Mengapa “Poros Baru Asia” Vladimir Putin Berpotensi Gagal?
David Hutt
20 September 2022
Target "poros ke Asia" Presiden Rusia terlihat goyah setelah India dan Cina memberinya penolakan halus pada konferensi belum lama ini. Negara-negara ASEAN pun waspadai reaksi Barat jika lanjut berhubungan dengan Moskow.
Iklan
Saat berbicara di Forum Ekonomi Timur pada awal September lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin berkomitmen untuk memisahkan ekonomi negaranya dari negara-negara Uni Eropa yang telah menjatuhkan sanksi besar-besaran
"Peran dari ... negara-negara di kawasan Asia Pasifik telah meningkat secara signifikan," ungkap Putin pada forum yang diadakan di kota pelabuhan Pasifik Rusia, Vladivostok, seraya menambahkan bahwa Asia memiliki "peluang baru kolosal bagi rakyat kita."
Doktrin angkatan laut Rusia yang baru diperbarui, yang diterbitkan pada 31 Agustus, juga bertujuan untuk meningkatkan eksistensi militernya di Timur.
Iklan
Sanksi yang menusuk
Ekonomi Rusia telah sangat terpukul oleh sanksi internasional yang dijatuhkan awal tahun ini, meskipun pemerintah menganggap bahwa mereka hanya akan berkontraksi sebesar 3% pada tahun 2022.
"Ini adalah kebutuhan geopolitik dan keinginan tulus untuk memposisikan Rusia sebagai sumber energi, sumber daya, peralatan pertahanan, dan dalam beberapa kasus, teknologi nuklir untuk ekonomi Asia yang sedang berkembang," kata Philipp Ivanov, CEO dari sebuah kelompok cendekiawan, Asia Society Australia.
Poros lain yang gagal?
Para analis telah menyarankan bahwa poros terbaru Putin akan sama tidak berhasilnya dengan kecenderungannya ke arah Asia pada 2012 lalu, yang dijuluki kebijakan "Turn to the East” Moskow.
"Saya menyebut kegagalan lainnya, karena sekali lagi, Rusia tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada kawasan ini secara strategis atau ekonomi," kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations.
Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan Rusia perlu "bergerak ke jalur perdamaian" setelah menghadiri KTT regional di Uzbekistan pekan lalu. Putin telah secara terbuka mengakui bahwa Presiden Cina Xi Jinping memiliki "pertanyaan dan kekhawatiran" tentang perang.
Analis menganggap bahwa Moskow telah menjadikan dirinya lebih seperti "mitra junior" Beijing sejak invasinya ke Kyiv.
Bagaimana Perang Putin Mempengaruhi Ekonomi Dunia
Efek perang Rusia terhadap Ukraina dirasakan di seluruh dunia. Harga makanan dan bahan bakar meningkat di mana-mana. Di beberapa negara kerusuhan pecah akibat naiknya harga barang kebutuhan utama.
Foto: Dong Jianghui/dpa/XinHua/picture alliance
Belanja Semakin Mahal di Jerman
Konsumen di Jerman merasakan kenaikan biaya hidup. Konsekuensi dari perang di Ukraina dan sanksi terhadap Rusia mulai terasa. Pada bulan Maret, tingkat inflasi Jerman mencapai level tertinggi sejak 1981. Pemerintah Jerman ingin segera mengembargo batubara Rusia, tetapi masih memperdebatkan pelarangan impor gas dan minyak dari Rusia.
Foto: Moritz Frankenberg/dpa/picture alliance
Antrian Mengisi Bahan Bakar di Kenya
Antrian panjang mobil di SPBU Nairobi. Di Kenya, warga juga merasakan dampak perang di Ukraina. Bahan bakar kian mahal, dan pasokannya terbatas, belum lagi krisis pangan. Duta Besar Kenya untuk PBB Martin Kimani dalam sidang Dewan Keamanan menyatakan keprihatinannya, dan membandingkan situasi di Ukraina timur dengan perubahan yang terjadi di Afrika setelah berakhirnya era kolonial.
Foto: SIMON MAINA/AFP via Getty Images
Siapa Amankan Suplai Gandum ke Turki?
Rusia adalah produsen gandum terbesar di dunia. Karena larangan ekspor dari Rusia, harga roti sekarang naik di banyak tempat, termasuk di Turki. Sanksi internasional telah mengganggu rantai pasokan. Ukraina juga merupakan salah satu dari lima pengekspor gandum terbesar di dunia, tetapi perang dengan Rusia membuat mereka tidak dapat mengirimkan barang dari pelabuhannya di Laut Hitam.
Foto: Burak Kara/Getty Images
Harga Gandum Melonjak di Irak
Seorang pekerja tengah menumpuk karung-karung tepung tergu di pasar Jamila, pasar grosir terpopuler di Baghdad. Harga gandum telah meroket di Irak sejak Rusia menginvasi Ukraina, karena kedua negara tersebut menyumbang setidaknya 30% dari perdagangan gandum dunia. Irak tetap netral sejauh ini, tetapi poster-poster pro-Putin sekarang telah dilarang di negara itu.
