Terbayangkah dalam pikiran Anda, tak bejumpa pasangan dalam jangka waktu lama karena ia mendekam di penjara? Bagaimana memenuhi kebutuhan biologis dan mental? Berikut opini Feby Indirani.
Iklan
Salah satu pemandangan yang paling terekam dalam ingatan saya dari ruang kunjungan lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah wajah sepasang lelaki-perempuan yang menahan tangis. Tangan mereka saling menggenggam, mereka kemudian berpelukan erat sebelum akhirnya mesti saling melepaskan karena waktu kunjungan sudah habis.
Melihat adegan seperti ini, saya biasanya memalingkan muka karena ingin menghargai privasi mereka sekaligus ikut merasakan nyeri di hati. Pemandangan ini begitu sering saya temui selama keluar masuk penjara dalam proses penulisan buku Made in Prison selama semester akhir 2016. Selain momen perpisahan, ada pemandangan lain yang kerap terjadi di ruang kunjungan dan membuat kita memalingkan pandangan, yaitu pasangan yang bermesraan dan saling bersentuhan.
Karena tidak adanya ruang privasi untuk memenuhi kebutuhan biologis, kerap terjadi warga binaan dan pasangannya terpaksa melakukannya di mana saja dengan cara bagaimanapun yang memungkinkan. Pasangan yang datang juga kerap menyiapkan diri dengan tidak mengenakan celana dalam. Di ruang kunjungan mereka bisa duduk berpangkuan atau mencari sudut tertentu seperti kamar mandi yang sempit. Hal-hal seperti itu kerap terekam dalam CCTV yang berada dalam penjara.
"Kami para petugas sudah memaklumi saja, ya habis mau bagaimana lagi. Kalau mereka sampai tidak mengindahkan rasa malu, itu kan memang sudah terdesak betul,” ujar petugas tersebut. Petugas ini bercerita pernah ada istri dari warga binaan yang datang kepadanya dan memohon-mohon agar bisa punya ruang bercinta. Sayang hal tersebut masih sulit dipenuhi.
Kementerian Hukum dan HAM bukan tak memahami persoalan tersebut, tapi lagi-lagi persoalan kelebihan kapasitas menjadi isu yang lebih mendesak untuk ditangani. Secara resmi lembaga pemasyarakatan di Indonesia belum dapat menyediakan bilik asmara bagi warga binaan. Namun sering pula kita membaca berita-berita di media bagaimana para napi di sejumlah lapas bisa melakukannya dengan membayar sejumlah uang kepada oknum petugas.
Retaknya hubungan percintaan dan rumah tangga berada di peringkat tertinggi persoalan yang dihadapi napi. Mendapatkan kiriman surat cerai dari pasangan mereka biasanya atau mendengar kabar bahwa pacar mereka akhirnya memutuskan menikah dengan orang lain bahkan tanpa memberitahu mereka.
Hal seperti itu misalnya dialami Abdul (25) yang menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Cipinang. Ketika saya menemuinya, ia belum lama pulih dari kekecewaan karena pacarnya yang sudah bersamanya selama tiga tahun akhirnya memilih menikah dengan orang lain.
Penjara Kaum Sipit di Negeri Kulit Putih
Penasehat Donald Trump menyebut kamp pengasingan Jepang selama Perang Dunia II sebagai model untuk menampung imigran Muslim di Amerika. Seperti apa bentuk kamp yang dibangun atas dasar histeria perang bermotif rasis itu?
Foto: STF/AFP/Getty Images
Relokasi Paksa
Setelah serangan Jepang ke Pearl Harbor, pemerintah AS yang dipimpin Franklin D. Roosevelt tahun 1942 memerintahkan relokasi paksa 120.000 warga negara AS berdarah Jepang ke kamp-kamp pengasingan yang dijaga ketat. Mereka, tanpa terkecuali, dikategorikan sebagai enemy alien alias musuh asing.
Foto: Public Domain
Rasisme Terbuka
Gagasan dasar kamp pengasingan buat warga keturunan Jepang adalah untuk mencegah aksi spionase atau sabotase selama masa perang. Kecurigaan yang berdasarkan pola pikir rasialis dan dipicu oleh politisi dan militer itu ikut menyebar di kalangan penduduk.
Foto: Public Domain
Kerugian Materiil
Relokasi paksa cuma mengizinkan warga keturunan Jepang membawa barang-barang seadanya. Sebagian besar penduduk yang diasingkan akhirnya kehilangan harta benda atau dipecat dari pekerjaan hanya karena latarbelakang etnis. Petani yang menggarap lahan sewaan juga kehilangan hak sewanya seketika.
Foto: Public Domain
Penghilangan Etnis
Anehnya kelompok yang terkena kebijakan tersebut cuma warga keturunan Jepang. Sementara untuk warga negara AS berlatar belakang Eropa seperti Jerman atau Italia tidak mengalami relokasi atau hanya dalam skala kecil. Sekitar 300.000 warga negara Jerman yang saat itu tinggal di Amerika misalnya cuma harus melaporkan diri secara berkala.
Foto: Public Domain
Minim Fasilitas
Bahwa keputusan tersebut diambil secara mendadak, terlihat dari ketidaksiapan pemerintah AS membangun fasilitas perumahan untuk mereka yang diasingkan. Sebagian bahkan dibiarkan tinggal di barak kayu tanpa dapur atau saluran pembuangan. Di banyak kamp, barak yang sedianya dibangun untuk empat orang disesaki hingga 25 orang.
Foto: Public Domain
Kondisi Muram
Pada 1943 Menteri Dalam Negeri AS Harold Ickles mengeluhkan kondisi di kamp yang dinilainya "buruk dan semakin parah." Pasalnya kualitas sebuah kamp bergantung pada pemerintahan negara bagian yang memfasilitasi pengasingan warga keturunan Jepang.
Foto: Public Domain
Doktrin dan Propaganda
Untuk sekitar 30.000 bocah yang ikut direlokasi paksa bersama keluarganya, kamp pengasingan serupa seperti pusat re edukasi. Mereka tidak hanya dilarang berbicara bahasa Jepang, tetapi juga dicekoki materi pelajaran berbau propaganda untuk membangun jiwa patriotisme. Minimnya tenaga pengajar dan buku pelajaran juga memperburuk kualitas pendidikan di kamp-kamp tersebut.
Foto: Public Domain
Melanggar Konstitusi
Pada Desember 1944, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan penahanan warga negara tanpa alasan jelas melanggar konstitusi. Keputusan tersebut mengakhiri praktik relokasi paksa terhadap warga keturunan Jepang. Tapi butuh waktu lebih dari satu tahun untuk membubarkan kamp-kamp pengasingan.
Foto: Public Domain
Aroma Permusuhan
Sebagian besar bekas tahanan diberikan uang sebesar 25 Dollar AS untuk melanjutkan hidup setelah masa pengasingan. Namun sejumlah lain diusir paksa kembali ke Jepang tanpa uang ganti rugi. Penduduk yang kembali ke kota asalnya juga dilaporkan mengalami presekusi dan teror, antara lain penembakan dan ledakan bom di rumah tinggal.
Foto: Public Domain
Setengah Abad Menunggu Maaf
Menyusul tekanan dari aktivis sipil, pemerintah Amerika Serikat 1980 akhirnya sepakat memberikan uang ganti rugi sebesar 20.000 Dollar AS terhadap setiap warga yang diasingkan. Namun baru 11 tahun kemudian korban relokasi mendapat permintaan maaf resmi dari Gedung Putih, yakni oleh Presiden George Bush Sr. (rzn/ap)
Foto: Public Domain
10 foto1 | 10
Kejadian serupa dialami Supri (24) yang menjalani hukuman di Lapas Kelas I Surabaya. Ia masuk penjara karena terlibat kasus perkelahian kelompok yang berujung pada kematian seorang rekan. Supri kemudian masuk penjara, hanya sebulan sebelum pernikahannya. Padahal tempat sudah dipesan, undangan pun telah disebar. Awalnya ketika ia masih menjalani proses peradilan, Supri masih menjalin hubungan dengan kekasihnya itu. Namun tidak lama setelah vonis 18 tahun penjara dijatuhkan, ia pun mendapat kabar dari teman-temannya bahwa pacarnya tersebut telah menikah dengan pria lain. Hal ini sempat membuatnya sangat terpukul.
