Sejarawan berpendapat peringatan Hari Kesaktian Pancasila seyogyanya tidak hanya untuk mengenang pahlawan revolusi, tapi juga mengingat ratusan ribu jiwa yang melayang setelah peristiwa G30S.
Iklan
Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Oktober sebagai tanda duka atas meninggalnya 7 pahlawan revolusi sekaligus menandai tidak tergantikannya Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.
Namun, sejumlah sejarawan berpendapat seyogyanya peringatan itu dilakukan tidak hanya untuk mengenang pahlawan revolusi, tapi juga untuk mengingat orang-orang yang terbunuh setelah peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikenal G30S, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 500 ribu orang.
"Semacam berkabung nasional untuk 7 orang jenderal ditambah dengan orang sebangsa setanah air yang tewas sesudah peristiwa itu dari mulai 1 Oktober dan seterusnya. Demikian banyak jenderal yang tewas, tapi demikian juga yang tewas setelah itu. Kita berduka dan tidak ingin mengulang kejadian itu," ujar sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Marwan Adam, kepada DW Indonesia.
Peringatan Kesaktian Pancasila tak lepas dari peristiwa G30S pada tahun 1965. Dalam peristiwa itu, enam jenderal dan satu perwira TNI tewas dibunuh, jenazah mereka kemudian dimasukkan ke dalam sebuah sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta.
Ke-6 jenderal tersebut yakni Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani, Letjen (Anumerta) Suprapto, Mayjen (Anumerta) M.T. Haryono, Letjen (Anumerta) Siswondo Parman, Mayjen (Anumerta) D.I. Pandjaitan, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo, serta perwira berpangkat Letnan Satu Corps Zeni (Anumerta) Pierre Andreas Tendean.
Kemudian, berawal dari Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto pada 17 September 1966, peringatan Hari Kesaktian Pancasila pertama kali diadakan di Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1966.
Iklan
Ideologi ekstrem lain perlu diwaspadai
Dosen pendidikan sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Hendra Kurniawan, mengatakan bahwa saat ini tidak hanya ideologi komunis yang harus diwaspadai, tetapi juga ideologi lain seperti radikalisme.
"Kesaktian Pancasila dimunculkan Orde Baru untuk menunjukkan tegaknya Pancasila yang gagal digantikan oleh ideologi komunis. Diperingati boleh saja sebagai kewaspadaan atas ancaman Pancasila. Namun tidak hanya komunis yang harus diwaspadai tapi juga ideologi lain seperti radikalisme," ujar Hendra Kurniawan kepada DW Indonesia.
Terkait peristiwa G30S, ia menilai diperlukan kajian selanjutnya dari peristiwa ini, serta pembantaian simpatisan maupun terduga simpatisan PKI yang menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang memiliki pengalaman diwajibkan menonton film tentang PKI setiap tanggal 30 September, Hendra Kurniawan berharap generasi muda saat ini bisa mempelajari versi lain dari tragedi G30S. Ia ingin agar para pemuda bisa dengan terbuka mencari tahu dan mendiskusikan runtutan kejadian lewat diskusi dan pembelajaran di sekolah.
"Saya kira saat ini generasi muda yang tidak punya ikatan masa lalu perlu bersikap kritis dengan banyak membaca. Saat ini literatur sudah lebih banyak, ditambah keterbukaan informasi melalui internet," kata dia.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.
Foto: Getty Images/AFP/H. Dinh Nam
6 foto1 | 6
Masih tunggu permintaan maaf
Sejarawan LIPI, Asvi Marwan Adam, hingga kini masih berharap pemerintah meminta maaf terhadap orang-orang yang terpaksa eksil atau diasingkan tahun 1965 dan dicabut kewarganegaraannya menyusul peristiwa itu.
Setelah G30S, ribuan orang yang sedang mengemban tugas atau bersekolah di luar negeri dicabut kewarganegaraannya karena dianggap terlibat PKI. Selain itu, Asvi juga memperkirakan ada sekitar 10 ribu orang yang dibuang ke Pulau Buru antara tahun 1969 hingga 1979 tanpa adanya proses peradilan. Jumlahnya ujar Asvi, sekitar 10 ribu orang.
"Pemerintah harus mengakui hal itu sebagai suatu kesalahan dan kekeliruan, dan meminta maaf kepada mereka. Kemudian, pemerintah juga harus memberikan rehabilitasi bagi mereka yang dibuang ke Pulau Buru. Jika ada rehabilitasi maka itu sudah lebih dari maaf," ujar dia.
Menurutnya, permintaan maaf yang dinantikan dari pemerintah tidak ada kaitannya dengan ideologi maupun organisasi PKI, tapi lebih merupakan persoalan kemanusiaan.
"Ini persoalan kemanusiaan dan bukan hanya ideologi. Seharusnya pemerintah itu berprinsip seperti itu sehingga bisa bersikap mengakui kekeliruan dan meminta maaf dan tidak usah khawatir akan anggapan PKI karena itu tidak ada hubungannya," kata Asvi.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Menurutnya, permintaan maaf dari pemerintah akan berdampak sangat besar karena akan dicatat dalam sejarah kalau mereka telah melakukan kesalahan dan mereka meminta maaf. Sementara itu, dampak lainnya adalah menekankan kalau kejadian serupa tidak boleh terjadi lagi.
"Ini merupakan pemerintah yang dewasa dan mengakui kesalahan mereka di masa lalu. Itu juga dilakukan juga oleh pemerintah negara besar lainnya. Indonesia harusnya juga seperti itu."
Saatnya merangkul semua
Hal senada disampaikan, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Chandra Halim, mengatakan pemerintah bisa memberikan klarifikasi kepada korban dan keluarga korban yang hidupnya menderita karena dituduh terlibat PKI. Padahal banyak dari mereka tidak tidak terlibat dan sebagian masih hidup serta harus menyimpan trauma seumur hidup, ujar Chandra Halim.
Dalam penelitiannya, ada orang yang diseret petugas dan diasingkan ke pulau Buru hanya karena difitnah tetangga. Kejadian tersebut banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Wonosobo, sepanjang Bengawan Solo, Kampung Sewu, tutur Chandra.
"Anak dari seorang PKI belum tentu dia berideologi PKI. Saya kira bagus jika pemerintah bisa maafkan itu semua dan merangkul mereka supaya tidak dijauhi dan bisa mendapatkan fasilitas. Itu bukan berarti menghidupkan PKI tapi merangkul orang yang sudah dituduh PKI, saya rasa rekonsiliasi itu baik," kata dia. (ae)