1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ramadan di Indonesia Jadi Bulan yang Diskriminatif?

Nadya Karima Melati
16 Mei 2018

Ramadan menjadi bulan penuh diskriminasi di Indonesia khususnya setelah memasuki masa reformasi. Apa alasannya? Simak opini Nadya Karima Melati.

Indonesien Ramadan in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Bulan Ramadan segera tiba, banyak ibu-ibu bersiap-siap berbelanja untuk persiapan menyambut bulan yang dianggap suci bagi umat Muslim. Banyak anak-anak bersuka cita karena waktu sekolah yang lebih singkat dan waktu main yang lebih panjang. Tapi tidak begitu yang dialami sebut saja A, sebagai penganut agama non-mayoritas, dia ikut berbelanja banyak kebutuhan menjelang bulan puasa khususnya makanan beku dan berbagai makanan instan.

Padahal, dengan keadaan hamil muda seharusnya dia lebih banyak menyantap makanan sehat dan sayur-sayuran. Tapi apa boleh buat katanya, selama bulan puasa banyak warung makan dekat kantor tempat ia biasa membeli makanan dilarang buka. Hal yang sama terjadi pada N sebagai perempuan yang beragama Muslim dan ikut berpuasa juga menyatakan kesusahan mencari tempat makan yang bisa diakses saat bulan Ramadan karena sebagai perempuan dia tidak berpuasa sebulan penuh. Ada saat-saat menstruasi yang menyebabkan N tidak berpuasa dan karena harus bekerja penuh waktu ia tidak sempat memasak dan warung makan yang bisa diakses saat bulan puasa sangat sedikit.

Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Ramadan menjadi bulan penuh diskriminasi di Indonesia khususnya setelah memasuki masa reformasi. Perempuan, lansia dan kelompok agama bukan Islam ‘dipaksa' mengikuti aturan yang mengikat laki-laki tanpa memperhitungkan kondisi mereka. Dan parahnya, peraturan ini dilakukan oleh negara. Setidaknya ada beberapa daerah menetapkan larangan warung makan berjualanpada waktu puasa. Penertiban dan penutupan paksa yang dilakukan oleh aparat maupun ormas sering dilakukan.

Pada tahun 2016 terdapat empat daerah yang dievaluasi atas kebijakan diskriminatif tersebut, daerah-daerah tersebut yakni: Serang, Sumenep, Banten dan Aceh. Otonomi daerah yang dikembangkan pada masa reformasi membuat berbagai daerah menerapkan peraturan yang berdasarkan populisme. Populisme dalam politik lekat dengan identitas kelompok tertentu dan menjelang tahun politik, agama menjadi komoditas utama untuk diperjual-belikan. Perempuan, lansia dan kelompok minoritas lain dipinggirkan sebagai dampak dari demokrasi yang berpihak pada mayoritas. Dan pada bulan Ramadan, adalah bulan di mana peminggiran itu bisa terlihat jelas.

Spiritualitas dan Relijiusitas

Pada prinsipnya, bulan Ramadan adalah satu bulan di mana umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa tidak hanya menahan makan dan minum tetapi hawa nafsu secara keseluruhan: Nafsu untuk makan dan minum, nafsu untuk berhubungan seks, nafsu untuk berkuasa. Mereka fokus dengan membentuk hubungannya spiritualnya dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah wajib dan sunnah dalam satu bulan yang spesial ini. Bulan Ramadan adalah bulan di mana manusia Muslim diwajibkan menekan egoisme dan lebih peduli pada keadaan sosial seperti ketimpangan ekonomi melalui bersedekah, melatih kemampuan sosial-personal dengan pengendalian emosi dengan berpuasa. Sayangnya ritual-ritual dalam bulan Ramadan yang sifatnya personal namun memiliki dampak sosial seperti ini dirayakan oleh negara. Negara, khususnya dengan kekuatan politik ingin ikut andil memanfaatkan momen bulan baik dengan menjadikan praktik beribadah sebagai komoditas politik.

Ada dua pemahaman soal spritualitas dan relijiusitas sepanjang sejarah agama dan masyarakat. Agama dan spiritualitas sering dilihat sebagai sebuah kesatuan dan juga pemisahan. Ide pemisahan konsep reliji dan spiritualitas dikenal setelah abad ke-19 di mana ideologi-ideologi modern muncul dan pembentukan kesadaran berbangsa dan bernegara. Agama tersingkir dan negara muncul berdasarkan prinsp-prinsip ideologi modern.

Penganut agama tidak punah ketika agama menjadi tidak lagi penting di masyarakat. Sebaliknya, mereka berusaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan perjalanan politik dunia. Pembaharuan-pembaharuan dalam agama Katolik, reformasi gereja dan modernisasi Islam hadir sebagai upaya agama menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah. Salah satu yang dilakukan adalah menghadirkan konsep sekularisme di mana negara berusaha memisahkan diri dengan agama karena agama dianggap lambat tanggap terhadap masyarakat yang terus berubah baik secara strukutur politik, sosial dan ekonomi. Agama, dianggap gagal menyesuaikan diri pada kemanusiaan dan kesetaraan dalam masyarakat yang global.

Kehadiran sekularisme dan memisahkan konsep antara spiritualitas dan relijiusitas. Sekularisme memberikan sarana agar agama bisa sintas dalam masyarakat modern dan umat yang menjalankannya dijamin oleh negara. Agama atau reliji dilihat sebagai suatu pola nilai, keyakinan, simbol, perilaku dan pengalaman yang terinstitusi, yang diarahkan pada spiritualitas, diketahui bersama dalam masyarakat, dan diturunkan melalui tradisi. Dalam kajian yang dilakukan Yulmaida Amir dan Diah Rini Lesmawat berjudul "Relijiusitas dan Spiritualitas: Konsep yang Sama atau Berbeda” membandingkan berbagai definisi dari kedua konsep tersebut. Religiusitas dianggap bersifat formal dan institusional karena merefleksikan komitmen terhadap keyakinan dan praktek-praktek menurut tradisi (keagamaan) tertentu, sementara spiritualitas diasosiasikan dengan pengalaman personal dan bersifat fungsional, merefleksikan upaya individu untuk memperoleh tujuan dan makna hidup.

Sedangkan dalam konteks sejarah Indonesia, negara sudah melakukan sekularisasi pada masa pemerintahan Orde Baru dan kemudian pada masa reformasi, kekuatan Islam yang mendapat semangat dari revolusi Iran menunjukan kekuatannya. Sebagai negara dunia ketiga yang pernah dijajah, Indonesia memberikan corak politik untuk menentang segala hal yang terindikasi menggunakan bahasa Inggris karena dianggap bagian dari Barat dan Kolonial kemudian mengadaptasi Islam dan warisan Pancasila sebagai ideologi yang bisa diadopsi secara resmi dan legal oleh negara. Dan melalui kebijakan otonomi daerah, Islam menjadi ideologi yang diimplementasikan dalam syariat.

 

Kegagalan Pembaharuan Islam oleh Negara

Syariat Islam sebagai unjuk kekuatan Islam dalam negara hadir melalui serangkaian peraturan daerah di bulan Ramadan yang mengembalikan semangat keagamaan yang usang dan tertinggal ratusan abad lalu. Islam dirujuk pada abad ke-7 ketika manusia yang dianggap esensial hanyalah laki-laki yang berasal dari kalangan bangsawan atau pedagang. Di luar kategori tersebut, perempuan, budak dan bukan Muslim dianggap bukan yang esensial, bukan subjek hukum.

Hukum Islam berupa syariat diterapkan dalam peraturan daerah di bulan Ramadan dibuat tanpa menyesuaikan konteks hari ini di mana semua manusia mempunya hak dasar yang sama untuk bertahan hidup, melanjutkan kehidupan dan penghargaan sebagai manusia. Gerakan kesetaraan gender, penghapusan perbudakan, dan ekonomi pasar bebas dipaksa untuk menyesuaikan hukum struktur masyarkat pada ratusan tahun yang lalu. Aturan warung makan dilarang buka pada bulan Ramadan, perubahan jam kerja kantor dan berbagai tunjangan dibuat dengan melihat tidak memperhitungkan perempuan sebagai warga negara dan juga subjek hukum. Pelarangan keluar malam atau pemaksaan penggunaan atribut keagamaan yang dikhususkan untuk perempuan adalah bentuk diskriminasi karena diterapkan pada hari ini di mana masyarakat sudah jauh berubah.

Dan agama Islam yang diadaptasi oleh negara Indonesia pada hari ini adalah agama dengan tafsir yang usang. Karena tafsir usang memiliki tiga ciri yakni sederhana, lekat dan kaku. Fatwa-fatwa yang populer dan menjadi buah bibir media adalah fatwa yang berciri seperti tiga hal tersebut dan dipopulerkan oleh Ulama Islam yang tercabut dari sejarah Islam secara global maupun lokal. Ambil contoh betapa populernya fatwa masuk neraka apabila minum kopi di Starbuck atau bagaimana poligami bisa menyebabkan perempuan masuk surga. Semakin parah ketika negara berusaha mengadaptasi fatwa kaku menjadi peraturan legal: pelarangan penjualan dan pengedaran minuman beralkohol,  hukuman bagi korban pemerkosaan dan prostitusi, pengucilan bagi orang-orang ateis.

Negara telah menggagalkan pembaharuan dalam Islam apabila tidak melihat dinamika kajian Islam. Karena hasil dari kajian-kajian Islam yang dilakukan oleh kebanyakan peneliti Islam bersifat kritik. Dan adaptasi agama pada negara adalah petaka. Relijiusitas yang bersetubuh dengan kekuasaan negara menjadi anti-kritik karena telah mendapat legitimasi ketuhanan. Kajian pembaharuan Islam yang dilakukan secara serius dan kompleks akan ditolak karena dianggap ‘tidak murni'. Sedangkan kini tafsir kolot yang diaadaptasi sebagai landasan peraturan negara pada hari ini buta pada tujuan kemanusiaan. Kita, sedang menjauhkan Agama dengan semangat pembaharuan yang menjunjung kesetaraan dalam masyarakat yang global.

Penulis:

Nadya Karima (ap/vlz)

Essais dan pengamat masalah sosial.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait