegaarde
Sampah Menjadi Emas
Roosegaarde akhirnya memutuskan untuk menyulap partikel kotor menjadi sesuatu yang berharga. Dengan mengolah limbah lewat proses bertekanan tinggi selama 30 menit dan menyelubunginya dengan kaca akrilik, Roosegaarde berhasil memproduksi perhiasan berharga, semisal "Smog Free Ring" ini.
Foto: Studio Roosegaarde
Visioner Urban
Roosegaarde tidak asing dengan gagasan inovatif untuk masa depan. Di Eindhoven, Belanda, ia merancang jalur sepeda bercahaya. Untuk itu ia menggunakan cat Fluoresensi yang menyerap energi matahari di siang hari dan bisa memendarkan cahaya selama 8 jam di malam hari.
Foto: Daan Roosegaarden/Heijmans
6 foto1 | 6
Maklum, sampai beberapa waktu lalu merek-merek Cina masih lekat dengan label abal-abal dan cepat rusak. Namun, kehadiran OPPO, Vivo, Xiaomi, Huawei, dan merek-merek lain seperti Meizu, Lenovo, ZTE, di pasar Indonesia beberapa tahun belakangan mengubahnya. Sejurus kemudian, smartphone Cina laris diulas dan dibeli, khususnya produk tipe kelas menengah. Rahasianya: spesifikasi perangkat berkualitas setara, dan harga yang terlewat murah.
Contohnya smartphone Xiaomi Redmi 5A yang diluncurkan pada 20 Desember 2017 lalu dengan bandrol Rp999.000 namun berspesifikasi setara dengan produk berharga dua sampai tiga jutaan dari merek-merek lain. Dalam penjualan kilat di peluncuran perdananya saja, perangkat tersebut ludes dalam waktu beberapa menit. Xiaomi agaknya menerapkan strategi bisnis "laku keras untung sedikit”, yang banyak orang mengatakannya sebagai stereotip khas pedagang-pedagang Cina. Setidaknya, di Indonesia strategi itu disambut meriah.
Belum lama,International Data Corporation (IDC)merilis laporan penjualan smartphone tahun 2017 keseluruhan. Total, 30,4 juta unit smartphone terjual di Indonesia. Lima besarnya ialah Samsung (31,8%), OPPO (22,9%), Advan (7,7%), ASUS (6,5%), vivo (6%), dan lainnya (25,1%). Samsung masih digdaya, namun gabungan seluruh merek Cina tersebut (jika ASUS yang asal Taiwan ikut dihitung), jumlah persentasenya sudah mengalahkan pabrikan asal Korea tersebut. Bahkan pada 2018 ini, merek-merek Cina diperkirakan akan makin membanjiri pasar smartphone di Indonesia.
Perubahan Dunia Dekade Mendatang
Apa jadinya politik ekonomi dunia satu dekade ke depan? Lembaga intelijen swasta Strategic Forecasting, Stratfor memprediksi tren 10 tahun mendatang. Kekuatan AS melemah, negara terkemuka lain alami laju penurunan.
Foto: Fotolia/Joachim Wendler
Rusia
Tidak ada pemberontakan besar-besaran, tapi Stratfor memperingatkan, melemahnya kontrol pemerintah pusat bisa menyebabkan kevakuman kuasa. Sanksi global, penurunan harga minyak, krisis mata uang, naiknya budget militer, meningkatnya perselisihan internal melemahkan Rusia. Rusia tidak akan secara resmi dipecah menjadi beberapa negara, tetapi kemungkinan terjadi selisih antar daerah semiotonom.
Foto: Fotolia/scaliger
AS menggunakan kekuatan militer untuk redam ancaman
Infrastruktur senjata nuklir Rusia tersebar di wilayah geografis yang luas. Jika terjadi disintegrasi politik, itu berarti akan terjadi kekosongan kontrol kekuasaan paling berbahaya di dunia. Dan AS akan mencari tahu apa yang harus dilakukan bahkan jika itu berarti pengiriman pasukan untuk mengamankan senjata, merebut kontrol dari pos-pos militer dan menjamin bahwa tidak ada rudal ditembakkan.
Foto: picture-alliance/dpa/Tass/D. Rogulin
Jerman akan hadapi masalah ...
Perekonomian Jerman bergantung pada sektor ekspor yang memetik manfaat dari liberalisasi perdagangan benua, yang diaktifkan melalui Uni Eropa dan mata uang Euro. Jika terjadi krisis Euro, maka negara ini ynag paling merasakan dampaknya. Konsumsi domestik tidak memberi pengaruh besar. Hasilnya adalah stagnasi ekonomi seperti Jepang.
Foto: picture alliance / dpa / H. Schmidt
Polandia akan menjadi salah satu pemimpin Eropa
Pusat pertumbuhan ekonomi dan pengaruh politik akan mengarah ke Polandia, kata laporan itu. Populasi Polandia tidak menurun seperti banyak terjadi di negara besar Eropa lainnya. Faktanya, Polandia akan makmur. Kepemimpinan di kawasan regional akan memperbesar prestise politik dan ekonomi negara itu, apalagi jika ditambah kemitraan strategis jangka panjang dengan AS.
Foto: Getty Images/AFP/D. Dilkoff
Akan ada empat bagian Eropa
Dalam 10 tahun ke depan, diprediksi 4 kawasan yang akan jadi semakin terasing satu sama lain: Eropa Barat, Eropa Timur, Skandinavia, dan Inggris. Mereka masih akan harus berbagi lingkungan yang sama, tetapi tidak akan sedekat sebelumnya. Uni Eropa bertahan, tapi hubungan ekonomi, politik, dan militer dipengaruhi hubungan multilateral bilateral atau terbatas di lingkup kecil dan tidak mengikat.
Foto: Imago
Turki dan AS menjadi sekutu dekat, untuk alasan yang tak terduga
Turki akan enggan untuk campur tangan dalam konflik di perbatasan, tetapi mau tidak mau harus melakukannya, demikian menurut ramalan Stratfor. Peningkatan kekuatan dan ketegasan Ankara terhadap tetangganya, membuat Turki enjadi mitra yang sangat diperlukan AS. Tapi Turki akan menginginkan sesuatu sebagai balasannya: garis pertahanan negara yang kuat dengan bantuan AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Jepang akan meningkatkan kekuatan angkatan laut di Asia
Jepang memiliki tradisi maritim dan sebagai sebuah negara kepulauan tergantung pada impor. Jepang memperkuat angkatan lautnya, karena Cina juga memperbesar kekuatan maritim di rute pelayaran Cina Timur, Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia, dimana Jepang memerlukan wilayah itu untuk perdagangan. Jepang juga tergantung pada Amerika Serikat untuk menjamin akses di wilayah-wilayah tersebut.
Foto: Reuters/T. Peter
Meredam Eskalasi Militer di Laut China Selatan
Kekuatan regional akan memutuskan sesuatu agar sengketa Laut Cina Selatan yang tidak menyebabkan eskalasi militer, tapi sengketa itu masih akan menunjukan gejala dinamis. Tiga pemain lama akan muncul. Rusia, dengan kekuatannya menurun, akan semakin kehilangan kemampuan untuk melindungi kepentingan maritim. Cina dan Jepang keduanya akan berusaha keras mempertahankan wilayah sengketa.
Foto: Reuters
Akan ada 16 mini-Cina
Ekonomi China akan melambat dan pertumbuhan kapasitas produksi akan mencapai garis datar. Manufaktur Cina akan bermigrasi ke 16 negara berkembang. Meksiko, Nikaragua, Republik Dominika, Peru, Ethiopia, Uganda, Kenya, Tanzania, Bangladesh, Myanmar, Sri Lanka, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, dan Indonesia bisa meningkatkan ekonomi selama dekade berikutnya karena lebih banyak pekerjaan manufaktur.
Foto: AFP/Getty Images/J. Eisele
Kekuasaan AS akan menurun
Dengan dunia yang lebih tidak teratur dan tak terduga selama 10 tahun ke depan, AS akan merespon bijaksana tentang bagaimana mengambil tantangan, daripada mengambil peran kepemimpinan aktif dalam memecahkan masalah dunia. AS akan lebih menahan diri dalam urusan global.
Foto: picture alliance/chromorange
10 foto1 | 10
Industri mobil pun tampaknya setali tiga uang. Merek-merek Jepang yang sudah mapan di Indonesia mulai diganggu oleh pabrikan Cina, Wuling. Strateginya serupa, mobil-mobil Wuling, seperti Confero dan Cortez, dibandrol murah namun berspesifikasi setara dengan mobil-mobil Jepang yang mahal. Sejauh ini, para mayoritas pengulas mobil ternama di Indonesia mengacungkan jempol kepada Wuling. Halangan terbesarnya mungkin adalah "brand minded” masyarakat terhadap mobil-mobil Jepang, namun Wuling dilaporkan sudah membuka sekira 50 gerainya di seluruh Indonesia untuk meyakinkan masyarakat akan keseriusan kehadiran mereka.
Pastinya, status quo merek-merek mobil Jepang berpotensi goncang. Mungkinkah dalam waktu dekat mobil-mobil Cina membanjiri pasar otomotif Indonesia layaknya perangkat smartphone mereka? Kemungkinannya cukup besar, dan bakal memaksa sang samurai tua untuk bereaksi agar tidak tersingkir kembali, seperti smartphone Sony mereka yang tergusur beberapa tahun lalu.
Inilah Pesawat Penumpang Buatan Cina
Sebagai bukti bahwa Cina adalah negara industri maju, pabrik pesawat terbang Comac presentasikan produk perdananya. Sebuah pesawat terbang dengan kapasitas 168 penummpang dengan daya jelajah lebih 5.000 km.
Foto: Reuters
Sebuah Tonggak Sejarah
Commercial Aircraft Corp. (COMAC) presentasikan pesawat penumpang C919 di Shanghai. Pesawat ini dirancang dan diproduksi sepenuhnya oleh insinyur dalam negeri. Sebuah tonggak sejarah bagi industri penerbangan Cina. Dengan kapasitas 168 penumpang dan daya jelajah lebih 5.500 km pesawat penumpang buatan Cina ini diharap mampu menyaingi produk yang sudah mapan seperti Airbus dan Boeing.
Foto: picture-alliance/dpa
Upacara "Roll Out" Megah
Sekitar 4.000 pejabat pemerintah dan tamu undangan hadir dalam upacara "roll out" perdana di dekat Pudong International Airport Shanghai. Pesawat sepanjang 39 meter ini ditarik ke hanggar tempat upacara yang dihias dengan dekorasi mewah dan megah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Produksi Terlambat
Pengembangan pesawat C919 yang bermesin ganda dimulai 2008. Rencananya penerbangan perdana digelar 2014 dan mulai terbang komersial 2016. Tapi target diundur karena kelambatan produksi. Pesawat diperkirakan akan beroperasi komersial paling cepat tahun 2019.
Foto: picture-alliance/dpa
Dukungan Luar Negeri
Walaupun pesawat C919 sepenuhnya "made in China", tapi masih banyak komponen penting seperti mesin dan navigasi avionik tetap dipasok perusahaan dari luar negeri atau perusahaan patungan barat dengan Cina.
Foto: picture-alliance/dpa
Mengincar Pasar Raksasa
Cina merupakan pasar raksasa industri penerbangan. Boeing memproyeksikan kebutuhan total pesawat penumpang sipil dalam dua Dekade mendatang akan bernilai lebih 800 milyar US Dollar. Boeing dan Airbus, dua pemain utama di sektor industri penerbangan terus mengincar pasar yang menggiurkan di Cina. Hingga celah pasar bisa ditutup produk dalam negeri, terdapat cukup waktu untuk meraup keuntungan.
Foto: Getty Images/ChinaFotoPress
Transformasi ke Teknologi Tinggi
Proyek pesawat penumpang ini merupakan wujud ambisi pimpinan Cina, untuk mengubah citra negerinya dari pabrik barang murah menjadi produsen produk teknologi tinggi. Pengembangan C919 adalah bagian dari rantai transformasi itu, yang diharap mendorong status Cina sebagai produsen barang bermutu tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eisele
Siap Berkomperisi?
Pesawat penumpang C919 juga diharapkan mampu bersaing di pasar lokal maupun regional melawan dua model yang sudah mapan: Airbus A320 dan Boeing 737. COMAC mengumumkan sudah mendapat order sebanyak 517 pesawat dari 21 pelanggan, nyaris semuanya maskapai penerbangan dalam negeri Cina.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eisele
Bisnis Raksasa
Roll Out pesawat penumpang buatan dalam negeri itu dilakukan setelah Airbus menandatangani kontrak pemesanan 100 pesawat A320 dan 30 pesawat A330 senilai 15,4 milyar Euro dengan mitra bisnis di Cina. Kontrak diteken saat kunjungan kanselir Jerman Angela Merkel belum lama ini ke Beijing.
