Berakhirnya masa kepausan Fransiskus menghadirkan harapan akan terpilihnya Paus pertama asal Afrika. Tapi peluang Kardinal dari Afrika masih kecil untuk menjadi Paus. Mengapa begitu?
Kardinal Peter Turkson adalah orang kepercayaan mendiang Paus, tetapi bisakah ia mengikuti jejaknya?Foto: Pacific Press Agency/IMAGO
Iklan
Umat Katolik di seluruh dunia tengah berkumpul untuk berduka atas wafatnya Paus Fransiskus. Wafat di usia 88 tahun pada Senin Paskah (21/04), Paus Fransiskus dikenal sebagai "the people's pope” atau "Paus untuk semua kalangan,” selama 12 tahun masa kepausannya.
Banyak umat Katolik di Afrika mengaku punya kedekatan dengan Paus Fransiskus yang berasal dari Argentina. Dia dikenal sebagai sosok yang memilih hidup sederhana ketimbang menonjolkan pengaruh global gereja secara dramatis.
Di Nigeria, salah satu negara mayoritas Katolik terbesar di benua Afika, suasana duka menyelimuti gereja dan katedral, setelah perayaan Paskah yang penuh sukacita pada akhir pekan lalu.
"Dia adalah Paus yang saya cintai, sangat rendah hati," kata Miranda Mosheshe di Lagos. "Dia melakukan banyak hal untuk keimanan Katolik di seluruh dunia."
Mosheshe merupakan salah satu dari banyak umat Katolik yang bercerita kepada DW bahwa ada taruhan besar untuk penerus Paus Fransiskus . "Saya berharap dengan rahmat Tuhan, kami akan memiliki paus lain yang akan meniru sifat-sifatnya, semua hal tentang Paus Fransiskus."
Kunjungan Bersejarah Paus Fransiskus di Indonesia
Paus Fransiskus berada di Indonesia dalam rangka perjalanan apostolik di Asia Pasifik. Ini adalah kali ketiga Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik sedunia sekaligus Kepala Negara Vatikan mengunjungi tanah air.
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Dari Roma menuju Jakarta
Selasa, 3 September 2024, Paus Fransiskus mendarat menggunakan pesawat komersil ITA Airways di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, dari Roma, Italia. Melansir AFP, kepada 80 orang wartawan yang ikut dalam kunjungan ini, ia mengaku perjalanan selama 13 jam ke Indonesia merupakan penerbangan paling panjang sejak ia menjadi Paus di Vatikan.
Foto: VATICAN MEDIA/AFP
Penantian setelah 35 tahun
Kedatangan Paus yang memiliki nama asli Jorge Mario Bergoglio pada hari Selasa (03/09) ini disambut oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas hingga Ketua Panitia Kunjungan Apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia, Ignatius Jonan. Lawatan kali ini merupakan penantian 35 tahun setelah Paus Yohanes Paulus II berkunjung pada tahun 1989.
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Tolak hotel berbintang dan naik mobil mewah
Paus Fransiskus memilih untuk menginap di Kedutaan Besar Vatikan daripada di hotel bintang lima. Selain menolak menginap di hotel, Paus juga memilih untuk tidak menggunakan mobil mewah selama berada di Indonesia. Sebagai gantinya, ia memilih Toyota Innova, kendaraan yang biasa digunakan masyarakat Indonesia.
Foto: Indonesia Papal Visit Committee
Bertemu Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut kedatangan Paus Fransiskus yang tiba di halaman Istana Merdeka pada hari Rabu (04/09) pukul 09.35 WIB. Upacara kenegaraan digelar untuk menyambut kedatangan Paus Fransiskus. Setelah penyambutan selesai, dilanjutkan dengan perkenalan para menteri. Jokowi kemudian mengarahkan Paus menuju Ruang Kredensial untuk berdialog.
Foto: INDONESIA PAPAL VISIT COMMITTEE
Kerukunan, kemajemukan, hingga perdamaian
Dalam pidatonya di Istana Negara, Paus Fransiskus berbicara soal kerukunan, kemajemukan, hingga perdamaian. "Kerukunan di dalam perbedaan dicapai ketika perspektif-perspektif tertentu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan bersama dari semua orang dan ketika seluruh kelompok suku dan agama bertindak dalam semangat persaudaraan," ujarnya dalam bahasa Italia.
Foto: Muchlis Jr/Indonesia Presidency
Menanti Paus Fransiskus
Ratusan umat Katolik memadati area depan Gereja Katedral Jakarta (depan Masjid Istiqlal). Mereka tampak berkerumun untuk menunggu kedatangan Paus Fransiskus pada Rabu (04/09) sore.
Foto: INDONESIA PAPAL VISIT COMMITTEE/Fakhri Fadlurrohman
Pesan Paus di depan para rohaniwan
Paus Fransiskus melakukan pertemuan dengan uskup, imam, diakon, seminaris, dan katekis di Gereja Katedral Jakarta, Rabu (04/09). Dalam kesempatan itu, Paus menyinggung soal bela rasa. "Yang membuat dunia bergerak maju bukanlah perhitungan kepentingan pribadi, yang umumnya berujung pada kerusakan ciptaan dan pemecah belahan komunitas, tapi mempersembahkan kasih kepada sesama," ucapnya.
Foto: INDONESIA PAPAL VISIT COMMITTEE
Gerakan Scholas Occurrentes
Paus Fransiskus bertemu dengan remaja dari Scholas Occurrentes di Graha Pemuda Komplek Gereja Katedral Jakarta, Rabu (04/09). Gerakan pendidikan global ini diinisiasi oleh Paus pada tahun 2013 saat ia masih menjabat sebagai Uskup Agung Buenos Aires di Argentina. Scholas Occurrentes hadir di Indonesia sejak diundang dalam agenda G20 Summit di Bali pada tahun 2022.
Foto: INDONESIA PAPAL VISIT COMMITTEE
Deklarasi Bersama Istiqlal 2024
Paus Fransiskus tiba di Masjid Istiqlal pada pukul 09.15 WIB. Bersama Imam Besar Nasaruddin Umar, Paus mengunjungi Terowongan Silaturahim yang menghubungkan halaman Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Kemudian keduanya menandatangani Deklarasi Bersama Istiqlal 2024: “Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama untuk Kemanusiaan”.
Ada momen menarik saat Paus Fransiskus mengunjungi Masjid Istiqlal, Kamis (05/09). Paus tampak terlihat sangat akrab dan dekat dengan Nasaruddin Umar. Keduanya saling bersalaman saat hendak berpisah. Nasaruddin tampak mengecup dahi Paus Fransiskus sebanyak dua kali.
Foto: Indonesia Papal Visit Committee
Dibalas cium tangan
Nasaruddin lebih dulu mencium kepala Paus Fransiskus, lantas dibalas cium tangan oleh Kepala Negara Vatikan tersebut. Momen akrab dua pemuka agama ini terjadi di halaman Masjid Istiqlal.
Foto: Indonesia Papal Visit Committee
Paus temui penyandang disabilitas
Setelah mengunjungi Masjid Istiqlal, Paus Fransiskus menemui sekelompok orang sakit, penyandang disabilitas, dan orang miskin di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Mereka juga diberi kesempatan untuk menyampaikan ungkapan hatinya kepada Paus.
Foto: Iwan Jayadi/Indonesia Papal Visit Committee
Lautan manusia di Stadion GBK
Misa Agung di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada hari Kamis (05/09) menjadi puncak kegiatan dari rangkaian perjalanan apostolik sekaligus kunjungan kenegaraan Paus Fransiskus di Indonesia. Lebih dari 86 ribu umat Katolik menyambut kedatangan Paus yang berkeliling menaiki mobil Maung MV3 buatan PT Pindad.
Foto: Indonesia Papal Visit Committee
Paus ingatkan umat untuk berbuat baik
Saat memimpin misa, Paus Fransiskus kembali berpesan soal pentingnya menjaga perdamaian. "Dengan dibimbing oleh sabda Tuhan, saya mendorong Anda semua untuk menaburkan kasih, dengan penuh keyakinan menempuh jalan dialog," ucapnya. Paus juga menyebut berbuat baik memang tidak selalu berbalas kebaikan. Namun, upaya untuk menjadi aktor perdamaian harus terus dilakukan.
Foto: Indonesia Papal Visit Committee
Paus bertolak ke Papua Nugini
Paus Fransiskus tiba di Bandara Soetta pada hari Jumat (06/09) pukul 10.00 WIB diiringi oleh pengawalan. Paus menaiki pesawat komersial Garuda Indonesia untuk menuju Papua Nugini. Ia akan berada di Papua Nugini pada 6 hingga 9 September 2024 dan melanjutkan perjalanan ke Timor Leste pada 9 hingga 11 September. (ha/yf)
Foto: Tatan Syuflana/AP Photo/picture alliance
15 foto1 | 15
Habemus Papam Afrika?
Tidak ada wilayah lain di dunia dengan tingkat pertumbuhan Gereja Katolik yang pesat selain di Afrika. Menurut data yang dirilis Vatikan, wilayah Afrika menyumbang 20% penganut Katolik global. Sehingga seruan untuk memilih Paus asal Afrika semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir.
Konklaf atau pemilihan paus rencananya akan digelar pada awal Mei. Setidaknya ada 135 kardinal senior yang bertugas memilih paus berikutnya. Beberapa nama kardinal dari Afrika masuk dalam daftar kandidat.
Pada milenium pertama Masehi, setidaknya tercatat ada tiga paus yang berasal dari Afrika Utara. Apakah kini saatnya untuk Paus asal Afrika pertama di era modern?
Selama prosesi Konklaf, setiap kardinal boleh mencalonkan dirinya sendiri atau kardinal lain untuk mengisi kursi tertinggi Gereja Katolik itu. Layaknya pemilu lain, pengalaman sering dianggap sebagai faktor kunci yang menentukan pemenang.
Dari 18 kardinal asal Afrika yang akan 'mengurung diri' bersama peserta lainnya dalam prosesi Konklaf, dua nama dari benua Afrika disebut-sebut sebagai kandidat utama.
Kardinal Peter Turkson: Diplomat damai, si karismatik asal Ghana
Salah satu nama dalam daftar pendek calon Paus adalah Kardinal Ghana, Peter Turkson. Uskup Agung Cape Coast yang berpengalaman ini pindah ke Roma pada 2009 dan menjadi Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Pontifical Council for Justice and Peace).
"Ada kemiripan antara kepribadian mendiang Paus Fransiskus dan Kardinal Turkson," kata Suster Jacinta Tuoniba dari Tamale, kawasan utara Ghana. "Sifat rendah hati, kesederhanaan, welas asih, cinta pada kaum miskin dan orang yang membutuhkan bantuan, serta kepedulian terhadap Bumi."
Hal itu turut diamini oleh Pastor Thaddeus Kuusah, imam di Keuskupan Agung Tamale.
"Dia jelas memiliki semua sifat yang dibutuhkan untuk memimpin gereja," kata Kuusah kepada DW.
"Dia adalah seseorang yang telah menjalani hidupnya dan bekerja untuk perdamaian," tambahnya, mengacu pada upaya mediasi yang dilakukan Kardinal Turkson bersama Dewan Perdamaian Nasional Ghana, khususnya dalam konflik pemilu tahun 2008.
"Tuhan pernah berkata: 'terpujilah orang yang menciptakan kedamaian.' Kami berdoa agar Roh-Nya turun ke atas kolegium kardinal untuk memilih seseorang yang sesuai dengan hati dan pikiran Kristus dalam memimpin gereja," ujar Kuusah.
Iklan
Kardinal Fridolin Ambongo Besungu: Pemimpin gereja yang dinamis dari Kongo
Di seluruh Afrika, memang dibutuhkan lebih banyak orang untuk membawa kedamaian. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh umat Katolik.
Di Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic Congo/DRC), konflik telah terjadi selama beberapa dekade. Ketegangan kembali memuncak dalam beberapa bulan terakhir dengan meningkatnya kekerasan berdarah antara pemerintah dan kelompok pemberontak M23 di wilayah utara Kongo.
Dengan sekitar 50 juta penganut Katolik, separuh populasi Kongo, Gereja Katolik di Kongo merupakan salah satu komunitas terbesar di Afrika Sub-Sahara.
Kongo juga menjadi rumah bagi salah satu tokoh Katolik paling terkemuka di Afrika, yakni Kardinal Fridolin Ambongo Besungu, yang memimpin Waligereja Afrika dan Madagaskar (Symposium of Episcopal Conferences in Africa and Madagascar/SECAM).
Kardinal Ambongo Besungu telah lama menjadi orang kepercayaan Paus Fransiskus sebagai anggota Dewan Penasihat Kardinal, kelompok kecil yang membantu mendiang Fransiskus dalam reformasi dan tata kelola gereja.
Hanya saja, ada perbedaan cukup mencolok antara Paus Fransiskus dan Kardinal Ambongo Besungu. Meski dikenal memiliki sejumlah pandangan progresif, seperti memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan, Kardinal Ambongo Besungu termasuk salah satu tokoh yang mengkritik dekret kepausan yang dikeluarkan mendiang Fransiskus pada 2023 soal perizinan pemberkatan pasangan sesama jenis.
Kehidupan dan Perjuangan Paus Fransiskus
12 tahun menjadi pemimpin Gereja Katolik Dunia, Paus Fransiskus dalam perjalanan hidupnya giat menyerukan pesan-pesan perdamaian, inklusi, perlindungan linkungan, dan keadilan ekonomi.
Foto: Evandro Inetti/dpa/ZUMA/picture alliance
Pemimpin 'gereja untuk kaum miskin'
Menyusul pengunduran diri Paus Benedict XVI, Kardinal Argentina, Jorge Mario Bergoglio, terpilih sebagai paus ke-266 pada bulan Maret 2013. Dia mengambil nama Fransiskus untuk meneladani Santo Fransiskus dari Asisi, yang begitu peduli terhadap orang miskin, rendah hati, dan merawat ciptaan. Sejalan dengan hal tersebut, Paus Fransiskus giat menyerukan “gereja untuk kaum miskin.”
Foto: Natacha Pisarenko/AP Photo/picture alliance
"Kami berharap dunia melihat tragedi kemanusiaan ini"
Dalam menjalankan tugas kepausannya Paus Fransiskus begitu memperhatikan nasib para pengungsi. Di tengah krisis migran yang terjadi pada tahun 2016, Paus mengunjungi kamp pengungsian Moria yang begitu padat di Pulau Lesbos, Yunani. Disana dia menyerukan agar dunia 'merespons secara manusiawi', ia lalu membawa serta 12 pengungsi muslim ke Roma dalam pesawat kenegaraannya.
Foto: Andreas Solaro/AFP/Getty Images
Menjaga Lingkungan
Dalam Ensiklik Paus Fransiskus di tahun 2015 yang berjudul “Laudato Si” (“Terpujilah Tuhan”), ia mengecam sistem kapitalisme global yang telah mengeksploitasi kaum miskin dan menghancurkan lingkungan. Selama masa kepausannya, Paus Fransiskus memperjuangkan pemeliharaan lingkungan mencegah krisis iklim. Dia membawa pesan ini ke seluruh penjuru, seperti pada foto di Papua Nugini tahun 2024 ini.
Foto: Gregorio Borgia/AP/dpa/picture alliance
Menjebatani Perbedaan
Tahun 2021, Fransiskus menjadi Paus pertama mengunjungi Irak, menghadapi banyak kekhawatiran perihal keamanan di negara tersebut. Di tengah reruntuhan gereja-gereja yang hancur, ia berdoa untuk para korban perang di Mosul, yang pernah menjadi ibu kota de facto dari apa yang disebut “Negara Islam”. Kunjungan ini adalah upaya Paus Fransiskus menjembatani kesenjangan umat Kristen, dan non-Kristen.
Foto: Andrew Medichini/AP/picture alliance
Permohonan maaf atas kebijakan sekolah katolik yang mengintimidasi
Pada tahun 2022, Paus Fransiskus menemui delegasi masyarakat adat Kanada Selatan, suku bangsa Inuit, dan Metis lalu meminta maaf atas pelecehan, kekerasan, dan penghilangan budaya secara sistematis yang dilakukan oleh para misionaris gereja katolik di sekolah-sekolah asrama Kanada.
Foto: Nathan Denette/The Canadian Press/AP/dpa/picture alliance
Pemuka agama di sampul majalah musik rok
Fransiskus menunjuk sejumlah kardinal dalam misi reformasi gereja. Ia bahkan sempat terlihat di sampul majalah rok “Rolling Stone” sebagai pelopor perubahan. Namun, dalam misi ambisiusnya, ia belum sepenuhnya berhasil terutama dalam hal melindungi korban dan penyintas pelecehan seksual anak di Gereja, atau merintis jalan bagi para pastor perempuan.
Foto: picture alliance/dpa/ROLLING STONE
Langkah-langkah kecil untuk diterima
Sosok Paus Fransiskus yang seperti musisi rok tentu menarik perhatian, sama halnya saat ia mengunjungi negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia, pada tahun 2024. Sebagai salah satu upaya menjembatani Gereja yang lebih inklusif, Paus menyoroti komunitas LGBTQ+ dan menyerukan perlakuan yang setara sebagai manusia, namun ia belum mendukung pemberkatan untuk pernikahan sesama jenis.
Foto: Indonesia Papal Visit Committee
Pemberkatan kepada Kota dan Dunia yang terakhir
Di usia 88 tahun, kurang dari sebulan setelah berjuang melawan pneumonia ganda, Paus Fransiskus meninggal dunia pada 21 April 2025 karena strok. Satu hari sebelum wafat, ia menyampaikan pemberkatan terakhir Urbi et Orbi (“Kepada kota dan dunia”) di akhir Misa Paskah hari Minggu. Konklaf kepausan akan berkumpul di Kapel Sistina untuk menentukan penggantinya dalam 15 hingga 20 hari kedepan.
