Banyak sastrawan Indonesia terpaksa mengungsi ke luar negeri karena persoalan politik di masa lalu. Sebagian dari mereka tak kunjung bisa kembali dan terpaksa mati sebagai manusia eksil.
Iklan
Koruptor mati meninggalkan noda; sastrawan mati meninggalkan karya. Salah satu penyair besar kita yang tersisa dari masa silam, Sitor Situmorang, wafat 20 Desember 2014 silam di Apeldoorn, Belanda, pada usia 90 tahun, mewariskan ratusan puisi dan nama besar. Tak berapa lama kabar kematiannya menyebar, Presiden Jokowi, melalui akun Twitter resminya segera menyatakan dukacita, "Saya turut bela sungkawa atas wafatnya sastrawan besar nasional, Bapak Sitor Situmorang …”
Sitor memang dihormati kawan dan lawan. Oleh Ajip Rosidi, sastrawan berbeda kubu politik di masa lalu, Sitor yang juga menulis cerpen, esai, dan lakon, dikagumi tak hanya karena produktivitas kepenulisannya pada awal 1950-an, tapi juga karena gayanya "yang khas dan memberikan udara segar pada penulisan puisi waktu itu dan karena filsafat ‘iseng' yang dibawakannya”.
Sitor dilahirkan di Harianboho, Pulau Samosir, Sumatra Utara, 2 Oktober 1924. Sebagai penyair, dia dianggap bagian dari Angkatan 1945 bersama Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Pada masa revolusi kemerdekaan itu dia bekerja sebagai wartawan. Pada 1950-1953, Sitor berkelana di Eropa. Di sana ditulisnya puisi-puisi dan cerpen-cerpen "eksistensialis” yang kerap sinis memandang kehidupan. Dia bahkan sinis terhadap dirinya sendiri. Sitor pernah menulis begini tentang dirinya dalam satu cerpen berlatar Paris: "Rambut lebat, dipotong pendek, janggut muda, kemeja berkotak-kotak, tak mudah kotor dan tebal; asal dan pekerjaan tidak terang, tapi sepanjang hari ngobrol minum kopi.”
Sepulang ke Indonesia dia menerbitkan kumpulan puisi Surat Kertas Hidjau (1953) yang liris dan indah. Saya beruntung mendapatkan buku tua terbitan Pustaka Rakjat, Jakarta, itu di sebuah pameran buku di Bandung. Di situ terbaca sebait sajak sendu: "Mari, dik, tak lama hidup ini/Semusim dan semusim lagi/Burungpun berpulangan.” Berpuluh tahun kelak, puisi itu mengilhami seorang pengarang lain menulis sebuah novel.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Pada tahun 1959, Sitor mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional dan kemudian gerak-geriknya makin condong ke politik yang kekiri-kirian. Dia menjadi tokoh di panggung kebudayaan nasional, kerap mewakili negara bermuhibah ke negeri-negeri blok Timur serupa Tiongkok dan Rusia. Pada 1963, terbitlah sebuah kumpulan esainya yang menandaskan sikap kesenian dan politiknya, Sastra Revolusioner.
Namun, tibalah petaka nasional setelah peristiwa G30S 1965. Sitor yang termasuk kaum nasionalis kiri pendukung Bung Karno layaknya pengarang besar Pramoedya Ananta Toer—meski mereka berdua berbeda haluan politik—ikut terlibas gelombang sejarah. Dia dipenjarakan oleh kaum militer pendukung rezim Orde Baru Soeharto dan baru bisa menghirup udara bebas pada 1975.
Situasi politik yang serba represif pada masa berkuasa rezim Soeharto mendorong Sitor hengkang ke Belanda pada 1980. Dia menetap di sana hingga akhir hayat bersama istri terakhirnya, Barbara Brouwer, walau sesekali pulang ke tanah air.
Kabar Gembira
Penyair boleh mati, tapi tidak karyanya. Akhir tahun 2016 lalu berembus kabar gembira dari Jerman. Kumpulan puisi terpilih Sitor selesai diterjemahkan oleh Martina Heinschke yang juga telah menerjemahkan novel Eka Kurniawan, Lelaki Harimau, ke bahasa Jerman. Jika tak ada aral melintang, naskah berisi 80-an puisi yang diterjemahkan lewat program bantuan dana penerjemahan dari Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia itu akan diterbitkan tahun ini oleh penerbit Ostasien yang bertempat di Hamburg.
Upaya penerjemahan dan penerbitan puisi-puisi Sitor ini tentu satu langkah maju dalam upaya memperkenalkan dan mempromosikan karya-karya terbaik dalam khazanah sastra Indonesia di pentas dunia.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
Luka Sejarah
Wafatnya Sitor di negeri yang jauh mengingatkan kita pada luka sejarah yang belum kunjung sembuh. Banyak sastrawan kita terpaksa mengungsi ke luar negeri karena persoalan politik di masa lalu. Sebagian dari mereka tak kunjung bisa kembali dan terpaksa mati sebagai manusia eksil.
Itu misalnya terjadi pada dramawan terkemuka Utuy Tatang Sontani yang pada 1965 kebetulan sedang berada di Tiongkok untuk satu muhibah dan tak bisa pulang. Dia terpaksa mengembara hingga wafat dan dikuburkan di Moskow, Rusia, pada 1980. Atas derita mereka yang tak bisa pulang dengan tenang ke tanah air itulah sastrawan Martin Aleida tengah menyiapkan satu buku berlatar Eropa yang berkisah tentang mereka yang oleh Gus Dur disebut "orang-orang kalayaban” itu.
Sudah saatnya Tap MPRS No. XXIV/1966 yang melarang Marxisme di Indonesia dicabut. Pandangan politik dan ideologi adalah hak asasi manusia. Tak perlu terulang tragedi "anak-anak hilang” yang tak bisa pulang ke kampung halaman hanya karena gejolak politik. Jangan pula aturan lama itu menjadi dasar penindasan kebebasan berekspresi seperti yang terjadi dalam kasus pemberangusan buku kiri yang kembali marak setahun lalu.
Anton Kurnia, penulis buku Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa (2016).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Günter Grass: Kilas Kehidupan
Jerman berdukacita. Pengarang peraih hadiah Nobel kesusastraan ini meninggal 13 April 2015 dalam usia 87 tahun. Kisah hidupnya yang juga diwarnai kontroversi kami tampilkan dalam kilasan foto :
Foto: picture-alliance/dpa
Berdukacita untuk Günter Grass
Pemenang hadiah Nobel kesusastraan asal Jerman ini meninggal 13 April 2015 dalam usia 87. Ia merupakan penulis pasca perang paling menonjol di Jerman. Aktif secara politik, tergolong kaum intelektual, punya tendensi mempolarisasi publik, sering melontarkan debat polemik seputar masa lalu Jerman maupun tema kontemporer.
Foto: AFP/Getty Images/J. Macdougall
Tumbuh di Prussia Timur
Grass lahir 16 Oktober 1927 di kawasan yang saat itu masuk Prussia Timur. Ia dibesarkan dalam keluarga kebanyakan di kota Danzig (sekarang Gdansk, Polandia). Saat kecil, ia menjadi pelayan misa dan kemudian bergabung dengan Hitler Jugend sebuah onderbouw NAZI. Ia juga mempublikasikan tulisan pertamanya di majalah "Hitlerjugend."
Foto: Getty Images
Era Nazi
Grass bergabung sukraela dalam dinas militer untuk keluar dari kesengsaraan dalam keluarganya. Tahun 1944, Grass yang berusia 17 tahun ditarik menjadi anggota pasukan khusus NAZI Waffen-SS. Di akhir Perang Dunia II ia ditangkap tentara Amerika sebagai tawanan perang.
Foto: Sean Gallup/Getty Images
Training Jadi Seniman
Pasca perang ia memulai training sebagai pematung dan belajar grafis di Dusseldorf, kemudian di Berlin dan Paris. Karya patung dan seni grafisnya dipamerkan dalam berbagai even penting. Ia tetap menekuni kerja sebagai seniman hingga akhir hayatnya dan mendesain sendiri sampul buku karyanya.
Foto: AP
Bergabung dengan Gruppe 47
Pada tahun1950-an Grass makin menekuni kesusastraan. Pada 1955, karyanya menarik perhatian "Gruppe 47," sebuah kelompok penulis yang punya pengaruh besar di Jerman. Dalam sebuah pertemuan grup ini, Grass membacakan dua bab dari novelnya "Blechtrommel" yang siap cetak dan kemudian meroketkan namanya sebagai penulis.
Foto: picture-alliance/dpa
Terobosan Besar sebagai Penulis
Novel "Blechtrommel" yang dipublikasikan 1959 merupakan terobosan besar dan nama Grass terkenal di dunia internasional. Bukunya diangkat menjadi film pada tahun 1979 oleh sutradara kenamaan Jerman, Volker Schlöndorff. Trilogi Gdansk yang menyoroti kekejaman NAZI ia lengkapi dengan Katz und Mauds (161 dan Hundejahre (1963). Grass tidak pernah berhenti mengingatkan kebrutalan rezim NAZI.
Foto: ullstein - Tele-Winkler
Komitmen Politik
Grass juga aktif secara politik dan terus mendorong rekonsiliasi Jerman dengan Polandia. Pada 1960 ia bertindak sebagai juru kampanye Partai Sosial Demokrat SPD dan terus mendukung partai ini hingga akhir hayatnya.
Foto: picture alliance/Dieter Klar
Grass Dikecam
Tahun1995, kritikus sastra paling terkemuka dan kontroversial, Marcel Reich-Ranicki, menyobek novel "Ein weites Feld". Ini adalah novel politik menyoroti panorama sejarah Jerman Antara 1848 hingga runtuhnya Tembok Berlin. Buku ini memicu debat panas dan Grass dituding memelintir sejarah. Aksi robek buku ibaratnya iklan ampuh, dan bukunya jadi bestseller.
Hadiah Nobel
Empat tahun kemudian pada 1999, Grass dianugerahi hadiah Nobel kesusastraan. Komite Nobel bergumen, penghargaan bagi Grass untuk mengingatkan kembali satu bagian gelap dari sejarah, dan juga kenyataan bahwa novelnya Blechtrommel menjadi salah satu karya terpenting kesusastraan di abad ke 20.
Foto: AP
Kredibiltas Dipertanyakan
Dalam autobiografinya "Beim Häuten der Zweibel" atau "mengupas kulit bawang", Grass untuk pertama kalinya mengaku bahwa ia bergabung dengan pasukan khusus NAZI Waffen-SS pada 1944. Para pengritik mempertanyakan integritas moral serta kredibilitas Grass.
Foto: picture-alliance/SCHROEWIG
Mengritik Israel
Pada ulang tahun ke 80 di tahun 2007, Grass kembali diakui sebagai penulis besar. Tapi pada April 2012, dalam harian terkemuka "Süddeutsche Zeitung" ia mempublikasikan puisinya yang mengritik politik Israel. Puisi ini lalu dikecam sebagai bergaya buruk dan Grass dikritik sebagai tidak peduli dan anti Yahudi.
Foto: picture-alliance/dpa
Opini Kuat dan Siap Bertarung
Desember 2013, Grass menjadi salah seorang dari 562 penandatangan "Writers Against Mass Surveillance" yang menyerukan warga agar bangkit melawan pengawasan dan mata-mata dari dinas rahasia Amerika Serikat. Hingga ia menutup mata, Grass terkenal sebagai intelektual yang kontroversial, yang karyanya banyak dipuji serta banyak menuai kritik.