Adakah perbedaan prinsipil dalam melaksanakan operasi di belantara dan kawasan perkotaan? Simak analisa Aris Santoso berikut ini.
Iklan
Salah satu isu yang penting tahun ini, terkait kelembagaan TNI adalah dibentuknya Komando Operasi Khusus Gabungan, satuan gabungan antiteror di bawah Panglima TNI.
Komando Operasi Khusus (selanjutnya Koopssus) dibentuk berdasar pemikiran tentang eskalasi ancaman terorisme yang semakin besar, sehingga perlu ada sinergi satuan antiteror di tiga matara, sekaligus backup terhadap Densus 88 Polri.
Awal September lalu, TNI telah mengajukan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun, bagi operasional dan pengembangan Koopssus.
Dana ini dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur, material pendukung, dan persenjataan (Kompas, 6/9/2018). Prosesnya memang terkesan demikian cepat, karena upaya penanggulangan terorisme sudah menjadi concern TNI sejak lama.
Dari pandangan sekilas, jumlah yang diajukan tersebut bisa jadi terlihat besar. Namun itu sebenarnya sepadan dengan beban tugas yang bakal diemban satuan tersebut. Bandingkan misalnya, pada waktu yang hampir bersamaan, Polri mengajukan anggaran Rp 5 triliun untuk pengamanan Pemililu 2019.
Dari belantara ke kawasan urban
Gagasan pembentukan pasukan gabungan tersebut tidak datang secara tiba-tiba, namun sejalan dengan tren ancaman global, bahwa ancaman terorisme umumnya terjadi di wilayah urban atau perkotaan.
Secara kebetulan kawasan perkotaan memiliki catatan tersendiri dalam percaturan politik di tanah air.
Hampir semua peristiwa skala besar, yang memiliki dampak jangka panjang, terjadi di kota besar. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 misalnya, yang kemudian melahirkan era Reformasi, klimaksnya terjadi di Jakarta dan Solo.
Demikian pula dengan tatanan sebelumnya, yakni Orde Baru, merupakan hasil kerja intensif antara intelektual dan elite militer dalam poros Jakarta - Bandung.
Tanpa bermaksud mengecilkan gerakan di pedesaan, seperti radikalisme rakyat Kedungombo (Boyolali), atau gerakan Warsidi di Lampung (1989), tetap saja dampaknya tidak sebesar peristiwa di perkotaan.
Gerakan separatis seperti PRRI/Permesta saja, yang terang-terangan didukung NATO secara militer, seketika lumpuh ketika "ibukota” pusat gerakan mereka, yakni Bukittinggi dan Manado, bisa direbut TNI dalam sebuah operasi gabungan.
Satuan antiteroris dibentuk sebagai antisipasi berbagai ancaman dimensi perkotaan. Mengingat wilayah perkotaan merupakan pusat sumber daya ekonomi dan politik, sehingga infratruktur pendukungnya selalu berpotensi menerima ancaman, seperti pusat keramaian, gedung bertingkat, bandara, sentra perdagangan, dan seterusnya.
Pembentukan unit antiteroris juga didasari pemikiran, telah terjadi metamorfosis pada berbagai bentuk ancaman, dan acapkali demikian canggih, hingga sulit terdeteksi. Hal ini bisa terjadi, karena situasi global telah berubah sejak berakhirnya era Perang Dingin.
Sehingga pada pertengahan tahun 1990-an, mulai muncul tren apa yang dikenal sebagai perang perkotaan (urban war), sebagai antisipasi ancaman terorisme dan model pertempuran di kawasan Timur Tengah. Hingga muncul metode pelatihan Close Quarter Battle (CQB, pertempuran jarak dekat) dan Military Operation in Urban Terain (MOUT). Satuan TNI, khususnya Kopassus dan Korps Marinir, banyak belajar dari tentara Australia dan AS, termasuk update perkembangan dua model tempur tersebut.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Beda habitat
Pertanyaannya kini, adakah perbedaan prinsipil dalam melaksanakan operasi di belantara dan kawasan perkotaan. Setidaknya ada dua faktor yang membedakannya, yakni habitat dan strategi operasional. Namun secara umum bisa dikatakan, operasi di kawasan perkotaan relatif lebih berat, karena lingkungannya lebih kompleks.
Dalam operasi lawan gerilya di belantara, siapa yang diidentifikasi sebagai pihak lawan sudah teramat jelas. Sementara dalam operasi pengamanan di perkotaan, tidaklah mudah untuk mengidentifikasi siapa lawan yang akan dieksekusi, mengingat pihak lawan biasa menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup. Dan bila salah sasaran, lembaga TNI juga yang akan terkena dampak buruknya, seperti Peristiwa Santa Cruz (1991) dan Kerusuhan Mei 1998.
TNI sebenarnya memiliki keseimbangan pengalaman antara operasi di belantara dan kawasan urban. Salah satunya adalah Operasi Seroja di Timor Leste dulu, yang semula adalah pertempuran di perkotaan (Dili), namun ketika pihak lawan terdesak, mereka mundur ke daerah pegunungan.
Kemudian pertempuran lain yang sangat terkenal, seperti pertempuran di Surabaya (10 November 1945), Serangan Umum di Yogya (1 Maret 1949), atau pertempuran di Solo (di bawah Overste Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi), bisa disebut sebagai pengalaman pertempuran kota.
Harimau Hitam, Tank Teranyar TNI AD Buatan PT Pindad
Selama lebih dari tiga tahun PT Pindad berembuk dengan FFNS Turki mengembangkan tank medium untuk TNI Angkatan Darat. Hasilnya adalah kendaraan tempur berbobot sedang yang cocok untuk medan tropis.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Steffen
Harimau Hitam untuk Indonesia
Sejak Mei 2015 Indonesia dan Turki telah sepakat menggabungkan sumber daya buat mengembangkan kendaraan tempur lapis baja berbobot medium (MMWT) untuk TNI Angkatan Darat. Untuk itu pemerintah menyediakan dana pengembangan senilai 30 juta Dolar AS.
Foto: FNSS Savunma Sistemleri A.Ş.
Pengembangan Selama Tiga Tahun
Selama 37 bulan PT Pindad dan FNSS Savunma Sistemleri A.Ş mengerjakan tank teranyar tersebut. Hasilnya adalah sebuah kelas baru kendaraan tempur lapis baja di dunia dengan nama Kaplan MT alias Harimau Hitam. Mulai tahun 2019 tank ini akan diproduksi secara masal oleh Pindad di sebuah pabrik baru di Indonesia.
Foto: Public Domain
Ringan dan Modern
Oleh Pindad dan FNSS, desain Kaplan MT dibuat modern dengan sistem perlindungan rudal balistik dan ranjau teranyar, serta kemampuan menggunakan berbagai jenis dan ukuran amunisi sesuai standar NATO dengan jarak target maksimal sejauh 10 kilometer. Untuk itu Harimau Hitam dibekali dengan turet senjata CMI Cickerill 3105 buatan Belgia.
Foto: FNSS Savunma Sistemleri A.Ş.
Beragam Keunggulan
Dengan mengembangkan Kaplan MT, Indonesia mengusung strategi baru pertahanan yang lebih mengandalkan mobilitas ketimbang daya tempur. Meski masih kalah pamor dibandingkan tank tempur utama, tank kelas menengah dianggap lebih unggul dalam hal bobot dan kemampuan melintas medan berlumpur, mobilitas serta sifatnya yang multi fungsi.
Foto: FNSS Savunma Sistemleri A.Ş.
Mengisi Kekosongan di Lini Tengah
Saat ini Indonesia mengoperasikan Leopard 2 sebagai tank tempur utama. Kaplan MT diniatkan mengisi kekosongan antara tank ringan sekelas FV101 Scorpion dan Leopard 2 yang jumlahnya saat ini 103 unit. Untuk itu pemerintah merencanakan membeli sekitar 44 unit Kaplan MT yang akan diproduksi PT Pindad di Indonesia. (rzn/yf - dari berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/dpa/P. Steffen
5 foto1 | 5
Catatan Sintong Panjaitan
Salah satu legenda pasukan antiteror TNI, yakni Letjen (Purn) Sintong Panjaitan (Akmil 1963), sempat memberikan catatan kritisnya soal tren pembentukan pasukan antiteror di tiap matra, kemudian sekarang akan digabung pula.
Sintong berpendapat, sebenarnya dari segi jumlah, pasukan antiteror tidak perlu terlalu besar. Satu regu pun (sekitar 15 personel), bila dengan kualitas mumpuni, dan kesiapan tinggi, sudahlah cukup. Sintong mengajukan contoh di Inggris dan Jerman, yang hanya memiliki satu pasukan antiteror, masing-masing SAS (Inggris) dan GSG-9 (Jerman).
Dalam angan-angan Sintong, TNI harus membuat pasukan khusus dengan kualitas tinggi dan dilatih terus-menerus.
Mengingat ancaman terorisme, seperti aksi pembajakan, atau aksi bom bunuh diri, sangat jarang terjadi. Namun masalahnya ancaman itu juga bernilai "strategis”, yang berdampak langsung pada kedaulatan negara dan pertaruhan nama bangsa.
Peran Sintong dulu dalam merintis satuan antiteror di Kopassus, memberi pelajaran pada kita, bahwa figur pimpinan turut menentukan, terbentuk tidaknya embrio sebuah satuan.
Fenomena dominannya peran pimpinan, bisa dirujuk pada model kepemimpinan tradisional, yang memang masih mengakar dalam masyarakat kita. Bagi sebagian masyarakat kita, masih terdapat pandangan, pemimpin adalah panutan, yang segala kehendaknya harus bisa diwujudkan, termasuk pimpinan di kalangan militer.
Asumsi ini bisa kita uji di lapangan, bagaimana determinasi dan sumberdaya pimpinan yang bersangkutan, ikut berbicara dalam upaya mewujudkan kehendak, termasuk kehendak untuk membentuk sebuah satuan (baru).
Soal determinasi dan sumberdaya inilah, yang menjadi kunci performa seorang pimpinan, dan pada gilirannya menjadi faktor penanda, antara figur pemimpin yang satu dengan pemimpin lainnya.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Selain Sintong, kita mengenal beberapa figur lain, saat menjadi pimpinan banyak melahirkan karya, baik yang bersifat pemikiran maupun fisik. Sekadar menyebut contoh, bisa disebut dua nama: Jenderal TNI (Purn) Ryamizard (Akmil 1973/1974, kini Menhan) dan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto (Akmil 1973/1974).
Berdasar pengamatan pribadi, dua figur ini bila memiliki gagasan biasanya bakal terwujud. Dan rentang waktu saat gagasan itu dilontarkan hingga terwujud, relatif cepat, umumnya tidak sampai setahun.
Saat menjabat Pangkostrad (2000 – 2002), Ryamizard menelurkan program pembentukan satuan Tontaipur, dan berlanjut ketika menjadi KSAD, dengan membentuk bataliyon raiders "gaya baru” (bedakan dengan raiders era Pangab Jenderal M Jusuf dulu). Sementara Prabowo, saat menjadi Danjen Kopassus (Desember 1995-Maret 1998), sempat merintis pembentukan bataliyon mekanis, yaitu satuan infanteri yang didukung panser ringan. Juga rintisan dalam pembentukan skadron helikopter, untuk keperluan operasi mobud (mobil udara). Kini yonif mekanis sudah dikembangkan di beberapa satuan TNI AD, yang dipelopori oleh Brigif 1/Jaya Sakti Kodam Jaya.
Penulis:
Aris Santoso adalah penulis sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
Akrobat Panglima Menuju Istana
Berulangkali manuver Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyudutkan Presiden Joko Widodo. Sang jendral ditengarai memiliki ambisi politik. Inilah sepak terjang Nurmantyo membangun basis dukungan jelang Pemilu 2019.