Saat mewakili konferensi Waligereja Afrika, Kardinal Ambongo Besungu menolak dekret tersebut, menarik dukungan luas di seluruh Afrika. Sementara, respons Roma atas penolakan ini justru tidak banyak terdengar.
Donatien Nshole, Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Republik Demokratik Kongo (CENCO), menekankan bahwa hubungan almarhum Paus Fransiskus dengan Kongo selalu hangat dan bersahabat. Hal itu dibuktikan lewat dukungan tegas Fransiskus untuk perdamaian di Kongo.
Nshole menyimpan kenangan jelas tentang kunjungan Paus Fransiskus ke Kinshasa pada 2023, ketika mendiang Fransiskus menerima delegasi dari provinsi North Kivu yang rawan konflik, sebagai bagian upaya membangun pengertian antarkelompok berseteru di Kongo.
Di lapangan, dukungan terhadap Ambongo Besungu sebagai calon Paus sangat besar. Hugues Tamfumu di Kinshasa bercerita kepada DW bahwa terpilihnya Kardinal Ambongo akan menjadi "kemenangan bagi orang Afrika untuk menunjukkan bahwa Afrika mampu memimpin (gereja)."
"Semua umat Kristiani akan bertepuk tangan jika dia terpilih," kata Tamfumu.
Paus asal Afrika untuk kebutuhan Afrika?
Untuk sebagian orang Afrika, alasan mereka menyukai kardinal seperti Ambongo Besungu justru karena dia menjaga jarak dari kepemimpinan yang dianggap terlalu berorientasi Eropa.
Tamfumu, misalnya, menyatakan bahwa penolakan tegas Kardinal Ambongo Besungu terhadap pemberkatan pasangan sesama jenis mencerminkan harapan umat Afrika terhadap gereja mereka.
"Dia berkata, 'Tidak, kami orang Afrika tidak akan menerima itu.' Dia sangat tegas."
Namun, sikap teguh terhadap homoseksualitas tersebut bisa menjadi kelemahan dalam Konklaf mendatang, terutama untuk mengisi jabatan yang begitu besar. Di luar Afrika, langkah rekonsiliasi gereja di bawah Paus Fransiskus justru disambut baik, bahkan beberapa pemimpin gereja senior menyiratkan bahwa almarhum Paus Fransiskus sebenarnya bisa melakukan lebih banyak hal.
Ketika Tim DW bertanya soal peluang terpilihnya Paus Afrika, Nshole menegaskan bahwa "ada kesempatan untuk semua" dalam Gereja Katolik, dan pemilihan Paus bukanlah kompetisi "dalam hal kuota, rotasi, atau ras."
Nshole percaya hal terpenting adalah memilih "Paus yang menjadi gembala sejati, terlepas dari asal-usulnya."
Terlalu tua atau terlalu muda
Namun dibalik layar, para ahli tetap skeptis soal peluang Kardinal Turkson dan Ambongo untuk terpilih. Pertama dari segi usia.
Di usia 76 tahun, Kardinal Turkson mungkin dinilai terlalu tua untuk sebagian orang. Kontras dengan Kardinal Ambongo, usia 65 tahun juga dianggap terlalu muda oleh beberapa pihak, alasannya dia mungkin akan bisa menjabat selama puluhan tahun.
Kemudian, persoalan kegagalan gereja selama ini dalam menangani kasus pelecehan seksual yang tak sedikit jumlahnya.
Meskipun ada kemajuan di era mendiang Fransiskus di wilayah Eropa dan Amerika Utara, tapi isu ini masih tabu di Afrika.
Dalam Konklaf nantinya, kemungkinan para kardinal akan ragu untuk memilih kandidat yang dianggap "lemah atau abu-abu" dalam isu ini, meskipun mereka tidak mencari sosok Paus Fransiskus versi II.
Oleh karena itu, keputusan siapa paus berikutnya adalah hal yang sulit, hal ini kerap terjadi.
Uskup Agung Lagos, Alfred Adewale Martins, memperingatkan umatnya untuk tidak membebani Konklaf dengan harapan tertentu.
"Fakta bahwa dia sendiri memilih kardinal dari daerah-daerah yang jauh merupakan indikasi bahwa siapa pun, dari mana pun, bisa naik ke Takhta Suci Vatikan," jelas Martins.
"Keragaman di Afrika sungguh luar biasa," tambahnya. "Tidak ada yang bisa mengabaikan hal itu."
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.