Tentu saja sulit bagi pasangan dan keluarga dari warga binaan yang menjalani hukuman untuk bertahan dalam keadaan terpisah, apalagi untuk waktu yang panjang. Namun di sisi lain bisa dibayangkan, para narapidana itu sangat membutuhkan dukungan dari pasangan dan keluarga mereka juga agar hari-hari berat di penjara dapat lebih tertanggungkan. Mereka yang masih masih memiliki keluarga dan rutin menerima kunjungan tentu termasuk yang sangat beruntung. Ada saja warga binaan yang sudah ditinggalkan begitu saja oleh keluarga mereka seperti yang dialami Rustam berusia 40-an yang menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Tangerang.
"Batu nisan aja masih ada yang jenguk Mbak, saya sih nggak ada,” ujarnya getir.
Kekurangan Tahanan, Penjara Belanda Jadi Rumah Pengungsi
Belanda kekurangan tahanan. Alhasil penjara di Haarlem beralih fungsi jadi penampungan sementara para pengungsi. Di penjara mereka malah merasa aman.
Foto: picture-alliance/AP/M. Muheisen
Jumlah penjahat turun, arus pengungsi melonjak
Belanda telah membuka pintu penjaranya yang kosong untuk mengakomodasi masuknya migran pencari suaka. Tingkat kejahatan di negara itu telah terus menurun selama bertahun-tahun. Puluhan lembaga pemasyarakatan telah ditutup sama sekali. Ketika árus pengungsi melonjak, Badan Pusat Penerimaan Pencari Suaka Belanda melihat penjara-penjara kosong ini sebagai solusi.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Hidup dalam sel
Fotografer Muhammed Muheisen, dua kali peraih pengghargaan Pulitzer Prize dan kepala fotografer Associated Press untuk Timur Tengah, dalam beberapa tahun terakhir memotret krisis pengungsi. Ia mengabadikan kehidupan baru para pengungsi yang ditampung di penjara kosong ini. Tampak dalam foto, seorang gadis Afghanistan bernama Shazia Lutfi melongok dari pintu sel.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bisa juga jadi salon
Butuh enam bulan bagi sang fotografer untuk diizinkan masuk ke penjara tersebut. Berhari-hari waktu dihabiskannya untuk mengenal pengungsi lebih dekat. tampak dalam foto, Yassir Hajji, asal Irak, tengah merapikan alis istrinya, Gerbia, di sebuah ruang sel.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Belajar bahasa Belanda
Pengungsi tidak diizinkan untuk bekerja, tetapi mereka berlatih berbicara bahasa Belanda dan naik sepeda --keterampilan penting untuk hidup di Belanda. Karena mereka melakukan semua itu di penjara, maka tidak mengusik warga. Pada umunya para pengungsi berkomentar: "Kami di sini di bawah atap, di tempat penampungan, jadi kami merasa aman."