Foto: Reuters/Beawiharta
Wacana Tentara Berpolitik
Ambisi politik Gatot Nurmantyo sudah tercium sejak akhir 2016 ketika dia mewancanakan hak politik bagi anggota TNI. Menurutnya prajurit saat ini seperti "warga asing" yang tidak bisa berpolitik. Ia mengaku gagasan tersebut cepat atau lambat akan terwujud. "Ide ini bukan untuk sekarang, mungkin 10 tahun ke depan, ketika semua sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Petualangan di Ranah Publik
Bersama Nurmantyo, TNI berusaha kembali ke ranah sipil. Lembaga HAM Imparsial mencatat Mabes TNI menandatangani "ratusan" kerjasama dengan berbagai lembaga, termasuk universitas dan pemerintah daerah. TNI tidak hanya dilibatkan dalam urusan pemadaman kebakaran hutan, tetapi juga pertanian dan pembangunan infrastruktur seperti pada proyek pembangunan jalan Transpapua.
Foto: Imago/Zumapress
Menggoyang Otoritas Sipil
Februari silam Nurmantyo mengeluhkan pembatasan kewenangan panglima TNI dalam hal pengadaan senjata. Pasalnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengeluarkan peraturan yang mengembalikan kewenangan pembelian sistem alutsista pada kementerian. Dengan ucapannya itu Nurmantyo dinilai ingin mengusik salah satu pilar Reformasi, yakni UU 03/2002 yang menjamin otoritas sipil atas militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Polemik Dengan Australia
Akhir Februari Nurmantyo secara mendadak membekukan kerjasaman pelatihan militer dengan Australia. Keputusan Mabes TNI dikabarkan mengejutkan Istana Negara. Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil sikap mendukung keputusan Nurmantyo dan ikut memperingatkan Australia. Namun sejumlah pejabat tinggi di Canberra menilai kasus tersebut selayaknya diselesaikan tanpa keterlibatan publik.
Foto: Imago/Zumapress
Genderang Xenofobia dari Cilangkap
Bukan kali pertama Nurmantyo membidik Australia. Oktober 2016 dia menyebut negeri jiran itu terlibat dalam "perang proxy" melawan Indonesia di Timor Leste dengan tujuan "memecah belah bangsa." Ia juga mengklaim ancaman terbesar terhadap Indonesia akan berasal dari kekuatan asing yang "berebut energi dari negara equator yang kaya sumber daya alam."
Sejak berakhirnya Pilkada DKI Nurmantyo juga aktif mendekat ke kelompok konservatif muslim. Ketika Kapolri Tito Karnavian mengklaim kepolisian menemukan indikasi makar pada aksi demonstrasi 212 di Jakarta, Nurmantyo mengatakan dirinya "tersinggung, karena saya umat muslim juga." Panglima juga berulangkali memuji pentolan FPI Rizieq Shihab sebagai sosok yang "cinta Indonesia."
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Teladan di Astana Giribangun
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia yang disebarkan kelompok Islam konservatif dan sejumlah tokoh seperti Kivlan Zein dan Amien Rais disambut Nurmantyo dengan mewajibkan prajurit TNI untuk menonton film propaganda orde baru Pengkhianatan G30-S PKI. Setelah melontarkan wacana tersebut, Nurmantyo mengunjungi makam bekas Presiden Soeharto yang menurutnya patut menjadi "tauladan" prajurit TNI
Foto: picture-alliance/dpa
Peluru Panas ke Arah Istana
Polemik terakhir yang dipicu Panglima TNI adalah isu penyelundupan senjata api sebanyak 5500 pucuk. Ia mengklaim laporan tersebut berasal dari data akurat dinas intelijen. Pemerintah mengklarifikasi pembelian itu untuk Kepolisian dan Badan Intelijen Negara. Namun Nurmantyo enggan meluruskan pernyataannya tersebut. (rzn/yf-sumber: antara, detik, cnnindonesia, kompas, tempo, aspi, ipac)