Ketika memutuskan tidak ikut pemilu presiden mendatang, banyak yang mencoba menakut-nakuti saya. Namun saya punya alasan untuk golput. Berikut opini Uly Siregar.
Iklan
Lewat surat suara yang dikirim oleh Konjen RI di Los Angeles ke alamat rumah saya di Arizona, tahun 2014 saya coblos nama Ir Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi presiden Republik Indonesia selama lima tahun.
Pertimbangan saya saat itu sangat sederhana: Prabowo yang menjadi kompetisi Jokowi adalah mimpi buruk era 1990-an, saat saya masih aktif turun ke jalan untuk berdemo, termasuk ikut melakukan advokasi terhadap kaum buruh dan petani. Senior sekaligus mentor politik saya di kampus, Pius Lustrilanang, adalah salah salah korban penculikan yang mengalami penyiksaan. Meski kemudian ia justru bergabung dengan partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo. Jangan tanya saya bagaimana logikanya, Pius punya penjelasan sendiri untuk pilihan politiknya yang ajaib.
Mendukung Prabowo berarti mendukung Suharto. Ia jelas bagian dari dinasti Suharto. Saat Suharto berkuasa, militer sepenuhnya memegang kendali di Indonesia. Beragam peristiwa kekerasan yang dimotori militer menjadi bagian sejarah pahit yang tak bisa dihapus, dari Timor-Timur (sekarang Timor Leste) hingga DOM Aceh, belum lagi soal gerakan buruh.
Untuk generasi milenial yang tak banyak tahu soal masa lalu, baiklah saya kenalkan Marsinah. Ia aktivis buruh yang vokal, perempuan yang luar biasa berani. Marsinah disiksa, dibunuh, lantas mayatnya dibuang di Nganjuk. Melalui otopsi ditemukan banyak bekas luka penyiksaan, termasuk temuan yang meninggalkan trauma, bahkan pada kami yang hanya membaca laporan tersebut di koran: vagina Marsinah ditembus benda tumpul hingga ke rahim. Sekeji-kejinya manusia adalah mereka yang melakukan penyiksaan, menurunkan perintah untuk melakukan penyiksaan, dan menutupi kebiadaban itu dengan menjerat orang yang tak bertanggung jawab untuk menjadi kambing hitam.
Tahun 2014, ketika kandidat presiden yang ditawarkan antara Jokowi yang belum banyak memiliki dosa politik dan Prabowo yang memiliki catatan menculik aktivis, sangatlah gampang menjatuhkan pilihan. Saya dengan riang dan penuh percaya diri memilih Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Prestasi Jokowi sebagai walikota Solo, kerjanya yang singkat namun cukup menggembirakan setelah menjabat gubernur DKI Jakarta menjadi tambahan alasan untuk memilih. Belum lagi wakil gubernur, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kelak membawa perubahan signifikan pada ekspektasi rakyat terhadap pemimpin daerah sungguh membawa harapan bagi perubahan konstelasi politik Indonesia. Dalam pilpres 2014, rakyat diambil hati, dijadikan pertimbangan, dibaik-baiki, dan menjadi bintang dalam pesta politik lima tahunan.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Kekecewaan
Pesta demokrasi usai, Jokowi pun berkuasa. Sebagai pemilih, harapan-harapan pun disematkan di pundak Jokowi. Harapan-harapan yang makin lama makin banyak ditabrak oleh langkah-langkah pragmatis yang ditempuh Jokowi. Namun, sebagai pemilih ada banyak pemakluman-pemakluman terhadap beragam keputusan Jokowi. Sebagian agak bisa dimaklumi, sebagian lagi sangat sulit diterima dan mengganggu.
Salah satunya penunjukan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang direaksi keras oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Wiranto adalah salah satu sosok di balik pelanggaran HAM berat saat aktif menjabat di militer. Berdasarkan catatan Komnas HAM, Wiranto terlibat penyerangan 27 Juli (penyerbuan kantor PDI), Tragedi Trisakti, peristiwa Mei 1998, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi tahun 1997/1998, dan peristiwa Biak Berdarah. Ia pun menurut laporan khusus 92 halaman yang dikeluarkan Serious Crimes Unit bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut gagal mencegah terjadinya kejahatan HAM di Timor Leste.