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bebas untuk tinggal maupun pergi
Para pengungsi tersebut tinggal di penjara sekitar 6 bulan sebelum mendapat keputusan suaka. Mereka bebas untuk tinggal dan pergi kapan saja. Beberapa pengungsi bahkan menjalin persahabatan dengan warga Belanda.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Tak ada penjahat, aman untuk tinggal
Seorang pengungsi Suriah bahkan berkata pada Muhesein, bahwa penjara ini memberinya harapan untuk hidup. “Jika sebuah penjara tak ada tahanannya, maka artinya ini adalah negara yang aman, dimana saya ingin hidup.” Pengungsi lainnya,asal Afghanistan --Siratullah Hayatullah tampak asyik minum teh dengan tenang di depan kamarnya.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Fasilitasnya lengkap
Pengungsi Afghanistan Siratullah Hayatullah mencuci pakaiannya di ruang cuci. Infrastruktur dalam penjara cukup lengkap sehingga memudahkan pengungsi untuk menjalani hidup mereka sementara.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Tanpa diskriminasi
Pengungsi asal Maroko ini berpose di dalam kamarnya di penjara. Ia seorang gay. Selama di sini, tak pernah ia merasakan diskriminasi. Sebelumnya penjara di Belanda pernah dimanfaatkan juga untuk menampung tahanan dari Belgia dan Norwegia.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bebas beribadah
Pengungsi Irak, Fatima Hussein beribadah di ruangannya di bekas penjara de Koepel di Haarlem.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Sehat jasmani dan rohani
Meski boleh keluar masuk penjara sesuka hati, bisa jadi kadang-kadang timbul rasa bosan. Mereka bisa juga berolah raga untuk mengisi waktu senggang.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Main basket juga bisa
Pengungsi asal Mongolia, Naaran Baatar, berusia 40 tahun. Di penjara, ia bisa main basket. Di hatinya terpupuk harapan akan hidup baru dan kebebasan.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Menenun harapan haru
Pengungsi Somalia, Ijaawa Mohamed, duduk di kursi di luar ruangan. Meski tinggal di penjara, mereka rata-rata merasa aman dan menenun harapan atas kehidupan baru. Editor : ap/as (nationalgeograpic,smh,nbc,dailymail)
Foto: Muhammed Muheisen (ap)
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
12 foto1 | 12
Yang Tumbuh dan Tetap Bertahan
Di penjara yang masih campur antara napi laki-laki dan perempuan, benih-benih cinta kadang tumbuh. Meskipun tinggal di blok terpisah tapi kerap ada kesempatan bertemu jika melakukan kegiatan yang sama di bengkel kerja.
Hal tersebut dialami seorang warga binaan di Lapas Kerobokan, Ann dan Rahul, keduanya warga negara asing. Keduanya tertangkap karena kasus narkoba. Di dalam lapas mereka sama-sama belajar melukis di sanggar lukis yang dirintis mendiang Myuran Sukumaran, salah seorang anggota Bali Nine yang sudah dieksekusi mati.
"Melukis membuat saya menjadi lebih tenang. Saya sebelumnya adalah orang yang bisa berlaku agresif jika marah. Tapi sekarang saya lebih bisa mengendalikan emosi,” cerita Ann.
Hubungan cintanya dengan Rahul juga membuat hari-harinya di penjara menjadi lebih tertanggungkan. Namun pada April 2016, Rahul termasuk warga binaan yang dilayar atau dipindahkan ke LP Madiun.
"Saya sedih, biasanya ada Rahul yang melindungi saya, membuat saya tertawa. Tapi sekarang kami terpaksa terpisah jauh,” kisahnya.
Saat ini mereka tetap berhubungan dengan segala keterbatasan, apakah melalui surat atau telpon. Ann dan Rahul ternyata bukan satu-satunya pasangan yang memiliki kisah seperti ini. Beberapa napi yang saya temui memiliki pengalaman serupa. Pasangan suami istri atau pacar yang keduanya menjadi terhukum di penjara yang kerap berbeda wilayah.
Kontes Kecantikan di Balik Terali Besi
Kipas angin, pengering dan alat penata rambut. Itulah hadiah yang bisa dimenangkan pada kontes kecantikan di penjara perempuan di Brazil. Tapi bagi para kontestan, ini hal lebih besar daripada sekedar tempat di podium.
Foto: picture-alliance/AP Photo/S. Izquierdo
Sentuhan terakhir …
… setelah itu kontestan melangkah ke catwalk hasil improvisasi di penjara perempuan Talavare Bruce di Rio de Janeiro. Sukarelawan datang spesial ke penjara dengan penjagaan keamanan tinggi itu untuk kontes ini. Tepatnya untuk mendandani para narapidana.
Foto: Reuters/P. Olivares
Gaun bukan seragam penjara
Kontes hampir mulai. Hanya 10 dari 440 narapidana berhasil masuk ke babak final. Yang dinilai bukan saja kecantikan mereka, tapi juga sikap dan tidak-tanduknya.
Foto: Reuters/P. Olivares
Alasan untuk bangga
Sebagian besar narapidana ditahan di penjara Talavera Bruce akibat tindakan kriminal menyangkut obat terlarang. Menurut statistik Kementrian Kehakiman Brasil, jumlah perempuan yang dipenjara meningkat 600% dari tahun 2000 ke 2014. Kontes kecantikan tahunan ini jadi "interupsi" dari rutinitas penjara yang disambut baik.
Foto: Reuters/P. Olivares
Dua putaran lagi
Sang juri mengamati dengan kritis para perempuan yang mengenakan gaun malam dan mode pakaian tepi pantai. Penampilan, sikap tubuh dan atraksi adalah kriteria yang diperhitungkan. Juara pertama mendapat kipas angin. Juara kedua mendapat pengering rambut, dan juara ketiga memperoleh alat penata rambut.
Foto: Reuters/P. Olivares
Langkah menuju resosialisasi
Kepala penjara mengatakan, para perempuan narapidana bisa memperoleh rasa percaya diri yang sehat dengan berparade di depan narapidana lain di atas catwalk berkarpet merah hasil improvisasi. Ini baik untuk hidup mereka setelah meninggalkan penjara, kata para narapidana.
Foto: Reuters/P. Olivares
"Jiwa saya terbebas"
Tahun ini, yang jadi juara satu adalah Mayana Alves (kanan). Hadiahnya diserahkan oleh pemenang kontes tahun lalu, yang diperbolehkan lagi naik catwalk untuk tujuan itu. "Di saat seperti ini, saya tidak merasa ada di penjara," kata Michelle Rangel (kiri), yang berusia 28 tahun. "Jiwa saya terbebas," katanya.
Foto: Reuters/P. Olivares
Pelukan sang ibu
Pemenang pertama tahun ini, Mayana Alves, menunjukkan sejumlah tato di tubuhnya. "Tentu saya lebih suka kalau bisa bebas. Tapi saya akan membawa hadiah ini jika bebas nanti." Baginya yang terpenting adalah, ibunya boleh hadir saat kontes diadakan.
Foto: picture-alliance/AP Images/S. Izquierdo
Pemenangnya semua orang
Hadiah pertama memang jadi sesuatu yang istimewa dan sedikit kenikmatan di dalam tembok penjara. Tapi semua finalis mendapat keuntungan karena berpartisipasi. Karena klimaksnya adalah pertemuan dengan keluarga dan teman setelah acara berakhir. Rossana Goncalves bisa bertemu dengan empat dari lima anaknya lagi. Penulis: Nicolas Martin (ml/hp)
Foto: picture-alliance/AP Photo/S. Izquierdo
8 foto1 | 8
Meski penuh dengan cerita pahit, penjara bukanlah tempat yang tandus sama sekali akan harapan
Salah satunya pernah dialami oleh Angki Purbandono, salah satu seniman seni visual terkemuka yang berbasis di Yogyakarta yang menjalani hukuman karena kepemilikan ganja. Angki memang memiliki pendapat yang berbeda mengenai ganja, namun ia paham bahwa hukum yang berlaku di Indonesia menyatakan ganja sebagai barang yang ilegal. Saat itu Angki masih pacaran dengan Dian Ariyanti yang kini adalah istrinya. Tak lama setelah tertangkap, Angki justru memutuskan melamar pacarnya itu di kantor polisi.
Beruntung lamarannya tetap diterima. Dian yang menjadi penyangga utama bagi Angki dari luar penjara, termasuk kemudian tetap melaksanakan dua pameran karya Angki di Jakarta dan Hongkong. Di dalam penjara, kreativitas Angki tak lantas padam dan ia merintis Prison Art Program dan membuat sejumlah projek seni yang kemudian dipamerkan.
Salah satu projek Angki adalah menggabungkan pengalamannya dengan istrinya, sehingga tercipta dua sudut pandang menarik dari ia yang berada di dalam dan Dian di luar penjara.
Metode Hukuman Mati
Meski suara untuk menghapus hukuman mati semakin lantang, namun pembunuhan yang secara hukum legal ini masih dipraktikkan di banyak negara di dunia. Berikut beberapa metode hukuman mati yang masih lazim saat ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Tembak
Terpidana dengan mata tertutup kain hitam, duduk atau berdiri terikat di depan satu eksekutor atau satu regu tembak. Satu regu tembak biasanya terdiri dari beberapa personil militer atau aparat penegak hukum, yang diperintahkan untuk menembak secara bersamaan. Metode ini dipakai diantaranya di Indonesia, Cina, Arab Saudi, Taiwan, Korea Utara.
Foto: Fotolia/Scanrail
Suntikan Maut
Biasanya terdiri dari tiga bahan kimia: natrium pentonal (obat bius), pancuronium bromide (untuk melumpuhkan) dan kalium klorida (untuk menghentikan jantung). Terdengar tidak menyakitkan. Namun, jika eksekusi gagal, terpidana mati bisa meregang ajal secara menyakitkan dalam waktu cukup lama. Metode ini dipakai diantaranya di Amerika Serikat, Cina, Vietnam.
Foto: BilderBox
Kursi Listrik
Terpidana mati sebelumnya dicukur, sebelum mengenakan topi metal berelektroda yang di dalamnya dilapisi spons yang dibasahi larutan garam. Listrik dengan tegangan antara 500 dan 2000 volt dialirkan selama 30 detik, dan diulang beberapa kali sampai terpidana dinyatakan meninggal. Metode ini dipakai di Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa
Gantung
Diantaranya dipakai di Afghanistan, Bangladesh, India, Iran, Iraq, Jepang, Malaysia, dan Kuwait. Eksekusi hukuman mati ini pertama kali diterapkan sekitar 2.500 tahun lalu pada masa Kekaisaran Persia. Di beberapa negara terpidana ditimbang berat badannya untuk menentukan panjang tali. Jika tali terlalu pendek, terpidana dapat tercekik, dan kematian baru datang setelah 45 menit.
Foto: vkara - Fotolia.com
Pancung
Pemenggalan kepala telah digunakan sebagai satu bentuk eksekusi mati selama ribuan tahun. Saat ini, Arab Saudi adalah satu-satunya negara yang memakai metode ini. Biasanya eksekusi dilaksanakan di halaman mesjid usai shalat Jumat atau pada hari raya. Menurut Amnesty International, setidaknya 79 orang dihukum pancung di Arab Saudi pada tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa/Abir Abdullah
Lainnya
Masih ada beberapa metode eksekusi mati, walaupun jarang dipakai. Diantaranya adalah: rajam, kamar gas dan juga menjatuhkan terpidana dari ketinggian.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
Selama Angki menjalani hukuman, Dian kerap melakukan swafoto dimana pun ia berada. Tidak selalu sendiri, kadang bersama kucing, teman- ataupun anak tetangga. Foto-foto itu kemudian dicetak dan didesain sebagai kalender dinding yang bisa dirobek. Foto dicetak pada halaman tanggal sesuai pada saat foto itu dikirimkan.
Ketika pameran Prison Art diadakan, kalender itu salah satu objek yang ditampilkan. Pengunjung bisa melihat dan membayangkan hari-hari yang dialami Angki dan Dian yang terpisah melalui foto-foto itu, bahkan ikut merobeknya. Projek seni eksperimental yang menggabungkan antara pengalaman Angki dan Dian, ternyata bisa menjadi karya yang tidak hanya unik tapi juga mengharukan. Pengunjung pun bisa ikut membayangkan perasaan orang yang terpisah dari pasangannya dan menghitung hari untuk bisa berkumpul kembali.
Penjara memang ditujukan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggar hukum. Bagi sebagian orang, membaca cerita-cerita ini mungkin akan menimbulkan pikiran logis, salah sendiri mereka melanggar hukum. Maka semua kesulitan yang dialami para napi termasuk diceraikan dan dibuang dari keluarga hanyalah konsekuensi dari kesalahan mereka sendiri.
Negara dengan Hukuman Mati Terbanyak
Ribuan tahanan dieksekusi mati di seluruh dunia. Cina menjadi negara yang paling getol melumat nyawa terpidana mati. Sementara Iran mewajibkan eksekusi mati dijadikan tontonan publik.
Foto: Fotolia/lafota
Cina
Negeri tirai bambu, Cina, termasuk yang paling getol menjalankan eksekusi mati. Tahun 2013 saja tercatat sebanyak 2400 tahanan menemui ajal di tangan algojo. Kendati mayoritas penduduk mendukung hukuman mati, suara-suara yang menentang mulai bermunculan. Kekhawatiran terbesar adalah lembaga yudikatif yang tidak jarang menghukum individu yang tak bersalah.
Foto: picture-alliance/dpa
Iran
Lebih dari 370 tahanan tewas lewat eksekusi mati tahun 2013 silam. Iran memiliki tiga metode eksekusi, yakni tembak mati, hukuman gantung atau rajam. Sama seperti di Cina, hukum di Iran mewajibkan pelaksanaan hukuman mati di depan publik. Negeri para Mullah ini berulangkali memicu kontroversi lantaran menghukum mati jurnalis, aktivis HAM atau individu dengan dakwaan yang tipis.
Foto: ISNA
Irak
Hukuman mati di Irak terutama marak digunakan sebagai instrumen kekuasaan pada masa diktatur Sadam Husein. Tahun 2013 Irak mengeksekusi 177 tahanan yang sebagian besar tersangka teroris. Sementara 1.724 lainnya masih mendekam di penjara dan menunggu regu penembak beraksi. Tahun lalu PBB mendesak Irak menangguhkan hukuman mati lantaran dinilai berpotensi memicu konflik horizontal.
Foto: picture alliance/dpa
Arab Saudi
Lebih dari 80 tahanan tewas di tangan algojo di Arab Saudi 2013 lalu, termasuk di antaranya tiga remaja yang berusia di bawah 18 tahun. Metode hukuman mati yang paling sering digunakan di jantung teluk ini adalah pemenggalan kepala. Kasus yang berujung vonis mati berkisar antara pembunuhan, penyeludupan hingga praktik dukun.
Foto: picture-alliance/dpa/Abir Abdullah
Amerika Serikat
Sedikitnya 80 vonis hukuman mati dijatuhkan tahun 2013 di Amerika Serikat. Saat yang bersamaan 39 tahanan dieksekusi dengan menggunakan suntikan racun. Metode pilihan AS mendulang banyak kontroversi karena dinilai tidak efisien melumat nyawa terhukum. Terakhir seorang tahanan sekarat selama 39 menit setelah mendapat suntikan racun.
Foto: CHANTAL VALERY/AFP/Getty Images
Indonesia
Kehadiran pemerintahan baru di bawah Joko Widodo tidak mengubah banyak dalam praktik hukuman mati di Indonesia. Sebaliknya orang nomer satu di Istana Negara itu berjanji akan segera melaksanakan sejumlah eksekusi yang tertunda. 2013 lalu Indonesia menghukum mati lima tahanan, kebanyakan tersangkut kasus penyeludupan obat-obatan terlarang.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
Pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya keliru. Namun di sisi lain para napi sebetulnya masih manusia yang berhak dipenuhi hak-haknya, termasuk antara lain adalah hak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Itulah mengapa bilik asmara merupakan salah satu sarana yang penting untuk dipenuhi di lembaga pemasyarakatan.
Ketika para napi diabaikan oleh keluarga, tak heran mereka pun akan mudah tertarik lagi kepada jejaring kriminalitas dan sulit keluar dari lingkaran kejahatan. Bukankah mereka sudah dicap buruk bagaimanapun? Bukankah mereka sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, lalu apa lagi yang tersisa untuk mereka? Itulah kenapa ada saja napi kambuhan yang bolak-balik masuk penjara lagi. Kemungkinan besar karena hidup di luar penjara justru malah lebih pedih bagi mereka.
