Mengapa Pemerkosaan Dikutuk Tapi Sunat Perempuan Tidak?
Tunggal Pawestri25 Mei 2016
13 juta anak perempuan, disentuh vaginanya, ditandai, dilukai dengan sengaja dan tentu saja tanpa persetujuannya. Inilah praktik sunat perempuan di Indonesia yang menjadi keprihatinan Tunggal Pawestri dalam opininya.
Iklan
Dua bulan belakangan ini perhatian kita tercurah pada persoalan kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak. Begitu mengerikan. Beberapa diantaranya dihabisi nyawanya, dibunuh secara brutal. Tak ayal pegiat hak-hak perempuan dan anak berteriak, menggugat perlindungan negara terhadap perempuan dan anak serta penegakan hukum secara adil. Juga menuntut segera disahkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Dalam situasi seperti ini, sialnya ada juga politisi atau anggota dewan yang tiba-tiba jadi ahli isu kekerasan terhadap perempuan. Mereka sibuk mereka-reka apa penyebab terjadinya kekerasan seksual dengan bermodal pengetahuan terbatas sehingga malah kelihatan seperti ahli nujum. Alhasil, mereka menyodorkan jalan keluar yang bombastis semacam hukuman kebiri dan hukuman mati. Padahal jika ditanya sejauh mana mereka sudah melakukan fungsi pengawasan terhadap implementasi kebijakan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, sangat mungkin mereka membisu.
Sisi Gelap Sunat Perempuan di Indonesia
Apakah masih terjadi sunat perempuan di lingkungan Anda? Atau Anda sendiri mengalaminya? Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak di dunia yang melaksanakan praktik sunat perempuan. Dampaknya bisa amat fatal.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Indonesia terbanyak ketiga
Dari sekitar 200 juta perempuan dan bocah perempuan di dunia yang disunat, lebih dari separuhnya berasal dari hanya tiga negara: Mesir, Ethiopia dan Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/Unicef/Holt
Di bawah umur
Data UNICEF memaparkan, dari 200 juta perempuan di dunia yang disunat, sekitar 44 juta anak perempuan. Mereka yang disunat di bawah usia 14 tahun, terbanyak di tiga negara ini: Gambia, Mauritania dan Indonesia. Hampir separuh anak perempuan di Indonesia mengalami sunat perempuan.
Berbagai alasan
Praktik sunat perempuan di Indonesia masih tetap terjadi. Ada berbagai alasan dilakukan sunat, di antaranya: tradisi, agama, kebersihan, sampai menghindari penyakit, menghilangkan kepekaan seksual saat dewasa, dll.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tak ada manfaat
Dr. Artha Budi Susila Duarsa dari lembaga Studi Kependudukan dan Gender Universitas Yarsi menyebutkan, khitan bagi perempuan tak ada manfaatnya. Sebaliknya, karena dilakukan di area sensitif, malah bisa menimbulkan bahaya, seperti kematian, misalnya. Demikian dikutip dari kompas.com,
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Aturan pemerintah
Tahun 2010/2011, Menteri Kesehatan pun mengeluarkan aturan yang mengharuskan sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan. Tahun 2013, Kementerian Kesehatan melarang sunat perempuan. Tapi pada kenyataannya praktik sunat perempuan masih tetap berlangsung di masyarakat.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Bisa berakibat fatal
Sunat pada perempuan dapat menyebabkan sejumlah masalah fisik dan psikologis.WHO menyatakan, dalam beberapa kasus, perempuan meninggal kehabisan darah, pembengkakan, kena bakteri, sakit saat haid, sakit saat seks, infeksi saluran kemih, bahkan kematian. Tahun 2013, di Mesir, seorang bocah perempuan meninggal dunia usai disunat.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Berbagai jenis sunat perempuan
World Health Organization (WHO) membagi sunat perempuan dalam 4 jenis: 1. Memotong seluruh klitoris, 2. Memotong sebagian klitoris, 3. Menjahit atau menyempitkan mulut vagina, 4. Menindik/menggores jaringan di sekitar lubang vagina.
Salah satu bentuk kekerasan seksual
Para aktivis perempuan menentang praktik sunat perempuan yang dianggap melukai korban secara fisik dan mental. Komnas Perempuan mengidentifikasi sunat perempuan sebagai bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan.
Foto: Reuters/S. Modola
8 foto1 | 8
Sesungguhnya, di saat yang hampir bersamaan dengan maraknya pemberitaan media mengenai rentetan kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan dan anak, salah satu badan PBB untuk urusan anak atau UNICEF pada bulan Februari lalu merilis sebuah laporan yang amat mengejutkan. Separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta anak di Indonesia pernah disunat. Bisa bayangkan? 13 juta anak perempuan, disentuh vaginanya, ditandai, dilukai dengan sengaja dan tentu saja tanpa persetujuannya.
Sungguh sulit dinalar, jika kita semua bisa begitu marah terhadap kasus pemerkosaan yang menimpa anak-anak perempuan, mengapa kita tidak marah dengan sunat perempuan? Upaya menundukkan perempuan dengan melakukan kekerasan terhadap organ seksualnya
Sunat perempuan bukan tindakan medis
Harus diakui, meski sering kebingungan sendiri, pemerintah melalui pejabat terkait di departemen kesehatan sudah berupaya untuk menekan angka praktik sunat ke anak perempuan. Mereka paham betul bahwa melakukan sunat perempuan bukan sebuah tindakan medis. Jika semua tindakan medis mengenal prosedur, maka untuk sunat perempuan, tidak ada. Bisa dibayangkan, apa yang dilakukan oleh petugas medis atau dukun terhadap vagina anak kita bisa bermacam-macam, sesuai kehendak mereka.!
Menjadi Perempuan tanpa Harus Disunat
Bagi kaum hawa, kebanyakan tradisi sunat berakar pada transisi untuk menjadi perempuan dewasa. Para gadis Maasai di Kenya beruntung dapat tumbuh sebagai perempuan tanpa harus melewati prosesi sunat.
Foto: Anja Ligtenberg
Prosesi untuk Menjadi Seorang Perempuan
Transformasi bagi seorang gadis Maasai untuk menjadi seorang perempuan terjadi dalam ritual selama tiga hari. Salah satu bagian ritual tersebut adalah tradisi sunat. Saat ini, upacara untuk menjadi perempuan masih tetap dipertahankan: dengan pesta, nyanyian serta tarian – namun tanpa praktek sunat.
Foto: Anja Ligtenberg
Pendidikan Gantikan Penderitaan
Sunat menjadi ritual yang mengerikan bagi para gadis Maasai. Dan merekapun harus menyimpan derita kengerian ini dalam diam. Sekarang, ritual tiga hari menjadi bentuk komunikasi yang terbuka dan juga pendidikan. Para gadis mendapatkan pelatihan tentang hak-hak seksual dan reproduksi.
Foto: Anja Ligtenberg
Belajar tentang Tubuh
Ritual baru yang digelar termasuk diantaranya mengajar para gadis tentang bagaimana anatomi tubuh seorang perempuan dan fungsinya. Informasi dasar ini – termasuk penyuluhan tentang sunat – merupakan kunci dalam memerangi praktek sunat. Penyuluhan ini disponsori oleh berbagai LSM seperti Amref Healt Africa.
Foto: Anja Ligtenberg
Malam Terakhir sebagai Gadis
Selain ‘ritual’ pendidikan, para gadis mempersiapkan pertunjukkan. Di malam sebelum puncak ritual, mereka berkumpul dalam apa yang disebut “Malam Lilin”, di mana mereka tampil menari dan menyanyi untuk pertama kalinya.
Foto: Anja Ligtenberg
Peran Pria
Lelaki muda Maasai yang nantinya akan menjadi tokoh masyarakat, dikenal sebagai Morans, berkumpul sebelum acara ritual berlangsung. Para pria muda memainkan peran penting dalam penerimaan upacara alternatif dalam ritual tiga hari ini.
Foto: Amref Health Africa Italy
Kebebasan untuk Memilih
Nice Lengera menjadi perempuan Maasai pertama yang terbebas dari sunat. Ia kini aktif memberikan penyuluhan bagi perempuan di desanya tentang hak kesehatan seksual. Satu upaya yang memerlukan dukungan dari para sesepuh desa. “Dan luar biasa mereka mendengar saya,” dikatakannya. “Saya membantu (mereka) untuk memahami pentingnya kondom, pengobatan penyakit seksual serta tes HIV.”
Foto: Amref Health Africa
Warna Berbeda, Arti Berbeda
Para gadis berdandan untuk ritual tiga hari ini: mereka mengenakan pakaian serta kalung istimewa. Bagi warga Maasai, warna memiliki arti tersendiri, mulai dari simbol keberanian, rezeki dan juga untuk kesuburan.