Siapa Yang Masuk Bursa Cawapres 2019?
Bursa calon wakil presiden memanas kurang dari setahun menjelang Pilpres 2019. Sejumlah nama besar saat ini diisukan bakal menemani dua calon terkuat, Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Siapa saja?
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mahfud MD
Dari sekian banyak nama yang santer diisukan bakal mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019, Mahfud MD termasuk yang paling berpotensi terpilih. Selain tidak berasal dari salah satu partai koalisi, ia juga memiliki reputasi tak tercela di kalangan pemilih muslim. Mahfud yang pernah aktif di Mahkamah Konstitusi dipercaya bisa membantu pemerintahan Jokowi mengawal penegakan hukum di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Muhaimin Iskandar
Sejauh ini Cak Imin adalah satu-satunya pemimpin partai yang terang-terangan mendeklarasikan ambisinya merebut kursi cawapres. Kepada Jokowi atau Prabowo politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini menawarkan dukungan kaum muslim NU yang berjumlah mayoritas di Jawa Tengah dan Timur. Meski mendukung Jokowi, Muhaimin juga dikabarkan bermain mata dengan Prabowo untuk dipasangkan dalam Pilpres 2019
Foto: picture-alliance/Pacific Press/A. Ally
Airlangga Hartarto
Serupa Cak Imin, Airlangga Hartarto didaulat sebagai cawapres pendamping Jokowi oleh partainya sendiri, yakni Golkar. Kendati begitu peluang milik putra bekas menteri perindustrian di era Orde Baru, Hartarto Sastrosoenarto, ini diyakini tidak besar. Golkar pun sudah mengumumkan bakal tetap mendukung pemerintahan Joko Widodo, dengan atau tanpa Airlangga Hartarto sebagai pendampingnya.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono
Sri Mulyani
Adalah kinerja dan reputasinya yang menempatkan Sri Mulyani dalam bursa calon wakil presiden. Namanya dikabarkan terjaring dalam daftar bakal cawapres versi PDI-P bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiatsuti. Namun Sri mengaku tidak berambisi menduduki jabatan wakil presiden. Ia hanya berharap kembali dipercaya menggawangi Kementerian Keuangan.
Foto: picture-alliance/AA/S. Corum
TGB Zainul Majdi
TGB banyak mendapat sorotan usai mendeklarasikan dukungannya kepada Joko Widodo pasca Pilkada 2018. Klaim tersebut sontak mengundang kritik dari Partai Demokrat yang menaunginya. TGB masuk dalam bursa cawapres lantaran kedekatannya dengan pemilih muslim. Selain merupakan cucu KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan, Gubernur NTB ini juga berasal dari kalangan cendikia Islam.
Foto: Gemeinfrei
Anies Baswedan
Nama Anies Baswedan adalah yang paling panas dibahas dalam bursa cawapres untuk Prabowo Subianto. Keberhasilannya menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI 2017 dianggap sebagai pencapaian politik yang sekaligus menempatkan namanya untuk menduduki salah satu jabatan tertinggi di tanah air. Anies bahkan digadang-gadang bakal maju sebagai calon presiden, meski tanpa dukungan Gerindra.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Agus Harimurti Yudhoyono
Sejak Pilkada DKI 2017 hingga kini Agus Harimurti Yudhoyono (ki.) sudah bergerilya mencari suara. Ambisi sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan putranya di jabatan tertinggi di dalam negeri membuat Partai Demokrat sibuk mencari rekan koalisi untuk Pilpres 2019. Jika koalisi Gerindra-Demokrat menjadi kenyataan, duet Prabowo dan AHY diyakini bakal menajdi kenyataan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Ahmad Heryawan
Saat ini Ahmad Heryawan sedang mencari pekerjaan baru setelah lengser dari jabatannya sebagai gubernur Jawa Barat. Sebagai politisi PKS, Aher membawa banyak keuntungan pada Prabowo Subianto: Dukungan pemilih muslim, mesin partai yang efektif dan pengalaman birokrasi. Selain Anies, Aher adalah nama yang paling santer diisukan bakal mendampingi Prabowo. rzn/hp (detik, kompas, tirto.id, katadata)
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
8 foto1 | 8
Tentu tak melulu kekecewaan yang muncul dari pemerintahan Jokowi. Ada banyak catatan keberhasilan yang membuat saya dan pendukung lain merasa tak sia-sia memilih Jokowi. Yang paling menonjol dalam pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur di berbagai pelosok negeri, tak hanya di pulau Jawa. Indonesia bagian timur pun menjadi sasaran Jokowi dalam membangun infrastruktur.
Hal lain lagi yang membawa angin segar bagi Indonesia, anak-anak Jokowi tak ikut terlibat menjadi pejabat partai atau menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Untuk kami yang mencicipi hidup di zaman Suharto yang kental dengan nepotisme, sikap Jokowi yang tak melibatkan anak-anaknya sungguh melegakan.
Pilpres 2019 sudah di depan mata. Sekali lagi saya dan seluruh warga Indonesia yang memiliki hak pilih dihadapkan pada ujian untuk memilih presiden. Bila tahun 2014 lalu saya dengan enteng memilih Jokowi, kali ini hati terasa berat dan tak rela. Ia tak lagi sosok yang tak memiliki dosa politik.
Berbagai catatan buruk mewarnai pemerintahan Jokowi, termasuk berbagai kasus yang menunjukkan gagalnya pemerintah melindungi kaum minoritas. Pasal penistaan agama yang memakan korban, penutupan rumah ibadah, kekerasan terhadap kaum marginal, dan banyak lagi yang membuat saya kecewa dan lelah memaklumi.
Namun puncak kekecewaan saya terjadi saat Jokowi secara resmi mengumumkan cawapres yang akan mendampinginya dalam pilpres 2019. Pada 9 Agustus 2018 Jokowi secara resmi memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais ‘Aam PBNU Prof Dr KH Ma'ruf Amin.
Pilihan ini merupakan hasil kompromi dengan partai-partai pendukungnya, dan merupakan upaya meraih suara dari golongan Islam konservatif, termasuk menepis tuduhan Jokowi sebagai anti ulama. Sebuah keputusan yang sulit saya terima. Saya tak bersedia ketua MUI menjadi pendamping Jokowi dalam memerintah, apalagi salah satu alasan saya memilih Jokowi karena ia mengusung suara kaum pluralis.
Yang lebih mengecewakan, tokoh agama yang diusung Jokowi memiliki catatan buruk dalam bersikap terhadap kaum minoritas, termasuk soal kesaksiannya dalam sidang kasus penodaan agama yang memberatkan Ahok dan akhirnya mengirim Ahok ke penjara. Dalam kesaksiannya, sebagai ketua MUI, Ma'ruf Amin mengatakan lembaganya tidak pernah minta klarifikasi dari Ahok terkait ucapannya yang mengutip surat Al-Maidah ayat 51. Tanpa klarifikasi, Ma'ruf meyakini Ahok telah melakukan penghinaan.
Ketika saya dengan lantang berteriak akan mempertimbangkan untuk menjadi Golongan Putih (Golput) dalam pilpres 2019, cercaan pun datang bertubi-tubi, terutama dari mereka sesama pemilih Jokowi. Ucapan "jangan baper”, "daripada Prabowo menang”, "yang penting capresnya”, "Ahok aja sudah maafin, kok kamu belum move on” pun dilontarkan dengan sengit. Belum termasuk kecaman bahwa bila nanti akhirnya Jokowi kalah, tanggung jawab itu pun dibebankan pada kami kaum Golput.
Profil Penguasa Jawa Pasca Pilkada
Siapa yang akan memimpin Jawa untuk lima tahun ke depan dan bagaimana para pemenang Pilkada 2018 bisa mempengaruhi jalannya pemilu kepresidenan 2019? Simak dalam galeri berikut.