Foto: Airbus S.A.S 2012
8 foto1 | 8
Menjanjikan Namun Waspada
Cina dan Indonesia, dua negara yang sama-sama memulai nafas kehidupannya yang damai sejak 1949 namun kini begitu berbeda rupa. Cina sudah bisa membuat dan menjual produk-produk teknologinya, sedangkan kita masih membeli dan menggerutuinya. Di mata konsumen, produk Cina yang murah memang begitu menggiurkan, namun pemerintah harus memikirkan sebuah regulasi tepat sasaran agar penetrasi ekonomi ini tidak diikuti dengan tekanan-tekanan politik yang merugikan negara.
Ambisi teknologi Cina di Indonesia memang begitu terasa, seperti polemik tender kereta cepat Jakarta-Bandung pada 2016 lalu yang akhirnya jatuh ke tangan Cina, dan diprotes Jepang. Sederhananya, ambisi politik ekonomi global Cina dan niatnya mendompleng hegemoni Barat wajib diwaspadai. Terlebih lagi, ketika kawasan Indonesia sudah diproyeksikan untuk ambil bagian dalam proyek One Belt One Road (OBOR), sebuah inisiatif perdagangan dan pembangunan ekonomi terkoneksi di Eurasia yang dimotori Cina.
Karenanya, sudah saatnya kita berhenti meremehkan produk-produk teknologi Cina dengan membabi buta. Juga, saya pribadi menganggap seruan-seruan peringatan akan ancaman-ancaman Cina yang dikemukakan secara gamblang oleh kelompok fundamentalis Indonesia tidak bersubstansi karena didasarkan atas emosi dan rasa benci, bukan dari keinginan untuk berkompetisi. Padahal, Cina memberikan pelajaran berharga: kembangkan teknologi sendiri meski dicaci, jika terbukti sukses maka orang-orang pasti akan mencari.
Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
@RahadianRundjan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Cina Sukses Ujicoba Pesawat Amfibi Terbesar Sejagad
Pesawat terbang amfibi terbesar sejagad "Kunlong" buktikan keunggulan teknologi dirgantara Cina. Pesawat AG600 ini merupakan bagian taktik militer Cina untuk dukung klaimnya atas kawasan Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/L.Xu
Terbang Perdana
Pesawat amfibi AG600 "Kunlong" ukurannya sebesar Boeing 737, dengan panjang badan 37 meter dan rentang sayapnya 38,8 meter. Pesawat sukses terbang perdana selama satu jam pada 24 Desember 2017 dari bandara Zhuhai di provinsi Guangdong yang dekat kawasan Laut Cina Selatan. Sejauh ini sudah ada 17 pesanan buat pesawat amfibi terbesar ini.
Foto: Getty Images/VCG
Pesawat Amfibi Terbesar Sejagad
Cina mengklaim "Kunlong" sebagai pesawat amfibi terbesar sejagad. Sejatinya ada pesawat amfibi lain yang lebih besar yakni Spruce Goose, dengan panjang badan 67 meter dan rentang sayap 97 meter. Namun pesawat milik milyarder Howard Hughes itu hanya terbang satu kali selama satu menit pada 1947 dan langsung dipensiunkan.
Foto: Reuters
Pesawat Militer Sekaligus Sipil
AG600 dikembangkan selama 8 tahun oleh Aviation Industry Corporation of Cina.Media pemerintah melaporkan, pesawat amfibi terutama akan digunakan buat kepentingan sipli, seperti pemadaman kebakaran hutan dan SAR maritim. Tapi diyakini pesawat ini terutama untuk mendemonstrasikan keberadaan militer Cina dalam sengketa rebutan kawasan Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters
Targetnya: Laut Cina Selatan
Indikasinya amat jelas bahwa AG600 adalah proyek ambisius Cina terkait sengketa wilayah. Sebuah organisasi "think tank" Amerika Serikat melaporkan baru-baru ini, bahwa Beijing terus membangun infrastruktur angkatan laut dan udara di beberapa pulau karang di Laut Cina Selatan. Sejumlah negara tetangga yang terlibat sengeketa kawasan menyatakan cemas dengan ujicoba pesawat amfibi terbesar itu.
Foto: picture alliance/AP Photo
Modernisasi Militer
Sukses terbang perdana AG600 "Kunlong" membuktikan keberhasilan modernisasi militer Cina. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), melaporkan Cina menganggarkan 215 milyar US Dolar untuk militernya pada 2016. Sebagai perbandingan, Idia hanya menyiapkan anggaran militer senilai 56 milyar Dolar dan Jepang sekitar 46 milyar US Dolar. Shamil Shams (as/ap)