Ramadan di Indonesia Jadi Bulan yang Diskriminatif?
Nadya Karima Melati
16 Mei 2018
Ramadan menjadi bulan penuh diskriminasi di Indonesia khususnya setelah memasuki masa reformasi. Apa alasannya? Simak opini Nadya Karima Melati.
Iklan
Bulan Ramadan segera tiba, banyak ibu-ibu bersiap-siap berbelanja untuk persiapan menyambut bulan yang dianggap suci bagi umat Muslim. Banyak anak-anak bersuka cita karena waktu sekolah yang lebih singkat dan waktu main yang lebih panjang. Tapi tidak begitu yang dialami sebut saja A, sebagai penganut agama non-mayoritas, dia ikut berbelanja banyak kebutuhan menjelang bulan puasa khususnya makanan beku dan berbagai makanan instan.
Padahal, dengan keadaan hamil muda seharusnya dia lebih banyak menyantap makanan sehat dan sayur-sayuran. Tapi apa boleh buat katanya, selama bulan puasa banyak warung makan dekat kantor tempat ia biasa membeli makanan dilarang buka. Hal yang sama terjadi pada N sebagai perempuan yang beragama Muslim dan ikut berpuasa juga menyatakan kesusahan mencari tempat makan yang bisa diakses saat bulan Ramadan karena sebagai perempuan dia tidak berpuasa sebulan penuh. Ada saat-saat menstruasi yang menyebabkan N tidak berpuasa dan karena harus bekerja penuh waktu ia tidak sempat memasak dan warung makan yang bisa diakses saat bulan puasa sangat sedikit.
Ramadan menjadi bulan penuh diskriminasi di Indonesia khususnya setelah memasuki masa reformasi. Perempuan, lansia dan kelompok agama bukan Islam ‘dipaksa' mengikuti aturan yang mengikat laki-laki tanpa memperhitungkan kondisi mereka. Dan parahnya, peraturan ini dilakukan oleh negara. Setidaknya ada beberapa daerah menetapkan larangan warung makan berjualanpada waktu puasa. Penertiban dan penutupan paksa yang dilakukan oleh aparat maupun ormas sering dilakukan.
Pada tahun 2016 terdapat empat daerah yang dievaluasi atas kebijakan diskriminatif tersebut, daerah-daerah tersebut yakni: Serang, Sumenep, Banten dan Aceh. Otonomi daerah yang dikembangkan pada masa reformasi membuat berbagai daerah menerapkan peraturan yang berdasarkan populisme. Populisme dalam politik lekat dengan identitas kelompok tertentu dan menjelang tahun politik, agama menjadi komoditas utama untuk diperjual-belikan. Perempuan, lansia dan kelompok minoritas lain dipinggirkan sebagai dampak dari demokrasi yang berpihak pada mayoritas. Dan pada bulan Ramadan, adalah bulan di mana peminggiran itu bisa terlihat jelas.
Ramadhan di Jerman
Bulan yang penuh perayaan. Satu kesempatan bagi warga Jerman untuk mengenal lebih dekat Islam dan pemeluknya.
Foto: picture-alliance/dpa
Bulan Suci
Bagi sekitar 4 juta warga Muslim Jerman, tahun ini tanggal 18 Juni 2015 merupakan awal bulan puasa. Bulan yang penuh dengan perayaan. Tradisi serta keyakinan mewarnai kehidupan sehari-hari pada bulan suci ini.
Foto: AP
Tantangan
Tahun 2015, bulan Ramadhan jatuh pada musim panas. Dengan durasi puasa lebih lama, sekitar 18 jam, menjadi satu perjuangan dan tantangan tersendiri.
Foto: picture-alliance/dpa
Waktu Berpuasa
"… dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar," tertera dalam surat al Baqarah 187, menandai dimulainya saat untuk berpuasa. Di Jerman, baru pada tahun 2008 organisasi-organisasi Muslim menyepakati untuk memakai metode yang seragam dalam menghitung awal dan lamanya berpuasa.
Foto: picture-alliance/dpa/dpaweb
Dialog
Banyak tenda yang dibangun khusus pada bulan Ramadhan, yang terbuka bagi siapa saja. Warga non Muslim berkesempatan untuk mengenal lebih dekat mengenai Islam atau puasa serta tradisi yang menyertainya, misalnya turut berbuka puasa bersama. Ini merupakan kesempatan bagi warga untuk berdialog.
Foto: picture-alliance/ dpa
Tradisi
Di kota-kota Jerman dengan komunitas Muslim yang besar, sejak dulu bulan Ramadhan merupakan satu kesempatan untuk mengenal tradisi Islam, terutama tradisi Turki. Seperti misalnya lewat Festival Ramadhan yang digelar di kota Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa
Pesta Manis
Setelah berpuasa selama sebulan penuh, warga Muslim Jerman pun patut merayakan kemenangan yang mereka raih. Terutama warga Turki, tiga hari lamanya mereka melangsungkan pesta, yang menurut tradisi Turki disebut Zuckerfest, Pesta Manis.
Foto: picture alliance/dpa
Perayaan
Di hari kemenangan, sekitar 1,5 milyar warga Muslim merayakan Idul Fitri di seluruh dunia. Juga di Jerman, pada hari tersebut, warga Muslim tumpah ruah di mesjid menyelenggarakan sholat Id, dilanjutkan dengan kunjungan kepada para kerabat dan teman.
Foto: picture-alliance/dpa
7 foto1 | 7
Spiritualitas dan Relijiusitas
Pada prinsipnya, bulan Ramadan adalah satu bulan di mana umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa tidak hanya menahan makan dan minum tetapi hawa nafsu secara keseluruhan: Nafsu untuk makan dan minum, nafsu untuk berhubungan seks, nafsu untuk berkuasa. Mereka fokus dengan membentuk hubungannya spiritualnya dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah wajib dan sunnah dalam satu bulan yang spesial ini. Bulan Ramadan adalah bulan di mana manusia Muslim diwajibkan menekan egoisme dan lebih peduli pada keadaan sosial seperti ketimpangan ekonomi melalui bersedekah, melatih kemampuan sosial-personal dengan pengendalian emosi dengan berpuasa. Sayangnya ritual-ritual dalam bulan Ramadan yang sifatnya personal namun memiliki dampak sosial seperti ini dirayakan oleh negara. Negara, khususnya dengan kekuatan politik ingin ikut andil memanfaatkan momen bulan baik dengan menjadikan praktik beribadah sebagai komoditas politik.
Ada dua pemahaman soal spritualitas dan relijiusitas sepanjang sejarah agama dan masyarakat. Agama dan spiritualitas sering dilihat sebagai sebuah kesatuan dan juga pemisahan. Ide pemisahan konsep reliji dan spiritualitas dikenal setelah abad ke-19 di mana ideologi-ideologi modern muncul dan pembentukan kesadaran berbangsa dan bernegara. Agama tersingkir dan negara muncul berdasarkan prinsp-prinsip ideologi modern.
Penganut agama tidak punah ketika agama menjadi tidak lagi penting di masyarakat. Sebaliknya, mereka berusaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan perjalanan politik dunia. Pembaharuan-pembaharuan dalam agama Katolik, reformasi gereja dan modernisasi Islam hadir sebagai upaya agama menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah. Salah satu yang dilakukan adalah menghadirkan konsep sekularisme di mana negara berusaha memisahkan diri dengan agama karena agama dianggap lambat tanggap terhadap masyarakat yang terus berubah baik secara strukutur politik, sosial dan ekonomi. Agama, dianggap gagal menyesuaikan diri pada kemanusiaan dan kesetaraan dalam masyarakat yang global.
Ramadan di Jerman: Air Putih Pun Serasa Es Dawet
Mulai dari "bablas" sahur, buka puasa, sampai terlewat halte bis: inilah beragam suka duka warga Indonesia yang tinggal di Jerman di bulan puasa. Rata-rata yang mereka rasakan: rindu keluarga di tanah air.
Foto: DW/Y. Farid
Air putih serasa es dawet
Banyak hal ajaib yang dirasakan Andias Wira Alam saat berpuasa di Jerman. Jika puasa jatuhnya di musim panas --dimana puasa bisa 19 jam panjangnya--, air putih yang diminumnya saat buka serasa senikmat es dawet. Karyawan IT ini tinggal bersama istri dan dua putrinya di kota Bonn, Jerman. Tahun 2019 ini bulan puasa berlangsung di musim semi.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Diburu batas waktu tesis
Devi Fitria harus menjelaskan pada rekan kerjanya yang non-muslim mengapa ia stop makan, minum dan merokok pada bulan puasa. Kini rekannya lebih mengenal makna Ramadan. Devi berpuasa di tengah kesibukan kerja. Dulu saat kerja di sektor gastronomi, berat baginya berpuasa karena berjam-jam lamanya ia harus berdiri, menuang minuman dan menyiapkan makanan bagi tamu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Terhindar godaan tukang bakso
Kegiatan Anggi Pradita segudang: kuliah, kerja di kafe & layanan kebersihan, aktif dalam kegiatan mahasiswa dan budaya. Meski sibuk berat, sejak tahun 2011 tinggal di Jerman, Anggi tak pernah sakit ketika berpuasa. Walau durasi puasa lebih lama, Anggi lebih suka berpuasa di Jerman: “Di Jerman tak banyak godaan, misalnya godaan jajanan bakso yang banyak mangkal di jalanan Indonesia.“
Foto: DW/A. Purwaningsih
Silat jalan terus
Tiap Ramadan tiba, Joko Suseno, sering merindukan suasana “heboh“ di kampung halaman, silaturahmi dengan teman-teman atau organisasi lain dengan berbuka puasa bersama. Pendiri Perguruan silat di Jerman ini sempat tak puasa ketika sakit kepala mendera dan harus minum obat. Namun jarang sekali puasanya ‘bolong‘. Bahkan saat puasa, ia tetap mengajar silat di dua kota, Bonn dan Köln seperti biasa.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Begadang menanti sahur
Saat masih di Indonesia, Siti sangat senang bisa tarawih bersama kawan-kawan. Di Jerman, tiap bulan puasa tiba, awalnya kesepian. Namun kini--Siti yang sangat aktif mengorganisir kegiatan budaya dan sosial di Jerman-- senang melihat banyak orang di Jerman yang juga berpuasa. Ia dan kawan-kawan kadang ‘begadang‘ bersama menunggu sahur tiba.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tergoda perempuan cantik
Syamsir Alamsyah biasanya pulang kampung ke Kalimantan saat bulan puasa. Gitaris band Melayu di Jerman ini mengatakan: “Susah puasa di Jerman jika jatuhnya pada musim panas, banyak perempuan cantik jalan-jalan atau menikmati matahari yang jarang muncul di Jerman, dengan busana seronok. Di kampung, saya sibuk bersama keluarga dan teman, tak sempat jalan-jalan keluar seperti di Jerman.“
Foto: DW/A. Purwaningsih
Musim panasnya sejuk
Di Jerman tak ada Adzan Maghrib yang biasa terdengar dimana-mana, sehingga harus disiplin sendiri mengontrol waktu berbuka puasa maupun sahur, ujar Hosy Indradwianto. Jadi ia memantaunya lewat internet di telepon genggam. Karyawan Konsulat RI di Frankfurt ini mengaku mengalami kesulitan di awal bulan puasa. Lama-lama ia bisa menikmatinya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Reflek menjilat tumpahan sup
Bekerja di sektor gastronomi pada bulan puasa adalah tantangan berat bagi Bambang Susiadi. Namun ia tetap menjalankan ibadah puasa. ia berkisah, dulu, saat menyiapkan makan siang anak-anak sekolah di tempat kerja, tangannya pernah terkena tumpahan sup. Reflek, ia menjilatnya. Namun sebelum tertelan ia ingat sedang berpuasa.