Foto: Anja Ligtenberg
Melindungi dari Hal Buruk
Setiap komunitas Maasai memiliki ritual khusus tersendiri dalam upacara selama tiga hari ini. Ritual tersebut diiantaranya adalah mencukur rambut gadis peserta upacara atau merias wajah mereka dengan cat. Ritual-ritual ini dimaksudkan untuk melindungi mereka dari nasib buruk.
Foto: Anja Ligtenberg
Menciptakan Ritual Individu
Melestarikan ritual budaya lama dengan mengadaptasikan ritus alternatif baru perlu dukungan para sesepuh desa. Di satu komunitas, upacara menuangkan campuran susu dan air di atas kepala gadis masih dipertahankan. Setiap komunitas menciptakan ritual khusus tersendiri, dan jika perlu bisa menyesuaikannya pada situasi baru.
Foto: Anja Ligtenberg
Hari Terakhir
Di hari terakhir upacara terdapat pidato serta pertunjukan tari. Semua ini merupakan bagian dari upacara syukuran bagi para gadis yang melangkah pada kehidupan baru mereka, yang disimbolkan dengan berjalan di bawah tongkat yang diusung warga.
Foto: Anja Ligtenberg
Misi Selesai
Ritual tiga hari ini diakhiri dengan pemberkatan setiap gadis dan pemberian sertifikat lulus pendidikan seksual. Sejak diperkenalkannya ritual alternatif ini pada tahun 2009, lebih dari 7.000 gadis Maasai telah menjalani prosesi menjadi perempuan tanpa harus disunat.
Foto: Anja Ligtenberg
11 foto1 | 11
Pada tahun 2006, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengeluarkan surat edaran yang melarang petugas kesehatan untuk melakukan sunat perempuan karena tidak terbukti ada manfaat medis. Namun surat edaran ini memicu reaksi dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehingga pada tahun 2007, LSM Majelis Ulama Islam mengeluarkan fatwa yang menetapkan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari syiar agama Islam dan menetapkan batas-batas sunat dalam hukum Islam.
Lalu pada tahun 2010, Menteri Kesehatan pun mengeluarkan permenkes nomor 1636 yang mengatur batas-batas tindakan yang dimaksud sebagai sunat perempuan dan penyelenggaraan sunat perempuan oleh tenaga kesehatan. Permenkes ini seperti mementahkan surat edaran yang pernah dibuat tahun 2006.
Tak pelak gelombang protes datang dari pegiat perempuan dan anak. Hingga akhirnya pada tahun 2014, dikeluarkan permenkes no 6 yang mencabut permenkes no 1636. Perubahan yang terus terjadi di level eksekutif terkait sunat perempuan ini menunjukkan satu hal, pemerintah masih belum ajeg, penuh keraguan dalam melihat persoalan ini meski badan kesehatan dunia atau WHO sudah dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan tak boleh dilakukan.
Apakah sunat perempuan bisa dihentikan?
Sudah banyak negara yang selama ini membasiskan pandangannya soal sunat perempuan pada hukum agama bergeser sikapnya mengenai sunat perempuan. Bahkan negara-negara yang dianggap paling sulit untuk mengubah pandangannya karena tingkat konservatif agama yang tinggi seperti Nigeria, Gambia pun akhirnya tahun lalu melarang sunat perempuan.
Di Mesir, sunat perempuan sudah dilarang sejak tahun 2008. Dalam satu dekade saja para pemuka agama yang tadinya mendukung, sekarang sudah tinggal sedikit saja. Ribuan petugas kesehatan, bekerja dengan ulama dan anak muda untuk mengampanyekan penghentian sunat perempuan. Prevalensi sunat perempuan di Mesir menurun drastis.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Akankah kita terus melanggengkan praktik kekerasan seksual bernama sunat perempuan ini? Kapan kita akan meninggalkan praktik primitif yang dilakukan selalu atas dalih agama dan tradisi ini? Jika kita murka terhadap praktik kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, semestinya kita juga patut murka terhadap praktik sunat perempuan. Dan jika pemerintah, parlemen atau politisi tidak memiliki sikap tegas terhadap sunat perempuan, maka kita tak usah percaya itikad mereka soal penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Penulis:
Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.
