Apakah Megawati sepatutnya masih jadi penentu atau sebaiknya malah menjauh dari politik riil sehari-hari? Opini Aris Santoso.
Iklan
Sebagaimana peristiwa besar lainnya, membahas Peristiwa 27 Juli (1996) senantiasa aktual. Terlebih ketika partai yang lahir dari gejolak peristiwa itu, yaitu PDIP, hari ini sedang berjaya. Bagaimana tidak, salah seorang kadernya sedang menjadi Presiden, kemudian disusul kader-kader lain yang turut masuk dalam lingkaran elite kekuasaan.
Rasanya tak berlebihan bila dikatakan Peristiwa 27 Juli ibarat "mata air” bagi eksistensi PDIP. Seperti halnya mata air yang selalu memberi kehidupan bagi masyarakat di sekitarnya, demikian juga dengan Peristiwa 27 Juli, yang telah memberikan "kehidupan” bagi PDIP, yakni menjadi mata air bagi kejayaan dan kekuasaan.
Bila pemanfaatan mata airnya terlalu deras, tentu suatu saat debit airnya secara perlahan akan surut. Fenomena seperti itu tampaknya sedang berlaku pada Peristiwa 27 Juli, ketika para calon kepala daerah yang diajukan PDIP banyak yang berguguran, dalam Pilkada serentak baru-baru ini. Memang tidak bisa dikatakan gagal sepenuhnya, namun tetap saja tidak sesuai harapan.
Karma politik
Turunnya performa PDIP yang ditandai dengan hasil pilkada serentak baru-baru ini, bisa dibaca sebagai karma (politik). PDIP lahir dan naik pamornya karena Peristiwa 27 Juli, dan tersebab peristiwa yang sama pula, PDIP mengalami masa surut. Sejatinya, apa yang kini terjadi pada PDIP, tidak bisa dilepaskan dari tindakannya selama ini, terutama kepada rakyat kebanyakan, mengingat partai ini selalu mengklaim dirinya sebagai partainya wong cilik.
Politik tidak bergerak di ruang hampa, itu sebabnya ada kosakata memori kolektif. Momen historis seperti Peristiwa 27 Juli, bisa dijadikan jendela untuk mempelajari masa lalu, sebaga bahan refleksi hari ini, dan menyiapkan masa depan. Dalam konteks PDIP, masa depan dimaksud adalah melanjutkan kekuasaan, dan bila memungkinkan dengan durasi tak terbatas. Seperti dalam kehidupan nyata, tak ada yang lebih pahit ketimbang angan-angan yang patah di tengah jalan.
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.
Foto: Getty Images
8 foto1 | 8
Namun persoalannya parpol lain juga memiliki cita-cita yang sama terkait kekuasaan, jadi tentu tidak tinggal diam. Adalah hal yang wajar jika calon-calon lawan PDIP, akan mengolah perilaku kader-kader PDIP yang terlibat kasus korupsi, untuk kemudian diolah menjadi bahan kampanye negatif.
Sebenarnya kasus korupsi menimpa hampir semua kader parpol, namun masalahnya PDIP adalah partai berkuasa, jadi akan selalu menjadi sasaran tembak. Singkatnya adalah, posisi PDIP sebagai "korban” dari Peristiwa 27 Julisudah tidak bisa lagi dijadikan modal politik untuk menarik simpati publik. Rasa belas kasihan publik atas tragedi 22 tahun lalu itu sudah tidak mampu mendongkrak performa PDIP.
Perilaku eksponen PDIP dalam mengelola kekuasaan sudah tercatat semuanya dalam memori publik. Yang dampaknya sudah kita lihat dalam pilkada serentak baru-baru ini. Segala tindakan di masa lalu, cepat atau lambat, akan memberi akibat, sesuai hakikat hukum karma.
Fakta Unik Pilkada Serentak 2018
Sebanyak 171 daerah akan mengalami pergantian pemerintahan seusai Pilkada Serentak 2018. Inilah sejumlah fakta Pilkada, termasuk koalisi PDIP-Gerindra dan kaum perempuan yang kurang terwakili meski berstatus mayoritas.