Penulis: Feby Indirani (ap/vlz) adalah penulis sejumlah buku fiksi dan nonfiksi. Ia menginisiasi gerakan Relaksasi Beragama (Relax, It's Just Religion).Buku terbarunya adalah Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, 2017), 69 things to be Grateful about being Single (GPU, 2017) dan Made in Prison (KPG, 2017)
@FebyIndirani
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Sisi Gelap Perang Narkoba di Filipina
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersumpah akan memberantas bisnis narkoba. Untuk itu ia menggunakan cara-cara brutal. Hasilnya ratusan mati ditembak dan penjara membludak.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sumpah Digong
Presiden baru Filipina, Rodrigo "Digong" Duterte, melancarkan perang besar terhadap kelompok kriminal, terutama pengedar narkotik dan obat terlarang. Sumpahnya itu bukan sekedar omong kosong. Sejak Duterte naik jabatan ribuan pelaku kriminal telah dijebloskan ke penjara, meski dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Foto: Reuters/E. De Castro/Detail
Sempit dan Sesak
Potret paling muram perang narkoba di Filipina bisa disimak di Lembaga Pemasyarakatan Quezon City, di dekat Manila. Penjara yang dibangun enam dekade silam itu sedianya cuma dibuat untuk menampung 800 narapidana. Tapi sejak Duterte berkuasa jumlah penghuni rumah tahanan itu berlipat ganda menjadi 3.800 narapidana
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Beratapkan Langit
Ketiadaan ruang memaksa narapidana tidur di atas lapangan basket di tengah penjara. Hujan yang kerap mengguyur Filipina membuat situasi di dalam penjara menjadi lebih parah. Saat ini tercatat cuma terdapat satu toilet untuk 130 tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Cara Cepat "menjadi gila"
Tahanan dibiarkan tidur berdesakan di atas lapangan. "Kebanyakan menjadi gila," kata Mario Dimaculangan, seorang narapidana bangkotan kepada kantor berita AFP. "Mereka tidak lagi bisa berpikir jernih. Penjara ini sudah membludak. Bergerak sedikit saja kamu menyenggol orang lain," tuturnya. Dimaculangan sudah mendekam di penjara Quezon City sejak tahun 2001.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Minim Anggaran
Sebuah ruang sel di penjara Quezon City sebenarnya cuma mampu menampung 20 narapidana. Tapi lantaran situasi saat ini, sipir memaksa hingga 120 tahanan berjejalan di dalam satu sel. Pemerintah menyediakan anggaran makanan senilai 50 Peso atau 14.000 Rupiah dan dana obat-obatan sebesar 1.400 Rupiah per hari untuk setiap tahanan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sarang Penyakit
Buruknya situasi sanitasi di penjara Quezon City sering berujung pada munculnya wabah penyakit. Selain itu kesaksian narapidana menyebut tawuran antara tahanan menjadi hal lumrah lantaran kondisi yang sempit dan berdesakan.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Sang Penghukum
Dalam perang melawan narkoba Duterte tidak jengah menggunakan cara brutal. Sejak Juli silam aparat keamanan Filipina telah menembak mati sekitar 420 pengedar narkoba tanpan alasan jelas. Cara-cara yang dipakai pun serupa seperti penembak misterius pada era kediktaturan Soeharto di dekade 80an. Sebab itu Duterte kini mendapat julukan "the punisher."
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Membludak
Menurut studi Institute for Criminal Policy Research di London, lembaga pemasyarakatan di Filipina adalah yang ketiga paling membludak di dunia. Data pemerintah juga menyebutkan setiap penjara di dalam negeri menampung jumlah tahanan lima kali lipat lebih banyak ketimbang kapasitas aslinya.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Pecandu Mati Kutu
Presiden Duterte tidak cuma membidik pengedar saja, ia bahkan memerintahkan kepolisian untuk menembak mati pengguna narkoba. Hasilnya 114.833 pecandu melaporkan diri ke kepolisian untuk menjalani proses rehabilitasi. Namun lantaran kekuarangan fasilitas, sebagian diinapkan di berbagai penjara di dalam negeri.
Foto: Getty Images/AFP/N. Celis
Duterte Bergeming
Kelompok HAM dan gereja Katholik sempat mengecam sang presiden karena ikut membidik warga miskin yang tidak berurusan dengan narkoba. Beberapa bahkan ditembak mati di tengah jalan tanpa alasan yang jelas dari kepolisian. Seakan tidak peduli, Duterte malah bersumpah akan menggandakan upaya memberantas narkoba.