Foto: Bonnindo
Halte bis jadi sering terlewat
Sebelum ke Jerman, Lenny Martini, sempat ‘keder’ dengan panjanganya jam berpuasa di musim panas, “Pas dijalani, ternyata biasa saja,“ ujar peneliti urban ini sambil tertawa. Tapi karena jam berbuka dan sahur menjadi amat pendek, otomatis jam tidurnya pun sangat berkurang, “Jadi sering ngantuk, tiap naik bis sering terlewat halte stopnya karena ketiduran.“
Foto: DW/A.Purwaningsih
Ramadan tak Ramadan, di Jerman sama saja
Sanusi kadang tak berpuasa, karena tidak mendapatkan suasana serupa seperti di kampung halaman. Di Jerman, bagi petugas museum ini, suasana Ramadan sama saja seperti bulan-bulan lainnya. “Semua sama saja, jadi tak ada perasaan apa-apa…“ Namun jika Ramadan tiba, rasa rindu Sanusi pada rang tua dan kampung halaman semakin menggebu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kangen "ngabuburit"
Michi Widyastuti kangen sahur dan berbuka puasa bersama keluarga. Ia tak pernah lupa asyiknya “ngabuburit“ di tanah air, sebelum akhirnya pindah ke Jerman. Meski karyawan toko organik ini pandai dan hobi memasak, tiap bulan puasa, ia tetap ‘ngidam‘ makanan enak di Indonesia. Ia tinggal di Jerman bersama suaminya yang orang Jerman dan putri kembarnya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lupa buka puasa gara-gara nonton bola
"Tak ada adzan, tak ada kultum, tak ada tukang kolak..." demikian tutur Anky Padmadinata tentang Ramadan di Jerman. Ia mengaku jika keasyikan melakukan sesuatu, seperti nonton bola misalnya, kadang-kadang terlewat berbuka puasa. Tiga hari pertama puasa terasa berat karena tubuh belum terbiasa, setelahnya tak ada masalah.
Foto: privat
12 foto1 | 12
Kehadiran sekularisme dan memisahkan konsep antara spiritualitas dan relijiusitas. Sekularisme memberikan sarana agar agama bisa sintas dalam masyarakat modern dan umat yang menjalankannya dijamin oleh negara. Agama atau reliji dilihat sebagai suatu pola nilai, keyakinan, simbol, perilaku dan pengalaman yang terinstitusi, yang diarahkan pada spiritualitas, diketahui bersama dalam masyarakat, dan diturunkan melalui tradisi. Dalam kajian yang dilakukan Yulmaida Amir dan Diah Rini Lesmawat berjudul "Relijiusitas dan Spiritualitas: Konsep yang Sama atau Berbeda” membandingkan berbagai definisi dari kedua konsep tersebut. Religiusitas dianggap bersifat formal dan institusional karena merefleksikan komitmen terhadap keyakinan dan praktek-praktek menurut tradisi (keagamaan) tertentu, sementara spiritualitas diasosiasikan dengan pengalaman personal dan bersifat fungsional, merefleksikan upaya individu untuk memperoleh tujuan dan makna hidup.
Sedangkan dalam konteks sejarah Indonesia, negara sudah melakukan sekularisasi pada masa pemerintahan Orde Baru dan kemudian pada masa reformasi, kekuatan Islam yang mendapat semangat dari revolusi Iran menunjukan kekuatannya. Sebagai negara dunia ketiga yang pernah dijajah, Indonesia memberikan corak politik untuk menentang segala hal yang terindikasi menggunakan bahasa Inggris karena dianggap bagian dari Barat dan Kolonial kemudian mengadaptasi Islam dan warisan Pancasila sebagai ideologi yang bisa diadopsi secara resmi dan legal oleh negara. Dan melalui kebijakan otonomi daerah, Islam menjadi ideologi yang diimplementasikan dalam syariat.
22 Jam? Kaum Muslim Disini Berpuasa Paling Lama di Dunia
Umat Islam di seluruh dunia merayakan hadirnya bulan Ramadan. Namun tidak semua bisa menikmati waktu puasa yang tergolong moderat seperti di Indonesia. Beberapa harus menahan haus dan lapar hingga 22 jam.
Foto: Kianoosh Mohseni
1. Islandia - 22 Jam
Umat muslim di Islandia harus menuntaskan makan sahur pada pukul 2 pagi dan baru bisa berbuka pada tengah malam pukul 00. Saat ini komunitas muslim Islandia cuma beranggotakan 770 orang. Menjadikan negara kepulauan di jantung Atlantik itu sebagai negara dengan penduduk muslim terkecil di dunia.
Foto: Fotolia/Dietmar Schäffer
2. Swedia - 20 jam
Muslim di Swedia termasuk yang paling tangguh di dunia. Ketika bulan Ramadan jatuh pada musim panas, maka mereka harus berpuasa selama lebih dari 20 jam. Saat ini kaum muslim Swedia berjumlah sekitar 500.000 orang, atau sekitar 5% dari total populasi. Masyarakat setempat tergolong toleran terhadap kaum muslim di sana. Swedia tercatat memiliki 16 masjid yang tersebar di kota-kota besar.
Foto: G. Abdolvahab
3. Alaska - 19,45 Jam
Terdapat sekitar 3000 kaum muslim di negara bagian Alaska, AS. Kebanyakan bermukim di Anchorage. Sejatinya muslim Alaska harus berpuasa sekitar 19 jam jika mengikuti waktu lokal. Tapi sebagian berpuasa dengan berkiblat pada waktu Arab Saudi, yang berarti berbuka pada pukul tujuh malam.
Foto: dapd
4. Jerman - 19 Jam
Muslim Jerman yang berjumlah jutaan dan sebagian besar berasal dari Turki dan Afrika utara tahun ini akan berpuasa selama 19 Jam, dari pukul setengah empat pagi hingga jam sepuluh malam. Tradisi penganan sahur dan berbuka di sini serupa dengan di Timur Tengah. Serupa dengan di negara lain, umat muslim di Jerman melaksanakan ibadah Sholat Tarawih pasca berbuka.
Foto: picture-alliance/Frank Rumpenhorst
5. Inggris - 18,55 Jam
Komunitas Islam di Inggris mewanti-wanti anggotanya agar berhati-hati selama bulan Puasa 2015. Pasalnya waktu puasa yang lama bisa menimbulkan bahaya kesehatan, terutama untuk kaum manula. Muslim Council of Britain juga memperingatkan warga yang menderita kadar gula tinggi. Menurut Guardian, sekitar 2,7 juta umat muslim hidup di Inggris, 325.000 di antaranya punya Diabetes.
Foto: Getty Images/P. Macdiarmid
6. Kanada - 17,7 Jam
Mulai puasa jam tiga pagi, warga muslim Kanada harus bertahan selama 17,7 jam sebelum bisa berbuka. Saat ini tercatat ada sekitar satu juta kaum muslim di Kanada. Sebagian besar bermukim di kota Toronto - menjadikan kota tersebut sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk muslim terbesar di Amerika Utara.
Foto: imago/imagebroker
7. Turki - 17,5 Jam
Suasana bulan Ramadan di Turki serupa dengan di Indonesia - lenggang di siang hari, ramai setelah matahari terbenam. Jelang berbuka warga terbiasa berkumpul di restoran dan Masjid yang menghias diri dengan lampu warna warni dan menambah kesan meriah. Negeri di dua benua ini juga punya tradisi membangunkan warga sebelum sahur dengan berkeliling sembari menabuh bedug.
Foto: Kianoosh Mohseni
7 foto1 | 7
Kegagalan Pembaharuan Islam oleh Negara
Syariat Islam sebagai unjuk kekuatan Islam dalam negara hadir melalui serangkaian peraturan daerah di bulan Ramadan yang mengembalikan semangat keagamaan yang usang dan tertinggal ratusan abad lalu. Islam dirujuk pada abad ke-7 ketika manusia yang dianggap esensial hanyalah laki-laki yang berasal dari kalangan bangsawan atau pedagang. Di luar kategori tersebut, perempuan, budak dan bukan Muslim dianggap bukan yang esensial, bukan subjek hukum.
Hukum Islam berupa syariat diterapkan dalam peraturan daerah di bulan Ramadan dibuat tanpa menyesuaikan konteks hari ini di mana semua manusia mempunya hak dasar yang sama untuk bertahan hidup, melanjutkan kehidupan dan penghargaan sebagai manusia. Gerakan kesetaraan gender, penghapusan perbudakan, dan ekonomi pasar bebas dipaksa untuk menyesuaikan hukum struktur masyarkat pada ratusan tahun yang lalu. Aturan warung makan dilarang buka pada bulan Ramadan, perubahan jam kerja kantor dan berbagai tunjangan dibuat dengan melihat tidak memperhitungkan perempuan sebagai warga negara dan juga subjek hukum. Pelarangan keluar malam atau pemaksaan penggunaan atribut keagamaan yang dikhususkan untuk perempuan adalah bentuk diskriminasi karena diterapkan pada hari ini di mana masyarakat sudah jauh berubah.
Tantangan Puasa di Jerman
Ramadhan tiba. Selama sekitar sebulan, dari matahari terbit hingga tenggelam, umat Muslim di Jerman yang berpuasa menjalankan ibadahnya. Di musim panas, bagi sebagian orang, tantangannya lebih terasa.
Foto: AP
Ramadhan Dimulai
Di Jerman terdapat lebih dari empat juta orang memeluk agama Islam. Meski tak banyak tampak ornamen-ornamen Ramadhan di Jerman, banyak di antara mereka yang menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Gebert
Bulan Penuh Tantangan
Bagi yang berpuasa di Jerman, jika puasa jatuh pada musim panas, maka banyak yang merasakan tantangannya lebih berat, karena jarak waktu Subuh ke Maghrib menjadi lebih panjang. Tahun 2016, misalnya, jarak Subuh ke Maghrib di Jerman sekitar 18 jam. Meski demikian, Ramadhan menjadi masa yang sangat indah, di manapun mereka berada.
Foto: DW/A. Ammar
Bekerja Seperti Biasa
Banyak pendatang Muslim yang bekerja di sektor gastronomi. Sebagian besar mereka harus bekerja sambil berpuasa. Di musim panas - saat suhu udara semakin panas - membuat mereka yang bekerja di sektor ini cepat merasa letih dan lemas.
Foto: picture-alliance/dpa
Menyiapkan Hidangan Bagi Yang Berbuka
Umm Aziz yang bekerja di restoran mengakui kesulitannya dalam menjalankan ibadah puasa: “Biasanya saya tiba di restoran tengah hari dan harus menyiapkan berbagai hidangan untuk malam hari. Pelanggan kami banyak yang keturunan Arab. Setiap petang, mereka datang untuk berbuka puasa di sini, karena itulah saya menyiapkan berbagai jenis hidangan."
