1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengenang 40 Tahun Kematian Tito, Pendiri Yugoslavia

4 Mei 2020

Josip Broz Tito berusaha melindungi Yugoslavia dari cengkraman Uni Sovyet, dan menjaga kesatuan federasi multi etnis di tenggara Eropa. Ketika dia meninggal, negara yang dia wariskan terberai dalam perang saudara.

Josip Broz Tito
Foto: AP/AP/dapd

Syahdan pada Ahad, 4 Mei 1980, Tito dilaporkan "sekarat" dan berada dalam kondisi "kritis." Selama empat bulan dia sudah dirawat di rumah sakit di Ljubljana itu. Sore harinya, Komite Sentral Liga Komunis Yugoslavia mengumumkan bahwa "kamerad Tito telah meninggal dunia."

Pada bulan Januari dia dilarikan ke rumah sakit lantaran mengidap diabetes. Saat itu kaki kirinya harus diamputasi. Laporan kesehatan harian mencatat Tito mengidap gagal ginjal, pneumonia, pendarahan di organ tubuh bagian dalam, kerusakan pada hati dan infeksi bakteri. Di hari-hari terakhir itu tubuhnya hanya berbobot 40 kilogram, tulis dokter.

Sore itu juga stasiun televisi nasional menayangkan laporan panjang tentang kisah hidupnya. Dalam pemberitaan itu, Tito dikisahkan sebagai sosok yang memimpin pemberontakan Komunis melawan invasi Nazi Jerman, dan mendirikan Republik Yugoslavia pada 1945.

Josip broz mengadopsi nama Tito pada dekade 1930an usai menjalani hukuman kurungan lima tahun lantaran tindak subversif. Dia didakwa aktif di Partai Komunis Yugoslav yang dilarang kala itu.

Kepergian presiden 'seumur hidup'

Setelah Perang Dunia II berakhir, dia memimpin sebuah negara multi-etnis yang saling berbagi rasa curiga dan kebencian antarsuku dan bangsa. Tito mampu merawat kesatuan Yugoslavia hanya dengan tangan besi, tulis sejarahwan.

Pria yang selama berkuasa pernah mengemban status presiden 'seumur hidup' itu bercekcok dengan pemimmpin Sovyet, Joseph Stalin, perihal sistem federasi Yugoslavia. Perpecahan itu memuncak ketika Tito ikut membidani kelahiran Gerakan Non-Blok pada 1948.

Peta Yugoslavia sebelum terpecah menjadi Kroasia, Serbia, Slovenia, Kosovo dan Montenegro.Foto: DW

Pada saat itu pula dia mulai membina kedekatan dengan Presiden Sukarno. Keduanya dikabarkan bertemu di berbagai kesempatan. Tito yang menyukai cerutu dan gemar berpakaian serba putih itu acap mengundang pemimpin dunia dan bintang film ternama ke villanya di Kepulauan Brioni, Kroasia.

Ketika Tito meninggal, Yugoslaviamemberlakukan masa duka selama tujuh hari. Lagu-lagu pemakaman diputar berulang-ulang di radio. Keesokan harinya, pada tanggal 5 Mei, peti matinya dibawa dengan kereta kepresidenan dari Ljubljana ke Belgrad, lewat Zagreb. Kedua anaknya, Zarko dan Misa, ikut menemani jenazah sang ayah.

Sontak perjalanan kereta disemuti iring-iringan penduduk di jalan. Banyak yang meneteskan air mata sembari melaimbaikan tangan. Beberapa jam sebelum kereta tiba, warga menunggu di tengah hujan di depan gedung parlemen Yugsolavia. Di sana jenazah Tito disemayamkan.

Akhir pahit Yugoslavia

Pada Kamis, 8 Mei, sejumlah pemimpin dunia tiba di Belgrad untuk menghadiri pemakaman Tito. Termasuk yang datang adalah pemimpin Uni Sovyet, Leonid Brezhnec, Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt dan Perdana Menteri Inggris Margaret Tatcher.

Di penghujung kisah hidupnya, Tito dimakamkan di bukit Dedinje, sebuah oase kemewahan di tepi Beograd. Selama peti matinya diturunkan, lagu "Internationale" yang menjadi lagu gerakan sosialis di seluruh dunia mengingang di telinga pelayat. Sirene yang biasanya digunakan sebagai peringatan bahaya, saat itu dibunyikan di kota-kota dan pelabuhan.

Tito meminta agar dimakamkan di balik tembok kediaman pribadinya di jalan Uzicka. Pada musoleum itu, nama Tito ditulis dengan tinta emas.

Dia meninggalkan negeri yang sedang berjibaku menyelamatkan kesatuan nasional. Ketakutan terhadap ekspansi Uni Sovyet menyeruak ketika Moskow menginvasi Afghanistan beberapa bulan sebelumnya. Saat Sovyet ambruk pada 1989, Yugoslavia ikut terpecah oleh kebangkitan kelompok nasionalis di Bosnia, Kroasia, Macedonia, Montenegro, Serbia dan Slovenia.

Percekcokan itu memicu perang saudara yang merenggut lebih dari 130.000 korban jiwa dan sekaligus mengakhiri mimpi Tito menyatukan Yugoslavia.

rzn/hp (afp,rtr)  

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait