1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikIndia

Mengapa UU Kewarganegaraan di India Begitu Kontroversial?

14 Maret 2024

Pemerintah India mengumumkan implementasi UU Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang memungkinkan para imigran mendapatkan kewarganegaraan. UU itu dikritik mendiskriminasi muslim dan melemahkan konstitusi sekuler negara.

Aksi protes menentang CAA di India
Aksi protes sporadis pecah di India pekan ini setelah pemerintahan Modi mengumumkan penerapan UU Amandemen Ke warganegaraan (CAA) yang kontroversial.Foto: Subrata Goswami/DW

Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi baru-baru ini telah mengumumkan implementasi Undang-Undang (UU) Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang kontroversial di India.

CAA yang menuai kritik keras dari partai-partai oposisi dan kelompok hak asasi manusia itu sebelumnya telah disahkan oleh Parlemen India pada tahun 2019, namun baru diberlakukan saat ini.

Apa isi UU Amandemen Kewarganegaraan itu?

Secara sederhana, CAA mempercepat permohonan kewarganegaraan bagi para imigran Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen, yang melarikan diri ke India dari penganiayaan berbasis agama di Pakistan, Bangladesh, dan Afganistan, yang mayoritasnya berpenduduk muslim.

Untuk memenuhi syarat mendapatkan kewarganegaraan di India, para imigran itu sebelumnya harus sudah tinggal di negara tersebut selama 11 tahun, namun kini dipersingkat menjadi lima tahun.

Namun, UU tersebut mengecualikan imigran muslim dari negara-negara bersangkutant, menandai pertama kalinya India menetapkan kriteria agama sebagai syarat naturalisasi.

Oposisi sebut CAA mendiskriminasi muslim 

Setelah UU kontroversial itu disahkan pada tahun 2019, aksi protes pecah di seluruh India. Kekerasan sektarian berkobar, menewaskan banyak orang dan melukai ratusan lainnya.

Saat pemerintahan Modi mengumumkan implementasi UU tersebut pekan ini, aksi protes juga terjadi secara sporadis, walau belum ada laporan mengenai kerusakan atau kekerasan yang terjadi dalam aksi tersebut.

Sementara itu, di ibu kota India, New Delhi, di mana aksi protes tahun 2019 berpusat, pihak berwenang masih berjaga-jaga mewaspadai segala bentuk kekerasan. Mereka melarang pertemuan-pertemuan yang melanggar hukum, dan menambah personel kepolisian di area-area sensitif.

Menurut partai-partai oposisi, kelompok muslim, dan aktivis hak asasi manusia di India, kehadiran CAA mendiskriminasi umat Islam dan melemahkan konstitusi sekuler India.

"Undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan dua tingkatan kewarganegaraan di India: non-muslim dan muslim,” kata Yogendra Yadav, seorang aktivis politik terkemuka kepada DW.

Para pemimpin oposisi di India juga mempertanyakan mengenai timing pemberlakuan UU tersebut, mengatakan bahwa tindakan tersebut hanya bertujuan mempolarisasi pemilih berdasarkan agama jelang pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar sebentar lagi.

CAA memang dikenal sebagai janji utama Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India, dalam manifesto pemilu 2019 silam. Namun, UU tersebut diberlakukan hanya beberapa minggu sebelum Modi mengincar masa jabatan ketiga, yang dinilai jarang terjadi dalam sejarah pemilu di India.

"Menjelang pemilu, pemerintahan Modi mengumumkan peraturan di bawah CAA. Hal ini jelas untuk mempertajam polarisasi komunal dan mencari keuntungan elektoral,” kata Sitaram Yechury, sekretaris jenderal Partai Komunis India (Marxist) kepada DW.

Para kritikus lain telah mengajukan sejumlah gugatan hukum ke pengadilan India, menyerukan agar UU tersebut dihapus.

Pemerintah bantah CAA diskriminatif terhadap muslim

BJP membantah bahwa CAA diskriminatif terhadap umat Islam, yang populasinya sekitar 15% dari total 1,4 miliar populasi di India.

Partai yang berkuasa di India itu justru menuduh pihak oposisi berusaha menciptakan "ketakutan psikosis” di kalangan masyarakat.

"Bukan berarti orang-orang akan ditangkap atau dideportasi karena CAA. Pemerintah telah memutuskan untuk menangani masalah ini dengan cara yang bersifat kemanusiaan. Hal ini akan memberikan para pengungsi kehidupan yang bermartabat,” kata juru bicara nasional BJP, Tom Vadakkan, kepada DW.

Dalam kesempatan terpisah, Kementerian Dalam Negeri India, dalam cuitannya juga menyebutkan, "banyak kesalahpahaman telah tersebar” mengenai UU tersebut, dan bahwa mereka "tidak akan mencabut kewarganegaraan setiap warga negara India, apapun agamanya.”

Kritikus khawatir Modi semakin mendekatkan India sebagai negara Hindu

Para kritikus mengatakan, Modi tengah mendorong agenda nasionalis Hindu di India. Menurut mereka, hal ini tidak hanya akan mengancam fondasi sekuler di India, tapi juga mempersempit ruang bagi kelompok agama minoritas khususnya Islam, bahkan mendekatkan negara itu menjadi negara Hindu.

Sementara itu, kelompok muslim mengatakan, mereka khawatir kehadiran CAA ditambah dengan kebijakan lain seperti National Register of Citizens (NRC), dapat digunakan untuk meminggirkan mereka.

NRC adalah bagian dari upaya pemerintahan Modi untuk mengidentifikasi dan menyingkirikan orang-orang yang mereka klaim datang secara ilegal ke India. Kebijakan ini telah diterapkan di negara bagian Assam di bagian timur laut India, yang mengakibatkan hampir 2 juta orang, termasuk umat Hindu dan Islam, tidak mendapat kewarganegaraan India. Partai Modi berjanji akan meluncurkan program verifikasi kewarganegaraan serupa secara nasional.

"Kebijakan yang tidak konsisten terhadap pengungsi”

Indira Jaising, yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung di India, mengaku telah mempelajari CAA dengan cermat.

Kepada DW, ia mengatakan, kebijakan untuk melindungi orang-orang yang dipersekusi sangat baik. Namun ia mengatakan bahwa solusinya adalah memberikan mereka semua status pengungsi, apa pun agamanya.

India hingga saat ini tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 dan Protokol terkait Status Pengungsi tahun 1967, sehingga negara tidak mempunyai kebijakan yang konsisten terhadap pencari suaka dan pengungsi. Pemerintah memperlakukan mereka secara berbeda, tergantung pada hubungan dengan negara asal pengungsi, atau setelah mempertimbangkan perkembangan politik di dalam negeri.

"India harus menandatangani Konvensi Jenewa terkait status pengungsi untuk menunjukkan komitmennya terhadap mereka yang teraniaya dan komitmen untuk menghentikan persekusi kelompok minoritas,” kata Jaising.

"Jika gagal, CAA hanya akan dianggap sebagai proyek untuk mendirikan negara Hindu,” pungkasnya.

gtp/as

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait