1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

68 Tahun Pengusiran Palestina dari Israel

Dana Regev/rzn/yf12 Mei 2016

Setiap tanggal 11 Mai, Israel terbelah antara peringatan kemerdekaan dan ratapan hari Nakbah buat warga Palestina.

Bildkombo Flaggen Israel Palästina

Israel adalah tanah penuh kontradiksi. Corak tersebut semakin nyata terasa pada tanggal 11 Mai. Karena ketika penduduk negeri Yahudi itu merayakan hari kemerdekaan dengan pesta dan upacara, rakyat palestina meratapi "Nakbah" alias hari pengusiran.

Tepat 68 tahun lalu sekitar 700.000 penduduk Palesina diusir dari tanah airnya menyusul Perang Arab-Israel 1948. Desa-desa dihancurkan atau dibeli. Kota dikosongkan. Sebagian terpaksa menetap di jiran Yordania. Yang lain bertahan di sisa wilayah Palestina, Tepi Barat atau Jalur Gaza.

Perayaan tahun ini dirayakan di tengah gelombang kekerasan yang telah berlangsung selama delapan bulan dan merenggut nyawa 28 penduduk Israel dan lebih dari 200 warga Palestina. Seperti tahun-tahun sebelumnya, polisi mengepung Tepi Barat untuk mencegah terjadinya bentrokan.

Veteran perang Israel-Arab memperingati kemenangan pasukan Yahudi pada tahun 1948Foto: Reuters/A.Cohen

Karena pada tanggal 15 Mai, ribuan penduduk Palestina akan turun ke jalan menentang pendudukan militer Isael dan maraknya pemukiman Yahudi di Tepi Barat Yordan. Situasi tersebut mengingatkan warga Palestina akan hari bencana 68 tahun lalu.

"Saya belajar tentang hari Nakbah sejak masa kecil," kata Alaa Daraghme, mahasiswa Palestian berusia 24 tahun yang hidup di Ramallah. "Nenek saya masih suka bercerita tentang jalan-jalan kota Haifa, kampung halamannya. Dia berharap suatu saat bisa membawa saya jalan-jalan ke sana."

Buat warga Israel, pesta kemerdekaan dirayakan sehari setelah upacara peringatan untuk ke 23.000 serdadu yang gugur sejak tahun 1860. "Hari kemerdekaan masih penting buat saya. kedua kakek dan nenek saya selamat dari Holocaust. Bahwa mereka masih hidup menunjukkan pentingnya sebuah negara Yahudi," kata Noa Greenberg, seorang mahasiswi di Tel Aviv.

Tahun lalu sejumlah bioskop Israel menolak menayangkan film dokumentasi tentang hari Nakbah. Langkah tersebut kemudian mendulang kecaman dari produser film dan aktivis kemanusiaan.

"Saya kira film itu harus ditayangkan," kata Greenberg, mahasiswi Psikologis Israel. "Adalah sangat mungkin bahwa kedua pihak tidak berbohong dalam narasinya. Kemerdekaan kami berarti bencana buat mereka. Mengakui hal tersebut tidak seharusnya menakutkan buat Israel."

rzn/hp