Foto: Ulrike Hummel
Mencicipi Hidangan
Pemilik sebuah restoran di kota Köln, Haider Omar, menceritakan kesulitannya dalam berpuasa: "Saya harus mencicipi semua hidangan yang disiapkan, karenanya saya tidak berpuasa." Ia tidak mau menyuruh orang lain mencicipinya, kuatir bahwa rasa hidangannya akan berbeda.
Foto: Ulrike Hummel
Pulang Kampung
Di bulan puasa, beberapa warung atau restoran, termasuk restoran Arab atau Turki tetap buka. Aroma kebab tetap tercium meski belum mendekati Maghrib. Berbedanya jangka waktu berpuasa mendorong beberapa kaum Muslim untuk pulang kampung.
Foto: Ulrike Hummel
Pengecualian
Imam Erol Pürlü dari Ikatan Pusat Kebudayaan Islam di Köln mengingatkan, "Dalam Islam berlaku aturan dasar, bahwa setiap orang tak akan dibebankan sesuatu yang tidak bisa mereka tanggung". Artinya, bila orang itu sakit, hamil atau menyusui, maka ia berada dalam kategori orang tak bisa berpuasa. Untuk melunaskannya, kategori orang ini bisa membayar Fidyah, menyumbang uang kepada orang miskin.
Foto: Ulrike Hummel
7 foto1 | 7
Dan agama Islam yang diadaptasi oleh negara Indonesia pada hari ini adalah agama dengan tafsir yang usang. Karena tafsir usang memiliki tiga ciri yakni sederhana, lekat dan kaku. Fatwa-fatwa yang populer dan menjadi buah bibir media adalah fatwa yang berciri seperti tiga hal tersebut dan dipopulerkan oleh Ulama Islam yang tercabut dari sejarah Islam secara global maupun lokal. Ambil contoh betapa populernya fatwa masuk neraka apabila minum kopi di Starbuck atau bagaimana poligami bisa menyebabkan perempuan masuk surga. Semakin parah ketika negara berusaha mengadaptasi fatwa kaku menjadi peraturan legal: pelarangan penjualan dan pengedaran minuman beralkohol, hukuman bagi korban pemerkosaan dan prostitusi, pengucilan bagi orang-orang ateis.
Negara telah menggagalkan pembaharuan dalam Islam apabila tidak melihat dinamika kajian Islam. Karena hasil dari kajian-kajian Islam yang dilakukan oleh kebanyakan peneliti Islam bersifat kritik. Dan adaptasi agama pada negara adalah petaka. Relijiusitas yang bersetubuh dengan kekuasaan negara menjadi anti-kritik karena telah mendapat legitimasi ketuhanan. Kajian pembaharuan Islam yang dilakukan secara serius dan kompleks akan ditolak karena dianggap ‘tidak murni'. Sedangkan kini tafsir kolot yang diaadaptasi sebagai landasan peraturan negara pada hari ini buta pada tujuan kemanusiaan. Kita, sedang menjauhkan Agama dengan semangat pembaharuan yang menjunjung kesetaraan dalam masyarakat yang global.
Penulis:
Nadya Karima (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Muslim Dunia Rayakan Idul Fitri
Idul Fitri merupakan hari perayaan kemenangan warga Muslim setelah berperang melawan nafsu dalam ibadah puasa sepanjang bulan Ramadhan. Inilah berbagai tradisi Idul Fitri di sejumlah negara.
Foto: Stan Honda/AFP/Getty Images
Mengintip Hilal
Awal penanggalan Islam ditentukan berdasarkan posisi bulan. Berakhirnya ibadah puasa Ramadhan bisa dihitung secara Astronomi atau Rukyah. Namun untuk meyakinkan bulan baru sudah muncul, para ahli biasanya mengintip bulan atau Hilal. Jika dipastikan bulan baru sudah terlihat di ufuk warga Muslim merayakan Idul Fitri.
Foto: imago/imagebroker
Pesta dengan Beragam Nama
Di Indonesia, Idul Fitri kerap disebut Lebaran. Sementara di Jerman, pesta terbesar umat Islam ini dikenal dengan nama "Bayram", satu kata Bahasa Turki yang berarti "Pesta Manis". Secara internasional, hari kemenangan ini disebut Idul Fitri atau juga Ied-ul Fitr, diambil dari Bahasa Arab. Shalat berjamaah di mesjid atau lapangan terbuka merupakan bagian dari perayaan ini.
Foto: MUSTAFA OZER/AFP/Getty Images
Persiapan Panjang
Umat Islam lazimnya sudah mempersiapakan Idul Fitri sejak dimulainya bulan Ramadhan. Selain barang keperluan ibadah, banyak orang juga sudah membeli pakaian, perhiasan atau sepatu. Di banyak negara, permen dan penganan manis merupakan hidangan yang populer untuk menjamu tamu. Di Afghanistan (foto) misalnya, menjelang lebaran, merupakan hari-hari yang menguntungkan bagi para pedagang.
Foto: DW/I. Spezalai
Malam Pergantian Bulan
Di Pakistan dan India, perayaan Idul Fitri sudah dimulai di malam berakhirnya Ramadhan. Banyak perempuan menghias diri dengan henna untuk upacara di hari berikutnya. Di wilayah ini, malam terakhir Ramadhan disebut "Chaand Raat" atau Malam Bulan.
Foto: DW/Zohre Najwa
Kekacauan Angkutan Umum
Bagi warga Muslim, Idul Fitri merupakan kesempatan untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat. Warga Muslim di banyak negara berusaha untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Seperti juga Muslim Indonesia. Di hari-hari menjelang dan sesudah Idul Fitri, biasanya kemacetan terjadi di mana-mana. Sistem angkutan umum seringkali tidak dapat mendukung arus penumpang yang membludak.
Foto: Getty Images
Shalat Berjamaah
Hari pertama Idhul Fitri diawali dengan shalat sunnat berjamaah di mesjid-mesid atau lapangan terbuka, seperti juga di Jerman (foto). Biasanya orang-orang pergi ke mesjid bersama keluarganya. Setelah sholat Idhul Fitri, warga Muslim saling mengunjungi keluarga, kerabat atau teman dan juga berziarah ke makam keluarga.
Foto: Barbara Sax/AFP/Getty Images
Makanan Manis untuk Sarapan
Di banyak negara, seperti di Palestina, warga menyantap makanan manis untuk sarapan di hari Idul Fitri. Makanan ini juga dibagikan antar tetangga. Anak-anak kecil mendapatkan hadiah atau uang, yang disebut „Idi“. Dan di banyak negara, pada hari Idul Fitri warga Muslim mengenakan pakaian baru atau pakaian terbaik mereka.
Foto: Said Khatib/AFP/Getty Images
Musik dan Tari
Di Burkina Faso, Afrika Barat seperti juga di banyak negara lainnya, Idul Fitri dirayakan secara meriah. Para remaja berpawai dengan memainkan musik sambil menari. Masa liburan Idul Fitri dimanfaatkan warga Muislim untuk mengunjungi keluarga, kerabat dan teman.
Foto: Ahmed Ouoba/AFP/Getty Images
Penjaja Makanan Panen
Biasanya di hari raya Idul Fitri, jalanan dan tempat-tempat umum juga diramaikan para pedagang, seperti di jalanan kota Dhaka, Bangladesh. Setelah sebulan lamanya mereka hanya bisa berjualan mulai sore hari, kini mereka dapat kembali menawarkan dagangan sepanjang hari.
Foto: dapd
Dihiasi Cahaya
Hari pertama Idul Fitri biasanya dirayakan sampai tengah malam. Jalan-jalan dan bangunan semarak dihiasi lampu-lampu. Gedung Empire State Building di New York juga turut merayakan Idul Fitri dengan menghias diri dengan lampu berwarna hijau.