Foto: Detik.com
Jawa Timur: Khofifah Sang Srikandi NU
Pernah takluk dari pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf pada Pilgub Jawa Timur 2013 lalu, Khofifah Indar Parawansa yang pertamakali diorbitkan oleh Almarhum Abdurrahman Wahid kini sukses membalas kekalahan dengan menggeser Gus Ipul pada Pilkada 2018. Khofifah dikabarkan mendapat restu Presiden Joko Widodo yang mengizinkannya mundur dari jabatan Menteri Sosial untuk bertarung di kampung halamannya itu
Foto: Detik.com
Jawa Timur: Emil Dardak yang Muda dan Berprestasi
April silam harian Hong Kong, South China Morning Post, menurunkan laporan mengenai Emil Dardak yang dianggap sebagai politisi masa depan Indonesia. Emil yang merupakan cucu dari kyai NU, KH. Mochamad Dardak, sempat memenangkan pemilihan bupati di Trenggalek dengan lebih dari 75% suara. Terutama perbaikan ekonomi dan kualitas layanan publik membuat reputasi Emil di Trenggalek nyaris tak berbanding
Foto: Detik.com
Jawa Tengah: Kuasa Ganjar di Kandang Banteng
Berbekal tingkat kepuasan publik sebesar 71%, Ganjar Pranowo harus menghadapi berbagai tudingan, termasuk dugaan korupsi e-KTP. Namun hal tersebut tidak menghalangi sosok petahana yang gemar menampung keluhan lewat media sosial ini untuk mengalahkan Sudirman Said dalam Pilkada 2018. Namun Ganjar juga diuntungkan oleh profil pemilih Jawa Tengah yang sejak lama dianggap kampung halaman PDIP.
Foto: Detik.com
Jawa Tengah: Gus Yasin Yang Agamis
Diutus oleh Megawati Soekarnoputri untuk mendampingi Ganjar di Pilkada Jateng 2018, Taj Yasin diproyeksikan mendulang suara kaum NU. Pria kelahiran Rembang ini merupakan putra ulama kharismatik KH. Maimoen Zubair. Ayahnya pula yang mengajukan namanya kepada PDIP untuk dipasangkan dengan Ganjar. Kini Yassin termasuk pemimpin daerah paling muda bersama Emil Dardak dan Andi Sudirman Sulaiman.
Foto: Detik.com
Jawa Barat: Kang Emil Naik Pangkat
Serupa Jokowi, sosok Ridwan Kamil memicu euforia publik tentang pemimpin daerah yang memiliki visi dan bersih dari korupsi. Lantaran popularitasnya di Jawa Barat, ia pernah didorong untuk maju ke Pilkada DKI Jakarta 2017, namun ia menolak. Pria yang akrab disapa kang Emil ini juga sempat ingin diduetkan dengan Dedy Mulyadi buat Pilkada Jabar 2018, sebelum berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum.
Foto: Imago/Belga
Jawa Barat: Uu Ruzhanul Wakil Umat
Sehari setelah mempertahankan jabatannya sebagai Bupati Tasikmalaya pada 2016 silam, Uu Ruzhanul Ulum sudah digadang-gadang bakal bersaing di Pilgub Jabar. Padahal hingga pertengahan 2017 silam elektabilitas Uu hanya sebesar 3%. Beruntung Ridwan Kamil memilih tokoh PPP ini sebagai pendampingnya lantaran sosoknya yang dekat dengan kaum agamis. (rzn/hp: detik, tirto, kompas, tempo)
Foto: Detik.com
6 foto1 | 6
Golput adalah sikap politik
Untuk saya, keputusan menjadi Golput terjadi karena aspirasi saya sebagai minoritas tak lagi diutamakan oleh Jokowi. Ia lebih memilih memainkan politik identitas dengan memenangkan hati kaum Islam konservatif dan mengesampingkan suara kaum minoritas dan pluralis.
Jokowi lebih memilih mengabaikan suara kaum marginal yang dibungkam oleh kaum religius yang seringkali menjadi pemegang ‘kebenaran' di Indonesia, di atas hukum yang berlaku.
Penutupan gereja, perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum LGBT sering dibiarkan demi menyenangkan kaum mayoritas. Pilihan Jokowi KH Ma'ruf Amin yang memiliki catatan kontroversial ketika menyangkut soal kaum minoritas sulit untuk saya dukung. Ia jelas bukan tokoh pluralis dan toleran, lantas buat apa saya mendukung Jokowi lagi?
Kalau pun terjadi Jokowi kalah karena banyak yang menjadi Golput, tentu bukan tanggung jawab mereka yang Golput, apalagi tanggung jawab saya. Itu risiko yang sudah diperhitungkan matang oleh Jokowi ketika memutuskan untuk meraih simpati kaum religius.