Foto: Ameer Al Mohammedaw/dpa/picture alliance
Unjuk Rasa di Peru
Para demonstran bentrok dengan polisi di ibukota Peru, Lima. Mereka memprotes kenaikan harga pangan, satu di antara rangkaian kenaikan harga. Krisis semakin diperburuk dengan adanya perang di Ukraina. Presiden Peru, Pedro Castillo memberlakukan jam malam dan keadaan darurat untuk sementara. Tapi jika peraturan tersebut dicabut, protes akan terus berlanjut.
Foto: ERNESTO BENAVIDES/AFP via Getty Images
Keadaan Darurat di Sri Lanka
Di Sri Lanka, warga turun ke jalan untuk mengekspresikan kemarahan mereka. Beberapa hari lalu, ada yang mencoba menyerbu kediaman pribadi Presiden Gotabaya Rajapaksa. Memuncaknya protes terhadap kenaikan biaya hidup, kekurangan bahan bakar, dan pemadaman listrik, mendorong presiden mengumumkan keadaan darurat nasional, sekaligus meminta bantuan pengadaan sumber daya dari India dan Cina.
Warga di Skotlandia juga memprotes kenaikan harga makanan dan energi. Di seluruh Inggris, serikat pekerja telah mengorganisir demonstrasi untuk memprotes kenaikan biaya hidup. Brexit telah mengakibatkan kenaikan harga di banyak area kehidupan, dan perang di Ukraina makin memperburuk keadaan.
Foto: Jeff J Mitchell/Getty Images
Harga Ikan Goreng di Inggris Melonjak
Warga Inggris punya alasan untuk khawatir terkait hidangan nasional tercinta mereka "fish and chips". Sekitar 380 juta porsi goreng ikan dan kentang dikonsumsi di Inggris setiap tahun. Tetapi sanksi keras saat ini, berarti harga ikan putih dari Rusia, minyak goreng dan energi, semuanya melonjak naik. Pada Februari 2022, tingkat inflasi Inggris mencapai 6,2%.
Foto: ADRIAN DENNIS/AFP via Getty Images
Peluang Ekonomi bagi Nigeria?
Seorang pedagang di Ibafo, Nigeria, tengah mengemas tepung untuk dijual kembali. Nigeria telah lama ingin mengurangi ketergantungannya pada makanan impor, dan membuat ekonominya lebih tangguh lagi. Orang terkaya di Nigeria Aliko Dangot, baru-baru ini membuka pabrik pupuk terbesar di negara itu, dan berharap memiliki banyak pembeli. Apakah itu sebuah peluang? (kp/as)
Foto: PIUS UTOMI EKPEI/AFP via Getty Images
9 foto1 | 9
Sikap netral terkait Ukraina
Singapura menjadi satu-satunya negara Asia yang menjatuhkan sanksi sepihak mereka terhadap Rusia karena invasi Ukraina.
Di bawah poros pertama, ASEAN meningkatkan hubungannya dengan Rusia menjadi "kemitraan strategis" pada tahun 2018, empat tahun setelah Rusia "mencaplok" Krimea, bagian dari Ukraina. Namun, perdagangan ASEAN-Rusia hanya tumbuh menjadi sekitar $20 miliar pada tahun 2021 — naik dari $18,2 miliar pada tahun 2012.
Angka itu tidak ada artinya dibandingkan dengan perdagangan ASEAN dengan Cina senilai $878 miliar dan Amerika Serikat senilai $441,7 miliar pada tahun 2021. Perdagangan ASEAN dengan Taiwan bernilai hampir empat kali lipat dibandingkan dengan Rusia.
Sebagian besar negara Asia Tenggara telah berusaha untuk tetap netral terkait Perang Ukraina. Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Rusia telah menjadi penyedia utama peralatan militer ke wilayah tersebut sejak tahun 1990.
Energi yang berkembang pesat
Menurut Frederick Kliem, seorang peneliti dan dosen di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, tidak ada anggota ASEAN yang "melihat masa depan ekonomi mereka dengan Rusia" kecuali Myanmar di bawah kuasa junta militer.
Namun, satu bidang di mana Rusia bisa merangkul beberapa teman adalah dalam kerja sama energi, tambahnya. Banyak negara Asia memperdebatkan apakah akan mengejar pembangkit listrik tenaga nuklir, pada saat yang sama ketika investasi di sektor energi terbarukan mereka sedang besar-besarnya.
Pada Juli lalu, pemerintah Indonesia mengatakan sedang mempertimbangkan tawaran Rusia untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir. Pada bulan yang sama, NovaWind — anak perusahaan raksasa energi Rusia Rosatom — menandatangani kesepakatan dengan Vietnam untuk mengembangkan ladang angin 128MW, proyek luar negeri pertama mereka.