@tunggalp
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Mutilasi Genital di Afrika
Mutilasi organ kelamin perempuan sudah dilarang di banyak negara Afrika, tapi masih dipraktikan secara meluas. Misalnya di kalangan anak perempuan etnis Pokot di Kenya.
Foto: Reuters/S. Modola
Silet Pemotong
Seorang dukun wanita memegang silet, alat utama pemotongan bagian kelamin anak perempuan etnis Pokot di kawasan Rift Valley, Kenya. Tradisi mengerikan ini di kalangan sejumlah etnis di Afrika menandai peralihan dari masa kanak-kanak menjadi perempuan dewasa. Walaupun sejumlah negara melarang praktik ini, tapi tradisi tetap dilakukan secara luas terutama di pedesaan.
Foto: Reuters/S. Modola
Persiapan Ritual
Perempuan dan anak-anak etnis Pokot menghangatkan diri di api unggun menjelang ritual penyunatan perempuan. Di sejumlah etnis Afrika, perempuan yang tidak disunat, kecil peluangnya untuk menarik lelaki agar mengawininya. Di banyak kawasan, perkawinan merupakan satu-satunya jalan agar ekonomi rumah tangga tetap bergulir. Perempuan yang menolak tradisi ini biasanya akan dikucilkan oleh warga.
Foto: Reuters/S. Modola
Mustahil Melawan
Sebelum disunat anak perempuan dimandikan. Mereka juga tahu masalah yang dihadapi setelah disunat: gangguan kesehatan, kemandulan, infeksi kista atau kompilkasi saat melahirkan. Tradisi mutilasi kelamin perempuan dilaporkan dipraktikan di 28 negara Afrika, semenanjung Arab dan di Asia.
Foto: Reuters/S. Modola
Tegang Menunggu
Anak peremuan Pokot ini dengan tegang menunggu seremoni penyunatan. Kenya resmi melarang praktik mutilasi kelamin perempuan itu sejak 2011. Praktik penyunatan perempuan kebanyakan dilakukan tanpa bius dan alat yang steril. Dampak kesehatan sering harus diderita sepanjang hidup.
Foto: Reuters/S. Modola
Tidak Boleh Menangis
Seorang dukun sedang melakukan penyunatan yang berbahaya. Anak perempuan yang disunat tidak boleh menangis dan harus tunjukkan ketabahan. WHO melaporkan 10 persen anak perempuan tewas sesaat setelah disunat, 25 persen meninggal akibat dampak ikutannya. Tidak ada data statistik angka mutlak jumlah anak perempuan yang meninggal setelah penyunatan.
Foto: Reuters/S. Modola
Batu Berdarah Tanda Bukti
Bagian kelamin yang dimutilasi berbeda di tiap etnis. Etnis Pokot menjahit Vulva hingga rata. WHO mencatat tiga jenis mutilasi, yakni pemotongan Klitoris, pemotongan Klitoris dan Labia serta pemotongan Labia besar dan menjahit alat kelamin perempuan hingga tinggal bukaan kecil.
Foto: Reuters/S. Modola
Tubuh Diwarnai Putih
Ritual etnis Pokot adalah mewarnai tubuh anak perempuan yang hendak disunat dengan warna putih. Jika anak yang disunat meninggal akibat kehilangan darah atau infeksi, hal itu diterima sebagai nasib buruk. Berbagai penyuluhan tentang bahaya mutilasi kelamin perempuan sulit diterima warga yang kurang pendidikan. Kenya membentuk polisi pengawas aturan larangan sunat.
Foto: Reuters/S. Modola
Trauma Untuk Hidup
Anak yang mengalami Trauma setelah disunat diselimuti kulit binatang. Sekarang mereka siap untuk dikawinkan dan minta mahar tinggi. Banyak etnis menganggap perempuan yang disunat lebih higienis dan lebih reproduktif. Suaminya juga akan lebih setia. Realitanya kerusakan akibat mutilasi kelamin, sering tidak bisa dipulihkan lagi lewat operasi Plastik.
Foto: Reuters/S. Modola
Tradisi Berlanjut?
Anak perempuan ini sepanjang hidupnya tidak akan melupakan prosedur brutal menyakitkan itu. Apakah nanti setelah dia menjadi ibu, bisa atau bersedia melawan tradisi mengerikan itu? Tren justru menunjukkan kebalikannya. Kini main banyak praktik penyunatan dilakukan pada bayi perempuan, karena bayi lebih cepat sembuh dan tidak menunjukkan gejala kesakitan seperti pada anak remaja.