Banyak yang mencoba menakut-nakuti saya dengan bilang keputusan saya menjadi Golput akan memperbesar peluang Prabowo untuk menang. Mereka mencoba mengingatkan saya atas beragam dosa Prabowo di masa lalu yang mengerikan, dan kemungkinan akan muncul lagi bila ia diberi kesempatan menjabat presiden.
Sayangnya, ada satu yang tak mereka pahami tentang Golput. Ketika seseorang telah memutuskan untuk menjadi Golput, ia tak lagi peduli dengan siapa yang akan memenangkan pertarungan. Saat ini, kedua pilihan sama buruknya dan saya menolak untuk menjadi bagian dari yang memenangkan salah satu pasangan. Pemikiran "the lesser of two evils” pun tak lagi bisa menjadi pembenaran. Bagi saya, siapapun yang menang, saya tetap menjadi pihak yang kalah. It's as simple as that.
@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah.
Akrobat Panglima Menuju Istana
Berulangkali manuver Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyudutkan Presiden Joko Widodo. Sang jendral ditengarai memiliki ambisi politik. Inilah sepak terjang Nurmantyo membangun basis dukungan jelang Pemilu 2019.
Foto: Reuters/Beawiharta
Wacana Tentara Berpolitik
Ambisi politik Gatot Nurmantyo sudah tercium sejak akhir 2016 ketika dia mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Menurutnya prajurit saat ini seperti "warga asing" yang tidak bisa berpolitik. Ia mengaku gagasan tersebut cepat atau lambat akan terwujud. "Ide ini bukan untuk sekarang, mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Petualangan di Ranah Publik
Bersama Nurmantyo, TNI berusaha kembali ke ranah sipil. Lembaga HAM Imparsial mencatat Mabes TNI menandatangani "ratusan" kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, tetapi juga pertanian dan pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua.
Foto: Imago/Zumapress
Menggoyang Otoritas Sipil
Februari silam Nurmantyo mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam hal pengadaan senjata. Pasalnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan peraturan yang mengembalikan kewenangan pembelian sistem alutsista pada kementerian. Dengan ucapannya itu Nurmantyo dinilai ingin mengusik salah satu pilar Reformasi, yakni UU 03/2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Polemik Dengan Australia
Akhir Februari Nurmantyo secara mendadak membekukan kerjasaman pelatihan militer dengan Australia. Keputusan Mabes TNI dikabarkan mengejutkan Istana Negara. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap mendukung keputusan Nurmantyo dan ikut memperingatkan Australia. Namun sejumlah pejabat tinggi di Canberra menilai kasus tersebut selayaknya diselesaikan tanpa keterlibatan publik.
Foto: Imago/Zumapress
Genderang Xenofobia dari Cilangkap
Bukan kali pertama Nurmantyo membidik Australia. Oktober 2016 dia menyebut negeri jiran itu terlibat dalam "perang proxy" melawan Indonesia di Timor Leste dengan tujuan "memecah belah bangsa." Ia juga mengklaim ancaman terbesar terhadap Indonesia akan berasal dari kekuatan asing yang "berebut energi dari negara equator yang kaya sumber daya alam."
Sejak berakhirnya Pilkada DKI Nurmantyo juga aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengklaim kepolisian menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Nurmantyo mengatakan dirinya "tersinggung, karena saya umat muslim juga." Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang "cinta Indonesia."
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Teladan di Astana Giribangun
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif dan sejumlah tokoh seperti Kivlan Zein dan Amien Rais disambut Nurmantyo dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru Pengkhianatan G30-S PKI. Setelah melontarkan wacana tersebut, Nurmantyo mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto yang menurutnya patut menjadi "tauladan" prajurit TNI
Foto: picture-alliance/dpa
Peluru Panas ke Arah Istana
Polemik terakhir yang dipicu Panglima TNI adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5500 pucuk. Ia mengklaim laporan tersebut berasal dari data akurat dinas intelijen. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Namun Nurmantyo enggan meluruskan pernyataannya tersebut. (rzn/yf-sumber: antara, detik, cnnindonesia, kompas, tempo, aspi, ipac)