Foto: Reuters
Nusantara Bersuara
Pemilihan Kepala Daerah kali ini tergolong yang paling besar dalam sejarah Indonesia. Secara total sebanyak 171 daerah pemilihan akan diperebutkan, termasuk pemilihan gubernur di 17 provinsi. Selain itu pemilih juga akan ikut menentukan pergantian pemerintahan di 115 kabupaten dan 39 kota. KPU mencatat 520 pasangan calon bertarung dalam pilkada kali ini.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Koalisi Dua Musuh
Tiada lawan yang abadi. Meski berseteru di level nasional, Partai PDI-P dan Gerindra dengan capresnya Prabowo Subianto (ki.) dan Joko Widodo (ka.) saling berkoalisi di Pilkada Serentak. Tercatat kedua partai bahu membahu di lima pemilihan gubernur, 37 pemilihan bupati dan 6 pemilihan walikota. Gerindra dan PDI-P menggalang koalisi dengan PKS di setidaknya dua pilgub, antara lain di Jawa Timur.
Foto: Reuters
Dominan Suara Perempuan
Dari 152 juta pemilih yang berhak mencoblos pada Pilkada Serentak 2018, lebih dari separuhnya, yakni 76 juta adalah perempuan. Sementara pemilih laki-laki tercatat berjumlah 75,9 juta orang. Namun jumlah tersebut berbanding terbalik dengan daftar kontestan Pilkada yang hanya memuat 101 perempuan, atau 8,85% dari total 1.140 pendaftar bakal calon kepala daerah.
Foto: Reuters
Risiko Keamanan
Polisi memprediksi lima provinsi akan menjadi titik rawan keamanan selama Pilkada 2018. Provinsi itu adalah Papua, Maluku, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Perkiraan Polri terbukti ketika pesawat yang mengangkut logistik Pemilu dan personil pengamanan ditembak kelompok bersenjata di Papua. Tiga orang dikabarkan meninggal dunia.
Foto: Getty Images/J. Kriswanto
Banjir Polisi dan Serdadu
Untuk mengamankan jalannya Pilkada pemerintah mengerahkan hampir separuh aparat kepolisian dan militer. Tercatat Polri menurunkan 184 ribu personil, sementara TNI menyiagakan hampir 100 ribu serdadu. Pengamanan jalannya Pilkada juga akan dibantu 823 ribu anggota satuan Perlindungan Masyarakat alias Linmas. Untuk itu Polri mengajukan anggaran pengamanan sebesar 2,17 triliun Rupiah.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Anggaran Membengkak
Besarnya keterlibatan pemilih dalam Pilkada kali ini membuat ongkos penyelenggaraan ikut membengkak. Pemerintah secara total menganggarkan Rp. 15.09 triliun yang sebagian besarnya diserap oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Kedua lembaga tercatat masing-masing mengantongi anggaran sebesar 11,9 triliun dan 2,6 triliun Rupiah.
Foto: Reuters
Ramai Calon Independen
Sebanyak 437 pasangan calon merapat ke partai politik untuk Pilkada kali ini. Namun terdapat 83 pasangan yang berusaha lewat jalur independen alias perseorangan. KPU mencatat 15 daerah memiliki kontestan independen, antara lain Herman A. Koedoeboen - Abdullah Vanath di Pilgub Maluku, Ali Bin Dachlan - Gede Sakti di Pilgub NTB dan Ichsan Yasin Limpo - Andi Mudzakkar di Sulawesi Selatan. (rzn/yf)
Foto: Reuters
7 foto1 | 7
Penyegaran pimpinan
Peristiwa besar selalu menjadi momentum bagi perubahan, khususnya di tataran elite politik, baik sipil maupun militer. Seperti pengalaman PDIP sendiri, yang lahir karena adanya peristiwa besar yang didisain dari kekuatan eksternal, dalam hal ini rezim Orde Baru. Masalahnya sekarang, PDIP adalah partai yang sedang berkuasa, sehingga hampir mustahil adanya intervensi dari kekuatan di luar dirinya. Bisa jadi kekuatan yang ingin menggoyang PDIP, justru balik dilibas oleh PDIP.
Dengan kata lain, momentum itu harus dikreasi PDIP sendiri, salah satunya adalah ikhtiar penyegaran pimpinan. Ikhtiar ini perlu dilakukan agar bisa menarik dukungan dari generasi milenial, mengingat populasi generasi ini sangat besar, sehingga potensial menambah suara bagi PDIP.
Figur utama seperti Megawati, sudah terlampau senior dan sudah lama memimpin. Megawati bisa disebut masuk kategori Angkatan 1966, sebuah generasi yang di luar imajinasi generasi milenial. Salah satu sosok yang bisa diorbitkan adalah Budiman Sujatmiko, seorang aktivis dan kader militan PDIP. Tentu masih ada kader yang lain, namun Budiman memiliki nilai tersendiri, mengingat Budiman bersama organisasinya yang terdahulu (Partai Rakyat Demokratik), telah menjadi perisai saat tragedi 27 Juli berlangsung, dan hari-hari pasca-peristiwa.
Di masa lalu PDIP acapkali sekadar menjadi tempat "transit” bagi tokoh-tokoh muda, seperti Marisa Haque (pindah ke PPP), pelawak Miing (pindah ke PAN), Syaifulah Yusuf (Gus Ipul, cagub Jatim yang kalah), dan seterusnya. Mereka sudah sempat memperoleh posisi empuk sebagai anggota DPR-RI, meski belum lama bergabung, namun kemudian keluar begitu saja, seolah tanpa beban.
Sementara pada saat yang bersamaan, PDIP tidak kekurangan kader-kader yang militan dan konsisten, yang kesetiaanya pada PDIP tidak diragukan lagi, yang bersedia membangun karier sejak di tingkatan paling rendah. Termasuk setia pada pada ideologi kerakyatan, yang menjadi warna PDIP selama ini. Mereka sudah saatnya untuk diberi kesempatan tampil, memimpin partai.
Kebangkitan Pemimpin Perempuan di Indonesia
Meski hanya memenangkan 15 dari 111 daerah pemilihan, kemunculan pemimpin perempuan di sejumlah daerah menjadi salah satu catatan manis Pilkada 2018. Inilah sejumlah figur yang patut Anda kenal.
Foto: Detik.com
Khofifah Indar Parawansa
Meski awalnya tidak mendapat dukungan besar, Khofifah merebut hati penduduk Jawa Timur dan mengalahkan Saifullah Yusuf yang lebih diunggulkan. Sosokyang juga mantan anak didik bekas Presiden Abdurrahman Wahid ini sejak awal berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Ia menjabat ketua umum Muslimat NU selama empat periode berturut-turut. Tidak heran jika Alm. Gus Dur pernah menyebutnya "srikandi NU".
Foto: Detik.com
Tri Rismaharini
Sebanyak 86,34% suara dikumpulkan Risma saat memenangkan masa jabatan kedua dalam Pemilihan Walikota Surabaya 2015 silam. Kinerjanya yang apik dan faktor kesederhanaan membuat walikota perempuan pertama Surabaya ini berulangkali masuk dalam nominasi walikota terbaik di dunia, termasuk memenangkan Lee Kuan Yew World City Prize 2018.
Foto: Detik.com
Haryanti Sutrisno
Didaulat sebagai salah satu bupati terkaya di Indonesia saat ini, Haryanti akan melakoni masa jabatan kedua di Kabupaten Kediri menyusul hasil Pilkada 2018. Namun kemenangannya itu juga turut memperpanjang kekuasaan dinasti Sutrisno di Kediri selama hampir 20 tahun. Suaminya itu juga menjabat sebagai bupati untuk periode 2000-2010.
Foto: Detik.com
Chusnunia Chalim
Dengan usia yang baru menginjak 36 tahun, Chusnunia Chalim atau lebih sering dipanggil Nunik sudah mengantongi riwayat karir yang cemerlang. Ia tidak hanya pernah menjabat sebagai bupati Lampung Timur, tetapi juga memenangkan Pilkada Lampung 2018 sebagai wakil gubernur. Politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa ini juga pernah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat antara 2009-2014.
Foto: Detik.com
Anna Muawanah
Sejak 2004 Anna Muawanah yang merupakan kader PKB sudah malang melintang sebagai anggota legislatif sebelum memenangkan Pemilihan Bupati Bojonegoro dengan perolehan suara 35,2% pada Pilkada 2018 silam. Dalam kehidupan sehari-hari Anna bekerja sebagai seorang pengusaha yang bergerak di bidang industri logam dan peternakan.
Foto: Detik.com
Mundjidah Wahab
Mundjidah Wahab boleh jadi salah satu pemimpin perempuan paling berpengalaman di Indonesia saat ini. Sejak tahun 1971 ia sudah aktif di DPRD Jombang dan di Jawa Timur, sebelum menjabat wakil bupati Jombang sejak 2013 silam. Dalam Pilkada kemarin Mundjidah yang juga sempat menjadi pengurus MUI memenangkan kursi bupati Jombang untuk lima tahun ke depan.
Foto: Detik.com
Puput Tantriana Sari
Kemenangan Puput Tantriana dalam Pilbup Probolinggo 2018 membetoni kekuasaan keluarganya yang sudah memerintah kawasan tersebut sejak dipegang suaminya, Hasan Aminuddin antara 2003-2013. Dengan usianya yang baru 35 tahun, Puput saat ini tercatat sebagai salah satu bupati perempuan termuda di Indonesia.
Foto: Detik.com
Faida
Sebagai Bupati perempuan pertama di Jember, karir Faida banyak mendapat sorotan selama Pilkada 2018. Pasalnya sebelum terjun ke dunia politik, dia lebih banyak bergelut dengan profesinya sendiri sebagai seorang dokter. Sepanjang karirnya Faida lebih banyak mengurusi rumah sakit al-Huda, Banyuwangi, yang dibangun oleh ayahnya sendiri. (rzn/hp: detik, kompas, tirto, tribunnews)
Foto: Detik.com
8 foto1 | 8
Aset bangsa
Posisi Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), adalah jabatan yang sangat mulia. Ini kira-kira sama maknanya dengan resi dalam karya-karya klasik. Mungkinkah ini semacam sinyal, bahwa memang perlu ada alih generasi pada kepemimpinan PDIP. Sehingga Megawati bisa konsentrasi penuh di BPIP.
Figur sekelas Megawati sebenarnya sudah sepatutnya menjauh dari politik riil sehari-hari, sesuai dengan konsep resi di atas. Megawati sudah menjadi figur nasional, bukan sebatas PDIP. Terlebih bagi lembaga setinggi BPIP, ternyata masih menyimpan problem akut. Sejak diresmikan tahun lalu, BPIP belum juga meluncurkan produk yang manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat. Pengalaman Megawati dalam membesarkan PDIP, beserta pasang surutnya, kiranya bisa ditransfer dalam memimpin BPIP. Megawati tidak perlu khawatir atas keberlangsungan PDIP, bila kelak dipimpin oleh generasi yang lebih baru.
PDIP adalah warisan berharga bangsa dari abad ke-20. PDIP lahir dari kontradiksi antar-elite di penggal terakhir Orde Baru. PDIP muncul sebagai simbol perlawanan rakyat. Dari segi historis, alasan kelahirannya sangat berbeda jauh dengan parpol lain, yang didirikan pasca-Reformasi, yang lebih untuk memenuhi aspirasi kekuasaan para pendirinya. Sungguh, rakyat masih menaruh harap pada PDIP.
Aris Santoso adalah penulis sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
Pemilih Pemula, Pemilih Cerdas
Sekitar 14 juta orang adalah pemilih potensial yang bakal memakai hak pilih untuk pertama kalinya dalam pemilu 2014. Sebuah jaringan pemuda menggagas ide untuk menarik minat generasi muda agar peduli akan pemilu.
Foto: Pingkan Irwin
Inisiator AyoVote
Bermula dari keprihatinan akan banyaknya anak muda yang apolitis, Pingkan Irwin, bersama kawannya berinisiatif membangun platform AyoVote untuk mendorong minat generasi muda pada politik.
Komunisasi lewat situs AyoVote
Dunia anak muda kerap diidentifikasikan dengan internet, termasuk jejaring sosial. Pingkan membangun platform AyoVote untuk komunikasi pendidikan politik kaum muda. AyoVote juga disebarluaskan melalui Twitter dan Facebook.
Foto: www.ayovote.com
Istilah dalam gambar
Lewat gambar-gambar menarik, istilah-istilah dalam pemilu diperkenalkan. Gambar-gambar semacam ini disebar pula lewat jejaring sosial, berikut penjelasan akan istilah-istilah pemilu.
Foto: Pingkan Irwin
“Are You Smarter Than Pingkan?”
Untuk memancing ide dan mengetahui sejauh mana wawasan anak muda akan pemilu, diciptakan juga berbagai permainan bertema pemilu, lewat video “Are You Smarter Than Pingkan?” Salah satu pertanyaannya seputar sejarah pemilihan umum di Indonesia.
Foto: Pingkan Irwin
Diskusi di keramaian
Salah satu bentuk kegiatan dari AyoVote adalah diskusi soal pemilu. Diskusi diadakan di tempat-tempat terbuka yang yang marak dengan kegiatan anak muda, misalnya pusat perbelanjaan kawula muda di Jakarta.
Foto: Pingkan Irwin
Suasana dan tempat nyaman
Untuk menggaet minat anak muda, penyajian acara pun harus menarik dan memberikan suasana yang nyaman.
Foto: Pingkan Irwin
Menjadi pemilih cerdas
Menjadi pemilih yang cerdas. Anak-anak muda diharapkan dapat memberi suaranya dengan tepat dalam Pemilu 2014 yang disebut sebagai era konsolidasi demokrasi.