1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menghentikan Kebencian Terhadap LGBT

Tunggal Pawesri 31 Agustus 2016

Saat ini, sejak beberapa pekan, berlangsung upaya untuk melegalkan tindak kekerasan terhadap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Simak Opini Tunggal Pawesri.

Foto: picture-alliance/dpa/C. Bruna

Ini terjadi di Mahkamah Konstitusi: sekelompok orang bertekad memformalkan kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi. Mereka juga berupaya untuk mempidanakan hubungan seksual di luar pernikahan dengan memperluas cakupan pidana perzinahan dalam KUHP.

Gugatan uji materi tersebut diajukan sekelompok orang yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Pada bulan Mei 2016, mereka mendaftarkan uji materi pasal 284 (perzinahan), 285 (perkosaan) dan 292 (pencabulan sejenis orang dewasa terhadap anak) KUHP ke Mahkamah Konstitusi. AILA menginginkan agar ada perluasan makna terhadap masing-masing pasal tersebut.

Pidana perzinahan mereka inginkan untuk tidak lagi terbatas kepada hubungan seksual pasangan yang sudah menikah namun juga menyasar kepada pasangan yang tidak menikah. Pidana pencabulan juga diperluas maknanya dengan membidik hubungan seksual sejenis sesama orang dewasa.

Dengan bersumpah di atas kitab suci, mereka yang disebut para ahli ini menyampaikan pendapatnya secara terbuka. Kepada para hakim penjaga konstitusi, tanpa sedikit pun keraguan mereka mengatakan berbagai hal, yang intinya adalah bahwa LGBT adalah penyakit kejiwaan, otaknya error dan saat ini Indonesia sedang menghadapi proxy war untuk isu LGBT.

Tunggal PawesriFoto: privat

Mereka disebut sebagai ahli dan menyandang berbagai gelar. Namun dalil-dalil yang dikemukakan lebih merupakan pandangan keagamaan, dan tidak bisa ditelusuri pada bidang keilmuan masing-masing.

Sungguh mencemaskan. Mahkamah Konstitusi, sebagai sebuah lembaga pengawal konstitusi, tempat warga negara mempermasalahkan hukum dan perundangan yang tidak beres, kini justru dijadikan alat sekelompok orang berpandangan sempit untuk mempidanakan atau mengkriminalisasi kelompok minoritas seksual dan gender dalam masyarakat, yang selama ini sudah dalam posisi sangat rentan dan tak cukup terlindungi.

Penyingkiran Sistematis

Saya selalu percaya bahwa konstitusi harus memuat dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap keberagaman. Dengan segala kekurangannya, konstitusi juga dengan tegas memberikan perlindungan bagi semua kelompok masyarakat. Melalui konstitusi, Indonesia telah meneguhkan dirinya sebagai negara hukum, yang memiliki prinsip dasar bahwa hak setiap warga negara harus dilindungi tanpa terkecuali. Bahwa setiap orang berada di posisi yang setara di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (1) mengamanatkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Apa yang sekarang sedang terjadi di Mahkamah Konstitusi merupakan puncak dari upaya sistematis untuk menyingkirkan sebuah kelompok minoritas di masyarakat. Mereka yang selama ini tak pernah terlindungi oleh konstitusi justru terancam kekerasan yang dilegalkan. Apakah kita hendak memperpanjang serial kekerasan terhadap kelompok liyan, warga negara yang kedudukannya sama di hadapan hukum itu?

Klik untuk membaca lanjutannya...

Penting diketahui, sepanjang tahun 2013 hingga 2015 terdapat 110 kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Indonesia. Data tersebut tercatat dengan rapi dalam laporan yang tiap tahun dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Riset lainnya yang dilakukan oleh organisasi LGBT Arus Pelangi, KSM dan PLUSH di tahun 2013 menemukan bahwa 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan.

Kekerasan meningkat drastis pada bulan Januari sampai Maret awal tahun 2016 ini. Tentu kita masih ingat ujaran kebencian yang dilontarkan para politisi dan pemuka agama mengenai LGBT. Tak sedikit diantaranya yang berlebihan, tanpa data yang bisa dipertanggung-jawabkan.

Contohnya yang paling vulgar adalah pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang mengatakan bahwa LGBT adalah suatu proxy war yang lebih berbahaya dari bom nuklir, seperti dikutip Tempo 23 Februari 2016: ”Itu bahaya karena kita tak bisa melihat siapa musuh kita, tahu-tahu dicuci otaknya. Kini (LGBT) ingin merdeka segala macam, itu benar-benar sebuah ancaman. Dalam perang nuklir, jika bom jatuh di Jakarta, Semarang tak akan hancur—tapi dalam proxy war, semuanya bisa hilang dalam sekejap—itu berbahaya.”

Pernyataan lain datang dari seorang politisi PKS, anggota DPR RI Mahfudz Sidiq “Masalah LGBT bisa merusak keamanan nasional, identitas, kebudayaan, dan keyakinan orang Indonesia'.

Para politisi yang diharapkan untuk mengeluarkan pernyataan yang jernih agar diskusi di masyarakat jadi lebih sehat, malah seperti berkompetisi membuat pernyataan paling provokatif.

Kekerasan untuk menumpas perbedaan tidak boleh dilanggengkan. Isu seperti LGBT akan selalu penuh pro dan kontra, tetapi yang harus dilakukan adalah terus-menerus membuka diskusi yang sehat di masyarakat, dan bukan menumpasnya, lebih-lebih melalui konstitusionalisasi kekerasan.

Harus ada usaha serius dan sungguh-sungguh mengatasi upaya penyingkiran sistematis ini. Dan semua kalangan harus menunjukkan komitmennya terhadap bangsa ini dengan berbicara.

Jangan biarkan kelompok LGBT berjuang mempertahankankan hak-haknya sendirian, dalam kesunyian. Mereka adalah teman kita, saudara kita: mereka adalah kita. Tidak boleh ada orang yang masuk penjara karena berbeda orientasi seksualnya dan identitas gendernya. Dukungan sepenuhnya harus kita berikan kepada kelompok LGBT dari kriminalisasi.

Formalisasi penyingkiran kaum LGBT dengan kriminalisasi dan konstitusionalisasi kekerasan, dengan menggunakan ketentuan negara, akan membawa negeri kita jauh mundur ke abad kegelapan.

Jika beberapa tahun lalu ada ratusan orang terpandang dan terdidik sanggup membayar satu halaman iklan untuk mendukung kenaikan BBM di pelbagai media nasional, saya berharap ada juga yang mau dan sanggup memberikan dukungannya secara terbuka kepada kelompok LGBT yang akhir-akhir ini terus menerus dizalimi.

Penulis:

Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.

@tunggalp

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait