1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengapa Predator Seks Merajalela?

27 Maret 2017

Terbongkarnya jaringan pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak di Facebook memberi bukti, predator seks masih berkeliaran dan terus memangsa anak-anak di Indonesia. Opini Tunggal Pawestri.

Symbolbild Kindermissbrauch
Foto: Fotolia/Gina Sanders

Betapa buram wajah Indonesia belakangan ini, terutama bagi hak perempuan dan anak-anak. Pasalnya, kekerasan seksual terus menimpa dan mengancam perempuan dan anak-anak. Komnas Perempuan mencatat, angka kekerasan seksual di Indonesia selalu meningkat, baik yang terjadi di ranah domestik (rumah tangga) maupun ranah komunitas.

Penulis: Tunggal P.Foto: privat

Dua minggu lalu, tepatnya tanggal 14 Maret kita semua dilanda kemarahan hebat. Ternyata sejumlah predator anak telah beroperasi di Indonesia nyaris secara terbuka melalui sebuah fanpage di facebook.

Ironisnya fakta ini ternyata baru terungkap setelah Polda Metro Jaya menggelar konferensi pers mengenai tertangkapnya sejumlah pengelola fanpage "Official Loly Candy's 18+". Mereka menyebutkan bahwa fanpage ini digunakan sebagai "wadah untuk saling berbagi video maupun gambar yang memuat konten pornografi anak".  

Masih menurut keterangan pers Polda Metro Jaya, sejak terbentuk pada September 2016 lalu, anggota yang bergabung di grup predator seks anak ini sudah mencapai 7.479 orang. 150 anggota aktif di grup whatsapp. Mereka juga telah menyimpan konten pornografi anak yang terdiri dari 500 video dan 100 foto.

Di balik layar, kita patut berterima kasih kepada sejumlah ibu-ibu yang aktif bergerak mencoba membongkar kejahatan ini lalu berani melaporkannya kepada aparat. Jika tidak, mungkin kejahatan ini tidak terendus oleh aparat. Meski kemudian saya bertanya, untuk apa sekian banyak peralatan canggih yang dimiliki oleh kepolisian jika kejahatan semacam ini tak berhasil mereka temukan kalau saja tak ada laporan ibu-ibu (yang miskin peralatan berteknologi canggih) itu?

Puncak gunung es

Kasus ini tentu menambah panjang rangkaian eksploitasi seksual kepada anak seperti yang pernah dilansir oleh  ECPAT (Organisasi yang bergerak melawan eksploitasi seksual komersial anak) bahwa pada September 2016-Februari 2017 terdapat enam kasus pornografi dengan jumlah korban 157 anak.

Kasus yang baru saja terbongkar ini, saya yakin hanyalah suatu puncak gunung es. Karena sebagian besar pemangsa anak yang memanfaatkan internet, beroperasi di jaringan gelap (dark web) yang rumit dan anonim, yang melindungi para predator itu secara maksimal.

Menurut laporan NCMEC (National Center of Missing & Exploited Children) yang datanya dirilis oleh Bareskrim Polri, hanya sampai bulan Maret  2016, saja, sudah ada 96.824 IP (internet protocol) di Indonesia yang melakukan pengunduhan dan pengunggahan konten pornografi anak melalui media sosial. Pada tahun sebelumnya, yakni tahun 2015, terdapat 299.062 IP.

Betapa terkutuknya.

Siapapun yang membaca berita itu, saya yakin akan merasakan hal yang sama dengan saya: frustasi, sedih yang dalam dan kemarahan yang tak terkira. Saya akan tidak mengerti kalau mereka tidak merasa empati. Betapa jahanamnya ratusan ribu orang dewasa yang bisa dengan asik-asik saja mengunduh, mengunggah, saling berbagi konten pornografi anak. Dan bahkan yang paling biadab, saling berbagi kiat dalam menyalahgunakan anak-anak secara seksual: baik dari segi teknik seksual maupun teknik menjebak mereka.

Anak-anak yang mestinya mendapatkan perlindungan dan penghormatan hak, tapi malah dijadikan objek seksual oleh orang-orang dewasa. Membayangkannya saja selalu membuat saya ingin muntah.

Anggap saja ancaman hukuman telah diperberat, bahkan dengan hukum kebiri kimia yang justru tak manusiawi. Pelaku ditangkapi dan pelajaran agama di sekolah sudah ditambah berkali lipat dan kita sudah perbanyak doa. Namun apakah semua itu cukup untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual? Bisakah semua itu mencegah serangan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, dan memberikan perlindungan maksimal terhadap korban?

Maaf, saya tidak yakin. Atau lebih tepatnya: saya sama sekali tak percaya.

Diskriminasi hukum

Tatkala masyarakat masih terus berkutat dengan apa yang dianggap sebagai aib padahal menjadi korban. Ketika  budaya victim blaming atau menyalahkan korban masih mengakar kuat. Dan korban kekerasan seksual sulit sekali mendapatkan perlakuan yang benar, patut dan adil di depan penegak hukum, kita tidak akan pernah bisa keluar dari persoalan ini.

Korban akan memilih bungkam ketimbang harus menghadapi keluarga yang takut aib. Atau warga sekitar yang menyalahkan korban terkait pakaian atau perilaku yang tak sejalan dengan mereka. Dan juga bahkan para penegak hukum yang memperlakukan korban sebagai obyek dan tak mengindahkan prinsip perlindungan.

Yang diperlukan sekarang adalah kesungguhan dari para pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan pemuka agama, untuk menantang zona nyaman mereka sendiri. Caranya dengan membongkar konstruksi sosial mengenai model relasi gender, ketubuhan dan seksualitas melalui diskusi terbuka. Atau lewat pendidikan komprehensif mengenai gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Jika tidak, maka pemahaman keliru mengenai maskulinitas akan selalu mengemuka dan melemahkan posisi perempuan dan anak-anak. Dampaknya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak akan selalu dianggap sebagai sebuah jalan pintas penundukan, jalan untuk mendapatkan kontrol dan kuasa dari kaum lelaki –secara sadar maupun tak sadar.

Dalam situasi seperti ini, menunggu pemerintah dan aparat penegak hukum untuk membangun sebuah sistem pencegahan dan perlindungan yang menyeluruh dalam waktu dekat akan seperti menunggu godot. Sia-sia.

Politis dan tak lindungi korban

Memang pada bulan Oktober 2016, pemerintah mengesahkan UU Perlindungan Anak yang baru, dengan niat menerapkan hukuman lebih berat. Tetapi yang jadi tumpuan justru diterapkannya hukuman kebiri kimia kepada pelaku kekerasan seksual, yang terasa sebagai langkah dramatis dan sensasional  untuk sekadar  menenangkan histeria  kemarahan massa, dan bukan menjawab tantangan persoalan dengan langkah yang berdasar studi dan kajian komprehensif.

Sementara itu usulan kelompok perempuan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang memprioritaskannya perlindungan korban, tak juga selesai pembahasannya di parlemen. Begitu pula dengan usulan agar pendidikan gender, seksualitas dan kesehatan reproduksi masuk dalam kurikulum pendidikan, kandas dengan sukses di tangan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015.

Upaya kecil dari masyarakat untuk membantu dengan bersikap awas dan waspada terhadap potensi kejadian, atau dugaan kekerasan seksual dan melaporkannya mungkin masih bisa dilakukan, tapi pastilah akan sangat terbatas.

Sementara itu, korban akan terus berjatuhan dan akan muncul predator-predator seks lainnya yang siap menerkam perempuan dan anak-anak kita.

Apakah kita akan terus-menerus membiarkan wajah perempuan dan anak-anak, wajah Indonesia, suram dan buram? Bagi yang memiliki anak, ibu atau saudara perempuan, cobalah jawab pertanyaan itu sambil memeluknya dengan erat.

Penulis:

Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.

@tunggalp

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.